"Karena apa? Cepetan ngomongnya!" Aditya yang selalu tak sabaran."Karena kita seharusnya nggak boleh sering bersamaan kayak begini.""Maksudmu bagaimana?" Aditya menutup lagi pintu mobilnya. Di dekati Anna yang melihat ke arah dalam mansion, membayangkan lagi apa yang sudah terjadi barusan. Kedekatannya dengan Aditya sudah di ketahui banyak orang. Hal yang tak di sangka Anna sebelumnya, dan ternyata membuat Anna sedikit ketakutan."Iya. Kita berdua nggak boleh bersama. Itu nggak benar." Anna coba tegaskan."Nggak benar bagaimana?!" Aditya yang kaku terus saja mencerca. Baginya, Anna sering berkata sepotong-potong dan membuatnya agak geregetan nggak sabaran menunggu kelanjutan penjelasan Anna."Masa kamu nggak lihat tatapan orang-orang pada kita, terutama padaku saat melihat kita berdua masuk ke hall barusan? Aku nggak bisa melihat hal seperti itu.Jujur aku belum siap."Aditya memperhatikan Anna dengan seksama, lalu ke arah hall. "Tapi aku biasa saja. Biarin saja mereka melakukan itu.
Anna menghela napas dalam dan menghembuskan dengan kekesalan."Aku bukannya nyerah. Kalau saja Pak Alan tidak menelponku dan mengatakan sesuatu yang harus aku lakukan malam ini juga, aku nggak akan mau ngomongin ini sama kamu.""Alan? Yang menelponmu barusan itu Alan? Aku kira itu tadi ibumu. Kamukan masih kecil, mungkin saja takut kenapa main belum pulang-pulang," canda Aditya sambil menahan senyuman."Bukan!" kesal Anna. "Ada urusan bisnis. Dua klien baru minta dadakan bertemu malam ini juga, karena besok pagi mereka harus ke luar negeri.""Terus?""Pak Alan meminta aku... dan kamu juga sih, buat nemenin bertemu mereka. Kamu akan di libatkan juga," sahutan dengan napas tersengal-sengal karena Anna mengatakannya dengan cepat."Terus?""Ya, kita bertiga nanti menemui mereka. Kliennya ada dua orang. Aku nggak tahu, dua-duanya itu kerjasama jadi satu atau sendiri-sendiri.""Terus?""Terus ya... kita temui mereka di apartemenmu... lobby apartemenmu tepatnya." Anna ngos-ngosan karena Adit
2. Bau alkohol "Kamu mau apa, Mas?" Anna berancang-ancang menahan Aditya, tapi Aditya tak menggubris ketakutan Anna, tapi justru membuka pintu mobil. "Mas. Jangan keluar. Kalau mereka melukaimu bagaimana?" Anna masih berusaha menahan Aditya dengan menarik lengan bajunya. "Aku yang akan melukai mereka terlebih dahulu!" "Mas! Aduuh. Kamu ini." Terlambat buat Anna untuk mencegah Aditya keluar, karena anak-anak berandalan yang berada di luar menatap ke arah Aditya. "Kamu. Di dalam saja, dan saksikan pertunjukan, mengerti!" "Tapi, Mas..." Pintu tertutup, dan Anna hanya bisa diam dan menyaksikan apa yang akan terjadi di luar sana. Anna juga sesekali menyaksikan angka berupa hitungan detik untuk menunjukkan berapa lama lampu merah itu akan menyala. Waktu menunjukkan detik ke-20. Perkiraan Anna masih ada kira-kira 40 detik ke depan bila perkiraan memang benar, kalau hitungan sekali jalan lampu merah menyala adalah satu menit atau 60 detik. Aditya terlihat berbicara dengan seorang an
Setiap kali mengaca di kamar mandi, seperti sebuah pengingat buat Anna soal keberadaan Aditya. Keraguan terbesit di sana. Anna belum berani menceritakan pada siapa-siapa, selain hanya pada dirinya sendiri. "Tuh kan, Anna. Kamu di buat terpana lagi." Pertahanan Anna mulai runtuh lagi. "Apa yang di lakukan Mas Aditya tadi tuh keren banget. Belum pernah aku lihat cowok so gentleman kayak dia." Sedetik kemudian Anna tertunduk lesu saat melihat jam tangan dan mendapati waku sudah menunjukkan pukul 7 lewat lima menit, kepanikan langsung menghampiri Anna. "Aduh. Bisa ngomel itu Tuan Judes kalau aku kelamaan." Anna kemudian mundur beberapa langkah, untuk lebih memastikan kerapian penampilannya, tapi hanya sebentar saja Anna kemudian segera menyambar tasnya dan berjalan cepat ke arah luar. Anna jadi gugup, karena tidak di jumpai Aditya di luar kamar mandi seperti baisanya. Aditya selalu menunggunya bila berada di kamar mandi khusus wanita meskipun itu dalam waktu yang lumayan lama. Da
Saat akan mengikuti langkah Aditya, Anna yang melewati area lobby lounge, menyempatkan diri untuk melihat keluar. Di lihatnya langit masih dipenuhi air hujan deras disertai kilatan petir tak henti-hentinya menyambar. Keinginan untuk segera pulang tampaknya belum mungkin Anna lakukan saat ini. Kini Anna berada di tengah-tengah lobby lounge, antara melihat ke luar dan ke arah Aditya yang sudah berada di depan lift. Anna mengalami kebimbangan. Apakah akan menunggu hujan reda di salah satu sofa di lobby lounge itu ataukah mengobati rasa penasaran dengan mendengarkan cerita Aditya soal apa saja yang di bisikkan atasannya tadi pada Aditya. Anna kembali beralih ke arah luar setelah melihat Aditya dan tampak hujan masih terlihat deras. "Tapikan aku nggak boleh terlalu dekat dengannya. Nggak boleh!" gumam Anna dalam lingkaran antara setan dan malaikat. "Tapi kepingin tahu banget. Gimana, dong?" tanyanya pada diri sendiri. Saat beralih lagi ke Aditya. Anna terkejut, karena Aditya te
"Anna. Mulai sekarang kamu harus hati-hati." "Ke kenapa?" "Jangan sembarangan bercerita sama orang lain, meskipun itu sahabatmu sendiri. Mulai sekarang kalau ada yang ingin kamu bicarakan atau tanyakan soal Alan dan yang berhubungan dengan pekerjaanmu, soal apapun itu yang ada hubungannya denganku juga, kamu harus mengatakannya padaku dulu. Kamu mengerti Anna?" Mata Anna terbelalak. "Aku...iya..." Aditya langsung menyambar memberi kesimpulan sendiri. "Berarti kamu mengerti!" Aditya lalu menarik tangan Anna lagi, tapi kali ini adalah telapak tangannya. "Dengar. Aku bertanya padamu dahulu." "Apa itu?" Anna menatap pada tangan Aditya yang menggenggamngnya, tapi di biarkan saja, tidak ada penolakan sama sekali dari Anna. Tapi Aditya melepaskan genggamannya itu dengan lembut. Anna segera bergeser kembali pada tempat duduknya semula, tangannya memegang dadanya, mengatur nada jantung yang berdetak tak beraturan antara senang tapi juga takut. Ketakutan akan perasaan yang tersimpan di h
"Cuma kamu yang bisa melindungiku?"Anna masih mencerna kata-kata yang barusan di ucapkan oleh Aditya. Bagi Anna, persoalan di antara mereka berdua tak perlu di anggap berlebihan, karena hanyalah urusan pekerjaan dan secara tak sengaja memergoki atasannya sedang bermain api di belakang istrinya.Sedangkan Aditya masih menatap Anna, menunggu respon darinya."Perlindungan seperti apa maksudmu, Mas?" Anna yang belum paham. "Memang setelah mengetahui perselingkuhan Pak Alan nyawaku bakal terancam, gitu? Jujur saja, pikiranku nggak seribet itu. Aku sudah berniat, besok hari senin akan menghapus videonya tadi, malahan akan aku lakukan di depan Pak Alan sendiri, karena aku juga bukan tipe orang yang suka gosip sana-sini. Diam saja, cari aman. Kalaupun sudah tahu, orang lain yang sebelumnya belum tahu akan mendapatkan informasi kalau bisa tidak dari mulutku. Kalau perlu seperti yang Mas Aditya bilang tadi. Aku juga nggak akan cerita ke sahabatku sendiri, walaupun dia orang yang bisa di percay
Mata Ibu Sari terbelalak tak percaya. Melihat anaknya, Anna dari ujung rambut hingga ujung kakinya. Dandanan Anna yang tidak pernah seperti yang di lihatnya selama ini. Di tatap mata Anna dengan tajam. Apa yang di kenakannya ini tentu barang-barang yang nggak akan mungkin dia belikan ataupun terbeli dengan gaji Anna sekalipun. Terlebih lagi, keberadaan Anna di dalam apartemen seorang pria seperti saat ini, tentu saja membuat Sari tak menyangka sama sekali. Anna terdiam sambil tertunduk, menggigit bibir bawah dan tangannya memegang erat evening gownnya. Anna masih tak mampu dan bingung bagaimana harus menjelaskan alasan keberadaannya di dalam apartemen Aditya sekarang. Anna masih mengingat betul pagi tadi sudah terlanjur memberi alasan pada Sari kalau sedang ada janji dengan Vani, teman kantornya untuk pergi bersama ke suatu tempat yang belum mereka berdua tentukan. "Lho. Apa dia ibumu, Anna?" tanya Aditya kemudian untuk mencairkan kebekuan, dan Anna mengangguk pelan kemudian
Perkataan Ivan mempunyai dua sisi baginya. Pertama, sebagai sanjungan pertama yang di dengarnya selama di rumah ibunya Aditya, yang kedua berkaitan dengan emosi Aditya, yang akan bertambah sinis pada Ivan.Anna menatap terang-terangan ke arah Aditya yang tercengang dengan ucapan Ivan.'Hei singa, tenanglah! Dia hanya memujiku, bukan mau merebutku!'Aditya bergerak, sedikit memundurkan letak duduknya, mengendalikan rasa tidak nyaman."Iya, tentu saja. Karena dia istriku," tegasnya tanpa ekspresi. Anna mengira Aditya memang tidak berniat menampakkan ekspresi apa-apa, hanya bersikap dingin seperti biasanya.Pandangan Ivan beralih pada Anna, dan langsung di balasnya dengan senyuman. Rasanya naif buat Anna kalau tidak tersenyum pada pria itu, karena dia benar-benar seperti cowboy Texas dengan garis wajah old westnya yang tampan."Anna, kamu bekerja di perusahaan bidang apa?" tanya Ivan berat dan dalam. Ivan merasa mendapat peluang mengambil alih pembicaraan, yang tadi hanya di isi percakap
Selama perjalanan menuju ke rumah Ivan. Masih saja terjadi adu argumentasi antara Anna dan Aditya. Hal yang masih mengganjal pada pikiran, selalu saja segera di ungkapkan. "Apa pentingnya kamu bertemu dengan Fita?" tanya Aditya seketika. Merasa heran, karena Anna terlihat sangat ingin melakukannya, bahkan seperti memaksakan diri. "Dia orang pertama yang menyadarkanku suatu hal," sahut Anna mencoba memberi jawaban masuk akal buat Aditya yang rasional person. Memang benar, selama di pesawat menuju ke tempat Aditya berada saat ini, Anna banyak mengobrol dengan wanita itu. Seornag wanita yang sudah menikah tiga kali dan kemudian menyadari kalau pernikahan tidak hanya sebuah skin to skin relationship, tapi juga pengorbanan. Pengorbanan yang tidak hanya satu, dua, tapi bisa mengorbankan banyak hal, dengan harapan mendapatkan imbalan yang manis, dan itulah yang ingin di dapatkan dalam sebuah pernikahan. "Apa itu?" sahut Aditya sangat ingin tahu. Anna menghela napas dalam-dalam sebelum
Anna menatap sebuah benda dalam jepitan kedua jarinya dengan perasaan campur aduk. Sebenarnya, Aditya yang berniat membuangnya, tapi karena rasa ingin tahunya lebih besar dari rasa jijiknya, jadi Anna ngotot minta dia saja yang membuangnya. "Owh, jadi begini?" ucapnya pelan, lalu segera di buang cepat-cepat ke tempat sampah. Tanpa di sadari, Aditya telah membuntutinya dari arah belakang. Laki-laki itu tertawa tak tertahankan. "Sekarang kamu tahukan?" candanya, masih dengan tawanya. Anna berlari kecil melewati Aditya, "Aku nggak mau tahu lagi!" balas Anna, kedua tangannya melambai, ekspresi wajahnya cemberut. Aditya menyeringai. "Nggak mau tahu, tapi dianya yang ngebet duluan!" Setelah membersihkan diri bersama, masih menggunakan handuk mantelnya, Anna berlari ke arah lemari dan memilih baju yang akan di kenakan nanti. "Kalau kamu nggak mau datang, tak apa, aku janjian sama Fita aja," seru Anna sesaat setelah berpakain dan sambil menyiapkan hair dryer, mengeringkan rambu
Anna kemudian turun dari mobil secara enggan dan perlahan. Bertemu anak-anak saudara ibu Aditya di jadikan Anna sebagai kamuflase rasa canggung yang masih di rasakannya ketika harus berhadapan dengan adik-adik dari mendiang ibu Aditya. Anna berusaha mengajak mereka mengobrol di selingi canda."Jadi, kalian akan pulang sekarang? Tante juga akan pulang besok," ucapnya memulai pembicaraan, berjongkok dengan satu kaki menekuk, juga menggandeng si kembar. Mereka berdualah yang paling syok saat dirinya teriak kala bersama Aditya menjalin pelukan di bawah selimut pagi itu."Tante sama Om nanti ke sini lagi, kan?" tanya Kiki."Tentu saja. Tante bahkan sekarang sudah tahu mana yang Kiki dan mana yang Koko, kalian di bedakan dari garis panjang seperti lesung pada pipi kiri saat tersenyum, yaitu padamu Koko." balas Anna, lalu beralih cepat ke arah Koko, dan anak itu tersenyum setelah di kejutkan Anna yang di lakukannya secara sengaja itu.Kiki lebih cerewet dan banyak tanya, sedang Koko lebih ba
Ketidaktahuan cerita yang sebenarnya, membuat Anna berusaha bijak. "Para singa berasal dari kumpulan yang sama, apa kau tega membiarkan kami para heyna betina kelaparan?" sahutnya dengan melingkarkan kedua tangannya pada lengan Aditya dengan manja, membuat Fita jadi terkekeh, Ronny dan Ivan yang menyaksikan juga jadi tersenyum. Urat syaraf pada kening Aditya berdenyut, dia berpikir sejenak menentukan apa jawabannya sebelun akhirnyapun menjawab. "Lebih baik kau siapkan tidak hanya satu daging, karena itu tidak cukup bagi seorang singa yang mudah marah," balas Aditya diplomatis, lalu dia menarik tangan Anna mengajaknya meninggalkan area pemakaman dan orang-orang yang di temui setelah berpamitan.Setelah keduanya berjalan menjauh, Adityapun melanjutkan isi dalam pikiran yang belum di utarakan semua. "Singa dan heyna tidak pernah akur. Lain kali, sepertinya aku harus berhati-hati dengan wanita yang menganggap dirinya heyna betina di sampingku ini, kalau tidak aku akan menerkamnya terleb
"Anna, aku nggak pake pengaman lagi." Suara lembut bisikan Aditya pada kuping Anna yang masih terlelap. Suaranya memang lembut tapi justru membuat Anna sontak terperanjat. Tak perlu mengumpulkan nyawa dulu untuk bangun, karena ucapan Aditya itu sudah cukup berfungsi sebagai alarm yang memekakkan telinga Anna. "Ke kamar mandi! Buang-buang!" pekik Anna. Matanya langsung terbuka lebar walaupun kesadaran belum sepenuhnya. Meski begitu, artikel yang pernah di bacanya di sebuah kolom khusus wanita itu, segera saja terlintas. Anna berlari ke kamar mandi, dan sibuk sendiri, sedang Aditya tertawa sambil menggelengkan kepala. "Sebegitunya. Anna Anna," sahut Aditya tak habis pikir. Selama Anna di dalam kamar mandi, ponsel miliknya bergetar. Aditya meraihnya yang di letakkan Anna serampangan dan di temukannya di samping bawah nakas. Dengan tubuh masih di dalam selimut, Aditya meraih dengan sedikit membungkuk. Di lihat sebuah nama kontak yang di kenalnya, tapi justru karena itu Aditya
"Apa kau tersinggung Anna?"Pertanyaan dari Fatma membuat Anna menurunkan pandangannya lagi karena merasa tak enak. "Eh, hanya ingin mencoba jawab saja," tusukan kecil buat Anna, tapi bagaimanapun juga dia merasa sudah terlanjur mengatakannya, jadi Anna berusaha bersikap biasa saja.Anna melirik ke arah Aditya, merasa cemas karena laki-laki itu belum memberi reaksi, tidak berniat membela atau semacamnya. Aditya bahkan tidak membalas tatapannya.Tapi, meskipun tak menatap secara langsung, ternyata Aditya tersenyum dan beberapa detik kemudian baru membalas memandangnya dengan sayu. Rasanya jantung Anna berdetak seperti saat pertemuan pertama mereka saja."Aku benar-benar mencintai Anna. Memang kami belum lama berkenalan, aku sadar itu, tapi aku sangat mencintainya. Dia partner bisnis dan juga hidupku sekarang," reaksi Aditya yang benar-benar Anna harapkan terjadi.Senyuman lebarpun tak dapat Anna sembunyikan.Sejenak Anna menjadi pusat perhatian, semua mata tertuju padanya."Ehmm, aku r
'Berhentilah menatapku seperti itu. Kamu tahu, aku benci harus mengatakannya, tapi semua ini benar adanya. Sebenarnya, meski nggak aku akui secara jujur padamu, kehadiranmu lebih indah dari integritas ambisi dan mimpiku selama ini.'Anna membatin sambil melirik lagi ke Aditya yang sedang mengemudi dengan bersiul riang. Berbanding terbalik dengan perasaannya saat ini. Integritas mimpi dan ambisi yang belum sepenuhnya terwujud, masih mambuatnya galau.Memang benar, Aditya tidak pernah memaksa secara fisik atau kata-kata kalau mengenai pernikahan yang ingin Anna sembunyikan, tapi justru argumen-argumen kecilnya selalu masuk di akal dan membuat Anna berpikir, yah, masih dalam proses berpikir.Masalahnya, Anna masih menjadi penganut setia ajaran stashing, yaitu orang yang berakting seperti seorang lajang, padahal sebenarnya sudah memiliki pasangan karena alasan-alasan yang rasional. Rasionalitas menurut Anna tentunya."Apa kau sudah putuskan?" tanya Aditya di sela-sela fokus menyetirnya, b
'Kenapa aku jadi suka berpikir yang berlebihan ya?' Senyuman Aditya, tidak ... semua yang ada pada laki-laki itu, membuat Anna jadi seperti kehilangan akal sehat. Anna merasa selalu ada keinginan untuk menjalin malam berdua lagi dengannya. Bahkan sekarang, keinginan itu tanpa ragu lagi terang-terangan akan dia perlihatkan. Anna yakin saja, kalau tidak akan mendapat penolakan dari Aditya. "Jawab dong, nanti aku dapat lagi, nggak?" tanya Aditya manja. Anna menatap Aditya dengan suara parau, "Mas, apa perlu melakukannya sesering mungkin ya?" tanya Anna polos. Keingintahuan Anna karena hal seperti itu tak pernah terpikir olehnya. Aditya tertawa keras, tawa yang baru pertama kali Anna melihatnya pada laki-laki itu. "Kau lucu Anna. Kita ini pasangan yang sudah menikah Kalau surat nikah kita sudah aku daftarkan, aku ingin membuat rencana bulan madu, oh tidak aku rasa ... tidak perlu di rencanakan. Lebih indah kalau dadakan." Aditya terus merandai-andai, hingga rasanya Anna ingin menget