Keesokan harinya.
Anna mendapat panggilan dari Alan lagi. Sebuah pemberitahuan yang mengejutkan baginya. "Saya jadi asisten Bapak untuk acara besok?" "Iya. Kamu harus datang ke kantor pagi seperti biasa." "Baik, Pak." Alan lalu memberikan Anna sebuah dokumen. "Pelajari itu. Buat salinan 5 copy. Besok memang acara pesta privat, tapi juga di gunakan sebagai ajang untuk promosi dan investasi." Sudah satu minggu, asisten Alan yang bernama Vera menyatakan resign. Alan tidak berencana mencari orang baru, tapi ingin menarik Anna sebagai ganti setelah melihat prestasi kerja dan tampilan wajah cantik Anna. "Baik, Pak." Sesuai dengan perintah Alan, Anna sudah berada di lobby gedung tempat kantornya berada seperti jam kerja biasa. Mengingat hari ini adalah hari sabtu, keadaan sekitar lobby terlihat lengang. Sudah menunggu sampai hampir satu jam, bukannya kedatangan Alan jadi keterkejutan Anna, tapi wajah tampan Aditya dengan tampilan rapi yang membuat Anna kini terkesima. "Anda ikut juga?" tanya Anna spontan. "Iya. Kenapa?" jawab Aditya dingin. "Tidak apa-apa. Pak Alan nggak beritahu aku kemarin." "Alan juga memintaku menjemputmu di sini." "Kenapa?" Berganti Anna bertanya. "Karena memang harus begitu." Aditya kemudian balikkan badan dan berjalan mendahului. "Tapi kita ke acara itu, kan?" Anna terpaksa jalan lebih cepat untuk menyeimbangi langkah Aditya. "Pak Alan juga ikut, kan? Tapi kenapa tidak sama kita sekarang? "Masuklah ke dalam mobil sebelum kita terlambat." Aditya menyudahi rentetan pertanyaan Anna. Selama perjalanan juga tidak banyak terjadi obrolan berarti. Aditya tunjukkan sikap dingin, sehingga Anna juga tidak berani banyak bicara. Setelah sampai ditempat acara, yaitu sebuah mansion mewah milik seorang konglomerat dan pengusaha senior, kembali Anna mendapatkan perintah tak terduga dari Alan. "Aditya. Aku titip Anna dulu ya, ada yang harus aku lakukan." Kemudian Alan berpaling pada Anna. "Anna..kutinggal sebentar, kamu jangan beranjak dari sisi Aditya ya. Sebentar." "Baik, Pak." Sebenarnya Anna merasa tidak nyaman apabila dia terus berdua saja dengan Aditya, tpqi bagaimanapun juga itu adalah perintah atasannya, jadi Anna tidak bisa menolaknya. Aditya mengangguk. "Ok. Urus dulu keperluanmu. Anna aman bersamaku." "Ok. Thanks Bro." Setelah itu Alan berlalu di antara kerumunan orang. Anna sudah tidak melihat keberadaan Alan hanya dalam hitungan detik. Jantung Anna berdetak kencang karena kembali harus berduaan dengan Aditya. Saat Aditya menatapnya, membuat Anna menjadi salah tingkah. "Anna, kenapa kok jadi keterusan diam? Apa kamu sekarang mulai takut sama aku?" Anna lalu merapikan rambutnya dengan arahkan bagian depan rambutnya ke belakang telinga. Anna berusaha menutupi rasa gugupnya. "Nggak kok. Hanya saja, mungkin disini ramai jadi lebih baik saya nggak banyak bicara daripada harus berteriak-teriak," alasan Anna, membuat jeda jarak dengan Aditya juga. Posisi mereka sekarang berdiri tepat di sebelah dua sound system yang berukuran besar, sehingga harus beradu dengan suara berisik yang di timbulkan. Menyadari hal tersebut, Aditya berinisiatif mengajak Anna pergi dari tempat itu. "Anna. Acara selingan musik sudah mulai. Sepertinya kamu nggak nyaman. Kalau kita cari tempat lain saja. Bagaimana?" Anna mengangguk menyetujui permintaan Aditya. Tidak dapat di pungkiri kalau Anna sangat bergantung atas keberadaan Aditya ini. Mereka berdua kemudian berjalan menyisir para tamu undangan. Beberapa pria sempat melirik ke arah Anna, bahkan ada yang memperhatikan dari ujung kaki sampai ujung rambutnya secara terang-terangan. Hal ini di ketahui oleh Aditya, sehingga dia mengajak Anna lebih mempercepat langkahnya. Saat seorang pelayan lewat, tak lupa Aditya menawarkan minuman pada Anna. "Non alkohol." tegas anna. "Terima kasih." "Nggak masalah. Oh ya, Anna. Aku bosan di sini terus. Bagaimana kalau kita ini jalan-jalan keluar cari hawa segar?" "Ok," sahut Anna menyetujui. Aditya membimbing Anna keluar dari ruang utama acara, mengajak ke arah balkon belakang yang langsung mengarah ke laut. Terpaan angin laut, suara desiran ombak, dan cahaya merah langit senja membuat suasana hati Anna menjadi riang. Anna lalu menaruh gelas minuman di meja area teras balkon. "Hari sudah mulai sore. Cuaca dan pemandangannya bagus banget. Pasti senang kalau bisa menimatinya tiap hari." Anna membayangkan sambil meresapi hawa menjelang sore itu dengan memejamkan mata. Kemudian, secara tak terduga, Anna naik ke pembatas balkon dan mencoba turun perlahan melalui bebatuan besar, hingga membuat Aditya berpekik khawatir. "Anna. Apa yang akan kamu lakukan? Hati-hati. Hei, balik kesini kamu!" Tapi, teriakan Aditya tak di hiraukan Anna. Dia makin turun ke bawah, tidak peduli kalau saat itu dia memakai rok di atas lutut. Kemudian, di lepas kedua sepatu high heelsnya dan di tenteng pada salah satu tangannya, tapi masih di tentengnya. Melihat Anna yang tak menghiraukannya. Adityapun semakin tertarik mengikuti Anna. Dilepas sepatu dan kaos kakinya, kemudian nmengikuti Anna ikut turun ke bawah ke hamparan pasir lautan. Anna berlari menghambur di antara hamparan pasir, di taruh sekenanya saja kedua sepatunya. Anna berputar-putar dan tertawa lepas, kemudian Anna semakin riang ketika melihat Aditya mengikutinya. "Pak. Anda tidak apa-apa ikut kesini?", Anna berteriak menanyakannya, karena Aditya masih berusaha melewati bebatuan pembatas bangunan dan pasir pantai. "Aku akan menyusulmu!" Setelah melewati bebatuan, dilipat bagian bawah celana bahannya. Aditya berlari hingga mendekati Anna. "Kamu bahagia bisa disini, Anna?" tanya Aditya secara tiba-tiba. Anna tersenyum sembari merapikan rambutnya yang tergerai lepas di terpa angin. "Iya. Sudah lama banget saya tidak jalan-jalan ke pantai". Aditya memandang Anna dan tersenyum. "Mulai sekarang kamu bisa ke pantai kapanpun kamu mau. Aku akan menemanimu." Anna membalas tatapan Aditya yang tersenyum dan menatap sayu padanya. Untuk menutupi rasa malunya karena tatapan Aditya padanya, Anna mengalihkan situasi dengan mengeluarkan ponsel dari dalam tas yang masih di pegangnya. "Saya mau buat video momen ini!" Kemudian Anna membuka fitur video. Di mulai dari arah kirinya, berlanjut ke arah depan pemandangan bentang lautan dan cakrawala senja, kemudian ke arah Aditya yang ada di samping kanannya. "Senyum dong Pak..eh... Aditya," pintanya. Aditya mengangguk mengisyaratkan dia setuju apabila Anna meminta hal seperti itu. Kemudian Anna beralih ke belakang badannya, ke arah mansion bercat putih, yang sangat kontras dengan warna cakrawala kala itu. Saat fokus video di ponsel Anna pada ke satu tempat, Anna membeku, tangannya gemetar, bibirnya akan mengatakan sesuatu tapi dia ragu mengungkapkannya. Aditya yang mengikuti arah ponsel Anna tidak kalah kagetnya. Hal yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Memang Aditya sudah banyak mengetahui cerita hidup temannya itu, tapi masih tak menyangka apa yang sedang di lihatnya kini. "Alan? Dia bersama wanita lain?”Jendela yang tidak tertutup, satu sisinya sedikit terbuka, hanya terlindungi sepasang vitrase polos berwarna putih sehingga angin senja menerpanya perlahan. Bila hembusan angin tepat menyingkap lebih lebar, maka seluruh tubuh dua orang yang berada di bagian dalamnya akan terlihat sangat jelas. Anna masih berdiri terperangah dengan apa yang di lihatnya. Atasan yang di kenal setia dan takut pada istrinya itu ternyata punya sisi lain yang baru di ketahuinya. "Itu beneran Pak Alan, kan ya?" Anna coba meyakinkan diri, masih dengan memegang ponsel dengan fitur video yang masih menyala. Aditya lalu berpaling padanya, di tutup kedua mata Anna dengan telapak tangan kirinya, dan tangan kanannya mengambil ponsel di tangan Anna. Aditya kemudian mematikan fitur video yang ternyata sudah lebih dari durasi maximalnya. "Iya. Dia Alan. Kamu baru tahu, ya? Aku sudah lama tahu. Makanya, dia suka ngilang nggak jelas, dan aku nggak pernah protes." "Karena kamu teman baiknya." "Bukan hanya soal i
"Kenapa nggak ada?" pertanyaan polos Anna. "Ya nggak kenapa-kenapa. Ini pantai pribadi buat para pemilik mansion. Itupun cuma ada tiga atau empat mansion sejenis seperti ini. Kalau kamu berjalan makin ke sana, kamu bakal di marahi penjaga mansion sebelah, dan jarak mansion ke mansion juga nggak deket. Nggak mau aku kalau kamu suruh keluar lewat mansion orang!" ketus Aditya. "Ayo. Aku bantu kamu naik!" putus Aditya dengan sedikit memaksa. Deg. Anna kaget mendengar perintah tanpa pilihan dari Aditya. Ia segera melepaskan tangannya dari genggaman Aditya. "Tapi..bagaimana..nanti..apa..kalau..itu.." Aditya semakin tertawa lepas. "Mau ngomong apa sih! Sudah ah! Kelamaan nunggu kamu ngomong! Belepotan ngomongnya. Ayo naik ke bahuku!" Bibir Anna menganga, Anna ingin menolak perintah Aditya tapi entah mengapa dia tidak bisa mengungkapkan secara gamblang. "Emangnya nggak apa-apa? Kalau... kalau..." Mengetahui Anna masih ragu, Aditya semakin memaksanya. "Sudah, nggak usah ngomong lagi!
Setelah selesai membasuh kaki dan membersihkannya, Anna merapikan pakaiannya serta menambah sedikit pulasan lipstik di salah satu toilet mansion. Saat memulaskan lipstick ini, Anna menyentuh bibirnya. Masih terasa bagaimana Aditya mengecup lembut hingga membuatnya terbuai. Tatapan Anna menjadi nanar saat pikiran yang sering mengganggunya datang lagi. Anna merasakan ketakutan kalau misalnya dia akan jatuh cinta pada sosok Aditya yang sudah beberapa kali buat hatinya gamang. Anna merasa seperti dalam persimpangan, yaitu ego memiliki Aditya menurut kata hatinya ataukah harus berpikir-pikir lagi bilamana nyatanya jadi wanita kedua dari sebuah pernikahan pasangan lain. "Dia pria beristri. Aku gila kalau menanggapi perasaannya." Anna menggeleng-gelengkan kepalanya berkali-kali. "Nggak nggak. Nggak boleh." Anna lalu merutuki jidatnya. "Apa yang ada di dalam pikiranmu sih, Anna? Kamu masih waras kok. Jauh-jauh dari pria masih berstatus nggak jelas itu. Walaupun katanya dalam proses cera
"Tidak bersamamu lagi? Maksudnya bagaimana ini?" cerca Allisa. Sempatkan melirik ke arah Anna yang tertunduk kikuk. Ada sebuah dugaan Obrolan keduanya terjeda, lantaran ponsel Aditya bergetar, sehingga dia memutuskan pembicaraan dengan Allisa. "Iya Alan? Iya baru saja aku mau hubungi kamu... Anna?" Aditya berpaling, melihat pada Anna. "Iya, dia masih bersamaku. Kenapa?" Aditya kembali lagi pada Allisa. "Allisa. Maaf ya. Aku sudah ada janji dengan seseorang. Kamu bisa hubungi Jessica sendiri nanti. Dia pasti senang bertemu denganmu lagi. Ajak dia hang out, pasti dia mau karena sepertinya itu juga yang dia butuhkan saat ini." Aditya melakukan anggukan pelan pada Anna sebelum berpamintan dengan Allisa. "Ok, bye Lis. Aku ada urusan lain. Kabari saja kalau kamu pengen main ke kantorku. You're always welcome." "Ok. Tentu saja. Kalau ada waktu aku akan main-main ke kantor barumu." "Ok. Ayo, Anna." Aditya lantas membawa Anna pergi meninggalkan Allisa. Anna tersenyum pada Allisa, te
"Karena apa? Cepetan ngomongnya!" Aditya yang selalu tak sabaran."Karena kita seharusnya nggak boleh sering bersamaan kayak begini.""Maksudmu bagaimana?" Aditya menutup lagi pintu mobilnya. Di dekati Anna yang melihat ke arah dalam mansion, membayangkan lagi apa yang sudah terjadi barusan. Kedekatannya dengan Aditya sudah di ketahui banyak orang. Hal yang tak di sangka Anna sebelumnya, dan ternyata membuat Anna sedikit ketakutan."Iya. Kita berdua nggak boleh bersama. Itu nggak benar." Anna coba tegaskan."Nggak benar bagaimana?!" Aditya yang kaku terus saja mencerca. Baginya, Anna sering berkata sepotong-potong dan membuatnya agak geregetan nggak sabaran menunggu kelanjutan penjelasan Anna."Masa kamu nggak lihat tatapan orang-orang pada kita, terutama padaku saat melihat kita berdua masuk ke hall barusan? Aku nggak bisa melihat hal seperti itu.Jujur aku belum siap."Aditya memperhatikan Anna dengan seksama, lalu ke arah hall. "Tapi aku biasa saja. Biarin saja mereka melakukan itu.
Anna menghela napas dalam dan menghembuskan dengan kekesalan."Aku bukannya nyerah. Kalau saja Pak Alan tidak menelponku dan mengatakan sesuatu yang harus aku lakukan malam ini juga, aku nggak akan mau ngomongin ini sama kamu.""Alan? Yang menelponmu barusan itu Alan? Aku kira itu tadi ibumu. Kamukan masih kecil, mungkin saja takut kenapa main belum pulang-pulang," canda Aditya sambil menahan senyuman."Bukan!" kesal Anna. "Ada urusan bisnis. Dua klien baru minta dadakan bertemu malam ini juga, karena besok pagi mereka harus ke luar negeri.""Terus?""Pak Alan meminta aku... dan kamu juga sih, buat nemenin bertemu mereka. Kamu akan di libatkan juga," sahutan dengan napas tersengal-sengal karena Anna mengatakannya dengan cepat."Terus?""Ya, kita bertiga nanti menemui mereka. Kliennya ada dua orang. Aku nggak tahu, dua-duanya itu kerjasama jadi satu atau sendiri-sendiri.""Terus?""Terus ya... kita temui mereka di apartemenmu... lobby apartemenmu tepatnya." Anna ngos-ngosan karena Adit
2. Bau alkohol "Kamu mau apa, Mas?" Anna berancang-ancang menahan Aditya, tapi Aditya tak menggubris ketakutan Anna, tapi justru membuka pintu mobil. "Mas. Jangan keluar. Kalau mereka melukaimu bagaimana?" Anna masih berusaha menahan Aditya dengan menarik lengan bajunya. "Aku yang akan melukai mereka terlebih dahulu!" "Mas! Aduuh. Kamu ini." Terlambat buat Anna untuk mencegah Aditya keluar, karena anak-anak berandalan yang berada di luar menatap ke arah Aditya. "Kamu. Di dalam saja, dan saksikan pertunjukan, mengerti!" "Tapi, Mas..." Pintu tertutup, dan Anna hanya bisa diam dan menyaksikan apa yang akan terjadi di luar sana. Anna juga sesekali menyaksikan angka berupa hitungan detik untuk menunjukkan berapa lama lampu merah itu akan menyala. Waktu menunjukkan detik ke-20. Perkiraan Anna masih ada kira-kira 40 detik ke depan bila perkiraan memang benar, kalau hitungan sekali jalan lampu merah menyala adalah satu menit atau 60 detik. Aditya terlihat berbicara dengan seorang an
Setiap kali mengaca di kamar mandi, seperti sebuah pengingat buat Anna soal keberadaan Aditya. Keraguan terbesit di sana. Anna belum berani menceritakan pada siapa-siapa, selain hanya pada dirinya sendiri. "Tuh kan, Anna. Kamu di buat terpana lagi." Pertahanan Anna mulai runtuh lagi. "Apa yang di lakukan Mas Aditya tadi tuh keren banget. Belum pernah aku lihat cowok so gentleman kayak dia." Sedetik kemudian Anna tertunduk lesu saat melihat jam tangan dan mendapati waku sudah menunjukkan pukul 7 lewat lima menit, kepanikan langsung menghampiri Anna. "Aduh. Bisa ngomel itu Tuan Judes kalau aku kelamaan." Anna kemudian mundur beberapa langkah, untuk lebih memastikan kerapian penampilannya, tapi hanya sebentar saja Anna kemudian segera menyambar tasnya dan berjalan cepat ke arah luar. Anna jadi gugup, karena tidak di jumpai Aditya di luar kamar mandi seperti baisanya. Aditya selalu menunggunya bila berada di kamar mandi khusus wanita meskipun itu dalam waktu yang lumayan lama. Da