"Bagaimana sama lututmu?" Pertanyaan tiba-tiba Aditya.
"Kok tahu?" "Gerakanmu berusaha menutupi lutut itu yang buatku curiga." "Baik-baik saja kok." Sikap Aditya berubah dingin. Tak banyak obrolan terjadi. Suasana ini terjadi sampai mereka selesai makan. Aditya beranjak terlebih dulu dari meja mereka. "Aku ke kamar mandi, lalu ke kasir. Kamu nanti menyusul." Anna berikan anggukan. Belum juga sehari, Anna bisa gambarkan sikap asli Aditya. Bukan hanya dingin dan kaku, ada sisi lain sebagai pesona tersendiri Aditya yang membuat wanita merasa nyaman di dekatnya. Salah satu yang Anna rasakan adalah tatapan dalam dan juga perhatian tiba-tiba Aditya pada lawan bicaranya. "Tidak. Aku juga mau ke toilet." Anna dan Aditya kemudian berjalan berdampingan menuju ke toilet restoran. Anna berusaha tidak berjalan terlalu dekat atau bersinggungan kulit dengan tubuh Aditya. Suasana restoran sedang ramai, sehingga beberapa kali harus bertemu dan melewati sekelompok orang. "Karena kita tadi menumpang sama mobil Alan, jadi nanti kita balik ke kantormu pakai taxi online saja." "Iya. Terserah kamu saja." "Terserah aku? Berarti kalau kamu aku ajak ke lain tempat, apa kamu menurut saja?" "Nggak dong." "Memangnya ada pria yang pernah ajak kamu kencan?" Anna menoleh cepat pada Aditya. Anna membuka mulut, lalu menutup, kemudian membuka lagi untuk mengatakan sesuatu tapi rasanya susah sekali. "Tuh kan. Pasti belum pernah kencan, apalagi pacaran!" "Eh, bukan begitu. Tentu saja ada cowok yang suka sama aku, tapi .... tapi..." "Tapi apa?" sambar Aditya. "Tapi kamu takut? Iya, kan? Pasti dugaanku ini benar." "Tolong Pak Aditya atau apalah aku harus memanggilmu. Jangan menganggapku terlalu polos juga. Aku sudah dewasa." Semenjak memiliki penghasilan sendiri, Anna memang ingin merubah diri. "Tapi kelihatan sekali waktu aku menciummu. Reaksimu sangat kaku." "Itu karena kamu melakukannya secara tiba-tiba. Aku ..." "Kamu memang belum pernah melakukannya sebelumnya, Anna. Sudah jangan banyak beralasan. Aku sudah tahu." Semakin dekat ke arah toilet restoran. Anna jadi tak berniat menanggapi pernyataan Aditya itu. Mereka berpisah memasuki toilet pria dan juga wanita. Di dalam toilet, Anna berdiri di depan kaca saat keadaan sudah sepi. Anna merapikan penampilan. Memperhatikan bagaimana wajanya saat ini. "Anna. Dia itu masih punya istri, meskipun dalam proses cerai. Apa yang ada di dalam pikiranmu!" Batin dan pikiran Anna berkecamuk saling menyalahkan. "Dia pria dewasa yang sudah banyak pengalaman. Benar ucapannya. Aku cuma gadis polos yang baru rasain ciuman " gumam Anna saat merapikan rambutnya. "Ah, sudahlah! Pikiran macam apa ini. Aneh-aneh." Anna mendengus kesal dengan dirinya sendiri. Coba di abaikan pikiran barusan dengan mengibaskan tangan seolah pikiran seperti itu harus dia buang jauh-jauh. Saat keluar dari toilet, betapa terkejutnya Anna karena Aditya ternyata sudah berada di depan toilet wanita, menunggu dirinya. "Sudah selesai?" tanya Aditya. "Su sudah." Baru kali ini bagi Anna di perlakukan pria seperti ini. "Ke cashier dulu, baru setelah itu pesan taxi online." Anna mengangguk, lalu mengikuti saja berjalan di belakang Aditya. Begitu juga saat Aditya membayar, Anna memilih berdiri di belakang Aditya. Aditya terlihat oleh Anna, membayar tagihan makanan dengan sebuah kartu. Saat akan memasukkan kartu tersebut ke dalam dompet, beberapa kartu Aditya terjatuh, dan Anna coba mengambil satu kartu yang jelah jatuh lumayan jauh. Ada hal yang sangat menarik perhatian Anna, yaitu sebuah kartu selain Aditya biasa gunakan. Anna tertegun dengan nama yang tertera. 'Adam Winata.' Anna familiar dengan nama itu, tapi tidak pernah tahu bagaimana wajah pemiliknya. Asumsinya semakin kuat saat seorang wanita mendekatinya. "Pak Winata? Suka jadi pengisi seminar bisnis sama pemenang award pebisnis muda terbaik itu?" Wanita muda bermata sipit itu terlibat kegirangan senang. "Temen kuliah saya di Singapur itu saudara istri anda. Pernah kenalan sama Kak Jessica. Kalian memang pasangan serasi lho." "Hai, apa kabar." Aditya berusaha ramah dengan menyapa. "Baik. Kemarin ketemu Kak Jessica di club, tapi saya nggak lihat anda?" "Oh, aku sedang ada urusan." Isi obrolan Aditya dan gadis muda itu membuat Anna memutuskan untuk tak lagi berharap besar pada perasaan tertariknya pada Aditya. Bagaimanapun juga Aditya adalah pria beristri. Apapun alasannya, Anna sadar diri akan perbedaan antara dirinya dan wanita bernama Jessica itu tentu bagaikan bumi dan langit. "Ayo. Apa kamu mau berdiri dekat pohon hias itu terus?" sindir Aditya dalam canda. Anna lepas dari lamunan, lalu mengikuti rekan bosnya ini. Anna menjaga jarak saat sudah berada di dalam mobil, sampai suara Aditya mengisi keheningan. "Aku lupa bawa berkas lain yang mau aku tunjukkan Alan, jadi harus kembali ke apartemen. Kamu ikut denganku sebentar, nanti aku anter balik ke kantor." "Tidak. Aku langsung balik saja." "Jalan kaki lagi?" "Iya." "Nggak. Lututmu sedang luka. Aku nggak akan ijinkan, dan jangan membantah!" "Tapi, Pak." "Nggak ada alasan apapun!" Anna tidak berani membantah lagi. Berada di dekat Aditya memang rasanya campur aduk antara senang, bahagia, kesel dan juga dilema. Setelah berada di lobby, Anna meminta menunggu di sana. Duduk kembali di salah satu sofa sambil memperhatikan Aditya dari jauh. Betapa terkejutnya Anna saat melihat seorang wanita mendekati Aditya lalu memeluknya. Tentu saja Anna jadi berasumsi itu adalah Jessica, istri Aditya. Annapun memutuskan mencari tempat yang bisa memungkinkannya untuk mencuri dengar, dan pilar pembatas antara lift untuk penghuni khusus dan lobby jadi incarannya. "Tidak, Jessica. Kita bicara di sini saja. Aku ke atas cuma ambil dokumen, lalu harus keluar lagi." Anna pegang dadanya mendengar ucapan Aditya ini. Suasana gedung cenderung sepi, sehingga aksinya ini tidak terlalu mencolok. Anna juga sesekali mengarahkan ponsel ke kuping seolah sedang menghubungi orang tapi belum di angkat juga. "Tapi, Sayang. Ayolah. Lupakan semua. Aku sama cowok-cowok itu teman satu circle saja. Nggak ada yang spesial. Kamu tahu Papa juga akan kecewa kalau kita cerai. Kita coba lagi. Aku pengen tinggal di sini, dan melayanimu sampai aku hamil," pintaan Jessica dalam gelayut manja. "Jessica, lepaskan. Tidak enak di lihat orang." "Aku, kan istrimu. Orang pasti sudah tahu kita mau bercinta di kondominiummu." "Tidak, Jess. Ingat sama terapimu." "Jangan ingatkan aku soal itu. Tidak ada yang boleh tahu selain kita berdua!" Jessica terdengar sesenggukan. "Kalau terapi mentalku selesai, aku yakin bisa punya anak." "Itu sudah kita coba. Dokter dan psikolog ..." "Aditya hentikan, please. Jangan teruskan. Biarkan aku mencoba. Aku yakin bisa kasih kamu anak yang kamu mau selama ini." "Tapi kamu tidak pernah mau punya anak." "Dan apa kamu berniat cari wanita lain untuk hamil anakmu? Aditya. Itu sama juga kau membunuhku!" "Bagaimana kalau itu harus aku lakukan?" "Oke. Kamu boleh melakukannya, tapi syaratnya wanita itu hanya baby maker dan kau tetap suami sahku!" Bibir Anna terbuka. Kini ia tahu sebab utama Aditya meminta cerai dari Jessica. Pikiran itupun kembali hadir. Apakah pantas dia berandai jadi wanita lain di hati Aditya?Keesokan harinya.Anna mendapat panggilan dari Alan lagi. Sebuah pemberitahuan yang mengejutkan baginya."Saya jadi asisten Bapak untuk acara besok?""Iya. Kamu harus datang ke kantor pagi seperti biasa.""Baik, Pak."Alan lalu memberikan Anna sebuah dokumen. "Pelajari itu. Buat salinan 5 copy. Besok memang acara pesta privat, tapi juga di gunakan sebagai ajang untuk promosi dan investasi."Sudah satu minggu, asisten Alan yang bernama Vera menyatakan resign. Alan tidak berencana mencari orang baru, tapi ingin menarik Anna sebagai ganti setelah melihat prestasi kerja dan tampilan wajah cantik Anna."Baik, Pak."Sesuai dengan perintah Alan, Anna sudah berada di lobby gedung tempat kantornya berada seperti jam kerja biasa. Mengingat hari ini adalah hari sabtu, keadaan sekitar lobby terlihat lengang.Sudah menunggu sampai hampir satu jam, bukannya kedatangan Alan jadi keterkejutan Anna, tapi wajah tampan Aditya dengan tampilan rapi yang membuat Anna kini terkesima."Anda ikut juga?" tanya
Jendela yang tidak tertutup, satu sisinya sedikit terbuka, hanya terlindungi sepasang vitrase polos berwarna putih sehingga angin senja menerpanya perlahan. Bila hembusan angin tepat menyingkap lebih lebar, maka seluruh tubuh dua orang yang berada di bagian dalamnya akan terlihat sangat jelas. Anna masih berdiri terperangah dengan apa yang di lihatnya. Atasan yang di kenal setia dan takut pada istrinya itu ternyata punya sisi lain yang baru di ketahuinya. "Itu beneran Pak Alan, kan ya?" Anna coba meyakinkan diri, masih dengan memegang ponsel dengan fitur video yang masih menyala. Aditya lalu berpaling padanya, di tutup kedua mata Anna dengan telapak tangan kirinya, dan tangan kanannya mengambil ponsel di tangan Anna. Aditya kemudian mematikan fitur video yang ternyata sudah lebih dari durasi maximalnya. "Iya. Dia Alan. Kamu baru tahu, ya? Aku sudah lama tahu. Makanya, dia suka ngilang nggak jelas, dan aku nggak pernah protes." "Karena kamu teman baiknya." "Bukan hanya soal i
"Kenapa nggak ada?" pertanyaan polos Anna. "Ya nggak kenapa-kenapa. Ini pantai pribadi buat para pemilik mansion. Itupun cuma ada tiga atau empat mansion sejenis seperti ini. Kalau kamu berjalan makin ke sana, kamu bakal di marahi penjaga mansion sebelah, dan jarak mansion ke mansion juga nggak deket. Nggak mau aku kalau kamu suruh keluar lewat mansion orang!" ketus Aditya. "Ayo. Aku bantu kamu naik!" putus Aditya dengan sedikit memaksa. Deg. Anna kaget mendengar perintah tanpa pilihan dari Aditya. Ia segera melepaskan tangannya dari genggaman Aditya. "Tapi..bagaimana..nanti..apa..kalau..itu.." Aditya semakin tertawa lepas. "Mau ngomong apa sih! Sudah ah! Kelamaan nunggu kamu ngomong! Belepotan ngomongnya. Ayo naik ke bahuku!" Bibir Anna menganga, Anna ingin menolak perintah Aditya tapi entah mengapa dia tidak bisa mengungkapkan secara gamblang. "Emangnya nggak apa-apa? Kalau... kalau..." Mengetahui Anna masih ragu, Aditya semakin memaksanya. "Sudah, nggak usah ngomong lagi!
Setelah selesai membasuh kaki dan membersihkannya, Anna merapikan pakaiannya serta menambah sedikit pulasan lipstik di salah satu toilet mansion. Saat memulaskan lipstick ini, Anna menyentuh bibirnya. Masih terasa bagaimana Aditya mengecup lembut hingga membuatnya terbuai. Tatapan Anna menjadi nanar saat pikiran yang sering mengganggunya datang lagi. Anna merasakan ketakutan kalau misalnya dia akan jatuh cinta pada sosok Aditya yang sudah beberapa kali buat hatinya gamang. Anna merasa seperti dalam persimpangan, yaitu ego memiliki Aditya menurut kata hatinya ataukah harus berpikir-pikir lagi bilamana nyatanya jadi wanita kedua dari sebuah pernikahan pasangan lain. "Dia pria beristri. Aku gila kalau menanggapi perasaannya." Anna menggeleng-gelengkan kepalanya berkali-kali. "Nggak nggak. Nggak boleh." Anna lalu merutuki jidatnya. "Apa yang ada di dalam pikiranmu sih, Anna? Kamu masih waras kok. Jauh-jauh dari pria masih berstatus nggak jelas itu. Walaupun katanya dalam proses cera
"Tidak bersamamu lagi? Maksudnya bagaimana ini?" cerca Allisa. Sempatkan melirik ke arah Anna yang tertunduk kikuk. Ada sebuah dugaan Obrolan keduanya terjeda, lantaran ponsel Aditya bergetar, sehingga dia memutuskan pembicaraan dengan Allisa. "Iya Alan? Iya baru saja aku mau hubungi kamu... Anna?" Aditya berpaling, melihat pada Anna. "Iya, dia masih bersamaku. Kenapa?" Aditya kembali lagi pada Allisa. "Allisa. Maaf ya. Aku sudah ada janji dengan seseorang. Kamu bisa hubungi Jessica sendiri nanti. Dia pasti senang bertemu denganmu lagi. Ajak dia hang out, pasti dia mau karena sepertinya itu juga yang dia butuhkan saat ini." Aditya melakukan anggukan pelan pada Anna sebelum berpamintan dengan Allisa. "Ok, bye Lis. Aku ada urusan lain. Kabari saja kalau kamu pengen main ke kantorku. You're always welcome." "Ok. Tentu saja. Kalau ada waktu aku akan main-main ke kantor barumu." "Ok. Ayo, Anna." Aditya lantas membawa Anna pergi meninggalkan Allisa. Anna tersenyum pada Allisa, te
"Karena apa? Cepetan ngomongnya!" Aditya yang selalu tak sabaran."Karena kita seharusnya nggak boleh sering bersamaan kayak begini.""Maksudmu bagaimana?" Aditya menutup lagi pintu mobilnya. Di dekati Anna yang melihat ke arah dalam mansion, membayangkan lagi apa yang sudah terjadi barusan. Kedekatannya dengan Aditya sudah di ketahui banyak orang. Hal yang tak di sangka Anna sebelumnya, dan ternyata membuat Anna sedikit ketakutan."Iya. Kita berdua nggak boleh bersama. Itu nggak benar." Anna coba tegaskan."Nggak benar bagaimana?!" Aditya yang kaku terus saja mencerca. Baginya, Anna sering berkata sepotong-potong dan membuatnya agak geregetan nggak sabaran menunggu kelanjutan penjelasan Anna."Masa kamu nggak lihat tatapan orang-orang pada kita, terutama padaku saat melihat kita berdua masuk ke hall barusan? Aku nggak bisa melihat hal seperti itu.Jujur aku belum siap."Aditya memperhatikan Anna dengan seksama, lalu ke arah hall. "Tapi aku biasa saja. Biarin saja mereka melakukan itu.
Anna menghela napas dalam dan menghembuskan dengan kekesalan."Aku bukannya nyerah. Kalau saja Pak Alan tidak menelponku dan mengatakan sesuatu yang harus aku lakukan malam ini juga, aku nggak akan mau ngomongin ini sama kamu.""Alan? Yang menelponmu barusan itu Alan? Aku kira itu tadi ibumu. Kamukan masih kecil, mungkin saja takut kenapa main belum pulang-pulang," canda Aditya sambil menahan senyuman."Bukan!" kesal Anna. "Ada urusan bisnis. Dua klien baru minta dadakan bertemu malam ini juga, karena besok pagi mereka harus ke luar negeri.""Terus?""Pak Alan meminta aku... dan kamu juga sih, buat nemenin bertemu mereka. Kamu akan di libatkan juga," sahutan dengan napas tersengal-sengal karena Anna mengatakannya dengan cepat."Terus?""Ya, kita bertiga nanti menemui mereka. Kliennya ada dua orang. Aku nggak tahu, dua-duanya itu kerjasama jadi satu atau sendiri-sendiri.""Terus?""Terus ya... kita temui mereka di apartemenmu... lobby apartemenmu tepatnya." Anna ngos-ngosan karena Adit
2. Bau alkohol "Kamu mau apa, Mas?" Anna berancang-ancang menahan Aditya, tapi Aditya tak menggubris ketakutan Anna, tapi justru membuka pintu mobil. "Mas. Jangan keluar. Kalau mereka melukaimu bagaimana?" Anna masih berusaha menahan Aditya dengan menarik lengan bajunya. "Aku yang akan melukai mereka terlebih dahulu!" "Mas! Aduuh. Kamu ini." Terlambat buat Anna untuk mencegah Aditya keluar, karena anak-anak berandalan yang berada di luar menatap ke arah Aditya. "Kamu. Di dalam saja, dan saksikan pertunjukan, mengerti!" "Tapi, Mas..." Pintu tertutup, dan Anna hanya bisa diam dan menyaksikan apa yang akan terjadi di luar sana. Anna juga sesekali menyaksikan angka berupa hitungan detik untuk menunjukkan berapa lama lampu merah itu akan menyala. Waktu menunjukkan detik ke-20. Perkiraan Anna masih ada kira-kira 40 detik ke depan bila perkiraan memang benar, kalau hitungan sekali jalan lampu merah menyala adalah satu menit atau 60 detik. Aditya terlihat berbicara dengan seorang an