"Kirana. Masuk ke ruangan. Sekarang!" perintah seorang atasan bernama Alan.
"Sa saya, Pak?" sahut Anna yang telah berdiri dengan sikap bingung. Belum pernah ada sejarah Alan memanggil pegawai dengan jabatan rendah seperti dirinya. "Iya. Siapa lagi? Cepat ke sini!" perintah Alan lagi lalu masuk ke ruangannya. Anna lalu menuju ke ruangan Alan dengan pikiran penuh tanda tanya. "Selamat pagi. Iya, Pak?" Alan menelusuri wajah cantik alami Kirana. Ada tujuan terselubung Alan menginginkan Anna untuk melakukan perintahnya kali ini, yaitu agar menarik rekan bisnisnya ini untuk mau bekerjasama dengannya. "Ada tugas untukmu. Setelah ini aku ada meeting penting, jadi antarkan dokumen ini ke temanku." "Baik, Pak." Alan menyodorkan sebuah tas file transparan dan berisi beberapa tumpukan berkas. Annapun meraihnya. "Saya berikan berkas ini di mana, Pak?" tanyanya setelah menerima lalu menaruh di pangkuannya. "Gedung apartemen Oakwood. Apa kamu tahu, Anna?" "Gedung apartemen setelah puteran balik lampu merah ini, Pak? Tentu saja saya tahu. Setiap hari saya lewat di situ." "Bagus. Rekan bisnisku sudah menunggu di lobby. Pergilah sekarang dan sebelum jam makan siang kamu harus sudah balik ke sini." "Siap, Pak!" sahutan sigap Anna setelah di beritahu telah di tunggu. Anna kemudian bangkit dan segera keluar dari ruangan Alan ini, berjalan cepat ke meja kerjanya untuk mengambil tas dan dalam sebelum 5 menit sudah berada di luar kantornya. "Sebelum makan siang... sebelum makan siang," gumam Anna berulang seraya melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul. 10.15. "Ok. Jalan kaki saja," putus Anna agar persingkat waktu daripada harus memutari mall dan beberapa gedung lain dengan kemungkinan besar terjebak kemacetan. Anna berjalan cepat sambil terus memperhatikan jam tangannya. "Baru sampai sini saja sudah makan waktu 10 menit!" keluh Anna ketika baru lepas dari gedung kantornya. "Huft. Semangat. Jangan kecewain atasanmu." Anna beri dorongan pada dirinya sendiri sambil mengusap peluh di dahi. Setelah berada di depan gedung yang di tuju, Anna putuskan untuk berlari kecil. Tapi sial bagi Anna. Salah satu high heelsnya menyangkut di lubang antara beton cor-coran jalan yang retak, dan alhasil Annapun jatuh dengan menimbulkan dentum yang lumayan keras. Beberapa security yang berjaga di pos di buat tercengang dengan apa yang terjadi dengan Anna ini. Rasa malu Anna jadi tak terhindar lagi. "Eh, mbak. Hati-hati!" Salah seorang security berlari mendatangi Ann untuk membantunya berdiri. "Kakinya nggak apa-apa, Mbak?" tanyanya setelah melihat beberapa deretan luka baret dengan hiasan cairan merah semerah wajah Anna yang tak bisa menutupi rasa malunya. "Terima kasih, Pak. Saya nggak apa-apa kok." "Beneran nggak apa-apa? Di kantor security ada kotak obat. Non bisa obati dulu di sana," ucap sang security. Anna menggeleng. "Nggak perlu, Pak..." Anna lalu melihat emblem nama pada seragam security ini. "Nama?" gumam Anna setelahnya. "Iya, Non?" "Siapa namanya ya?!" pekik Anna panik. "Namanya siapa? Nama saya Anwar, Non." Anna menggeleng-geleng lagi. "Bukan... bukan Bapak." Anna jadi semakin panik, sambil menoleh ke belakang. Nggak akan mungkin kembali ke kantornya hanya untuk bertanya pada Alan lagi siapa nama temannya yang harus dia temui. "Oh, ya. Maaf ya Pak Anwar, saya buru-buru. Terima kasih ya, Pak." Anna berjalan cepat meninggalkan security yang terus memperhatikan Anna hingga dia benar-benar tak terlihat berbelok ke arah pintu lobby gedung lalu duduk di salah satu sofa lobby lounge bergaya modern ini. "Aduuh, Anna. Kenapa bisa nggak tanya dulu siapa nama orangnya, sih!" sesal Anna karena kecerobohannya sendiri. Annapun terpaksa menghubungi Alan untuk menanyakannya dengan rasa takut. Sudah lima kali lakukan panggilan, tapi Alan belum juga berikan jawaban. Anna semakin gusar. Jalan satu-satunya hanyalah menunggu, memendarkan tatapan di area lobby lounge. Anna terdiam membeku ketika seorang laki-laki keluar dari salah satu lift dan membuatnya terpana. Laki-laki itu berwajah tampan, berpostur tinggi atletis, dan berpenampilan rapi. Saat Anna memperhatikan pria itu, ternyata pandangan pria itu tertuju juga kepadanya, sehingga mereka saling memandang sekarang. Anna segera membuang muka untuk menutupi salah tingkahnya. Setelah beberapa detik Anna dapat melihat kalau pria itu sedang menelpon seseorang. "Telpon!" pekik Anna tiba-tiba, baru menyadari kalau dia belum juga mendapat tanggapan dari Alan. Annapun kembali mencoba menghubungi Alan, tapi tetap saja Alan tidak juga mengangkat. Satu ide kemudian tercetus. Anna kemudian mengambil berkas dari dalam tasnya, lalu membolak-balikkan bagian isinya untuk mencari sekiranya ada nama rekan bisnis atasannya, lalu menanyakannya pada resepsionis. Annapun berpekik senang seolah telah mendapatkan solusi. "Aahh... Aditya Winata!" "Iya?" Anna menoleh. Ternyata suara dari pria itu. "Maaf, Pak. Anda Pak Aditya?" tanya Anna untuk memastikan. "Iya, dan kamu ..." Aditya memperhatikan penampilan Anna, dan apa yang di bawanya, lalu membuat kesimpulan. "Apa kamu pegawai temanku, Alan?" "Iya, Pak." Anna menyodorkan tangan untuk perkenalan. "Saya Kirana. Ini dokumen dari Pak Alan." Saat meraih dokumen tersebut, suara deringan dari ponsel membuat Aditya kemudian berbalik lalu menerima panggilan. "Iya, Alan? ... Sudah ketemu sama asistenmu ... Oh, begitu. It's oke, asal dia sudah jalankan tugasnya. Yes, bye." Aditya kemudian beralih pada Anna. "Barusan atasanmu yang telpon. Dokumen ini harus aku baca dan tanda tangani terlebih dulu. Setelah meeting Alan rencana menyusul ke sini. Sebaiknya kamu ikut aku." "Ikut kemana, Pak?" tanya Anna dengan polosnya. "Ikut ke kondominiumku." "Baik, Pak." Tak ada jawaban lain bagi Anna selain harus mengikuti perintah Ravi ini. "Duduklah dulu. Aku buatkan minuman." Hal ini Aditya lakukan karena merasakan ada sesuatu berat dalam dirinya. “Argh … kenapa rasa panasnya nggak mau hilang juga?” keluhnya dalam gumaman. Fokusnya jadi terbelah antara menuang jus jeruk kemasan dengan rasa terbakar dari dalam tubuhnya. Ya, semalam sejak meminum minuman yang dipesan oleh Jessica–istrinya, hasrat dalam dirinya seolah menguar hingga membuat kepalanya terasa sangat pusing dengan tubuh yang panas seperti butuh pelampiasan. Bahkan Aditya sempat tergoda saat melihat Jessica memakai dress dengan belahan dada rendah, padahal sebelumnya hasrat itu sama sekali tidak ada, sepadam perasaan cintanya pada istrinya tersebut karena kekecewaan. Setelah menuangkan minuman tersebut, Aditya berpamitan pada Anna untuk mandi sebentar, berharap rasa panas di tubuhnya bisa mereda, dan beberapa menit kemudian bunyi bel apartemennya terdengar. Aditya pun keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan bathrobe yang menampilkan dada bidangnya. "Ada siapa?" tanyanya pada Anna yang sudah menutup pintu. "Petugas keamanan, Pak. Saya bilang Bapak sedang mandi, jadi orangnya rencana balik lagi nanti." Anna yang polos, sontak segera mengalihkan wajah dengan penampilan Aditya saat ini. "Ma maaf Pak," ucapnya malu sendiri. Hal ini di lakukan Anna sembari menunggu perintah lanjutan Aditya. Tak diketahui Anna, Aditya sedang duduk gelisah disofa, berjuang melawan rasa terbakar yang menyiksa ini. Pertemuan semalam dengan Jessica kembali berakhir seperti biasanya. Aditya sudah terlanjur kecewa akan kelakuan Jessica yang kembali terjerumus dengan kehidupan hedonnya, sampai adanya laporan dari salah satu teman Jessica menunjukkan foto-foto Jessica berpesta dengan beberapa pria lajang bayaran. Aditya kini menyadari, kemungkinan semalam Jessica telah memberinya minuman yang di campur dengan obat-obatan tertentu, dan kemungkinan besar adalah obat penambah stamina dan gairah khusus bagi pria. Kini dorongan sesuatu yang tak dimengertinya ini semakin membakar dan menyiksa. Aditya spontan berdiri, lalu mendekati Anna yang sudah balikkan tubuh, kemudian ditarik dalam pelukannya.Aditya kini semakin menyadari, kemungkinan semalam Jessica telah memberinya minuman yang di campur dengan obat-obatam tertentu, dan kemungkinan besar adalah obat penambah stamina dan gairah khusus bagi pria.Setelah berargumen hebat dengan Jessica dan memutuskan kembali ke apartemen pada tengah malam, Aditya juga menutup komunikasi dengan istrinya tersebut. Namun justru rasa menyiksa ini baru di sadarinya pagi tadi. Hal ini jadi salah satu alasan Aditya tak bisa temui Alan."Lanjutkan tuangkan jus jeruk juga untukku," perintah Aditya kemudian."Baik, Pak." Anna segera bergegas ke meja pantry yang ada di dapur setelah terlepas, lalu melakukan perintah tanpa sekalipun membalas tatapan Aditya dengan gemetaran.Suara gemericik jus jeruk itu jadi penutup langkah Aditya yang semakin mendekat pada Anna."Anna," panggil Aditya setelah berdehem sekali untuk memulai obrolan, dan menuntutnya untuk tak membelakanginya.Anna berbalik cepat, karena terkejut setengah mati, dimana tiba-tiba Aditya su
Sebenarnya ada sesuatu yang ingin Alan bagi kepada Aditya, tapi di urungkannya, selain itu juga ada Anna dan sopirnya."Kita sudah sampai. Aku lakukan reservasi dulu ya. Takutnya full booked. Kalian tunggu dulu di sini." Alan lalu keluar dari mobil seorang diri dan sengaja berjalan cepat ke arah resepsionis restoran seafood yang di kenal ini.Setelah kepergian Alan, suasanaAnna berpaling ke belakang dengan balasan tergagap. "I iya pak?"Aditya tersenyum, disodorkannya beberapa permen mint dalam genggaman tangannya. "Ini permen...Ambillah."Anna mengambil satu permen. Dia mengambil dengan hati-hati agar kulit jarinya sedapat mungkin tidak menyentuh kulit telapak tangan Aditya."Te... terima kasih, Pak," jawab Anna sembari menganggukkan kepalanya.Aditya tersenyum tanpa membalas ucapan terima kasih Anna, kemudian Aditya berpaling pada sopir pribadi Alan, menawarkan permen padanya juga.Tak beberapa lama setelahnya, Alan datang dan membuka pintu mobil."Akhirnya dapat juga. Maklumlah, w
"Bagaimana sama lututmu?" Pertanyaan tiba-tiba Aditya."Kok tahu?""Gerakanmu berusaha menutupi lutut itu yang buatku curiga.""Baik-baik saja kok."Sikap Aditya berubah dingin. Tak banyak obrolan terjadi. Suasana ini terjadi sampai mereka selesai makan. Aditya beranjak terlebih dulu dari meja mereka. "Aku ke kamar mandi, lalu ke kasir. Kamu nanti menyusul."Anna berikan anggukan. Belum juga sehari, Anna bisa gambarkan sikap asli Aditya. Bukan hanya dingin dan kaku, ada sisi lain sebagai pesona tersendiri Aditya yang membuat wanita merasa nyaman di dekatnya. Salah satu yang Anna rasakan adalah tatapan dalam dan juga perhatian tiba-tiba Aditya pada lawan bicaranya."Tidak. Aku juga mau ke toilet."Anna dan Aditya kemudian berjalan berdampingan menuju ke toilet restoran. Anna berusaha tidak berjalan terlalu dekat atau bersinggungan kulit dengan tubuh Aditya. Suasana restoran sedang ramai, sehingga beberapa kali harus bertemu dan melewati sekelompok orang."Karena kita tadi menumpang sam
Keesokan harinya.Anna mendapat panggilan dari Alan lagi. Sebuah pemberitahuan yang mengejutkan baginya."Saya jadi asisten Bapak untuk acara besok?""Iya. Kamu harus datang ke kantor pagi seperti biasa.""Baik, Pak."Alan lalu memberikan Anna sebuah dokumen. "Pelajari itu. Buat salinan 5 copy. Besok memang acara pesta privat, tapi juga di gunakan sebagai ajang untuk promosi dan investasi."Sudah satu minggu, asisten Alan yang bernama Vera menyatakan resign. Alan tidak berencana mencari orang baru, tapi ingin menarik Anna sebagai ganti setelah melihat prestasi kerja dan tampilan wajah cantik Anna."Baik, Pak."Sesuai dengan perintah Alan, Anna sudah berada di lobby gedung tempat kantornya berada seperti jam kerja biasa. Mengingat hari ini adalah hari sabtu, keadaan sekitar lobby terlihat lengang.Sudah menunggu sampai hampir satu jam, bukannya kedatangan Alan jadi keterkejutan Anna, tapi wajah tampan Aditya dengan tampilan rapi yang membuat Anna kini terkesima."Anda ikut juga?" tanya
Jendela yang tidak tertutup, satu sisinya sedikit terbuka, hanya terlindungi sepasang vitrase polos berwarna putih sehingga angin senja menerpanya perlahan. Bila hembusan angin tepat menyingkap lebih lebar, maka seluruh tubuh dua orang yang berada di bagian dalamnya akan terlihat sangat jelas. Anna masih berdiri terperangah dengan apa yang di lihatnya. Atasan yang di kenal setia dan takut pada istrinya itu ternyata punya sisi lain yang baru di ketahuinya. "Itu beneran Pak Alan, kan ya?" Anna coba meyakinkan diri, masih dengan memegang ponsel dengan fitur video yang masih menyala. Aditya lalu berpaling padanya, di tutup kedua mata Anna dengan telapak tangan kirinya, dan tangan kanannya mengambil ponsel di tangan Anna. Aditya kemudian mematikan fitur video yang ternyata sudah lebih dari durasi maximalnya. "Iya. Dia Alan. Kamu baru tahu, ya? Aku sudah lama tahu. Makanya, dia suka ngilang nggak jelas, dan aku nggak pernah protes." "Karena kamu teman baiknya." "Bukan hanya soal i
"Kenapa nggak ada?" pertanyaan polos Anna. "Ya nggak kenapa-kenapa. Ini pantai pribadi buat para pemilik mansion. Itupun cuma ada tiga atau empat mansion sejenis seperti ini. Kalau kamu berjalan makin ke sana, kamu bakal di marahi penjaga mansion sebelah, dan jarak mansion ke mansion juga nggak deket. Nggak mau aku kalau kamu suruh keluar lewat mansion orang!" ketus Aditya. "Ayo. Aku bantu kamu naik!" putus Aditya dengan sedikit memaksa. Deg. Anna kaget mendengar perintah tanpa pilihan dari Aditya. Ia segera melepaskan tangannya dari genggaman Aditya. "Tapi..bagaimana..nanti..apa..kalau..itu.." Aditya semakin tertawa lepas. "Mau ngomong apa sih! Sudah ah! Kelamaan nunggu kamu ngomong! Belepotan ngomongnya. Ayo naik ke bahuku!" Bibir Anna menganga, Anna ingin menolak perintah Aditya tapi entah mengapa dia tidak bisa mengungkapkan secara gamblang. "Emangnya nggak apa-apa? Kalau... kalau..." Mengetahui Anna masih ragu, Aditya semakin memaksanya. "Sudah, nggak usah ngomong lagi!
Setelah selesai membasuh kaki dan membersihkannya, Anna merapikan pakaiannya serta menambah sedikit pulasan lipstik di salah satu toilet mansion. Saat memulaskan lipstick ini, Anna menyentuh bibirnya. Masih terasa bagaimana Aditya mengecup lembut hingga membuatnya terbuai. Tatapan Anna menjadi nanar saat pikiran yang sering mengganggunya datang lagi. Anna merasakan ketakutan kalau misalnya dia akan jatuh cinta pada sosok Aditya yang sudah beberapa kali buat hatinya gamang. Anna merasa seperti dalam persimpangan, yaitu ego memiliki Aditya menurut kata hatinya ataukah harus berpikir-pikir lagi bilamana nyatanya jadi wanita kedua dari sebuah pernikahan pasangan lain. "Dia pria beristri. Aku gila kalau menanggapi perasaannya." Anna menggeleng-gelengkan kepalanya berkali-kali. "Nggak nggak. Nggak boleh." Anna lalu merutuki jidatnya. "Apa yang ada di dalam pikiranmu sih, Anna? Kamu masih waras kok. Jauh-jauh dari pria masih berstatus nggak jelas itu. Walaupun katanya dalam proses cera
"Tidak bersamamu lagi? Maksudnya bagaimana ini?" cerca Allisa. Sempatkan melirik ke arah Anna yang tertunduk kikuk. Ada sebuah dugaan Obrolan keduanya terjeda, lantaran ponsel Aditya bergetar, sehingga dia memutuskan pembicaraan dengan Allisa. "Iya Alan? Iya baru saja aku mau hubungi kamu... Anna?" Aditya berpaling, melihat pada Anna. "Iya, dia masih bersamaku. Kenapa?" Aditya kembali lagi pada Allisa. "Allisa. Maaf ya. Aku sudah ada janji dengan seseorang. Kamu bisa hubungi Jessica sendiri nanti. Dia pasti senang bertemu denganmu lagi. Ajak dia hang out, pasti dia mau karena sepertinya itu juga yang dia butuhkan saat ini." Aditya melakukan anggukan pelan pada Anna sebelum berpamintan dengan Allisa. "Ok, bye Lis. Aku ada urusan lain. Kabari saja kalau kamu pengen main ke kantorku. You're always welcome." "Ok. Tentu saja. Kalau ada waktu aku akan main-main ke kantor barumu." "Ok. Ayo, Anna." Aditya lantas membawa Anna pergi meninggalkan Allisa. Anna tersenyum pada Allisa, te
Perkataan Ivan mempunyai dua sisi baginya. Pertama, sebagai sanjungan pertama yang di dengarnya selama di rumah ibunya Aditya, yang kedua berkaitan dengan emosi Aditya, yang akan bertambah sinis pada Ivan.Anna menatap terang-terangan ke arah Aditya yang tercengang dengan ucapan Ivan.'Hei singa, tenanglah! Dia hanya memujiku, bukan mau merebutku!'Aditya bergerak, sedikit memundurkan letak duduknya, mengendalikan rasa tidak nyaman."Iya, tentu saja. Karena dia istriku," tegasnya tanpa ekspresi. Anna mengira Aditya memang tidak berniat menampakkan ekspresi apa-apa, hanya bersikap dingin seperti biasanya.Pandangan Ivan beralih pada Anna, dan langsung di balasnya dengan senyuman. Rasanya naif buat Anna kalau tidak tersenyum pada pria itu, karena dia benar-benar seperti cowboy Texas dengan garis wajah old westnya yang tampan."Anna, kamu bekerja di perusahaan bidang apa?" tanya Ivan berat dan dalam. Ivan merasa mendapat peluang mengambil alih pembicaraan, yang tadi hanya di isi percakap
Selama perjalanan menuju ke rumah Ivan. Masih saja terjadi adu argumentasi antara Anna dan Aditya. Hal yang masih mengganjal pada pikiran, selalu saja segera di ungkapkan. "Apa pentingnya kamu bertemu dengan Fita?" tanya Aditya seketika. Merasa heran, karena Anna terlihat sangat ingin melakukannya, bahkan seperti memaksakan diri. "Dia orang pertama yang menyadarkanku suatu hal," sahut Anna mencoba memberi jawaban masuk akal buat Aditya yang rasional person. Memang benar, selama di pesawat menuju ke tempat Aditya berada saat ini, Anna banyak mengobrol dengan wanita itu. Seornag wanita yang sudah menikah tiga kali dan kemudian menyadari kalau pernikahan tidak hanya sebuah skin to skin relationship, tapi juga pengorbanan. Pengorbanan yang tidak hanya satu, dua, tapi bisa mengorbankan banyak hal, dengan harapan mendapatkan imbalan yang manis, dan itulah yang ingin di dapatkan dalam sebuah pernikahan. "Apa itu?" sahut Aditya sangat ingin tahu. Anna menghela napas dalam-dalam sebelum
Anna menatap sebuah benda dalam jepitan kedua jarinya dengan perasaan campur aduk. Sebenarnya, Aditya yang berniat membuangnya, tapi karena rasa ingin tahunya lebih besar dari rasa jijiknya, jadi Anna ngotot minta dia saja yang membuangnya. "Owh, jadi begini?" ucapnya pelan, lalu segera di buang cepat-cepat ke tempat sampah. Tanpa di sadari, Aditya telah membuntutinya dari arah belakang. Laki-laki itu tertawa tak tertahankan. "Sekarang kamu tahukan?" candanya, masih dengan tawanya. Anna berlari kecil melewati Aditya, "Aku nggak mau tahu lagi!" balas Anna, kedua tangannya melambai, ekspresi wajahnya cemberut. Aditya menyeringai. "Nggak mau tahu, tapi dianya yang ngebet duluan!" Setelah membersihkan diri bersama, masih menggunakan handuk mantelnya, Anna berlari ke arah lemari dan memilih baju yang akan di kenakan nanti. "Kalau kamu nggak mau datang, tak apa, aku janjian sama Fita aja," seru Anna sesaat setelah berpakain dan sambil menyiapkan hair dryer, mengeringkan rambu
Anna kemudian turun dari mobil secara enggan dan perlahan. Bertemu anak-anak saudara ibu Aditya di jadikan Anna sebagai kamuflase rasa canggung yang masih di rasakannya ketika harus berhadapan dengan adik-adik dari mendiang ibu Aditya. Anna berusaha mengajak mereka mengobrol di selingi canda."Jadi, kalian akan pulang sekarang? Tante juga akan pulang besok," ucapnya memulai pembicaraan, berjongkok dengan satu kaki menekuk, juga menggandeng si kembar. Mereka berdualah yang paling syok saat dirinya teriak kala bersama Aditya menjalin pelukan di bawah selimut pagi itu."Tante sama Om nanti ke sini lagi, kan?" tanya Kiki."Tentu saja. Tante bahkan sekarang sudah tahu mana yang Kiki dan mana yang Koko, kalian di bedakan dari garis panjang seperti lesung pada pipi kiri saat tersenyum, yaitu padamu Koko." balas Anna, lalu beralih cepat ke arah Koko, dan anak itu tersenyum setelah di kejutkan Anna yang di lakukannya secara sengaja itu.Kiki lebih cerewet dan banyak tanya, sedang Koko lebih ba
Ketidaktahuan cerita yang sebenarnya, membuat Anna berusaha bijak. "Para singa berasal dari kumpulan yang sama, apa kau tega membiarkan kami para heyna betina kelaparan?" sahutnya dengan melingkarkan kedua tangannya pada lengan Aditya dengan manja, membuat Fita jadi terkekeh, Ronny dan Ivan yang menyaksikan juga jadi tersenyum. Urat syaraf pada kening Aditya berdenyut, dia berpikir sejenak menentukan apa jawabannya sebelun akhirnyapun menjawab. "Lebih baik kau siapkan tidak hanya satu daging, karena itu tidak cukup bagi seorang singa yang mudah marah," balas Aditya diplomatis, lalu dia menarik tangan Anna mengajaknya meninggalkan area pemakaman dan orang-orang yang di temui setelah berpamitan.Setelah keduanya berjalan menjauh, Adityapun melanjutkan isi dalam pikiran yang belum di utarakan semua. "Singa dan heyna tidak pernah akur. Lain kali, sepertinya aku harus berhati-hati dengan wanita yang menganggap dirinya heyna betina di sampingku ini, kalau tidak aku akan menerkamnya terleb
"Anna, aku nggak pake pengaman lagi." Suara lembut bisikan Aditya pada kuping Anna yang masih terlelap. Suaranya memang lembut tapi justru membuat Anna sontak terperanjat. Tak perlu mengumpulkan nyawa dulu untuk bangun, karena ucapan Aditya itu sudah cukup berfungsi sebagai alarm yang memekakkan telinga Anna. "Ke kamar mandi! Buang-buang!" pekik Anna. Matanya langsung terbuka lebar walaupun kesadaran belum sepenuhnya. Meski begitu, artikel yang pernah di bacanya di sebuah kolom khusus wanita itu, segera saja terlintas. Anna berlari ke kamar mandi, dan sibuk sendiri, sedang Aditya tertawa sambil menggelengkan kepala. "Sebegitunya. Anna Anna," sahut Aditya tak habis pikir. Selama Anna di dalam kamar mandi, ponsel miliknya bergetar. Aditya meraihnya yang di letakkan Anna serampangan dan di temukannya di samping bawah nakas. Dengan tubuh masih di dalam selimut, Aditya meraih dengan sedikit membungkuk. Di lihat sebuah nama kontak yang di kenalnya, tapi justru karena itu Aditya
"Apa kau tersinggung Anna?"Pertanyaan dari Fatma membuat Anna menurunkan pandangannya lagi karena merasa tak enak. "Eh, hanya ingin mencoba jawab saja," tusukan kecil buat Anna, tapi bagaimanapun juga dia merasa sudah terlanjur mengatakannya, jadi Anna berusaha bersikap biasa saja.Anna melirik ke arah Aditya, merasa cemas karena laki-laki itu belum memberi reaksi, tidak berniat membela atau semacamnya. Aditya bahkan tidak membalas tatapannya.Tapi, meskipun tak menatap secara langsung, ternyata Aditya tersenyum dan beberapa detik kemudian baru membalas memandangnya dengan sayu. Rasanya jantung Anna berdetak seperti saat pertemuan pertama mereka saja."Aku benar-benar mencintai Anna. Memang kami belum lama berkenalan, aku sadar itu, tapi aku sangat mencintainya. Dia partner bisnis dan juga hidupku sekarang," reaksi Aditya yang benar-benar Anna harapkan terjadi.Senyuman lebarpun tak dapat Anna sembunyikan.Sejenak Anna menjadi pusat perhatian, semua mata tertuju padanya."Ehmm, aku r
'Berhentilah menatapku seperti itu. Kamu tahu, aku benci harus mengatakannya, tapi semua ini benar adanya. Sebenarnya, meski nggak aku akui secara jujur padamu, kehadiranmu lebih indah dari integritas ambisi dan mimpiku selama ini.'Anna membatin sambil melirik lagi ke Aditya yang sedang mengemudi dengan bersiul riang. Berbanding terbalik dengan perasaannya saat ini. Integritas mimpi dan ambisi yang belum sepenuhnya terwujud, masih mambuatnya galau.Memang benar, Aditya tidak pernah memaksa secara fisik atau kata-kata kalau mengenai pernikahan yang ingin Anna sembunyikan, tapi justru argumen-argumen kecilnya selalu masuk di akal dan membuat Anna berpikir, yah, masih dalam proses berpikir.Masalahnya, Anna masih menjadi penganut setia ajaran stashing, yaitu orang yang berakting seperti seorang lajang, padahal sebenarnya sudah memiliki pasangan karena alasan-alasan yang rasional. Rasionalitas menurut Anna tentunya."Apa kau sudah putuskan?" tanya Aditya di sela-sela fokus menyetirnya, b
'Kenapa aku jadi suka berpikir yang berlebihan ya?' Senyuman Aditya, tidak ... semua yang ada pada laki-laki itu, membuat Anna jadi seperti kehilangan akal sehat. Anna merasa selalu ada keinginan untuk menjalin malam berdua lagi dengannya. Bahkan sekarang, keinginan itu tanpa ragu lagi terang-terangan akan dia perlihatkan. Anna yakin saja, kalau tidak akan mendapat penolakan dari Aditya. "Jawab dong, nanti aku dapat lagi, nggak?" tanya Aditya manja. Anna menatap Aditya dengan suara parau, "Mas, apa perlu melakukannya sesering mungkin ya?" tanya Anna polos. Keingintahuan Anna karena hal seperti itu tak pernah terpikir olehnya. Aditya tertawa keras, tawa yang baru pertama kali Anna melihatnya pada laki-laki itu. "Kau lucu Anna. Kita ini pasangan yang sudah menikah Kalau surat nikah kita sudah aku daftarkan, aku ingin membuat rencana bulan madu, oh tidak aku rasa ... tidak perlu di rencanakan. Lebih indah kalau dadakan." Aditya terus merandai-andai, hingga rasanya Anna ingin menget