Share

Wanita Kedua
Wanita Kedua
Author: Sugar Baby

Efek Obat Perangsang

"Kirana. Masuk ke ruangan. Sekarang!" perintah seorang atasan bernama Alan.

"Sa saya, Pak?" sahut Anna yang telah berdiri dengan sikap bingung. Belum pernah ada sejarah Alan memanggil pegawai dengan jabatan rendah seperti dirinya.

"Iya. Siapa lagi? Cepat ke sini!" perintah Alan lagi lalu masuk ke ruangannya.

Anna lalu menuju ke ruangan Alan dengan pikiran penuh tanda tanya. "Selamat pagi. Iya, Pak?"

Alan menelusuri wajah cantik alami Kirana. Ada tujuan terselubung Alan menginginkan Anna untuk melakukan perintahnya kali ini, yaitu agar menarik rekan bisnisnya ini untuk mau bekerjasama dengannya. "Ada tugas untukmu. Setelah ini aku ada meeting penting, jadi antarkan dokumen ini ke temanku."

"Baik, Pak."

Alan menyodorkan sebuah tas file transparan dan berisi beberapa tumpukan berkas. Annapun meraihnya. "Saya berikan berkas ini di mana, Pak?" tanyanya setelah menerima lalu menaruh di pangkuannya.

"Gedung apartemen Oakwood. Apa kamu tahu, Anna?"

"Gedung apartemen setelah puteran balik lampu merah ini, Pak? Tentu saja saya tahu. Setiap hari saya lewat di situ."

"Bagus. Rekan bisnisku sudah menunggu di lobby. Pergilah sekarang dan sebelum jam makan siang kamu harus sudah balik ke sini."

"Siap, Pak!" sahutan sigap Anna setelah di beritahu telah di tunggu.

Anna kemudian bangkit dan segera keluar dari ruangan Alan ini, berjalan cepat ke meja kerjanya untuk mengambil tas dan dalam sebelum 5 menit sudah berada di luar kantornya.

"Sebelum makan siang... sebelum makan siang," gumam Anna berulang seraya melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul. 10.15. "Ok. Jalan kaki saja," putus Anna agar persingkat waktu daripada harus memutari mall dan beberapa gedung lain dengan kemungkinan besar terjebak kemacetan.

Anna berjalan cepat sambil terus memperhatikan jam tangannya.

"Baru sampai sini saja sudah makan waktu 10 menit!" keluh Anna ketika baru lepas dari gedung kantornya. "Huft. Semangat. Jangan kecewain atasanmu." Anna beri dorongan pada dirinya sendiri sambil mengusap peluh di dahi.

Setelah berada di depan gedung yang di tuju, Anna putuskan untuk berlari kecil. Tapi sial bagi Anna. Salah satu high heelsnya menyangkut di lubang antara beton cor-coran jalan yang retak, dan alhasil Annapun jatuh dengan menimbulkan dentum yang lumayan keras.

Beberapa security yang berjaga di pos di buat tercengang dengan apa yang terjadi dengan Anna ini. Rasa malu Anna jadi tak terhindar lagi.

"Eh, mbak. Hati-hati!" Salah seorang security berlari mendatangi Ann untuk membantunya berdiri. "Kakinya nggak apa-apa, Mbak?" tanyanya setelah melihat beberapa deretan luka baret dengan hiasan cairan merah semerah wajah Anna yang tak bisa menutupi rasa malunya.

"Terima kasih, Pak. Saya nggak apa-apa kok."

"Beneran nggak apa-apa? Di kantor security ada kotak obat. Non bisa obati dulu di sana," ucap sang security.

Anna menggeleng. "Nggak perlu, Pak..." Anna lalu melihat emblem nama pada seragam security ini. "Nama?" gumam Anna setelahnya.

"Iya, Non?"

"Siapa namanya ya?!" pekik Anna panik.

"Namanya siapa? Nama saya Anwar, Non."

Anna menggeleng-geleng lagi. "Bukan... bukan Bapak." Anna jadi semakin panik, sambil menoleh ke belakang. Nggak akan mungkin kembali ke kantornya hanya untuk bertanya pada Alan lagi siapa nama temannya yang harus dia temui.

"Oh, ya. Maaf ya Pak Anwar, saya buru-buru. Terima kasih ya, Pak." Anna berjalan cepat meninggalkan security yang terus memperhatikan Anna hingga dia benar-benar tak terlihat berbelok ke arah pintu lobby gedung lalu duduk di salah satu sofa lobby lounge bergaya modern ini.

"Aduuh, Anna. Kenapa bisa nggak tanya dulu siapa nama orangnya, sih!" sesal Anna karena kecerobohannya sendiri. Annapun terpaksa menghubungi Alan untuk menanyakannya dengan rasa takut.

Sudah lima kali lakukan panggilan, tapi Alan belum juga berikan jawaban. Anna semakin gusar. Jalan satu-satunya hanyalah menunggu, memendarkan tatapan di area lobby lounge.

Anna terdiam membeku ketika seorang laki-laki keluar dari salah satu lift dan membuatnya terpana.

Laki-laki itu berwajah tampan, berpostur tinggi atletis, dan berpenampilan rapi. Saat Anna memperhatikan pria itu, ternyata pandangan pria itu tertuju juga kepadanya, sehingga mereka saling memandang sekarang.

Anna segera membuang muka untuk menutupi salah tingkahnya. Setelah beberapa detik Anna dapat melihat kalau pria itu sedang menelpon seseorang.

"Telpon!" pekik Anna tiba-tiba, baru menyadari kalau dia belum juga mendapat tanggapan dari Alan.

Annapun kembali mencoba menghubungi Alan, tapi tetap saja Alan tidak juga mengangkat.

Satu ide kemudian tercetus. Anna kemudian mengambil berkas dari dalam tasnya, lalu membolak-balikkan bagian isinya untuk mencari sekiranya ada nama rekan bisnis atasannya, lalu menanyakannya pada resepsionis. Annapun berpekik senang seolah telah mendapatkan solusi.

"Aahh... Aditya Winata!"

"Iya?"

Anna menoleh. Ternyata suara dari pria itu.

"Maaf, Pak. Anda Pak Aditya?" tanya Anna untuk memastikan.

"Iya, dan kamu ..." Aditya memperhatikan penampilan Anna, dan apa yang di bawanya, lalu membuat kesimpulan. "Apa kamu pegawai temanku, Alan?"

"Iya, Pak." Anna menyodorkan tangan untuk perkenalan. "Saya Kirana. Ini dokumen dari Pak Alan."

Saat meraih dokumen tersebut, suara deringan dari ponsel membuat Aditya kemudian berbalik lalu menerima panggilan. "Iya, Alan? ... Sudah ketemu sama asistenmu ... Oh, begitu. It's oke, asal dia sudah jalankan tugasnya. Yes, bye." Aditya kemudian beralih pada Anna. "Barusan atasanmu yang telpon. Dokumen ini harus aku baca dan tanda tangani terlebih dulu. Setelah meeting Alan rencana menyusul ke sini. Sebaiknya kamu ikut aku."

"Ikut kemana, Pak?" tanya Anna dengan polosnya.

"Ikut ke kondominiumku."

"Baik, Pak." Tak ada jawaban lain bagi Anna selain harus mengikuti perintah Ravi ini.

"Duduklah dulu. Aku buatkan minuman." Hal ini Aditya lakukan karena merasakan ada sesuatu berat dalam dirinya. “Argh … kenapa rasa panasnya nggak mau hilang juga?” keluhnya dalam gumaman. Fokusnya jadi terbelah antara menuang jus jeruk kemasan dengan rasa terbakar dari dalam tubuhnya.

Ya, semalam sejak meminum minuman yang dipesan oleh Jessica–istrinya, hasrat dalam dirinya seolah menguar hingga membuat kepalanya terasa sangat pusing dengan tubuh yang panas seperti butuh pelampiasan.

Bahkan Aditya sempat tergoda saat melihat Jessica memakai dress dengan belahan dada rendah, padahal sebelumnya hasrat itu sama sekali tidak ada, sepadam perasaan cintanya pada istrinya tersebut karena kekecewaan.

Setelah menuangkan minuman tersebut, Aditya berpamitan pada Anna untuk mandi sebentar, berharap rasa panas di tubuhnya bisa mereda, dan beberapa menit kemudian bunyi bel apartemennya terdengar.

Aditya pun keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan bathrobe yang menampilkan dada bidangnya. "Ada siapa?" tanyanya pada Anna yang sudah menutup pintu.

"Petugas keamanan, Pak. Saya bilang Bapak sedang mandi, jadi orangnya rencana balik lagi nanti."

Anna yang polos, sontak segera mengalihkan wajah dengan penampilan Aditya saat ini. "Ma maaf Pak," ucapnya malu sendiri. Hal ini di lakukan Anna sembari menunggu perintah lanjutan Aditya.

Tak diketahui Anna, Aditya sedang duduk gelisah disofa, berjuang melawan rasa terbakar yang menyiksa ini. Pertemuan semalam dengan Jessica kembali berakhir seperti biasanya. Aditya sudah terlanjur kecewa akan kelakuan Jessica yang kembali terjerumus dengan kehidupan hedonnya, sampai adanya laporan dari salah satu teman Jessica menunjukkan foto-foto Jessica berpesta dengan beberapa pria lajang bayaran.

Aditya kini menyadari, kemungkinan semalam Jessica telah memberinya minuman yang di campur dengan obat-obatan tertentu, dan kemungkinan besar adalah obat penambah stamina dan gairah khusus bagi pria.

Kini dorongan sesuatu yang tak dimengertinya ini semakin membakar dan menyiksa. Aditya spontan berdiri, lalu mendekati Anna yang sudah balikkan tubuh, kemudian ditarik dalam pelukannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status