“Maksudmu mengakui kalau anak itu anak kandungku? Apa kamu lupa dengan test DNA yang akan dilakukan?” tanya Angga marah saat mengetahui dengan jelas arah pembicaraan Steven. “Jadi itu anakmu? Kamu berselingkuh dengan pacar kakakmu sendiri dan sekarang kamu tidak ingin ketahuan oleh kakakmu, makanya mengorbankan orang lain,” Angga berkata dengan takjub.
Angga berdiri tak ada gunanya dia di sini dia pikir hanya Rudi Hartono yang bertindak gila tapi anaknya lebih gila lagi, mengakui anak itu anaknya yang benar saja, Dina bisa langsung pergi darinya, dia tak segila itu hanya karena Harta, jika boleh berbangga diri Angga lebih dari mampu untuk memberikan sebuah restoran untuk Dina.Kekayaan yang dia miliki memang masih kalah jauh dibandingkan dengan keluarga Hartono, tapi dia tak akan berbuat serendah itu hanya demi uang, sudah cukup dia menyesali keputusannya yang ceroboh dengan menerima permintaan Rudi Hartono dulu jangan sampai putranya juga ikut memanfaatkannya.“TunggDina menatap prihatin pada laki-laki yang terduduk lemas di depannya. Wajah tampannya terlihat pucat, tatapan matanya yang biasanya tajam kini kosong seolah tak ada lagi kehidupan di dalamnya.Pemandangan itu terlihat menyedihkan, rasa iba itu langsung menyeruak dalam hati Dina, laki-laki di depannya ini begitu shock dengan hasil test DNA bayi merah yang baru saja lahir beberapa hari yang lalu, jika biasanya bayi lahir disambut dengan tawa bahagia orang tuanya, tapi bayi ini lahir dengan berbagai penolakan, oleh orang yang seharusnya mencintai dan menyayanginya. Bukan salah sang bayi memang dia tak pernah bisa memilih dari rahim siapa dia akan terlahir.Angga yang duduk di samping Dina hanya bisa memandang laki-laki di depannya, tidak ada yang bisa dia lakukan untuk membantu, lagi pula itu salahnya sendiri yang terlalu percaya pada Keira. Diam-diam Angga merasa lega, baginya selembar kertas itu bisa membuktikan kalau dia bukan ayah anak itu. Tapi berbeda artin
"Anton terlihat sangat terpukul," kata Dina saat mereka sudah berjalan di lorong rumah sakit. "Tentu saja, dia terlalu menyayangi saudaranya dan mencintai Keira, tapi ternyata dua orang itu berkhianat padanya."Dina sendiri menggeleng tak habis pikir, cara yang mereka lakukan memang tak biasa untuk ukuran orang waras.Kasihan sekali Anton yang harus berada di tengah keluarga yang penuh tipu daya itu, laki-laki itu terlalu lurus untuk ukuran anggota keluarga Hartono."Apa yang akan terjadi pada bayi itu, secara hukum dia memang anakmu tapi jika keluarga itu yang mengasuh pasti akan ada gosip lagi?" tanya Dina yang begitu penasaran dengan nasib bayi itu."Entahlah, mungkin akan dibesarkan di luar negeri." "Bersama Keira? Kamu bilang Keira juga akan dibawa ke luar negeri?" Angga menggeleng. Keira memang bukan ibu yang baik untuk anak manapun setidaknya untuk sekarang, tapi bagaimanapun buruknya seorang ibu tetap saja seorang anak akan lebih baik dekat den
Dina memandang sang suami dengan menuntut, tapi Angga yang sedang dalam mode panik itu tak mau menjawab apapun pertanyaan Dina, laki-laki itu berkonsentrasi untuk melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh, membuat Dina akhirnya menyerah, hatinya diliputi kekhawatiran apalagi saat mobil yang mereka tumpangi memasuki pelataran rumah sakit yag baru beberapa jam lalu mereka tinggalkan. “Apa terjadi sesuatu pada Keira dan anaknya? Kenapa kamu terlihat panik begitu?” Bukannya menjawab Angga malah keluar dari mobilnya dan membantu Dina turun. “Tetap di sampingku, bahkan jika kamu ingin ke toilet sekalipun.” “Hah!” Hanya itu yang bisa Dina katakan, perbedaan tinggi badan mereka yang mencolok membuat Dina kesulitan mengikuti langkah kaki panjang Angga. “Ih, Mas lepaskan, cepat-cepat jalan saja sendiri,” sentak Dina kesal dengan tingkah laku Angga, dia juga penasaran apa yang terjadi, kenapa suaminya ini tidak mengatakan padanya, meskipun tergesa-gesa mereka berjala
Steven membanting pintu ruangan dengan kasar, dia bukan marah pada kakaknya yang telah memukulnya atau marah pada ayahnya yang melakukan test DNA hingga terbuka semuanya. Dia marah pada dirinya sendiri, entah bagaimana dia bisa memaafkan dirinya sendiri, tujuannya dulu hanya ingin memisahkan sang kakak dengan wanita parasit itu, tapi nyartanya dia memang lemah , Steven malah tergoda oleh wanita murahan itu dan berakhir dengan mereka berbagi ranjang yang sama, hanya sekali memang, kenyataan yang sangat disesali oleh Steven. Dia memang bukan laki-laki baik, dia sering bergonta ganti wanita di atas ranjangnya, tapi meniduri pacar kakaknya yang dia tahu hanya wanita culas yang ingin memanfaatkan sang kakak tidak pernah ada dalam benaknya. Apalagi saat dia menyadari sesuatu, malam itu dia sama sekali tidak memakai pengaman. Dia hanya bisa berharap kalau wanita itu meminum pil kb. Hatinya kembali tenang saat wanita itu tak muncul lagidalam hidupnya. Dan terakhir dia mend
“Kita kembali aku bilang,” seru Keira marah. Kecepatan mobil bukannya berkurang malah bertambah, bahkan saat ada sebuah belokan, Steven juga tak memelankan laju mobilnya yang membuat Keira menjerit keras. “Kamu ingin kita mati bersama, ya,” bentak keira kasar untuk pertama kalinya dia kehilangan sikap manis dan lemah lembutnya di hadapan Steven. Steven malah tertawa seperti orang tidak waras membuat Keira makin takut. “Kenapa apa kamu takut,” ejeknya. “Ternyata Keira yang manis dan lembut takut mati juga,” lanjutnya semanis racun. “Seharusnya kamu siap untuk itu saat berani mempermainkan keluargaku, kamu pikir kamu seberharga itu untukku, kamu hanya sampah yang ingin aku buang.” Jika Keira marah dengan ucapan Steven wanita itu sudah tak berani menampakkannya, dia tahu saat ini dia sedang dalam bahaya, Steven orang yang terkenal kejam dan licik, dia bukan Angga atau Anton yang akan bersimpati padanya saat dia sudah menampilkan wajah memelas. Keira mem
Angga bangun dari tidurnya dilihatnya Ara masih tidur pulas di sampingnya sambil memeluk guling kelinci kesukaannya. Dipandanginya ponsel yang menampilkan pesan itu, sejenak dia menimbang. Lalu beranjak berdiri, dia ingin membangunkan Dina, diketuknya pintu kamar beberapa kali tapi tak ada jawaban. Ini mmeang sudah dini hari waktunya orang tidur lelap. Angga mencoba membuka pintu kamar Dina, tapi tak disangka kamar itu tak terkunci, apa Dina berharap dia akan masuk ke kamar ini tadi malam? Pikir Angga percaya diri. Digelengkan kepalanya pelan sekarang bukan saatnya memikirkan hal itu, ada hal yang harus dia lakukan terlebih dahulu. “Din, bangun bentar,” kata Angga lembut sambil mengelus pipi istrinya, lima tahun berumah tangga dnegan Dina, Angga sudah sangat hapal dengan kebiasaan istrina itu, Dina bukan orang yang susah dibangunkan, bahkan jika anak-anak menangis dikamar lainpun, Dina yang sedang tertidur lelap akan bangun. Benar saja sang istri langsung te
“Keira meninggal dan Steven kritis.”Dina menatap ponselnya dengan pandangan tak percaya. Dia memang tidak terlalu menyukai Keira yang menjadi duri dalam pernikahannya, tapi bukan berarti dia senang dengan berita meninggalnya wanita itu, apalagi ada bayi yang dia tinggalkan. Malang sekali bayi itu, sudah ditolak sana sini, sekarang orang yang paling berjasa mengantarkannya hadir di dunia ini, bahkan memilih pergi. Dina yang sudah hidup di panti sejak kecil tentu saja tahu bagaimana rasanya hidup tanpa orang tua. “Ada apa, Din, kamu baik-baik saja?” Sasa lewat di depan Dina memandang wanita itu dengan khawatir, wajah Dina terlihat pucat.Dina mendongak dan memandang rekannya itu yang juga sedang memandangnya dengan khawatir. “Aku baik-baik saja, Mbak hanya barusan ada berita duka.” “Siapa yang meninggal?” Dina menghela napas lagi. “Keira,” jawabnya singkat. Sasa sedikit terkejut, dia tentu saja tahu siapa Keira. "Keira yang istri muda sua
Dina mendengar sirine ambulance berbunyi tepat saat dia sudah melangkah ke lantai bawah setelah berganti pakaian. Beberapa orang langsung menyambut jenazah dan mengurusnya sebagaimana layaknya. Dina hanya diam, sejujurnya dia tak pernah menyaksikan secara langsung pengurusan jenazah orang terdekatnya, karena sejak kecil dia juga tak memiliki orang dekat. Jadi dia tak tahu harus melakukan apa. Dilihatnya sang mama mertua yang masih duduk diam menyaksikan itu semua, wajanya memang terlihat sendu tapi tak ada air mata yang menetes di matanya. Dina berjalan mendekat. “Mama tidak kesana?” tanya Dina. Sang mama hanya menggeleng, dan tetap duduk di tempatnya. “Mama di sini saja, kmau tolong sambut tamu yang melayat.” Dina memandang mertuanya dalam. Lalu mengangguk dan melangkah pergi. Dia akan menemani Angga menyambut pelayat. “Kamu sudah di sini, Hen?” tanya Dina yang melihat sekretaris suaminya itu berdiri memberikan pengarahan pada beberapa orang. “Iy