Dina memandang sang suami dengan menuntut, tapi Angga yang sedang dalam mode panik itu tak mau menjawab apapun pertanyaan Dina, laki-laki itu berkonsentrasi untuk melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh, membuat Dina akhirnya menyerah, hatinya diliputi kekhawatiran apalagi saat mobil yang mereka tumpangi memasuki pelataran rumah sakit yag baru beberapa jam lalu mereka tinggalkan.
“Apa terjadi sesuatu pada Keira dan anaknya? Kenapa kamu terlihat panik begitu?”Bukannya menjawab Angga malah keluar dari mobilnya dan membantu Dina turun. “Tetap di sampingku, bahkan jika kamu ingin ke toilet sekalipun.”“Hah!”Hanya itu yang bisa Dina katakan, perbedaan tinggi badan mereka yang mencolok membuat Dina kesulitan mengikuti langkah kaki panjang Angga.“Ih, Mas lepaskan, cepat-cepat jalan saja sendiri,” sentak Dina kesal dengan tingkah laku Angga, dia juga penasaran apa yang terjadi, kenapa suaminya ini tidak mengatakan padanya, meskipun tergesa-gesa mereka berjalaSteven membanting pintu ruangan dengan kasar, dia bukan marah pada kakaknya yang telah memukulnya atau marah pada ayahnya yang melakukan test DNA hingga terbuka semuanya. Dia marah pada dirinya sendiri, entah bagaimana dia bisa memaafkan dirinya sendiri, tujuannya dulu hanya ingin memisahkan sang kakak dengan wanita parasit itu, tapi nyartanya dia memang lemah , Steven malah tergoda oleh wanita murahan itu dan berakhir dengan mereka berbagi ranjang yang sama, hanya sekali memang, kenyataan yang sangat disesali oleh Steven. Dia memang bukan laki-laki baik, dia sering bergonta ganti wanita di atas ranjangnya, tapi meniduri pacar kakaknya yang dia tahu hanya wanita culas yang ingin memanfaatkan sang kakak tidak pernah ada dalam benaknya. Apalagi saat dia menyadari sesuatu, malam itu dia sama sekali tidak memakai pengaman. Dia hanya bisa berharap kalau wanita itu meminum pil kb. Hatinya kembali tenang saat wanita itu tak muncul lagidalam hidupnya. Dan terakhir dia mend
“Kita kembali aku bilang,” seru Keira marah. Kecepatan mobil bukannya berkurang malah bertambah, bahkan saat ada sebuah belokan, Steven juga tak memelankan laju mobilnya yang membuat Keira menjerit keras. “Kamu ingin kita mati bersama, ya,” bentak keira kasar untuk pertama kalinya dia kehilangan sikap manis dan lemah lembutnya di hadapan Steven. Steven malah tertawa seperti orang tidak waras membuat Keira makin takut. “Kenapa apa kamu takut,” ejeknya. “Ternyata Keira yang manis dan lembut takut mati juga,” lanjutnya semanis racun. “Seharusnya kamu siap untuk itu saat berani mempermainkan keluargaku, kamu pikir kamu seberharga itu untukku, kamu hanya sampah yang ingin aku buang.” Jika Keira marah dengan ucapan Steven wanita itu sudah tak berani menampakkannya, dia tahu saat ini dia sedang dalam bahaya, Steven orang yang terkenal kejam dan licik, dia bukan Angga atau Anton yang akan bersimpati padanya saat dia sudah menampilkan wajah memelas. Keira mem
Angga bangun dari tidurnya dilihatnya Ara masih tidur pulas di sampingnya sambil memeluk guling kelinci kesukaannya. Dipandanginya ponsel yang menampilkan pesan itu, sejenak dia menimbang. Lalu beranjak berdiri, dia ingin membangunkan Dina, diketuknya pintu kamar beberapa kali tapi tak ada jawaban. Ini mmeang sudah dini hari waktunya orang tidur lelap. Angga mencoba membuka pintu kamar Dina, tapi tak disangka kamar itu tak terkunci, apa Dina berharap dia akan masuk ke kamar ini tadi malam? Pikir Angga percaya diri. Digelengkan kepalanya pelan sekarang bukan saatnya memikirkan hal itu, ada hal yang harus dia lakukan terlebih dahulu. “Din, bangun bentar,” kata Angga lembut sambil mengelus pipi istrinya, lima tahun berumah tangga dnegan Dina, Angga sudah sangat hapal dengan kebiasaan istrina itu, Dina bukan orang yang susah dibangunkan, bahkan jika anak-anak menangis dikamar lainpun, Dina yang sedang tertidur lelap akan bangun. Benar saja sang istri langsung te
“Keira meninggal dan Steven kritis.”Dina menatap ponselnya dengan pandangan tak percaya. Dia memang tidak terlalu menyukai Keira yang menjadi duri dalam pernikahannya, tapi bukan berarti dia senang dengan berita meninggalnya wanita itu, apalagi ada bayi yang dia tinggalkan. Malang sekali bayi itu, sudah ditolak sana sini, sekarang orang yang paling berjasa mengantarkannya hadir di dunia ini, bahkan memilih pergi. Dina yang sudah hidup di panti sejak kecil tentu saja tahu bagaimana rasanya hidup tanpa orang tua. “Ada apa, Din, kamu baik-baik saja?” Sasa lewat di depan Dina memandang wanita itu dengan khawatir, wajah Dina terlihat pucat.Dina mendongak dan memandang rekannya itu yang juga sedang memandangnya dengan khawatir. “Aku baik-baik saja, Mbak hanya barusan ada berita duka.” “Siapa yang meninggal?” Dina menghela napas lagi. “Keira,” jawabnya singkat. Sasa sedikit terkejut, dia tentu saja tahu siapa Keira. "Keira yang istri muda sua
Dina mendengar sirine ambulance berbunyi tepat saat dia sudah melangkah ke lantai bawah setelah berganti pakaian. Beberapa orang langsung menyambut jenazah dan mengurusnya sebagaimana layaknya. Dina hanya diam, sejujurnya dia tak pernah menyaksikan secara langsung pengurusan jenazah orang terdekatnya, karena sejak kecil dia juga tak memiliki orang dekat. Jadi dia tak tahu harus melakukan apa. Dilihatnya sang mama mertua yang masih duduk diam menyaksikan itu semua, wajanya memang terlihat sendu tapi tak ada air mata yang menetes di matanya. Dina berjalan mendekat. “Mama tidak kesana?” tanya Dina. Sang mama hanya menggeleng, dan tetap duduk di tempatnya. “Mama di sini saja, kmau tolong sambut tamu yang melayat.” Dina memandang mertuanya dalam. Lalu mengangguk dan melangkah pergi. Dia akan menemani Angga menyambut pelayat. “Kamu sudah di sini, Hen?” tanya Dina yang melihat sekretaris suaminya itu berdiri memberikan pengarahan pada beberapa orang. “Iy
“Maaf Pak, ada wartawan menuju kemari, kita harus membawa Pak Anton pergi.” Hendra terlihat panik. “Bawa Anton ke mobil dan kembali ke rumah sakit,” perintah Angga pada Hendra. “Kita juga harus pergi.” lalu menggandeng tangan sang istri lembut. Angga memilih ikut mobil yang dikemudikan Pak amin bersama Dina. Sedangkan Anton dimasukkan ke dalam mobil yang dkemudikan oleh Hendra. Bersama mereka meninggalkan pelataran pemakaman yang sepi itu. sedangkan mobil Angga sendiri dikemudikan oleh anak buahnya menuju tempat lain untuk mengecoh mereka. Berita meninggalnya Keira dan juga kecelakaan yang menimpa Steven Hartono memang sudah tersebar luas, tapi sedapat mungkin mereka menutupi kenyataan kalau mereka berada salam satu mobil yang sama.Skandal pasti tidak dapat dihindarkan, apalagi jika berita bunuh diri yang dilakukan oleh Anton juga tersebar luas. Dunia bisnis yang mereka geluti memang sangat kejam, musibah yang menimpa sebuah keluarga bisa mereka jadikan ala
Sejak kembali dari rumah sang mama tadi malan untuk peringatan kematian Keira, Angga yang sedang menunggu Dina menyiapkan makanan untuknya, langsung tertidur di kamar Dina, bahkan Dina harus berusaha keras untuk membangunkannya, Angga terlihat sangat lelah.Dina tahu beberapa hari ini memang suaminya itu kurang tidur. Berurusan dengan keluarga Hartono yang sering berpikiran diluar nalar, serta Keira yang terlalu manja, tentu bukan hal yang mudah.Dina menyadari hal itu, jadi dengan terpaksa dia tidur di sebelah Angga, karena tak mungkin dia tidur bersama Ara, apalagi morning sickness yang dia alami tak kenal waktu.Dan pagi ini Dina terbangun dengan belitan erat di tubuhnya seperti belitan ular, dan saat membuka matanya, tangan dan kaki Angga sudah memeluk tubuhnya dengan erat.Dengan hati-hati Dina melepaskan pelukan itu dan membersihkan diri terlebih dahulu.Angga menggeliatkan tubuhnya, tidurnya benar-benar nyenyak, entah karena tubuhnya yang memang benar-bena
Angga tidak menyangka pekerjaan membuat rujak lebih sulit dari pada memeriksa laporan keuangan perusahaan. Padahal dia sudah dibantu oleh Bibi yang sudah berpengalaman membuat berbagai makanan sejak dia masih kecil, termasuk rujak yang diinginkan Dina ini. “Ngupas buahnya jangan terlalu tipis atau tebal, Tuan, harus pas.” Dan Angga tentu saja kesulitan mengartikan kupasan buah yang pas itu bagaimana selama ini dia hanya tahu buah yang sudah dipotong dan tertata rapi di atas piring, dan dengan senang hati akan dia masukkan ke dalam mulutnya. Siapa yang menyangka prosesnya akan seribet ini. “Apa bibi nggak punya pisau khusus, agar ketebalan kupasannya sama di semua tempat.” Bibi hanya bisa memandang Angga dengan bengong, dia tidak pernah tahu ada pisau khusus untuk mengupas mangga muda, setahunya asal pisaunya bersih dan tajam bisa untuk mengupas mangga. “Nggak ada, Tuan, bibi biasanya juga pakai pisau itu, biar bibi kupaskan saja kalau begitu,” tawar Bibi y
"Bu Dina dilarikan ke rumah sakit."Pesan salah satu anak buahnya, membuat Angga langsung meninggalkan semua pekerjaannya.Dia melangkah terburu-buru, ingin rasanya dia terbang supaya cepat sampai, dia merutuki dirinya sendiri kenapa harus ada masalah di kantor saat seperti ini, padahal dia sudah berusaha membereskan pekerjaannya dan menemani Dina yang sedang hamil tua. Syukurlah Bara sangat bisa diandalkan di saat seperti ini, dia juga meminjamkan sang istri, Hera untuk menjaga Dina."Bagaimana keadaan Dina?" tanya Angga tak sabar saat melihat Hera terduduk di kursi tunggu."Masih ditangani dokter."Tanpa membuang waktu Angga menuju ruangan yang ditunjuk Hera."Eh pak kita tunggu di sini saja nggak boleh masuk!" Tapi Angga tampaknya tak peduli."Sus, dimana istri saya?" tanyanya pada seorang perawat."Istri Bapak siapa?" tanya sang perawat bingung."Dina, Sus, istri saya yang akan melahirkan."Untunglah sang perawat punya kesabaran lebih
“Ciee mbak Dina... sebentar lagi akan jadi mertuanya Pak Brian.” Dina bahkan baru saja menginjakkan kakinya di lobi kantor, terdengar suara membahana Siska yang membuatnya melongo tak mengerti. Dia akan jadi mertuanya Pak Brian, seingatnya dia memang punya dua orang putri cantik Arsyi dan Ara dan usia keduanyapun masih anak-anak. Tak mungkinkan Brian mau menikahi salah satu dari dua bocilnya itu. Jadi anak yang mana yang dimaksud Siska?“Kamu belum sarapan ya, Sis, sana ke kantin dulu atau ke cafe depan, biar kamu lebih fokus ngomongnya,” kata dina sedikit jengkel. “Gratis, Mbak?” “Apanya?’ “Makannyalah katanya tadi suruh makan.” “Makannya gratis, tapi setelah itu kamu harus cuci piring.” “Mbak Dina kayak ibu tiri saja. kejam.” “Bahkan anak tiriku bilang aku baik hati.” “Ups aku lupa kalau memang mbak Dina ibu tiri.” Dina segera meneruskan langkahnya , ngobrol dengan Siska tak akan ada habisnya. “Eh, Mbak tunggu, tapi aku serius soal Pak Brian yang akan menikah dan jadi m
Brian memasuki kamarnya dengan hati bercabang, dia sebenarnya juga terkejut dengan keputusannya sendiri yang mengatakan kalau Sinta adalah calon istrinya. Dan lebih buruknya lagi dia mengatakannya di depan sang mama, wanita yang sangat dia sayangi dan tidak ingin dia kecewakan. Sekarang apa yang akan dia lakukan? Tetap menikahi Sinta seperti perkataannya tadi atau menjelaskan semuanya dengan resiko membuat mamanya kecewa. “Apa kamu yakin mau menjadikannya istri dan atas dasar apa keinginanmu itu?”Pertanyaan sang mama seolah terus terngiang di dalam otaknya membuatnya pusing luar biasa, dia bahkan tak bisa menjawab pertanyaan itu dan dengan pengecut, dia malah mengalihkan pembicaraan pada hal lain. Syukurlah sang mama cukup bijak untuk tak terus mendesaknya dan memberikan waktu untuknya menelaah rasa yang ada di hati.Tapi sekarang dia bingung sendiri apa yang harus dia katakan pada Sinta, gadis itu pasti juga membuatuhkan penjelasan darinya. Mulutnya kadang-
Mobil yang dikendarai Brian tiba di halaman rumah yang ditunjukkan Sinta. Dengan senyum terima kasih atas semua kebaikan Brian, gadis itu mengangguk dan turun dari dalam mobil.“Sin, tunggu.” Gadis itu menoleh dan terlihat Brian sudah turun dari mobil mewahnya. “Telepon aku jika kamu butuh tumpangan untuk pulang.” Sinta sudah akan membuka mulutnya menjawab tawaran Brian, tapi tubuhnya langsung tersentak saat sebuah gagang sapu memukul punggungnya dengan keras, sakit sekali. “Dasar anak tak tahu diuntung, sudah numpang bikin malu saja, berikan gajimu padaku.”Rasa sakit di punggungnya bahkan jadi tak terasa saat dia bersitatap dengan mata Brian yang memandang semua ini dengan tatapan tak percaya. “Iya, Bi, kita masuk dulu.... terima kasih sudah mengantar saya, Pak.” Sang Bibi memandang Brian dari atas sampai bawah, penampilan Brian yang sangat tampan dan juga semua benda yang melekat dalam tubuhnya meneriakkan kata mahal... dan jangan lupakan mobil me
Dalam kegelapan, Brian terduduk diam dalam mobilnya yang sewarna malam, matanya begitu tajam mengawasi seorang gadis yang terlihat tersenyum bersama teman-temannya di seberang sana. Sampai satu persatu gadis-gadis itu pergi dari sana, tinggallah Sinta, gadis mungil dengan kuncir ekor kuda yang sesekali melihat arloji di pergelangan tangannya. Brian terus mengamati dalam diam, bahkan sampai setengah jam, yang ditunggu gadis itu tak juga datang, tapi gadis itu tetap menunggu di sana. Malam yang kian beranjak membuat suasana menjadi sepi, bahkan semua toko yang tadi masih ramai dengan pembeli sudah membenahi barang dagangannya. “Apa dia tak takut semakam ini pulang sendiri,” gumam Brian tak senang. Dia sudah akan membuka pintu mobilnya, saat sebuah motor menghampirinya dan terlihat gadis itu menerima uluran helm dari si pengendara dan bergegas naik keboncengannya. Brian cepat-cepat menstater mobilnya untuk mengikuti motor itu sambil terus menjaga jarak ama
Setelah dengan penuh perjuangan mengantar Winda ke rumahnya, akhirnya Brian bisa bernapas lega dia bisa terbebas dari wanita itu, dia bahkan tak habis pikir bagaimana mamanya yang biasanya sangat kalem dan anggun itu bisa menyukai wanita agresif seperti itu untuk dikenalkan padanya. Apa dia terlihat setak laku itu, usianya baru tiga puluh dua tahun, usia yang belum terlalu tua untuk laki-laki sepertinya. Dan yang lebih menyebalkan lagi, wanita itu dengan tak tahu malunya mengambil hadiah yang akan dia berikan pada Sinta. Brian menghela napas dalam berusaha menetralkan perasaannya, dia ingin menemui Sinta, tapi tentu saja tidak dengan tangan kosong. “Ah! Dasar sialan,” maki Brian kesal. Dia harus memikirkan hadiah apa yang bisa dia bawa untuk Sinta, memang bukan keharusan, Sinta juga tidak sedang berulang tahun, tapi tetap saja, Brian merasa tak nyaman.Dengan tergesa dia meminggirkan mobilnya, sejenak dia menimbang apakah akan menghubungi Dina atau S
Brian menatap pita rambut itu dengan senyum terselit di bibirnya, dia bisa membayangkan Sinta pasti akan terlihat sangat manis mengenakan ini. Satu minggu sudah Brian ada di Bali, berlibur sekaligus bekerja, karena meski dia mengajukan cuti kerja, nyatanya pikirannya malah melayang kemana-mana. Bahkan saat mengikuti Arga melakukan pemotretan ke berbagai tempat dan melihat pemandangan yang sangat indah termasuk wanita-wanita cantik yang bertebaran tak membuatnya bisa melupakan bayangan wajah belia yang selalu menghantui pikirannya. Jadi dia memutuskan tetap bekerja di hari kedua cutinya, yang membuat sang paman yang menerima laporan entah dari siapa menghubunginya hanya untuk menertawakan keputusan anehnya. “Kamu memang tak pantas untuk cuti, sudahlah bekerja saja, sedekahkan cutimu untuk yang membutuhkan.”Brian hanya bisa tersenyum kecut, meski pamannya di seberang sana pasti tak bisa melihatnya, mau apalagi, tidak mungkinkan dia mengomel pada pamannya yang
Sebuah proyek pembangunan sekolah luar biasa di Bali. Brian memandang informasi yang baru saja masuk ke ponselnya dengan penuh pertimbangan. Ini memang bukan tugasnya untuk meninjau secara langsung, tapi dia bisa mengajukan diri untuk ikut meninjau ke sana, memastikan sarana dan prasarana apa yang dibutuhkan di sana. “Saya akan ikut ke sana.” Brian mengirimkan pesan balasan pada direktur utama yayasan tempatnya bekerja, yang tak lain adalah pamannya sendiri. “Kamu yakin, kamu sebenarnya hanya perlu mengirim salah seorang staffmu, lagipula pembangunan di sana juga belum selesai.” Sebuah pesan balasan masuk tak lama kemudian. “Aku sedang ada urusan di Bali jadi sekalian saja.” “Baiklah, lusa mereka akan berangkat, persiapkan dirimu.” Brian masih memandang ponselnya. Meski tak ada lagi pesan yang masuk. Tangannya tergoda untuk mengirim pesan pada Sinta, tapi dia kembali ragu, Kemarin setelah dia datang ke cafe Dina dan menemui Sinta di sana sikap
Bahkan saat bekerjapun bayangan Sinta memenuhi kepalanya. Membuatnya sulit untuk berkonsentrasi. “Kenapa kopi buatanmu rasanya jadi tidak karuan seperti ini, Sa?” gerutu Brian.Bahkan kopi yang biasa dibuatkan oleh Sasa, sekretarisnya terasa aneh dan tidak seperti biasanya. Suasana hati Brian benar-benar mengerikan sepagi ini bahkan sudah ada dua anak buahnya yang kena semprot. “Tapi saya buat dengan takaran yang biasa pak, satu sendok makan kopi hitam dan satu sendok teh gula, bapak biasanya tidak suka kopi manis jadi saya hanya memberi sedikit gula,” Sasa tentu saja tak terima dengan tuduhan Brian orang dia membuat kopi seperti biasa tak ada yang dikurangi ataupun ditambah. “Airnya belum matang mungkin atau ini bukan bubuk kopi yang biasanya.” Sasa membelalak tak percaya. “Saya merebusnya langsung di atas kompor bapak kan tidak mau air dispenser, dan saya sudah lebih dari tiga puluh tahun berpengalaman untuk masak air, dan tahu benar bagaimana air yang suda