Steven membanting pintu ruangan dengan kasar, dia bukan marah pada kakaknya yang telah memukulnya atau marah pada ayahnya yang melakukan test DNA hingga terbuka semuanya.
Dia marah pada dirinya sendiri, entah bagaimana dia bisa memaafkan dirinya sendiri, tujuannya dulu hanya ingin memisahkan sang kakak dengan wanita parasit itu, tapi nyartanya dia memang lemah , Steven malah tergoda oleh wanita murahan itu dan berakhir dengan mereka berbagi ranjang yang sama, hanya sekali memang, kenyataan yang sangat disesali oleh Steven.Dia memang bukan laki-laki baik, dia sering bergonta ganti wanita di atas ranjangnya, tapi meniduri pacar kakaknya yang dia tahu hanya wanita culas yang ingin memanfaatkan sang kakak tidak pernah ada dalam benaknya.Apalagi saat dia menyadari sesuatu, malam itu dia sama sekali tidak memakai pengaman. Dia hanya bisa berharap kalau wanita itu meminum pil kb. Hatinya kembali tenang saat wanita itu tak muncul lagidalam hidupnya. Dan terakhir dia mend“Kita kembali aku bilang,” seru Keira marah. Kecepatan mobil bukannya berkurang malah bertambah, bahkan saat ada sebuah belokan, Steven juga tak memelankan laju mobilnya yang membuat Keira menjerit keras. “Kamu ingin kita mati bersama, ya,” bentak keira kasar untuk pertama kalinya dia kehilangan sikap manis dan lemah lembutnya di hadapan Steven. Steven malah tertawa seperti orang tidak waras membuat Keira makin takut. “Kenapa apa kamu takut,” ejeknya. “Ternyata Keira yang manis dan lembut takut mati juga,” lanjutnya semanis racun. “Seharusnya kamu siap untuk itu saat berani mempermainkan keluargaku, kamu pikir kamu seberharga itu untukku, kamu hanya sampah yang ingin aku buang.” Jika Keira marah dengan ucapan Steven wanita itu sudah tak berani menampakkannya, dia tahu saat ini dia sedang dalam bahaya, Steven orang yang terkenal kejam dan licik, dia bukan Angga atau Anton yang akan bersimpati padanya saat dia sudah menampilkan wajah memelas. Keira mem
Angga bangun dari tidurnya dilihatnya Ara masih tidur pulas di sampingnya sambil memeluk guling kelinci kesukaannya. Dipandanginya ponsel yang menampilkan pesan itu, sejenak dia menimbang. Lalu beranjak berdiri, dia ingin membangunkan Dina, diketuknya pintu kamar beberapa kali tapi tak ada jawaban. Ini mmeang sudah dini hari waktunya orang tidur lelap. Angga mencoba membuka pintu kamar Dina, tapi tak disangka kamar itu tak terkunci, apa Dina berharap dia akan masuk ke kamar ini tadi malam? Pikir Angga percaya diri. Digelengkan kepalanya pelan sekarang bukan saatnya memikirkan hal itu, ada hal yang harus dia lakukan terlebih dahulu. “Din, bangun bentar,” kata Angga lembut sambil mengelus pipi istrinya, lima tahun berumah tangga dnegan Dina, Angga sudah sangat hapal dengan kebiasaan istrina itu, Dina bukan orang yang susah dibangunkan, bahkan jika anak-anak menangis dikamar lainpun, Dina yang sedang tertidur lelap akan bangun. Benar saja sang istri langsung te
“Keira meninggal dan Steven kritis.”Dina menatap ponselnya dengan pandangan tak percaya. Dia memang tidak terlalu menyukai Keira yang menjadi duri dalam pernikahannya, tapi bukan berarti dia senang dengan berita meninggalnya wanita itu, apalagi ada bayi yang dia tinggalkan. Malang sekali bayi itu, sudah ditolak sana sini, sekarang orang yang paling berjasa mengantarkannya hadir di dunia ini, bahkan memilih pergi. Dina yang sudah hidup di panti sejak kecil tentu saja tahu bagaimana rasanya hidup tanpa orang tua. “Ada apa, Din, kamu baik-baik saja?” Sasa lewat di depan Dina memandang wanita itu dengan khawatir, wajah Dina terlihat pucat.Dina mendongak dan memandang rekannya itu yang juga sedang memandangnya dengan khawatir. “Aku baik-baik saja, Mbak hanya barusan ada berita duka.” “Siapa yang meninggal?” Dina menghela napas lagi. “Keira,” jawabnya singkat. Sasa sedikit terkejut, dia tentu saja tahu siapa Keira. "Keira yang istri muda sua
Dina mendengar sirine ambulance berbunyi tepat saat dia sudah melangkah ke lantai bawah setelah berganti pakaian. Beberapa orang langsung menyambut jenazah dan mengurusnya sebagaimana layaknya. Dina hanya diam, sejujurnya dia tak pernah menyaksikan secara langsung pengurusan jenazah orang terdekatnya, karena sejak kecil dia juga tak memiliki orang dekat. Jadi dia tak tahu harus melakukan apa. Dilihatnya sang mama mertua yang masih duduk diam menyaksikan itu semua, wajanya memang terlihat sendu tapi tak ada air mata yang menetes di matanya. Dina berjalan mendekat. “Mama tidak kesana?” tanya Dina. Sang mama hanya menggeleng, dan tetap duduk di tempatnya. “Mama di sini saja, kmau tolong sambut tamu yang melayat.” Dina memandang mertuanya dalam. Lalu mengangguk dan melangkah pergi. Dia akan menemani Angga menyambut pelayat. “Kamu sudah di sini, Hen?” tanya Dina yang melihat sekretaris suaminya itu berdiri memberikan pengarahan pada beberapa orang. “Iy
“Maaf Pak, ada wartawan menuju kemari, kita harus membawa Pak Anton pergi.” Hendra terlihat panik. “Bawa Anton ke mobil dan kembali ke rumah sakit,” perintah Angga pada Hendra. “Kita juga harus pergi.” lalu menggandeng tangan sang istri lembut. Angga memilih ikut mobil yang dikemudikan Pak amin bersama Dina. Sedangkan Anton dimasukkan ke dalam mobil yang dkemudikan oleh Hendra. Bersama mereka meninggalkan pelataran pemakaman yang sepi itu. sedangkan mobil Angga sendiri dikemudikan oleh anak buahnya menuju tempat lain untuk mengecoh mereka. Berita meninggalnya Keira dan juga kecelakaan yang menimpa Steven Hartono memang sudah tersebar luas, tapi sedapat mungkin mereka menutupi kenyataan kalau mereka berada salam satu mobil yang sama.Skandal pasti tidak dapat dihindarkan, apalagi jika berita bunuh diri yang dilakukan oleh Anton juga tersebar luas. Dunia bisnis yang mereka geluti memang sangat kejam, musibah yang menimpa sebuah keluarga bisa mereka jadikan ala
Sejak kembali dari rumah sang mama tadi malan untuk peringatan kematian Keira, Angga yang sedang menunggu Dina menyiapkan makanan untuknya, langsung tertidur di kamar Dina, bahkan Dina harus berusaha keras untuk membangunkannya, Angga terlihat sangat lelah.Dina tahu beberapa hari ini memang suaminya itu kurang tidur. Berurusan dengan keluarga Hartono yang sering berpikiran diluar nalar, serta Keira yang terlalu manja, tentu bukan hal yang mudah.Dina menyadari hal itu, jadi dengan terpaksa dia tidur di sebelah Angga, karena tak mungkin dia tidur bersama Ara, apalagi morning sickness yang dia alami tak kenal waktu.Dan pagi ini Dina terbangun dengan belitan erat di tubuhnya seperti belitan ular, dan saat membuka matanya, tangan dan kaki Angga sudah memeluk tubuhnya dengan erat.Dengan hati-hati Dina melepaskan pelukan itu dan membersihkan diri terlebih dahulu.Angga menggeliatkan tubuhnya, tidurnya benar-benar nyenyak, entah karena tubuhnya yang memang benar-bena
Angga tidak menyangka pekerjaan membuat rujak lebih sulit dari pada memeriksa laporan keuangan perusahaan. Padahal dia sudah dibantu oleh Bibi yang sudah berpengalaman membuat berbagai makanan sejak dia masih kecil, termasuk rujak yang diinginkan Dina ini. “Ngupas buahnya jangan terlalu tipis atau tebal, Tuan, harus pas.” Dan Angga tentu saja kesulitan mengartikan kupasan buah yang pas itu bagaimana selama ini dia hanya tahu buah yang sudah dipotong dan tertata rapi di atas piring, dan dengan senang hati akan dia masukkan ke dalam mulutnya. Siapa yang menyangka prosesnya akan seribet ini. “Apa bibi nggak punya pisau khusus, agar ketebalan kupasannya sama di semua tempat.” Bibi hanya bisa memandang Angga dengan bengong, dia tidak pernah tahu ada pisau khusus untuk mengupas mangga muda, setahunya asal pisaunya bersih dan tajam bisa untuk mengupas mangga. “Nggak ada, Tuan, bibi biasanya juga pakai pisau itu, biar bibi kupaskan saja kalau begitu,” tawar Bibi y
Kepindahan Dina dari rumah yang dia tempati sejak menikah dengan Angga memang hanya diketahui beberapa orang saja. Angga memang sengaja merahasiakannya, untuk mencegah adanya scandal yang akan terjadi. Bukan tak mungkin kalau itu sampai tersebar akan sangat mengganggu Dina dan anak-anaknya. Orang kadang tak peduli dengan perasaan orang lain yang penting apa yang dia inginkan dapat tercapai. “Om...” Dina sedikit terkejut setelah melihat siapa yang berdiri di depan pintu rumahnya. Dina memandang para pengawal yang berjaga di halaman, mereka mengijinkannya masuk? “Apa om tidak boleh masuk?” tanya sang tamu lagi. Dina tersenyum tak enak hati dan mempersilahkan dua orang itu masuk. “Silahkan duduk, om dan tante?” kata Dina sedikit ragu dengan panggilan yang dia berikan, terutama pada wanita yang datang bersama laki-laki yang dipanggilnya om itu. Sekilas Dina menoleh pada Angga yang terlihat tersenyum ramah pada mereka, apa suaminya itu sudah tahu akan a