Share

Wanita Gila Mencari Cinta
Wanita Gila Mencari Cinta
Penulis: yuelan

Berakhir

Sebuket bunga teronggok di tepi meja. Basah oleh kopi yang gelasnya jatuh. Tetes - tetes kopi turut membasahi lantai.

"Mbak, tolong minggir dulu. Biar kami bersihkan," kata seorang waitress.

Dia yang duduk terpaku melihat gelas menggelinding, jadi kikuk sendiri. Dia pun meraih jaket dan tas di kursi sebelahnya. Beranjak pergi tanpa mengatakan apa pun.

"Mbak, ada yang ketinggalan," seru waitress.

Langkahnya terhenti. Apa lagi yang masih tertinggal. Bukankah semua sudah usai.

"Mbak Aster, tablet sama bunganya ketinggalan," ulang waitress.

Waitress coffee shop itu sudah mengenalnya cukup jauh. Akibat sering makan siang dan bekerja sambil minum kopi di sana. Nama pun telah dihafal. Sesering tertulis di gelas kopi.

"Oh, i-ya, Mbak. Makasih ya," ujarnya. Kembali mengambil tablet. Bunga dia tinggalkan.

"Bunganya, Mbak? Masih bagus lho."

"Buang saja, Mbak. Atau kalau Mbak mau, buat Mbak saja."

Dia pun bergegas pergi. Tidak ada lagi yang tertinggal di sana. Dia sudah membawa semuanya.

Aster, perempuan itu, berdiri menanti taksi online yang dipesan. Dia mengecek melalui ponsel. Posisi taksi tersebut sudah sampai di mana.

Ketika taksi sudah tiba, Aster langsung masuk. Dia duduk menunduk memeluk tasnya. Air mata itu pun tumpah.

Ditahan - tahan tak terbendung lagi. Dia menahan isakannya agar tidak keluar. Tidak mau sampai sopir taksi mendengarnya.

Namun sesuatu menyentuh kepalanya. Dia menengadah. Selembat tisu terjulur ke arahnya.

"Gratis, Mbak," ujar sopir taksi tanpa menoleh. Tangannya dinaikturunkan. Sampai tisu diterima Aster.

Tisu itu pun diambil Aster. "Makasih, Mas. Maaf merepotkan," kata Aster lirih. Tenggorokannya serak akibat menahan isakan.

"Saya nyalain radio kencang ya. Masih ada dua puluh menit lumayan, Mbak," lanjut sopir.

"Hu um, Mas. Makasih sekali lagi," kata Aster sengau. Dia menggenggam tisu.

Tangisnya terlepas bebas. Meski tetap tak bisa mengisak. Hatinya terlalu sakit hingga meredam suaranya.

Lagu rock menggema dari radio. Tidak ada suara penyiar. Hanya deretan lagu - lagu rock diputar berurutan.

Tangis Aster mulai surut. Lagu pun mengecil suaranya. Aster menyeka kedua mata.

"Sudah sampai, Mbak. Sudah dibayar lewat aplikasi ya," kata sopir taksi.

Aster mengangguk. "Makasih ya, Mas. Makasih banyak. Mas baik banget," ujarnya.

Sopir itu tersenyum lebar. Sampai matanya menyipit. "Sama - sama, Mbak. Semoga hari Anda menyenangkan," balas sopir taksi.

Aster keluar dengan hati lebih ringan. Dia ikut tersenyum. Berjalan menuju rumah yang sudah setahun ini ditinggali sendiri.

Rumah mungil berpagar tinggi dengan teras yang lumayan untuk ditanami beberapa tanaman hias. Dia memandangi bunga - bunga kertas yang baru mekar sebelum masuk ke dalam rumah. Hatinya makin tenang.

Diputus lewat kiriman buket bunga. Dia begitu kaget sampai menumpahkan kopi. Aster tak habis pikir cowok itu begitu mengesalkan.

Bahkan buket bunganya dibeli dari floris yang dikenal Aster. Pemilik floris pun cukup mengenal Aster. Apa cowok itu sengaja memamerkan tindakannya.

Dia pasti ingin mempermalukan Aster. Caranya benar - benar menjijikkan. Sudah tidak berani bertatap muka, pakai pamer ke orang orang.

"Halo, Ren! Bisa nggak kita ketemu? Maksud kamu apa kirim buket tadi?" Aster merekam amarahnya. Dikirim ke cowok kurang ajar itu melalui pesan.

Reno, cowok itu, tidak mau mengangkat telepon dari Aster. Dia menghindari Aster. Benar benar pecundang tengik.

/ Aku nggak bisa lanjut lagi. Mulai sekarang kita putus. Kamu bukan cewek yang baik buatku /

Kalimat - kalimat itu terngiang di kepala Aster. Dia pun berteriak marah. Dia menjatuhkan diri ke kasur. Berteriak makin keras. Lagi - lagi air mata mengucur.

Aster jatuh tertidur. Dia baru terbangun ketika mendengar suara dering ponsel. Ada telepon masuk yang berulang kali.

Aster mencari - cari keberadaan ponsel tersebut. Di balik selimut yang amburadul benda itu tergeletak. Nama mama menyala di layar.

Aster berdeham sebelum menerima panggilan. "Halo, Ma. Ada apa, Ma? Mama nggak apa - apa kan?"

"Kenapa suara kamu? Kamu sakit?" sahut Laura, mama Aster.

"Enggak tuh, Ma. Suaraku nggak apa - apa kok. Mama ada apa telepon siang - siang begini?"

"Suara kamu serak. Kebanyakan gorengan atau es itu. Siang gimana? Sudah sore begini. Kamu bangun tidur?"

Aster menoleh ke jendela. Meski tirainya ditutup, memang terkesan gelap di luar. Tidak ada cahaya yang mencoba menembus masuk.

"Iya, Ma. Aku ketiduran nih. Maaf, maaf," ujar Aster.

"Tumben tidur siang. Hehm! Ya, sudah kalau nggak sakit. Mama cuma mau ngecek saja. Sudah tiga hari berturut turut kamu nggak ada kasih kabar ke mama. Ke Panji juga tidak. Tadi adikmu itu cerita kalau terakhir bicara sama kamu seminggu yang lalu. Kira - kira akhir pekan kamu bisa pulang nggak, Nak?"

Aster bangkit menuju meja di dekat tempat tidur. Dia meraih kalender meja yang sekaligus catatan jadwal. Akhir pekan dia tidak memiliki agenda.

"Bisa, Ma. Aster akan pulang akhir pekan nanti. Maaf, Aster ada kerjaan banyak. Jadi agak ribet. Mama baik baik, kan? Papa gimana?"

"Papa kamu yang suruh mama telepon. Katanya ada anak gadis yang lupa wajib lapor."

Aster tertawa kecil. "Papa bilang nggak mau terima pesan Aster lagi. Ya, Aster kan nurut saja. Bilang ke papa kalau anak gadisnya sedang asyik main."

"Hei! Jangan gitu. Papa kamu marah bukan tanpa alasan. Pacar kamu itu kan memang nggak jelas. Kenapa juga dipertahankan. Mendingan papa cuma marah. Sekarang sudah mau nanyain kabar kamu. Belum sampai coret kamu dari Kartu Keluarga."

Aster tersenyum kecut. Dia ingat dua minggu lalu Reno mengantarnya ke rumah. Reno bertemu papa dan entah mengobrol apa. Kemudian sewaktu Aster pulang, papa tiba - tiba menelepon untuk marah - marah padanya.

"Ma, Aster diputusin Reno," bisik Aster.

"Hah? Apa, As? Kamu kenapa?" balas Laura.

"Aster diputusin Reno," ulang Aster lebih keras.

"Hehm. Kan, kejadian. Ya, sudah, nggak apa - apa. Laki laki memang sama saja. Nggak usah kamu pikirin. Sekarang kamu mandi. Terus pesan makanan paling enak. Kamu makan. Selesai itu tidur."

"Nggak semua laki - laki, Ma. Tapi, gimana Aster nggak mikirin?"

"Oh, iya. Papa kamu nggak kayak gitu. Ya, udah, kan. Mikir hal lain. Kerjaan kamu banyak. Project - project yang harus diselesaikan. Lagian, cowok itu masih banyak, Nak. Reno nggak pantes kamu tangisi. Nggak usah sampai sita pikiran kamu. Dia kan yang mutusin kamu? Ya, sudah, selesai."

"Tapi, Ma. Nggak semudah itu. Kami sudah tiga tahun bersama. Belum lagi umur Aster sudah dua puluh delapan. Gimana coba, Ma."

"Nggak gimana - gimana. Lebih cepat kalian putus, lebih baik. Asal kamu tahu itu. Gini saja, deh. Nggak usah nunggu akhir pekan. Besok kamu pulang ke rumah."

"Ma, nggak bisa gitu."

"Pulang ke rumah! Besok pagi langsung ke rumah."

Klik! Sambungan telepon terputus.

~bersambung

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Anita Kim
Pulang aja dulu, Aster. Ikuti maunya mama kamu.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status