Sebuket bunga teronggok di tepi meja. Basah oleh kopi yang gelasnya jatuh. Tetes - tetes kopi turut membasahi lantai.
"Mbak, tolong minggir dulu. Biar kami bersihkan," kata seorang waitress. Dia yang duduk terpaku melihat gelas menggelinding, jadi kikuk sendiri. Dia pun meraih jaket dan tas di kursi sebelahnya. Beranjak pergi tanpa mengatakan apa pun. "Mbak, ada yang ketinggalan," seru waitress. Langkahnya terhenti. Apa lagi yang masih tertinggal. Bukankah semua sudah usai. "Mbak Aster, tablet sama bunganya ketinggalan," ulang waitress. Waitress coffee shop itu sudah mengenalnya cukup jauh. Akibat sering makan siang dan bekerja sambil minum kopi di sana. Nama pun telah dihafal. Sesering tertulis di gelas kopi. "Oh, i-ya, Mbak. Makasih ya," ujarnya. Kembali mengambil tablet. Bunga dia tinggalkan. "Bunganya, Mbak? Masih bagus lho." "Buang saja, Mbak. Atau kalau Mbak mau, buat Mbak saja." Dia pun bergegas pergi. Tidak ada lagi yang tertinggal di sana. Dia sudah membawa semuanya. Aster, perempuan itu, berdiri menanti taksi online yang dipesan. Dia mengecek melalui ponsel. Posisi taksi tersebut sudah sampai di mana. Ketika taksi sudah tiba, Aster langsung masuk. Dia duduk menunduk memeluk tasnya. Air mata itu pun tumpah. Ditahan - tahan tak terbendung lagi. Dia menahan isakannya agar tidak keluar. Tidak mau sampai sopir taksi mendengarnya. Namun sesuatu menyentuh kepalanya. Dia menengadah. Selembat tisu terjulur ke arahnya. "Gratis, Mbak," ujar sopir taksi tanpa menoleh. Tangannya dinaikturunkan. Sampai tisu diterima Aster. Tisu itu pun diambil Aster. "Makasih, Mas. Maaf merepotkan," kata Aster lirih. Tenggorokannya serak akibat menahan isakan. "Saya nyalain radio kencang ya. Masih ada dua puluh menit lumayan, Mbak," lanjut sopir. "Hu um, Mas. Makasih sekali lagi," kata Aster sengau. Dia menggenggam tisu. Tangisnya terlepas bebas. Meski tetap tak bisa mengisak. Hatinya terlalu sakit hingga meredam suaranya. Lagu rock menggema dari radio. Tidak ada suara penyiar. Hanya deretan lagu - lagu rock diputar berurutan. Tangis Aster mulai surut. Lagu pun mengecil suaranya. Aster menyeka kedua mata. "Sudah sampai, Mbak. Sudah dibayar lewat aplikasi ya," kata sopir taksi. Aster mengangguk. "Makasih ya, Mas. Makasih banyak. Mas baik banget," ujarnya. Sopir itu tersenyum lebar. Sampai matanya menyipit. "Sama - sama, Mbak. Semoga hari Anda menyenangkan," balas sopir taksi. Aster keluar dengan hati lebih ringan. Dia ikut tersenyum. Berjalan menuju rumah yang sudah setahun ini ditinggali sendiri. Rumah mungil berpagar tinggi dengan teras yang lumayan untuk ditanami beberapa tanaman hias. Dia memandangi bunga - bunga kertas yang baru mekar sebelum masuk ke dalam rumah. Hatinya makin tenang. Diputus lewat kiriman buket bunga. Dia begitu kaget sampai menumpahkan kopi. Aster tak habis pikir cowok itu begitu mengesalkan. Bahkan buket bunganya dibeli dari floris yang dikenal Aster. Pemilik floris pun cukup mengenal Aster. Apa cowok itu sengaja memamerkan tindakannya. Dia pasti ingin mempermalukan Aster. Caranya benar - benar menjijikkan. Sudah tidak berani bertatap muka, pakai pamer ke orang orang. "Halo, Ren! Bisa nggak kita ketemu? Maksud kamu apa kirim buket tadi?" Aster merekam amarahnya. Dikirim ke cowok kurang ajar itu melalui pesan. Reno, cowok itu, tidak mau mengangkat telepon dari Aster. Dia menghindari Aster. Benar benar pecundang tengik. / Aku nggak bisa lanjut lagi. Mulai sekarang kita putus. Kamu bukan cewek yang baik buatku / Kalimat - kalimat itu terngiang di kepala Aster. Dia pun berteriak marah. Dia menjatuhkan diri ke kasur. Berteriak makin keras. Lagi - lagi air mata mengucur. Aster jatuh tertidur. Dia baru terbangun ketika mendengar suara dering ponsel. Ada telepon masuk yang berulang kali. Aster mencari - cari keberadaan ponsel tersebut. Di balik selimut yang amburadul benda itu tergeletak. Nama mama menyala di layar. Aster berdeham sebelum menerima panggilan. "Halo, Ma. Ada apa, Ma? Mama nggak apa - apa kan?" "Kenapa suara kamu? Kamu sakit?" sahut Laura, mama Aster. "Enggak tuh, Ma. Suaraku nggak apa - apa kok. Mama ada apa telepon siang - siang begini?" "Suara kamu serak. Kebanyakan gorengan atau es itu. Siang gimana? Sudah sore begini. Kamu bangun tidur?" Aster menoleh ke jendela. Meski tirainya ditutup, memang terkesan gelap di luar. Tidak ada cahaya yang mencoba menembus masuk. "Iya, Ma. Aku ketiduran nih. Maaf, maaf," ujar Aster. "Tumben tidur siang. Hehm! Ya, sudah kalau nggak sakit. Mama cuma mau ngecek saja. Sudah tiga hari berturut turut kamu nggak ada kasih kabar ke mama. Ke Panji juga tidak. Tadi adikmu itu cerita kalau terakhir bicara sama kamu seminggu yang lalu. Kira - kira akhir pekan kamu bisa pulang nggak, Nak?" Aster bangkit menuju meja di dekat tempat tidur. Dia meraih kalender meja yang sekaligus catatan jadwal. Akhir pekan dia tidak memiliki agenda. "Bisa, Ma. Aster akan pulang akhir pekan nanti. Maaf, Aster ada kerjaan banyak. Jadi agak ribet. Mama baik baik, kan? Papa gimana?" "Papa kamu yang suruh mama telepon. Katanya ada anak gadis yang lupa wajib lapor." Aster tertawa kecil. "Papa bilang nggak mau terima pesan Aster lagi. Ya, Aster kan nurut saja. Bilang ke papa kalau anak gadisnya sedang asyik main." "Hei! Jangan gitu. Papa kamu marah bukan tanpa alasan. Pacar kamu itu kan memang nggak jelas. Kenapa juga dipertahankan. Mendingan papa cuma marah. Sekarang sudah mau nanyain kabar kamu. Belum sampai coret kamu dari Kartu Keluarga." Aster tersenyum kecut. Dia ingat dua minggu lalu Reno mengantarnya ke rumah. Reno bertemu papa dan entah mengobrol apa. Kemudian sewaktu Aster pulang, papa tiba - tiba menelepon untuk marah - marah padanya. "Ma, Aster diputusin Reno," bisik Aster. "Hah? Apa, As? Kamu kenapa?" balas Laura. "Aster diputusin Reno," ulang Aster lebih keras. "Hehm. Kan, kejadian. Ya, sudah, nggak apa - apa. Laki laki memang sama saja. Nggak usah kamu pikirin. Sekarang kamu mandi. Terus pesan makanan paling enak. Kamu makan. Selesai itu tidur." "Nggak semua laki - laki, Ma. Tapi, gimana Aster nggak mikirin?" "Oh, iya. Papa kamu nggak kayak gitu. Ya, udah, kan. Mikir hal lain. Kerjaan kamu banyak. Project - project yang harus diselesaikan. Lagian, cowok itu masih banyak, Nak. Reno nggak pantes kamu tangisi. Nggak usah sampai sita pikiran kamu. Dia kan yang mutusin kamu? Ya, sudah, selesai." "Tapi, Ma. Nggak semudah itu. Kami sudah tiga tahun bersama. Belum lagi umur Aster sudah dua puluh delapan. Gimana coba, Ma." "Nggak gimana - gimana. Lebih cepat kalian putus, lebih baik. Asal kamu tahu itu. Gini saja, deh. Nggak usah nunggu akhir pekan. Besok kamu pulang ke rumah." "Ma, nggak bisa gitu." "Pulang ke rumah! Besok pagi langsung ke rumah." Klik! Sambungan telepon terputus. ~bersambung"Maaf, ya, Din. Nanti aku hubungi lewat telepon," kata Aster pada karyawan di kantornya. Dini memincingkan mata. "Mbak Aster mau kabur kemana?" tuduhnya. "Mama nyuruh pulang. Udah, nggak usah cemas. Semua kan sudah diatur," balas Aster. Dini mengerutkan hidung. Dia menggeleng gelengkan kepala. "Mencurigakan. Pasti mau dijodohkan." "Ih, jangan aneh aneh dong, Din. Udah, ah. Sana kamu kerja. Aku berangkat sekarang," timpal Aster. Aster pun meninggalkan kantor yang menyewa salah satu lantai sebuah gedung. Dia turun melalui lift, menuju basement. Tempat mobil lawas pemberian papanya diparkir. Mobil yang banyak digunakan untuk keperluan kantor. Urusan pribadi jarang dia pakai. Kecuali berkaitan dengan keluarga. Seperti pulang ke rumah orang tua. Perjalanan yang ditempuh selama tiga jam ditemani lantunan lagu pop mellow. Malah membuat suasana hati Aster makin nelangsa. Dia membiarkan air mata mengalir. Dengan tujuan begitu sampai di rumah dia akan kehabisan tangis. Jangan sam
Papa berdiri berkacak pinggang. Aster pun buru - buru bangkit. Dia menyalami papa dan mama bergantian. "Pulang juga akhirnya. Makan lah. Selesai itu kita bicara," kata Huda. "Iya, Pa. Papa sudah makan siang?" ujar Aster. "Sudah. Ma, tolong kopi. Papa duduk di teras samping," lanjut Huda kemudian melangkah pergi. Laura menghampiri putrinya. "Selesaiin dulu makannya. Habis itu kamu nurut saja sama papa kamu. Nggak usah protes. Papa kamu itu tahu mana yang baik dan yang buruk. Dia nggak mungkin pilih hal buruk buat putrinya." "Iya, Ma," jawab Aster patuh. Laura bergeser ke dapur. Dia mulai sibuk membuat secangkir kopi kesukaan suaminya. Sementara Aster menyelesaikan makan mie. Dan Panji pamit kembali ke warung. "Nggak usah nyariin cowok yang sudah mutusin kamu. Putus ya berakhir. Untuk apa kejar - kejar lagi. Jaga martabat kamu sebagai wanita," Laura mulai menasehati. Aster menelan ludah. Dia mengangkat piring kotor ke washbak. "Aster tahu, Ma. Aster nggak akan cari - cari
Baru juga selesai mandi. Bersantai di kamar sambil mengeringkan rambut. Laura memanggil Aster keluar kamar. Aster pun buru - buru berganti baju pantas dan menyisir rambut. Wajahnya dirias tipis - tipis. Kemudian keluar dengan penasaran. Pasalnya dia mendengar ada suara asing. Tidak bisa menebak siapa yang datang malam - malam begini ke rumah orang tuanya. Mungkin tetangga yang juga penasaran Aster pulang ke rumah. Dia berdiri kaget melihat seorang pria paruh baya duduk di ruang tamu bersama Huda. Mereka berbincang santai. Begitu akrab. "Aster, sini. Ada om Bisma, teman papa yang punya pabrik kain," kata Huda. "Selamat malam, om Bisma. Saya Aster," ucap Aster seraya menyalami Bisma. Bisma menyambut tangan Aster dan membalas salamannya. Dia kembali berbincang dengan Huda. Tentang pekerjaan yang tidak dimengerti Aster. Aster hendak beralih ke ruang keluarga. Namun Huda mencegahnya. Putrinya disuruh ke depan. Ada yang perlu dibantu. "Ada apa, Pa?" tanya Aster keheranan. "
Lepas subuh Aster hampir tidur lagi. Udara sejuk membuat matanya berat untuk terbuka. Belum lagi selimut dan bantal seakan melambai - lambai memanggil. Suara ketukan di pintu kamar berbunyi tiap lima menit. Persis alarm ponsel yang lupa dimatikan. Aster pun bergegas memakai baju training dan topi bisbol. Keluar kamar untuk menghentikan ketukan pintu. "Bawa dua botol minum," suruh Huda. Aster pun menuju dapur. Mamanya menyerahkan dua botol kosong. Dia isi dari air galon isi ulang di dispenser. Dengan tas serut, Aster membawa kedua botol dan handuk kecil. Serta ponselnya. "Jangan pakai headset. Papa tidak mau dicuekin," pesan Huda berjalan menuju luar rumah. Di halaman, keduanya melakukan pemanasan. Huda memimpin gerak pemanasan seperti pada senam. Singkat dan serius. "Kita ke arah lapangan kampung saja. Di sana sudah ada track lari. Lebih aman. Ada fasilitas olah raga umum lain juga. Lebih mirip alun - alun kota lho sekarang," kata Huda. Daerah rumah papa Aster memang suda
"Ma, Mama!" seru Huda begitu masuk ke rumah. Dia berjalan bersemangat menuju dapur. Di sana istrinya tengah sibuk memasak. Panji putranya duduk menikmati secangkir teh. "Ada apa, Pa? Papa sudah mau sarapan? Tunggu dulu ya, Pa. Belum matang ini," balas Laura. "Bukan, bukan. Diselesaikan saja dulu. Tapi, sama dengerin berita dari papa," sahut Huda. Panji menoleh ke papa dan mamanya yang berdiri dekat kompor. Dia juga menoleh ke arah kakaknya yang menyusul masuk ke dapur sekaligus ruang makan mereka. Kakaknya menarik kursi makan, duduk cemberut. "Apa, Pa? Jangan membuat mama khawatir dong," ujar Laura. "Tahu nggak, Ma, itu, anaknya Mira. Mira pensiunan guru SD. Anaknya yang sebaya anak sulung kita. Kamu tahu kan?" "Oh, sobatnya Aster. Si Amar. Kenapa dia, Pa?" "Tadi kan ketemu di lapangan. Coba tebak dia tadi nawarin apa ke putri kita?" "Nawarin? Dia kan guru matematika di SMP dekat jalan besar sana itu. Masak nawarin les matematika ke Aster, Pa." Huda melambaikan tang
Kemarin Aster diantar pulang pukul delapan malam. Rumah sudah sepi. Baik Huda mau pun Laura sudah di dalam kamar. Kalau Panji masih di warung. Aster masuk saja ke kamar. Cuci kaki, cuci muka. Berganti dari celana jeans dan atasan rajut ke baju tidur. Pagi berikutnya dia tidak dibangunkan subuh - subuh untuk diajak jogging. Dia mendengar Huda berangkat jogging sendiri. Maka Aster pun bermalas - malasan di atas kasur. "Kopi, Mbak?" tanya Panji menawarkan. Aster mengangguk. Dia mau kopi hangat yang dibuat adiknya. Bisa membuat dirinya terjaga. "Semalam nggak seru?" tebak Panji. Dia menaruh secangkir kopi ke hadapan Aster. Lalu turut duduk. Sudah ada segelas teh hangat miliknya. "Kok bisa bilang begitu?" sahut Aster. "Habisnya, mbak cemberut gitu. Bangun pagi itu yang sumringah. Semangat menghadapi segala tantangan." "Memangnya aku cemberut? Nggak, kok. Aku biasa saja." "Sila membohongi diri sendiri. Kelihatan kok sedihnya. Padahal pulang sampai malam. Dia ngadalin kamu
Panji benar - benar ikut kakaknya. Dia duduk di kursi kemudi begitu kakaknya selesai memasukkan tas ke bagasi. Juga sudah berpamitan pada papa dan mama mereka. "Pamit dulu ke pak guru," ujar Panji polos. Aster mengacungkan tinju. Dia tidak suka dengan gurauan Panji. Sebab, tidak mungkin dia akan menghubungi Amar untuk mengatakan kalau dia pulang ke tempat tinggal barunya. Tidak setelah perpisahan malam kemarin. Dia malu kalau mengingatnya. Apa lagi kalau sekarang harus mengirim pesan ala - ala berpamitan. Nanti dikira memberi kode rahasia. "Kenapa, Mbak? Nggak berhasil? Gatot alias gagal total?" kata Panji. Adiknya mengendalikan kemudi. Sesekali bersenandung lirih. Sambil menghidupkan radio yang diputar dengan suara rendah. "Ck! Tahu aja," gerutu Aster. "Ayo, bisa yuk. Cerita, cerita," bujuk Panji. Aster menghela nafas. Dia malah mengeluarkan ponsel. Mulai sibuk berkirim pesan dengan dua rekan kerjanya. "Masak sih? Secepat itu? Padahal pulang sampai malam. Kalian ngap
"Kutu kupret!" umpat Panji. Dia meninju dinding. Lalu berjalan menuju kulkas. Diambilnya botol air putih. "Kamu di sini dulu. Besok dia pasti cari aku," kata Aster. "Tentu. Aku juga sudah suruh orang buat kawal kamu, Mbak," jawab Panji. "Baguslah. Mbak capek banget. Mbak takut juga." "Nggak usah takut, Mbak. Kamu kan nggak salah. Dia kan yang sudah brengsek. Nggak modal banget jadi cowok." "Ck! Bukan begitu. Mbak takut nggak bisa kontrol emosi. Antara nangis kayak orang stress atau ngamuk kayak orang gila." Panji mengusap tengkuk. Dia meringis saja pada kakaknya. "Ya..., itu bahaya juga sih. Parah." "Maka dari itu, Pan. Yaudah, kamu mau makan apa? Nanggung amat ini makan siang sudah lewat, makan malam juga masih lumayan." "Pesan online saja, Mbak. Aku yang pesan ya." "Oke, Pan. Aku mau mandi dulu." Aster masuk ke kamarnya. Dia tidak lantas melakukan aksi pembersihan diri. Dia duduk di tepi tempat tidur. Perlahan punggungnya bergetar. Suara lirih isakan keluar.