"Maaf, ya, Din. Nanti aku hubungi lewat telepon," kata Aster pada karyawan di kantornya.
Dini memincingkan mata. "Mbak Aster mau kabur kemana?" tuduhnya. "Mama nyuruh pulang. Udah, nggak usah cemas. Semua kan sudah diatur," balas Aster. Dini mengerutkan hidung. Dia menggeleng gelengkan kepala. "Mencurigakan. Pasti mau dijodohkan." "Ih, jangan aneh aneh dong, Din. Udah, ah. Sana kamu kerja. Aku berangkat sekarang," timpal Aster. Aster pun meninggalkan kantor yang menyewa salah satu lantai sebuah gedung. Dia turun melalui lift, menuju basement. Tempat mobil lawas pemberian papanya diparkir. Mobil yang banyak digunakan untuk keperluan kantor. Urusan pribadi jarang dia pakai. Kecuali berkaitan dengan keluarga. Seperti pulang ke rumah orang tua. Perjalanan yang ditempuh selama tiga jam ditemani lantunan lagu pop mellow. Malah membuat suasana hati Aster makin nelangsa. Dia membiarkan air mata mengalir. Dengan tujuan begitu sampai di rumah dia akan kehabisan tangis. Jangan sampai mama dan papa mengungkit soal Reno. Apa lagi sampai tahu cara memutusnya. Aster saja belum bisa terima. Lelaki yang sempat dielu-elukan ternyata sepengecut itu. Begitu tega mencampakkan Aster tanpa bertatap muka. Langsung menutup semua jalur komunikasi pula. Nanti yang ada mama dan papa malah merundung Aster karena menangisi lelaki konyol itu. Mama dan papa memang akan dengan mudah berbalik seratus delapan puluh derajat. Meski mereka sempat menyetujui hubungan keduanya. Kali ini pasti mama penuh kemenangan menghabisi Reno dengan kata katanya. Aster jadi ingat, mama pernah secara terbuka mengkritik salah satu sikap Reno. Menurut mama, Reno tidak jantan. Saat itu, tentu saja Aster membela Reno. Mereka baru hangat-hangatnya di tahun pertama bersama. Perbuatan salah masih bisa dimaafkan dengan mudah. Sekalipun mama sudah menunjukkan pada Aster. "Akhirnya kamu sampai, Mbak. Buruan masuk, istirahat dulu sana," sambut Panji. Adik satu-satunya yang Aster miliki. Mereka berdua anak yang dimiliki papa dan mama. Umur mereka terpaut lima tahun. Meski begitu Panji sangat dekat dengan kakaknya. "Ada apa?" tanya Aster menyerahkan tas berisi buah tangan. Dia menarik sendiri kopernya. Panji membopong tas. Ikut masuk ke dalam rumah. "Mama sama papa adu mulut soal kamu. Kamu ingat nggak bibi jauh dari keluarga papa? Kemarin dulu datang ke rumah." Aster melongokkan kepala ke penjuru dalam rumah. "Mana mama dan papa?" heran Aster tak melihat papa atau pun mama. Siang hari begini biasanya makan siang bersama di rumah. "Papa sudah balik ke kantor. Mama ke pasar," beritahu Panji. Aster menuju kamarnya. Dia menaruh koper ke sebelah lemari. Adiknya berbelok ke arah dapur. Tak lama Panji menyusul ke kamar Aster. "Mbak Aster, ingat nggak? Bibi Yani, yang cerewet minta ampun itu." "Ingat. Dia kan yang sibuk jodohin mbak ke sederet pria yang diklaim berkualitas tinggi? Tapi semua mbak tolak dan mbak malah kena cap perawan tua gila tukang pilih pilih? Mana mungkin mbak lupa. Datang lagi mau apa? Bawa daftar terbaru?" kata Aster berapi-api. Dia duduk lemas di tepi tempat tidur. Kakinya menendang koper. Sakit juga, tapi kekesalannya jadi menyusut. "Betul. Dia kasih lihat tiga foto cowok baru. Papa bilang tidak dibutuhkan. Sebab mbak Aster kan sudah punya pacar. Eh, bibi Yani malah marah-marah. Katanya hubungan mbak itu nggak akan lanjut. Pilihan bibi lebih cocok. Papa lalu minta bibi pulang saja. Lain hari bisa dibicarakan lagi," cerita Panji. Aster terhenyak. "Terus papa sama mama bertengkar kenapa?" "Itu, Mbak. Papa sebenarnya setuju mau milihin jodoh mbak. Mama yang nggak mau. Terus kemarin mbak bilang kalau putus dari pacar mbak. Udah, deh. Tambah seru adu mulutnya," ungkap Panji. Aster mengaduh pelan. Dia memijat kepala. "Kalau begini aku bisa jadi gila beneran. Kenapa sih orang-orang? Ya, ampun. Mama dan papaku sendiri pula." "Ya, sudah. Mbak Aster istirahat dulu saja deh. Mau aku bikinin makanan apa?" sahut Panji penuh perhatian. "Bikinin mie goreng saja, Pan. Agak pedas. Sama es teh lemon ya," balas Aster. Dia memberi senyum pada Panji. Begitu adiknya keluar kamar dan menutup pintu, Aster membaringkan badan. Dia memandang ke langit-langit kamar. Helaan nafas panjang terhembus. Cobaan apa lagi ini. Datang bertubi-tubi tanpa peringatan. Kode sedikit dari Tuhan tidak ada. Atau, dia yang tidak ngeh adanya kode ya. Aster tidur-tidur ayam sampai Panji mengetuk pintu. Dia pun bangun, keluar kamar. Dia menuju ke ruang makan. Sudah tersedia sepiring mie goreng dan segelas es teh lemon. Buatan Panji sendiri. Adiknya memang jago masak. Panji membuka warung makan bergaya semi modern di sebelah rumah. Anak-anak muda sekitar banyak nongkrong di sana. Dia sudah punya 2 karyawan yang membantu. "Nggak usah ditemani. Nanti kalau ada pesanan lho," ujar Aster mulai memakan mienya. Panji duduk di seberang kakaknya. "Jam segini agak sepi. Sudah aku siapkan semua juga. Tinggal cemplung-cemplung. Lagi pula kan nggak tiap hari mbak pulang." Aster tersenyum muram. Dia senang ada adiknya. Namun juga merasa berat hati. "Sejak kapan putusnya, Mbak?" tanya Panji hati-hati. "Huh? Putusnya? Ah..., baru kemarin, Pan," jawab Aster. Panji cemberut. "Mau aku samperin cowok itu? Bisa-bisanya sih dia mutusin mbak. Apa alasannya?" Aster menelan susah payah. "Katanya aku nggak pantas buat dia," kata Aster serak. Panji menggeram. "Dia yang nggak pantas. Kurang ajar benar sih. Awas saja kalau ketemu. Mbak nggak usah sedih lagi. Cukup mikirin cowok itu, Mbak." Aster meneguk es tehnya. Dia menurunkan bahu. "Iya, ya? Kenapa aku nangisin cowok kayak gitu. Aku yang memang bodoh dong." "Eh, eh! Bukan gitu juga, Mbak. Kalau mbak Aster nangis dan sedih itu wajar. Nggak apa-apa. Naluri manusiawi. Dia yang memang kurang ajar. Maksud aku, jangan lama-lama nangisinnya. Nanti dia jadi makin sombong kalau tahu. Dia pikir dia yang paling dibutuhkan oleh mbak. Tahu, kan, Mbak, maksudku?" "Iya, Pan. Mbak paham. Tapi, tetap saja, mbak sedih lah. Tiga tahun lho, Pan. Mbak nunggu-nunggu biar sampai ke jenjang pernikahan. Mbak usahakan ini itu buat kami. Lhah, malah dia mutusin sepihak. Tanpa bicara apa-apa sebelumnya pula. Kamu juga tahu kan gimana kalau gitu." Panji menghela nafas. Dia terangguk-angguk. "Paham. Kan, dia memang brengsek. Lupain cepet-cepet, Mbak. Bikin capek kalau diturutin sedih terus. Ngapain coba. Dia saja mungkin saat ini lagi senang-senang. Jangan-jangan malah sudah ada gandengan lain." "Apa dia punya cewek lain? Selama ini dia selingkuh?" Panji mengernyitkan hidung. "Ya..., mungkin saja, Mbak. Siapa yang tahu. Makanya, sudah, Mbak. Cukup sedihnya. Apa lagi nanti kalau papa dan mama tahu. Aduh, udah saja." Suara pintu depan dibuka terdengar. Disusul suara papa dan mama yang bicara keras. Aster dan Panji bertukar pandang. ~bersambungPapa berdiri berkacak pinggang. Aster pun buru - buru bangkit. Dia menyalami papa dan mama bergantian. "Pulang juga akhirnya. Makan lah. Selesai itu kita bicara," kata Huda. "Iya, Pa. Papa sudah makan siang?" ujar Aster. "Sudah. Ma, tolong kopi. Papa duduk di teras samping," lanjut Huda kemudian melangkah pergi. Laura menghampiri putrinya. "Selesaiin dulu makannya. Habis itu kamu nurut saja sama papa kamu. Nggak usah protes. Papa kamu itu tahu mana yang baik dan yang buruk. Dia nggak mungkin pilih hal buruk buat putrinya." "Iya, Ma," jawab Aster patuh. Laura bergeser ke dapur. Dia mulai sibuk membuat secangkir kopi kesukaan suaminya. Sementara Aster menyelesaikan makan mie. Dan Panji pamit kembali ke warung. "Nggak usah nyariin cowok yang sudah mutusin kamu. Putus ya berakhir. Untuk apa kejar - kejar lagi. Jaga martabat kamu sebagai wanita," Laura mulai menasehati. Aster menelan ludah. Dia mengangkat piring kotor ke washbak. "Aster tahu, Ma. Aster nggak akan cari - cari
Baru juga selesai mandi. Bersantai di kamar sambil mengeringkan rambut. Laura memanggil Aster keluar kamar. Aster pun buru - buru berganti baju pantas dan menyisir rambut. Wajahnya dirias tipis - tipis. Kemudian keluar dengan penasaran. Pasalnya dia mendengar ada suara asing. Tidak bisa menebak siapa yang datang malam - malam begini ke rumah orang tuanya. Mungkin tetangga yang juga penasaran Aster pulang ke rumah. Dia berdiri kaget melihat seorang pria paruh baya duduk di ruang tamu bersama Huda. Mereka berbincang santai. Begitu akrab. "Aster, sini. Ada om Bisma, teman papa yang punya pabrik kain," kata Huda. "Selamat malam, om Bisma. Saya Aster," ucap Aster seraya menyalami Bisma. Bisma menyambut tangan Aster dan membalas salamannya. Dia kembali berbincang dengan Huda. Tentang pekerjaan yang tidak dimengerti Aster. Aster hendak beralih ke ruang keluarga. Namun Huda mencegahnya. Putrinya disuruh ke depan. Ada yang perlu dibantu. "Ada apa, Pa?" tanya Aster keheranan. "
Lepas subuh Aster hampir tidur lagi. Udara sejuk membuat matanya berat untuk terbuka. Belum lagi selimut dan bantal seakan melambai - lambai memanggil. Suara ketukan di pintu kamar berbunyi tiap lima menit. Persis alarm ponsel yang lupa dimatikan. Aster pun bergegas memakai baju training dan topi bisbol. Keluar kamar untuk menghentikan ketukan pintu. "Bawa dua botol minum," suruh Huda. Aster pun menuju dapur. Mamanya menyerahkan dua botol kosong. Dia isi dari air galon isi ulang di dispenser. Dengan tas serut, Aster membawa kedua botol dan handuk kecil. Serta ponselnya. "Jangan pakai headset. Papa tidak mau dicuekin," pesan Huda berjalan menuju luar rumah. Di halaman, keduanya melakukan pemanasan. Huda memimpin gerak pemanasan seperti pada senam. Singkat dan serius. "Kita ke arah lapangan kampung saja. Di sana sudah ada track lari. Lebih aman. Ada fasilitas olah raga umum lain juga. Lebih mirip alun - alun kota lho sekarang," kata Huda. Daerah rumah papa Aster memang suda
"Ma, Mama!" seru Huda begitu masuk ke rumah. Dia berjalan bersemangat menuju dapur. Di sana istrinya tengah sibuk memasak. Panji putranya duduk menikmati secangkir teh. "Ada apa, Pa? Papa sudah mau sarapan? Tunggu dulu ya, Pa. Belum matang ini," balas Laura. "Bukan, bukan. Diselesaikan saja dulu. Tapi, sama dengerin berita dari papa," sahut Huda. Panji menoleh ke papa dan mamanya yang berdiri dekat kompor. Dia juga menoleh ke arah kakaknya yang menyusul masuk ke dapur sekaligus ruang makan mereka. Kakaknya menarik kursi makan, duduk cemberut. "Apa, Pa? Jangan membuat mama khawatir dong," ujar Laura. "Tahu nggak, Ma, itu, anaknya Mira. Mira pensiunan guru SD. Anaknya yang sebaya anak sulung kita. Kamu tahu kan?" "Oh, sobatnya Aster. Si Amar. Kenapa dia, Pa?" "Tadi kan ketemu di lapangan. Coba tebak dia tadi nawarin apa ke putri kita?" "Nawarin? Dia kan guru matematika di SMP dekat jalan besar sana itu. Masak nawarin les matematika ke Aster, Pa." Huda melambaikan tang
Kemarin Aster diantar pulang pukul delapan malam. Rumah sudah sepi. Baik Huda mau pun Laura sudah di dalam kamar. Kalau Panji masih di warung. Aster masuk saja ke kamar. Cuci kaki, cuci muka. Berganti dari celana jeans dan atasan rajut ke baju tidur. Pagi berikutnya dia tidak dibangunkan subuh - subuh untuk diajak jogging. Dia mendengar Huda berangkat jogging sendiri. Maka Aster pun bermalas - malasan di atas kasur. "Kopi, Mbak?" tanya Panji menawarkan. Aster mengangguk. Dia mau kopi hangat yang dibuat adiknya. Bisa membuat dirinya terjaga. "Semalam nggak seru?" tebak Panji. Dia menaruh secangkir kopi ke hadapan Aster. Lalu turut duduk. Sudah ada segelas teh hangat miliknya. "Kok bisa bilang begitu?" sahut Aster. "Habisnya, mbak cemberut gitu. Bangun pagi itu yang sumringah. Semangat menghadapi segala tantangan." "Memangnya aku cemberut? Nggak, kok. Aku biasa saja." "Sila membohongi diri sendiri. Kelihatan kok sedihnya. Padahal pulang sampai malam. Dia ngadalin kamu
Panji benar - benar ikut kakaknya. Dia duduk di kursi kemudi begitu kakaknya selesai memasukkan tas ke bagasi. Juga sudah berpamitan pada papa dan mama mereka. "Pamit dulu ke pak guru," ujar Panji polos. Aster mengacungkan tinju. Dia tidak suka dengan gurauan Panji. Sebab, tidak mungkin dia akan menghubungi Amar untuk mengatakan kalau dia pulang ke tempat tinggal barunya. Tidak setelah perpisahan malam kemarin. Dia malu kalau mengingatnya. Apa lagi kalau sekarang harus mengirim pesan ala - ala berpamitan. Nanti dikira memberi kode rahasia. "Kenapa, Mbak? Nggak berhasil? Gatot alias gagal total?" kata Panji. Adiknya mengendalikan kemudi. Sesekali bersenandung lirih. Sambil menghidupkan radio yang diputar dengan suara rendah. "Ck! Tahu aja," gerutu Aster. "Ayo, bisa yuk. Cerita, cerita," bujuk Panji. Aster menghela nafas. Dia malah mengeluarkan ponsel. Mulai sibuk berkirim pesan dengan dua rekan kerjanya. "Masak sih? Secepat itu? Padahal pulang sampai malam. Kalian ngap
"Kutu kupret!" umpat Panji. Dia meninju dinding. Lalu berjalan menuju kulkas. Diambilnya botol air putih. "Kamu di sini dulu. Besok dia pasti cari aku," kata Aster. "Tentu. Aku juga sudah suruh orang buat kawal kamu, Mbak," jawab Panji. "Baguslah. Mbak capek banget. Mbak takut juga." "Nggak usah takut, Mbak. Kamu kan nggak salah. Dia kan yang sudah brengsek. Nggak modal banget jadi cowok." "Ck! Bukan begitu. Mbak takut nggak bisa kontrol emosi. Antara nangis kayak orang stress atau ngamuk kayak orang gila." Panji mengusap tengkuk. Dia meringis saja pada kakaknya. "Ya..., itu bahaya juga sih. Parah." "Maka dari itu, Pan. Yaudah, kamu mau makan apa? Nanggung amat ini makan siang sudah lewat, makan malam juga masih lumayan." "Pesan online saja, Mbak. Aku yang pesan ya." "Oke, Pan. Aku mau mandi dulu." Aster masuk ke kamarnya. Dia tidak lantas melakukan aksi pembersihan diri. Dia duduk di tepi tempat tidur. Perlahan punggungnya bergetar. Suara lirih isakan keluar.
Memang benar yang sudah diperkirakan. Panji terbukti telah berpengalaman dan tepat dalam memperhitungkan. Orang itu muncul di halaman gedung. Aster mempercepat langkahnya masuk ke lift. Buru - buru menekan tombol sebelum orang itu bisa menyusul. Namun dia sudah meminta tolong pada sekuriti gedung agar tidak memberi ijin padanya untuk masuk menemui Aster. "Mbak Aster, kenapa? Kok pucat gitu? Apa sedang sakit?" heran Dini. Aster menyangkal keheranan Dini. Dia duduk ke mejanya seraya menghidupkan komputer. Dia katakan bahwa dia tidak sakit. Hanya saja dia sedikit memiliki hambatan dalam hidup. Dini yang mendengarnya malah menautkan alis. Dia tidak mengerti maksud Aster. "Ck! Reno mutus aku. Dia nikah sama cewek lain dua hari yang lalu. Kemarin aku ditemani Panji datang ke rumahnya buat nagih utang," cerita Aster. Dini membuka mulut. Matanya ikut melebar. Tidak percaya dengan cerita dari Aster. "Bos, jangan gitu dong. Lagi bikin cerpen?" "Bukan, Din. Dia di bawah tuh. Maksa
"Aster," sebut Brian. Dia maju meraih tangan Aster, yang langsung ditampik oleh David. Keduanya lantas beradu pandang. Aster ditarik mendekat oleh David. Lengan David melingkar di pundaknya. "Jaga tanganmu dari istriku!" desis David penuh ancaman. Brian menyeringai. "Sebentar lagi dia akan meninggalkanmu karena tempramen labilmu, Dav. Aku sih mau saja menerima anakmu juga." Gerakan David begitu cepat. Dia mendorong Brian sampai terhempas menabrak dinding. Lekas Jimmy menahan Brian. Menariknya menjauh dari David yang berdiri dengan nafas menderu. Tanpa takut Aster menyentuh tangan suaminya. "Mas... sudah." Seketika David menoleh. Nafasnya melembut. "Sayang, maaf. Aku... ayo kita masuk saja. Tidak perlu bicara dengan pria konyol ini." Brian tertawa. Dia berusaha melepaskan diri dari kuncian Jimmy. "Aster, kembalilah padaku saja. David tidak pantas mendapat dirimu. Aku bisa menyayangimu dan anakmu." David sudah hampir merangsek maju. Namun cengkeraman kuat tangan Aster
Aster mencubit tangan David. "Mengaku saja! Aku menemukan buku harian mas David di sini." David menegakkan diri. Dia mengusap leher Aster yang berdenyut lembut. "Wah... ternyata istriku. Kamu penasaran ya?" Aster mencubit makin sering. Dia jadi jengkel kalau digoda begitu. Dia menarik diri dari suaminya. Tanpa mengindahkan David yang membujuk, Aster berbaring. Dia memejamkan mata tidak mau mendengar David. Sang suaminya turut berbaring di sebelahnya. Tangannya melingkar di pinggang Aster yang berbaring miring. "Jangan marah, Sayang. Aku bercanda." Aster menggumam. Dia menyuruh David bergeser. "Anakku bilang ruangannya sempit." David tertawa pelan. Dengan rela bergeser sejengkal di belakang Aster. Sebentar lagi akan berubah keinginan istrinya. "Sayang... sudah tidur?" bisik David. Dia mendekat lagi. Namun Aster menggeram pelan. * David memegang tangan dan menyangga punggung Aster. Telaten membantu istrinya berjalan. "Awas lantainya tidak rata, Sayang." Mereka tengah
David berkacak pinggang. Dia mengerutkan dahi ke arah Jimmy. Asisten kepercayaannya tidak berani mengarahkan pandang pada David. Hanya ke arah leher David, yang sayangnya malah membuat Jimmy salah tingkah. Dia memutar mata ke pundak David saja. David memicingkan mata. "Kenapa kamu? Ada kesalahan yang tengah terjadi?" "Tidak, Bos. Semua berjalan lancar. Hanya saja... Anda yakin berangkat ke kantor hari ini?" Jimmy mengulas senyum hormat. "Memang kenapa? Aku sudah siap kembali menjadi David seperti sebelum hilang. Kamu mulai meragukanku, Jim? Apa Tomy semakin baik dan kamu mau beralih pada adikku?" Jimmy menggeleng cepat. "Tidak, Bos! Bos Tomy sudah punya asisten sendiri. Lagi pula beliau masih staf." "Kau sudah memanggilnya bos." David menerima tas yang Aster serahkan. Istrinya memberi senyum paling manis yang membuat David bersemangat. Namun tiba - tiba Aster berubah membelalak. Wajahnya memerah. "Mas, ke kamar sebentar." David mengerutkan dahi. Tapi dia mengikuti Aste
Aster duduk lemas di bawah tempat tidur. Bersandar ke kasur dengan kaki diluruskan. Suaminya turut duduk di sebelah Aster. Dengan telaten menyeka keringat yang membasahi muka. "Masih mual?" Kepalanya diangguk pelan. Itu pun tetap terasa tidak nyaman. Dia menarik tangan David dan digenggam kuat. "Mas... apa aku hamil ya? Harusnya sudah datang bulan. Rasanya juga enggak nyaman mau apa - apa." David melebarkan mata. Raut riang menyeruak. "Kita ke dokter langsung ya, Sayang? Kita pastikan ke ahlinya langsung. Karena ini pertama buat kita." Aster mendekat ke suaminya, menyandar manja. "Mas daftar dulu ke dokternya, aku masih lemah." David mengecup dahi Aster. Dia terkekeh pelan. Tangannya agak gemetaran karena begitu antusias. Selesai bersiap dan Aster sudah merasa lebih baik, mereka pun berangkat ke rumah sakit. David sudah mendaftar ke dokter kandungan yang ternyata adalah temannya. Aster menggamit lengan David saat memasuki rumah sakit. Dia memandang ke sekeliling dengan c
Dari David yang segera memberi perintah pada Jimmy untuk mencari informasi, Aster jadi tahu kalau selama ini Ari lebih sering tinggal di luar negeri. Di sana dia tinggal bersama seorang wanita yang sekarang sudah diceraikan. Karena itu dia kembali. Aster harap dia tidak mencoba mendekati Aster lagi. Dalam lubuk hatinya Aster tak memiliki rasa rindu. Sama sekali tak tergerak untuk mengetahui lebih soal sosok ayah kandung. Seakan ruang dalam hati Aster telah hampa. Dia tak lagi mau tahu. Tak mau bertemu pula. David yang baru pulang kerja selesai mandi. Sambil mengeringkan rambut dia duduk di sebelah istrinya. "Ayo kita pergi bulan madu saja." Istrinya malah menggeleng pelan. "Di rumah saja. Atau ke hotel." David meringis. Handuk ditaruh sebelum merangkul pinggang istrinya. "Kau perlu melihat dunia luar yang lain, Aster sayang." "Belum ingin. Di sini saja." Aster menaruh kepala ke dada David. "Aku mau datang ke persidangan." "Kamu yakin, Sayang?" David mengusap kepala
Aster merapat ke David. Dia tidak berani menyentuh kue yang diberikan. Pikiran ada orang di sana yang tengah memperhatikan membuatnya merinding. Dingin tengkuknya terasa. David melingkarkan tangan ke pinggang Aster. Memberinya tekanan lembut menenangkan. "Kita tunggu sebentar." "Apa ya, Mas? Kenapa aku merasa tidak nyaman." Aster menautkan jari - jemari dengan gelisah. Senyum hangat David sedikit menenangkan Aster. Dia pun tak malu mengecup pelipis Aster di tempat umum. Sampai suara langkah kaki berhenti di dekat meja mereka. Pegawai restoran datang dan mengangguk sopan. "Maaf, Bapak dan Ibu sudah menunggu. Saya Edwin manager restoran," ujar pria itu mengulurkan tangan. David melepas Aster. Dia menjabat kuat tangan Edwin. "Terima kasih sudah berkenan menemui kami, pak Edwin. Saya David, dan ini istrinya Aster." Tanpa berbasa - basi manager restoran itu mempersilakan David dan Aster mengikuti dirinya. Mereka diajak ke ruang meeting kecil. Seseorang sudah ada di sana.
Aster terkesiap. Dia membuka bibir ragu. "Mas... waktu Brian...." David menaruh bibirnya di atas bibir Aster. Seketika membungkam perkataan istrinya. "Dia tidak menyentuhmu," desis David dengan mata menyala. Tangan David melingkar ke pinggang Aster erat - erat. "Kalau dia sudah sentuh kamu, maka sudah kupatahkan pula kedua tangannya." "Mas...." David kembali menghentikan kegelisahan Aster dengan lumatan lembut. Sentuhan tangannya mengusap lembut punggung sang istri. "Cukup, Sayang. Aku percaya kamu tidak melakukan apa pun dengan brengsek itu. Kekerasan yang dia lakukan padamu akan dibayar. Simpan rapat memori itu, Sayang. Pikirkan saja kebahagian kita berdua. Hehm... oke?" Pelan - pelan Aster membalas pelukan David. Dia sandarkan dirinya pada dada bidang pria yang menjadi rumahnya kini. Arin pergi ke rumah David menjelang malam. Ada penjaga yang mengantar dan menjemputnya. Tinggallah hanya Aster dan David di rumah baru tersebut. Penjaga ada luar rumah. Tidak ada yang men
Safira tampak kaget. Dia berdeham. "Mama mau lanjut masak. Tidak usah dibantu. Kalian istirahat saja sana." David bergeming. "Ma... apa yang mama sembunyikan?" "Tidak ada!" Safira kembali menyiapkan bahan masakan. Langsung sibuk tak mau diganggu. Aster pun menyentuh lengan suaminya. Dia jadikan topangan untuk berdiri. Serta mengajak David naik ke kamar. "Aku rasa mama tahu lebih banyak soal ayah kandungku," ujar Aster lelah. Dia mendudukkan diri ke tepi tempat tidur. David ikut duduk di sebelahnya setelah menutup pintu. "Tidak heran, Sayang. Mamaku itu, dia sangat mengerikan. Dia memiliki sumber daya yang tak disangka," ungkap David. Dia menghela nafas. "Karena itu, Sayang, aku kesal kenapa mereka tidak bisa segera menemukanku sewaktu diculik. Seakan mereka memiliki rencana tersendiri sampai membiarkan anaknya menderita." Aster memutar badan. Tangan kecilnya menyentuh rahang kokoh David. "Sudah, Sayang. Maafkan papa dan mama. Yang penting, sekarang kita sudah bersama." D
Fuad memandang muram pada Aster. Lalu beralih ke David. Bahunya luruh turun. "Lakukan saja, Mas David. A-ku... kami pantas mendapatkannya." Fadil menoleh marah. Dia berseru lantang pada saudaranya. "Bodoh! Kamu sudah gila, Fu! Aku saudaramu!" Fuad mengangkat muka, memandang lekat pada Fadil. "Karena itu... itulah alasanku, Fad. Kamu saudara yang aku tak sampai hati membiarkanmu terperosok makin dalam." Aster mendekat ke suaminya. "Mas, ada apa ini? Kalian bicara soal apa?" Suami Aster merangkulnya. Dia mengajak mereka semua keluar dari pantry. Tak terduga, Fadil berjalan lebih dulu. Dia berlari ke arah pintu. Fuad berseru kaget. Namun David mencegah Fuad berlari mengejar saudara kembarnya. "Ada orangku di bawah. Fadil tidak akan bisa kemana - mana." Lelaki muda itu mengangguk pasrah. Dia beralih menghadap pada Aster yang masih tidak memahami keadaan. Tak ada keberanian dalam diri Fuad memandang Aster. Dia mengarahkan mata ke bayangan Aster. "Mbak ... aku menyesal. Ini semua