Baru juga selesai mandi. Bersantai di kamar sambil mengeringkan rambut. Laura memanggil Aster keluar kamar.
Aster pun buru - buru berganti baju pantas dan menyisir rambut. Wajahnya dirias tipis - tipis. Kemudian keluar dengan penasaran. Pasalnya dia mendengar ada suara asing. Tidak bisa menebak siapa yang datang malam - malam begini ke rumah orang tuanya. Mungkin tetangga yang juga penasaran Aster pulang ke rumah. Dia berdiri kaget melihat seorang pria paruh baya duduk di ruang tamu bersama Huda. Mereka berbincang santai. Begitu akrab. "Aster, sini. Ada om Bisma, teman papa yang punya pabrik kain," kata Huda. "Selamat malam, om Bisma. Saya Aster," ucap Aster seraya menyalami Bisma. Bisma menyambut tangan Aster dan membalas salamannya. Dia kembali berbincang dengan Huda. Tentang pekerjaan yang tidak dimengerti Aster. Aster hendak beralih ke ruang keluarga. Namun Huda mencegahnya. Putrinya disuruh ke depan. Ada yang perlu dibantu. "Ada apa, Pa?" tanya Aster keheranan. "Ah, Nak Aster, tolong bantu anakku yang duduk di depan," kata Bisma. Malah dia yang menjawab. "Oh, iya, Om. Saya periksa ke luar," ujar Aster seraya menuju pintu. Dia menggaruk tengkuk. Aneh benar bapak - bapak ini. Aster menuju teras depan. Sepi tidak tampak seseorang pun. Dia merasa aneh. Apa dia sudah ditipu oleh kedua bapak tadi. Namun dia baru melihat ada yang berjongkok di pojok halaman. Di depannya sebuah keranjang. Dia tampak memegang pita panjang. "Apa yang kamu lakukan?" tanya Aster mendekati cowok yang tak dikenal itu. Cowok itu mendongak kaget. Dia berdiri tiba - tiba. Tampak menatap lebar pada Aster, lalu melirik ke keranjang. Dia meringis canggung. "Hai! Apa aku mengganggu?" tanya cowok tersebut. Aster menaikkan alis. Sebenarnya dia tidak terganggu. Namun cowok asing ini ada di halaman rumah orang tuanya. Entah sedang berbuat apa pula. Aster menoleh ke keranjang. Dia agak terkejut melihat isinya. Bunga bunga potong beraneka rupa dan dedaunan kering. "Nggak sih. Tapi, kamu siapa? Kenapa di sini?" sahut Aster. Cowok itu mengusap tengkuk. Dia mengangsurkan tangan. Seraya mengucapkan permintaan maaf. Aster tidak segera menjawab angsuran tangan tersebut. Dia masih memperhatikan cowok itu tanpa jeda. Lalu menjabat tangannya secara kilat. "Aku Alfian, anak pak Bisma yang baru di dalam rumahmu. Aku mengantar papaku dan sedang mendapat masalah dengan bunga - bunga ini," ungkap cowok asing tersebut. "Oh, anak om Bisma. Memang masalah apa dengan bunga ini?" sahut Aster. Alfian mengangkat keranjang lewat gagangnya. "PR dari adikku. Disuruh membuat karangan bunga. Sampai harus kubawa ke sini," balas Alfian. "Bawa ke teras saja. Biar aku bantu kalau kamu tidak keberatan," kata Aster menawarkan. Alfian mengangguk setuju. Dia pun mengikuti Aster menuju teras. Dia menjinjing keranjang. "Tugas? Adikmu sekolah apa?" tanya Aster. "Dia masih sekolah SMA, mau beri buket untuk wali kelas," jawab Alfian. Dia mendorong keranjang ke arah Aster. Aster mengambil bunga. Di dalam keranjang sudah ada busa khusus bunga dan peralatan lain. Maka kemudian keduanya sibuk menata bunga bunga di keranjang. Alfian canggung membantu. Dia beberapa kali tertusuk gagang bunga. Salah mengikat pita. Aster pun mengambil alih. Dia menyelesaikan buket tersebut. Barulah menyerahkan kepada Alfian. "Aku tidak tahu agar bunganya tetap segar sampai besok. Mungkin kamu bisa sama cari di internet," kata Aster. "Iya, Aster. Terima kasih ya. Biar aku kirim ke adikku sekarang. Tolong nanti beritahu papaku untuk menunggu," sahut Alfian. "Apa tidak repot? Bolak - balik begitu," heran Aster. "Tidak, tidak. Ah, adikku, adik sepupu. Dia tinggal di dekat sini. Sebentar ya," terang Alfian. Dia pun mengangkat keranjang berhati - hati. Dia berlari kecil meninggalkan teras. Dia keluar pagar. Kemudian suara deru mobil terdengar. Suara mobil yang melaju cepat. Sepertinya tergesa - gesa. Aster menggeleng. Entah mengapa dia merasa janggal. Dia berpikir ada yang aneh dari adik sepupu Alfian. Namun itu bukan urusan Aster kan. Dia pun masuk ke rumah. Tidak ada lagi yang perlu dia lakukan. Tugas dari teman papa sudah dilaksanakan. "Lho, kok sudah masuk lagi?" kata Huda. Aster berhenti. Dia menebar senyum. Lantas mendekat ke sebelah papanya. "Maaf, om Bisma. Barusan Alfian pergi. Katanya mau antar buket ke adik sepupu. Sama minta tolong untuk menyampaikan ke Om kalau diminta menunggu dia kembali menjemput Om nanti," beritahu Aster. "Kok pergi? Adik sepupu siapa?" balas Bisma. Aster tertegun. "Saya tidak tahu, Om. Dia tidak bilang hal lain selain itu tadi." "Aduh, dasar anak itu. Ya, Nak Aster. Terima kasih sudah membantu. Maafkan dia tidak sopan padamu," ujar Bisma. Air muka Bisma keruh. Rasa ketidaksukaan terlihat cukup jelas. Pipinya juga memerah gelap. "Iya, Om. Saya tidak apa - apa. Saya permisi dulu ke kamar ya, Om," pamit Aster. Aster pun mendapat ijin. Dia menuju kamarnya. Tiba - tiba menjadi lelah setelah pertemuan yang aneh. Pukul sebelas malam, Bisma baru terdengar berpamitan pergi. Juga terdengar suara Alfian yang menyapa Huda. Suara percakapan singkat berangsur mengecil. Tok! Tok! Pintu kamar Aster diketuk tak lama kemudian. Huda mengayunkan daun pintu terbuka. Dia berdiri di ambang pintu. Kedua tangan bertolak pinggang. "Gimana menurut kamu?" tanya Huda. Aster duduk seketika. Dia mengerutkan dahi. Tidak tahu maksud dari pertanyaan papanya. Huda mencebik. "Alfian lah. Anak Bisma tadi lho. Gimana menurutmu?" "Oh, si Alfian. Aneh dia. Ganteng sih. Wangi juga. Tapi, agak janggal sikapnya." "Janggal gimana?" "Coba menurut papa, adik sepupu itu fiktif atau nyata?" "Hus! Kamu jangan berprasangka, As. Tidak baik. Biarlah dia mau apa. Nanti kalau penting, juga akan dijelaskan." "Iya, Pa. Lagi pula apa tujuannya kemari? Selain mengantarkan om Bisma tentunya." "Bertemu kamu lah." "Tapi kenapa nggak langsung ikut masuk? Malah membuat buket bunga. Terus pergi ke adik sepupu." "Kamu sudah mencurigai dia?" "Yaa..., begitulah, Pa. Memangnya Papa tidak curiga? Bukan berprasangka buruk kan. Apa om Bisma tidak mengatakan apa pun?" "Kami membicarakan pekerjaan saja. Dia malah terlihat marah. Ya, kalau itu, papa juga menjadi curiga. Tapi, kamu jangan - jangan karena masih sakit hati pada mantanmu itu." "Ih, nggak lah, Pa. Tapi, ya, memang aku belum bisa kan melupakan Reno secepat ini, Pa. Baru sehari lho. Apa aku sedingin itu sampai dengan mudah menghapus segala kenangan." "Dia sudah mencampakkanmu. Apa lagi yang mau diharapkan. Malah membuatmu galau kan." "Tapi, Pa, tidak begitu juga. Maksud Aster, Aster juga butuh waktu untuk berdamai dengan keadaan kan, Pa." "Baiklah. Baiklah. Setidaknya coba pertimbangkan mengenal Alfian. Papa lihat dia tidak terlalu buruk. Kecuali adik sepupu itu nyata." Aster menepuk dahi. Papa juga memiliki kecurigaan pada Alfian kan. Lagi pula apa baik mengenal pria baru secepat ini. Bagaimana kalau dia merasa dimanfaatkan. Tidak kah hal itu akan menyakiti lebih banyak orang. Belum lagi Aster akan tidak nyaman. Dia memiliki rasa bersalah yang akan terus menggelanyuti. "Ya, sudah. Kamu istirahat saja dulu. Tidak memikirkan Alfian dan adik sepupu yang entah benar atau tidak. Tapi, pokoknya kamu tinggal di rumah lagi. 3 hari cuti." "Tiga hari termasuk hari ini, Pa. Tidak lebih. Dini dan Fuad bakal menggantungku kalau aku terlalu lama di sini." "Apa sih anak - anak itu. Ya, oke. Kamu tidur. Besok bangun lagi, ikut papa jogging. Jam setengah enam ya." "Ya, Pa. Selamat malam, Pa." ~bersambungLepas subuh Aster hampir tidur lagi. Udara sejuk membuat matanya berat untuk terbuka. Belum lagi selimut dan bantal seakan melambai - lambai memanggil. Suara ketukan di pintu kamar berbunyi tiap lima menit. Persis alarm ponsel yang lupa dimatikan. Aster pun bergegas memakai baju training dan topi bisbol. Keluar kamar untuk menghentikan ketukan pintu. "Bawa dua botol minum," suruh Huda. Aster pun menuju dapur. Mamanya menyerahkan dua botol kosong. Dia isi dari air galon isi ulang di dispenser. Dengan tas serut, Aster membawa kedua botol dan handuk kecil. Serta ponselnya. "Jangan pakai headset. Papa tidak mau dicuekin," pesan Huda berjalan menuju luar rumah. Di halaman, keduanya melakukan pemanasan. Huda memimpin gerak pemanasan seperti pada senam. Singkat dan serius. "Kita ke arah lapangan kampung saja. Di sana sudah ada track lari. Lebih aman. Ada fasilitas olah raga umum lain juga. Lebih mirip alun - alun kota lho sekarang," kata Huda. Daerah rumah papa Aster memang suda
"Ma, Mama!" seru Huda begitu masuk ke rumah. Dia berjalan bersemangat menuju dapur. Di sana istrinya tengah sibuk memasak. Panji putranya duduk menikmati secangkir teh. "Ada apa, Pa? Papa sudah mau sarapan? Tunggu dulu ya, Pa. Belum matang ini," balas Laura. "Bukan, bukan. Diselesaikan saja dulu. Tapi, sama dengerin berita dari papa," sahut Huda. Panji menoleh ke papa dan mamanya yang berdiri dekat kompor. Dia juga menoleh ke arah kakaknya yang menyusul masuk ke dapur sekaligus ruang makan mereka. Kakaknya menarik kursi makan, duduk cemberut. "Apa, Pa? Jangan membuat mama khawatir dong," ujar Laura. "Tahu nggak, Ma, itu, anaknya Mira. Mira pensiunan guru SD. Anaknya yang sebaya anak sulung kita. Kamu tahu kan?" "Oh, sobatnya Aster. Si Amar. Kenapa dia, Pa?" "Tadi kan ketemu di lapangan. Coba tebak dia tadi nawarin apa ke putri kita?" "Nawarin? Dia kan guru matematika di SMP dekat jalan besar sana itu. Masak nawarin les matematika ke Aster, Pa." Huda melambaikan tang
Kemarin Aster diantar pulang pukul delapan malam. Rumah sudah sepi. Baik Huda mau pun Laura sudah di dalam kamar. Kalau Panji masih di warung. Aster masuk saja ke kamar. Cuci kaki, cuci muka. Berganti dari celana jeans dan atasan rajut ke baju tidur. Pagi berikutnya dia tidak dibangunkan subuh - subuh untuk diajak jogging. Dia mendengar Huda berangkat jogging sendiri. Maka Aster pun bermalas - malasan di atas kasur. "Kopi, Mbak?" tanya Panji menawarkan. Aster mengangguk. Dia mau kopi hangat yang dibuat adiknya. Bisa membuat dirinya terjaga. "Semalam nggak seru?" tebak Panji. Dia menaruh secangkir kopi ke hadapan Aster. Lalu turut duduk. Sudah ada segelas teh hangat miliknya. "Kok bisa bilang begitu?" sahut Aster. "Habisnya, mbak cemberut gitu. Bangun pagi itu yang sumringah. Semangat menghadapi segala tantangan." "Memangnya aku cemberut? Nggak, kok. Aku biasa saja." "Sila membohongi diri sendiri. Kelihatan kok sedihnya. Padahal pulang sampai malam. Dia ngadalin kamu
Panji benar - benar ikut kakaknya. Dia duduk di kursi kemudi begitu kakaknya selesai memasukkan tas ke bagasi. Juga sudah berpamitan pada papa dan mama mereka. "Pamit dulu ke pak guru," ujar Panji polos. Aster mengacungkan tinju. Dia tidak suka dengan gurauan Panji. Sebab, tidak mungkin dia akan menghubungi Amar untuk mengatakan kalau dia pulang ke tempat tinggal barunya. Tidak setelah perpisahan malam kemarin. Dia malu kalau mengingatnya. Apa lagi kalau sekarang harus mengirim pesan ala - ala berpamitan. Nanti dikira memberi kode rahasia. "Kenapa, Mbak? Nggak berhasil? Gatot alias gagal total?" kata Panji. Adiknya mengendalikan kemudi. Sesekali bersenandung lirih. Sambil menghidupkan radio yang diputar dengan suara rendah. "Ck! Tahu aja," gerutu Aster. "Ayo, bisa yuk. Cerita, cerita," bujuk Panji. Aster menghela nafas. Dia malah mengeluarkan ponsel. Mulai sibuk berkirim pesan dengan dua rekan kerjanya. "Masak sih? Secepat itu? Padahal pulang sampai malam. Kalian ngap
"Kutu kupret!" umpat Panji. Dia meninju dinding. Lalu berjalan menuju kulkas. Diambilnya botol air putih. "Kamu di sini dulu. Besok dia pasti cari aku," kata Aster. "Tentu. Aku juga sudah suruh orang buat kawal kamu, Mbak," jawab Panji. "Baguslah. Mbak capek banget. Mbak takut juga." "Nggak usah takut, Mbak. Kamu kan nggak salah. Dia kan yang sudah brengsek. Nggak modal banget jadi cowok." "Ck! Bukan begitu. Mbak takut nggak bisa kontrol emosi. Antara nangis kayak orang stress atau ngamuk kayak orang gila." Panji mengusap tengkuk. Dia meringis saja pada kakaknya. "Ya..., itu bahaya juga sih. Parah." "Maka dari itu, Pan. Yaudah, kamu mau makan apa? Nanggung amat ini makan siang sudah lewat, makan malam juga masih lumayan." "Pesan online saja, Mbak. Aku yang pesan ya." "Oke, Pan. Aku mau mandi dulu." Aster masuk ke kamarnya. Dia tidak lantas melakukan aksi pembersihan diri. Dia duduk di tepi tempat tidur. Perlahan punggungnya bergetar. Suara lirih isakan keluar.
Memang benar yang sudah diperkirakan. Panji terbukti telah berpengalaman dan tepat dalam memperhitungkan. Orang itu muncul di halaman gedung. Aster mempercepat langkahnya masuk ke lift. Buru - buru menekan tombol sebelum orang itu bisa menyusul. Namun dia sudah meminta tolong pada sekuriti gedung agar tidak memberi ijin padanya untuk masuk menemui Aster. "Mbak Aster, kenapa? Kok pucat gitu? Apa sedang sakit?" heran Dini. Aster menyangkal keheranan Dini. Dia duduk ke mejanya seraya menghidupkan komputer. Dia katakan bahwa dia tidak sakit. Hanya saja dia sedikit memiliki hambatan dalam hidup. Dini yang mendengarnya malah menautkan alis. Dia tidak mengerti maksud Aster. "Ck! Reno mutus aku. Dia nikah sama cewek lain dua hari yang lalu. Kemarin aku ditemani Panji datang ke rumahnya buat nagih utang," cerita Aster. Dini membuka mulut. Matanya ikut melebar. Tidak percaya dengan cerita dari Aster. "Bos, jangan gitu dong. Lagi bikin cerpen?" "Bukan, Din. Dia di bawah tuh. Maksa
Dikarenakan pekerjaan yang tidak bisa lagi ditangguhkan. Tenggat waktu juga makin mendekat. Ketiga pekerja keras ini sampai lembur. Sore hari Panji sempat menelepon Aster. Dia memberitahu kalau akan datang ke kantor. Aster pun meminta sang adik membawakan makanan untuk mereka semua. "Besok kunjungan ke pabrik ATK, Mbak. Jam 9 sudah sampai sana," beritahu Dini sebelum mereka pulang. "Oke. Bertiga atau siapa saja?" jawab Aster. "Ya, bertiga dong. Siapa yang mau nyetir coba," sahut Dini. "Mbak Aster dong. SIM aku belum jadi," timpal Fuad. "Pan, kamu besok udah pulang?" tanya Aster. Panji yang duduk santai makan camilan, menoleh terkejut. Dia menelan kunyahan di mulut. Wajahnya jadi terlihat begitu lucu. "Ya, iya sih, Mbak. Tapi ya..., ya misal perlu dibantu ya aku pertimbangkan," jawab Panji. "Nggak, kamu urus soal Reno aja deh, Pan. Urusan kerjaan biar kami saja," sahut Aster. Dini dan Fuad menukar pandang. Mereka pun beranjak dari kursi masing masing. Keduanya menga
Sedari pagi bunyi ketikan keyboard dan pencetan tetikus. Kadang suara printer mencetak. Dering telepon sekali dua kali. Segelas kopi mengepul dibawa dari pantry ke meja kerja. Berkas digeser agar aman. Aroma kopi hitam kental tanpa pemanis menguar. "Sudah nggak ke kantor lagi, kan?" tanya Dini. Dia memandangi Aster yang berjalan menuju mejanya. Senyum lembut terpancar. Ada kekhawatiran terpancar. "Iya. Akhirnya mau tanda tangan perjanjian bayar utang dan nggak akan gangguin aku, keluargaku dan teman temanku," jawab Aster. Aster mengambil berkas yang diangsurkan Dini. Dia membaca sambil berdiri. Begitu berkonsentrasi. Meski sekilas dia teringat bagaimana Panji dan temannya memaksa Reno menyerah. Semi mengancam sampai surat perjanjian resmi ditandatangani. Masih terasa tatapan penuh amarah yang terpancar dari mata Reno. Tengkuk Aster jadi merinding. Dia menutup berkas, membawanya ke meja sendiri. Duduk bersandar penuh ke kursi. "Uang yang dipinjam termasuk uang kantor, D
"Aster," sebut Brian. Dia maju meraih tangan Aster, yang langsung ditampik oleh David. Keduanya lantas beradu pandang. Aster ditarik mendekat oleh David. Lengan David melingkar di pundaknya. "Jaga tanganmu dari istriku!" desis David penuh ancaman. Brian menyeringai. "Sebentar lagi dia akan meninggalkanmu karena tempramen labilmu, Dav. Aku sih mau saja menerima anakmu juga." Gerakan David begitu cepat. Dia mendorong Brian sampai terhempas menabrak dinding. Lekas Jimmy menahan Brian. Menariknya menjauh dari David yang berdiri dengan nafas menderu. Tanpa takut Aster menyentuh tangan suaminya. "Mas... sudah." Seketika David menoleh. Nafasnya melembut. "Sayang, maaf. Aku... ayo kita masuk saja. Tidak perlu bicara dengan pria konyol ini." Brian tertawa. Dia berusaha melepaskan diri dari kuncian Jimmy. "Aster, kembalilah padaku saja. David tidak pantas mendapat dirimu. Aku bisa menyayangimu dan anakmu." David sudah hampir merangsek maju. Namun cengkeraman kuat tangan Aster
Aster mencubit tangan David. "Mengaku saja! Aku menemukan buku harian mas David di sini." David menegakkan diri. Dia mengusap leher Aster yang berdenyut lembut. "Wah... ternyata istriku. Kamu penasaran ya?" Aster mencubit makin sering. Dia jadi jengkel kalau digoda begitu. Dia menarik diri dari suaminya. Tanpa mengindahkan David yang membujuk, Aster berbaring. Dia memejamkan mata tidak mau mendengar David. Sang suaminya turut berbaring di sebelahnya. Tangannya melingkar di pinggang Aster yang berbaring miring. "Jangan marah, Sayang. Aku bercanda." Aster menggumam. Dia menyuruh David bergeser. "Anakku bilang ruangannya sempit." David tertawa pelan. Dengan rela bergeser sejengkal di belakang Aster. Sebentar lagi akan berubah keinginan istrinya. "Sayang... sudah tidur?" bisik David. Dia mendekat lagi. Namun Aster menggeram pelan. * David memegang tangan dan menyangga punggung Aster. Telaten membantu istrinya berjalan. "Awas lantainya tidak rata, Sayang." Mereka tengah
David berkacak pinggang. Dia mengerutkan dahi ke arah Jimmy. Asisten kepercayaannya tidak berani mengarahkan pandang pada David. Hanya ke arah leher David, yang sayangnya malah membuat Jimmy salah tingkah. Dia memutar mata ke pundak David saja. David memicingkan mata. "Kenapa kamu? Ada kesalahan yang tengah terjadi?" "Tidak, Bos. Semua berjalan lancar. Hanya saja... Anda yakin berangkat ke kantor hari ini?" Jimmy mengulas senyum hormat. "Memang kenapa? Aku sudah siap kembali menjadi David seperti sebelum hilang. Kamu mulai meragukanku, Jim? Apa Tomy semakin baik dan kamu mau beralih pada adikku?" Jimmy menggeleng cepat. "Tidak, Bos! Bos Tomy sudah punya asisten sendiri. Lagi pula beliau masih staf." "Kau sudah memanggilnya bos." David menerima tas yang Aster serahkan. Istrinya memberi senyum paling manis yang membuat David bersemangat. Namun tiba - tiba Aster berubah membelalak. Wajahnya memerah. "Mas, ke kamar sebentar." David mengerutkan dahi. Tapi dia mengikuti Aste
Aster duduk lemas di bawah tempat tidur. Bersandar ke kasur dengan kaki diluruskan. Suaminya turut duduk di sebelah Aster. Dengan telaten menyeka keringat yang membasahi muka. "Masih mual?" Kepalanya diangguk pelan. Itu pun tetap terasa tidak nyaman. Dia menarik tangan David dan digenggam kuat. "Mas... apa aku hamil ya? Harusnya sudah datang bulan. Rasanya juga enggak nyaman mau apa - apa." David melebarkan mata. Raut riang menyeruak. "Kita ke dokter langsung ya, Sayang? Kita pastikan ke ahlinya langsung. Karena ini pertama buat kita." Aster mendekat ke suaminya, menyandar manja. "Mas daftar dulu ke dokternya, aku masih lemah." David mengecup dahi Aster. Dia terkekeh pelan. Tangannya agak gemetaran karena begitu antusias. Selesai bersiap dan Aster sudah merasa lebih baik, mereka pun berangkat ke rumah sakit. David sudah mendaftar ke dokter kandungan yang ternyata adalah temannya. Aster menggamit lengan David saat memasuki rumah sakit. Dia memandang ke sekeliling dengan c
Dari David yang segera memberi perintah pada Jimmy untuk mencari informasi, Aster jadi tahu kalau selama ini Ari lebih sering tinggal di luar negeri. Di sana dia tinggal bersama seorang wanita yang sekarang sudah diceraikan. Karena itu dia kembali. Aster harap dia tidak mencoba mendekati Aster lagi. Dalam lubuk hatinya Aster tak memiliki rasa rindu. Sama sekali tak tergerak untuk mengetahui lebih soal sosok ayah kandung. Seakan ruang dalam hati Aster telah hampa. Dia tak lagi mau tahu. Tak mau bertemu pula. David yang baru pulang kerja selesai mandi. Sambil mengeringkan rambut dia duduk di sebelah istrinya. "Ayo kita pergi bulan madu saja." Istrinya malah menggeleng pelan. "Di rumah saja. Atau ke hotel." David meringis. Handuk ditaruh sebelum merangkul pinggang istrinya. "Kau perlu melihat dunia luar yang lain, Aster sayang." "Belum ingin. Di sini saja." Aster menaruh kepala ke dada David. "Aku mau datang ke persidangan." "Kamu yakin, Sayang?" David mengusap kepala
Aster merapat ke David. Dia tidak berani menyentuh kue yang diberikan. Pikiran ada orang di sana yang tengah memperhatikan membuatnya merinding. Dingin tengkuknya terasa. David melingkarkan tangan ke pinggang Aster. Memberinya tekanan lembut menenangkan. "Kita tunggu sebentar." "Apa ya, Mas? Kenapa aku merasa tidak nyaman." Aster menautkan jari - jemari dengan gelisah. Senyum hangat David sedikit menenangkan Aster. Dia pun tak malu mengecup pelipis Aster di tempat umum. Sampai suara langkah kaki berhenti di dekat meja mereka. Pegawai restoran datang dan mengangguk sopan. "Maaf, Bapak dan Ibu sudah menunggu. Saya Edwin manager restoran," ujar pria itu mengulurkan tangan. David melepas Aster. Dia menjabat kuat tangan Edwin. "Terima kasih sudah berkenan menemui kami, pak Edwin. Saya David, dan ini istrinya Aster." Tanpa berbasa - basi manager restoran itu mempersilakan David dan Aster mengikuti dirinya. Mereka diajak ke ruang meeting kecil. Seseorang sudah ada di sana.
Aster terkesiap. Dia membuka bibir ragu. "Mas... waktu Brian...." David menaruh bibirnya di atas bibir Aster. Seketika membungkam perkataan istrinya. "Dia tidak menyentuhmu," desis David dengan mata menyala. Tangan David melingkar ke pinggang Aster erat - erat. "Kalau dia sudah sentuh kamu, maka sudah kupatahkan pula kedua tangannya." "Mas...." David kembali menghentikan kegelisahan Aster dengan lumatan lembut. Sentuhan tangannya mengusap lembut punggung sang istri. "Cukup, Sayang. Aku percaya kamu tidak melakukan apa pun dengan brengsek itu. Kekerasan yang dia lakukan padamu akan dibayar. Simpan rapat memori itu, Sayang. Pikirkan saja kebahagian kita berdua. Hehm... oke?" Pelan - pelan Aster membalas pelukan David. Dia sandarkan dirinya pada dada bidang pria yang menjadi rumahnya kini. Arin pergi ke rumah David menjelang malam. Ada penjaga yang mengantar dan menjemputnya. Tinggallah hanya Aster dan David di rumah baru tersebut. Penjaga ada luar rumah. Tidak ada yang men
Safira tampak kaget. Dia berdeham. "Mama mau lanjut masak. Tidak usah dibantu. Kalian istirahat saja sana." David bergeming. "Ma... apa yang mama sembunyikan?" "Tidak ada!" Safira kembali menyiapkan bahan masakan. Langsung sibuk tak mau diganggu. Aster pun menyentuh lengan suaminya. Dia jadikan topangan untuk berdiri. Serta mengajak David naik ke kamar. "Aku rasa mama tahu lebih banyak soal ayah kandungku," ujar Aster lelah. Dia mendudukkan diri ke tepi tempat tidur. David ikut duduk di sebelahnya setelah menutup pintu. "Tidak heran, Sayang. Mamaku itu, dia sangat mengerikan. Dia memiliki sumber daya yang tak disangka," ungkap David. Dia menghela nafas. "Karena itu, Sayang, aku kesal kenapa mereka tidak bisa segera menemukanku sewaktu diculik. Seakan mereka memiliki rencana tersendiri sampai membiarkan anaknya menderita." Aster memutar badan. Tangan kecilnya menyentuh rahang kokoh David. "Sudah, Sayang. Maafkan papa dan mama. Yang penting, sekarang kita sudah bersama." D
Fuad memandang muram pada Aster. Lalu beralih ke David. Bahunya luruh turun. "Lakukan saja, Mas David. A-ku... kami pantas mendapatkannya." Fadil menoleh marah. Dia berseru lantang pada saudaranya. "Bodoh! Kamu sudah gila, Fu! Aku saudaramu!" Fuad mengangkat muka, memandang lekat pada Fadil. "Karena itu... itulah alasanku, Fad. Kamu saudara yang aku tak sampai hati membiarkanmu terperosok makin dalam." Aster mendekat ke suaminya. "Mas, ada apa ini? Kalian bicara soal apa?" Suami Aster merangkulnya. Dia mengajak mereka semua keluar dari pantry. Tak terduga, Fadil berjalan lebih dulu. Dia berlari ke arah pintu. Fuad berseru kaget. Namun David mencegah Fuad berlari mengejar saudara kembarnya. "Ada orangku di bawah. Fadil tidak akan bisa kemana - mana." Lelaki muda itu mengangguk pasrah. Dia beralih menghadap pada Aster yang masih tidak memahami keadaan. Tak ada keberanian dalam diri Fuad memandang Aster. Dia mengarahkan mata ke bayangan Aster. "Mbak ... aku menyesal. Ini semua