Share

3 Hari (pertama)

Baru juga selesai mandi. Bersantai di kamar sambil mengeringkan rambut. Laura memanggil Aster keluar kamar.

Aster pun buru - buru berganti baju pantas dan menyisir rambut. Wajahnya dirias tipis - tipis. Kemudian keluar dengan penasaran.

Pasalnya dia mendengar ada suara asing. Tidak bisa menebak siapa yang datang malam - malam begini ke rumah orang tuanya. Mungkin tetangga yang juga penasaran Aster pulang ke rumah.

Dia berdiri kaget melihat seorang pria paruh baya duduk di ruang tamu bersama Huda. Mereka berbincang santai. Begitu akrab.

"Aster, sini. Ada om Bisma, teman papa yang punya pabrik kain," kata Huda.

"Selamat malam, om Bisma. Saya Aster," ucap Aster seraya menyalami Bisma.

Bisma menyambut tangan Aster dan membalas salamannya. Dia kembali berbincang dengan Huda. Tentang pekerjaan yang tidak dimengerti Aster.

Aster hendak beralih ke ruang keluarga. Namun Huda mencegahnya. Putrinya disuruh ke depan. Ada yang perlu dibantu.

"Ada apa, Pa?" tanya Aster keheranan.

"Ah, Nak Aster, tolong bantu anakku yang duduk di depan," kata Bisma. Malah dia yang menjawab.

"Oh, iya, Om. Saya periksa ke luar," ujar Aster seraya menuju pintu. Dia menggaruk tengkuk. Aneh benar bapak - bapak ini.

Aster menuju teras depan. Sepi tidak tampak seseorang pun. Dia merasa aneh. Apa dia sudah ditipu oleh kedua bapak tadi.

Namun dia baru melihat ada yang berjongkok di pojok halaman. Di depannya sebuah keranjang. Dia tampak memegang pita panjang.

"Apa yang kamu lakukan?" tanya Aster mendekati cowok yang tak dikenal itu.

Cowok itu mendongak kaget. Dia berdiri tiba - tiba. Tampak menatap lebar pada Aster, lalu melirik ke keranjang. Dia meringis canggung.

"Hai! Apa aku mengganggu?" tanya cowok tersebut.

Aster menaikkan alis. Sebenarnya dia tidak terganggu. Namun cowok asing ini ada di halaman rumah orang tuanya. Entah sedang berbuat apa pula.

Aster menoleh ke keranjang. Dia agak terkejut melihat isinya. Bunga bunga potong beraneka rupa dan dedaunan kering.

"Nggak sih. Tapi, kamu siapa? Kenapa di sini?" sahut Aster.

Cowok itu mengusap tengkuk. Dia mengangsurkan tangan. Seraya mengucapkan permintaan maaf.

Aster tidak segera menjawab angsuran tangan tersebut. Dia masih memperhatikan cowok itu tanpa jeda. Lalu menjabat tangannya secara kilat.

"Aku Alfian, anak pak Bisma yang baru di dalam rumahmu. Aku mengantar papaku dan sedang mendapat masalah dengan bunga - bunga ini," ungkap cowok asing tersebut.

"Oh, anak om Bisma. Memang masalah apa dengan bunga ini?" sahut Aster.

Alfian mengangkat keranjang lewat gagangnya. "PR dari adikku. Disuruh membuat karangan bunga. Sampai harus kubawa ke sini," balas Alfian.

"Bawa ke teras saja. Biar aku bantu kalau kamu tidak keberatan," kata Aster menawarkan.

Alfian mengangguk setuju. Dia pun mengikuti Aster menuju teras. Dia menjinjing keranjang.

"Tugas? Adikmu sekolah apa?" tanya Aster.

"Dia masih sekolah SMA, mau beri buket untuk wali kelas," jawab Alfian. Dia mendorong keranjang ke arah Aster.

Aster mengambil bunga. Di dalam keranjang sudah ada busa khusus bunga dan peralatan lain. Maka kemudian keduanya sibuk menata bunga bunga di keranjang.

Alfian canggung membantu. Dia beberapa kali tertusuk gagang bunga. Salah mengikat pita.

Aster pun mengambil alih. Dia menyelesaikan buket tersebut. Barulah menyerahkan kepada Alfian.

"Aku tidak tahu agar bunganya tetap segar sampai besok. Mungkin kamu bisa sama cari di internet," kata Aster.

"Iya, Aster. Terima kasih ya. Biar aku kirim ke adikku sekarang. Tolong nanti beritahu papaku untuk menunggu," sahut Alfian.

"Apa tidak repot? Bolak - balik begitu," heran Aster.

"Tidak, tidak. Ah, adikku, adik sepupu. Dia tinggal di dekat sini. Sebentar ya," terang Alfian.

Dia pun mengangkat keranjang berhati - hati. Dia berlari kecil meninggalkan teras. Dia keluar pagar.

Kemudian suara deru mobil terdengar. Suara mobil yang melaju cepat. Sepertinya tergesa - gesa.

Aster menggeleng. Entah mengapa dia merasa janggal. Dia berpikir ada yang aneh dari adik sepupu Alfian. Namun itu bukan urusan Aster kan.

Dia pun masuk ke rumah. Tidak ada lagi yang perlu dia lakukan. Tugas dari teman papa sudah dilaksanakan.

"Lho, kok sudah masuk lagi?" kata Huda.

Aster berhenti. Dia menebar senyum. Lantas mendekat ke sebelah papanya.

"Maaf, om Bisma. Barusan Alfian pergi. Katanya mau antar buket ke adik sepupu. Sama minta tolong untuk menyampaikan ke Om kalau diminta menunggu dia kembali menjemput Om nanti," beritahu Aster.

"Kok pergi? Adik sepupu siapa?" balas Bisma.

Aster tertegun. "Saya tidak tahu, Om. Dia tidak bilang hal lain selain itu tadi."

"Aduh, dasar anak itu. Ya, Nak Aster. Terima kasih sudah membantu. Maafkan dia tidak sopan padamu," ujar Bisma.

Air muka Bisma keruh. Rasa ketidaksukaan terlihat cukup jelas. Pipinya juga memerah gelap.

"Iya, Om. Saya tidak apa - apa. Saya permisi dulu ke kamar ya, Om," pamit Aster.

Aster pun mendapat ijin. Dia menuju kamarnya. Tiba - tiba menjadi lelah setelah pertemuan yang aneh.

Pukul sebelas malam, Bisma baru terdengar berpamitan pergi. Juga terdengar suara Alfian yang menyapa Huda. Suara percakapan singkat berangsur mengecil.

Tok! Tok! Pintu kamar Aster diketuk tak lama kemudian.

Huda mengayunkan daun pintu terbuka. Dia berdiri di ambang pintu. Kedua tangan bertolak pinggang.

"Gimana menurut kamu?" tanya Huda.

Aster duduk seketika. Dia mengerutkan dahi. Tidak tahu maksud dari pertanyaan papanya.

Huda mencebik. "Alfian lah. Anak Bisma tadi lho. Gimana menurutmu?"

"Oh, si Alfian. Aneh dia. Ganteng sih. Wangi juga. Tapi, agak janggal sikapnya."

"Janggal gimana?"

"Coba menurut papa, adik sepupu itu fiktif atau nyata?"

"Hus! Kamu jangan berprasangka, As. Tidak baik. Biarlah dia mau apa. Nanti kalau penting, juga akan dijelaskan."

"Iya, Pa. Lagi pula apa tujuannya kemari? Selain mengantarkan om Bisma tentunya."

"Bertemu kamu lah."

"Tapi kenapa nggak langsung ikut masuk? Malah membuat buket bunga. Terus pergi ke adik sepupu."

"Kamu sudah mencurigai dia?"

"Yaa..., begitulah, Pa. Memangnya Papa tidak curiga? Bukan berprasangka buruk kan. Apa om Bisma tidak mengatakan apa pun?"

"Kami membicarakan pekerjaan saja. Dia malah terlihat marah. Ya, kalau itu, papa juga menjadi curiga. Tapi, kamu jangan - jangan karena masih sakit hati pada mantanmu itu."

"Ih, nggak lah, Pa. Tapi, ya, memang aku belum bisa kan melupakan Reno secepat ini, Pa. Baru sehari lho. Apa aku sedingin itu sampai dengan mudah menghapus segala kenangan."

"Dia sudah mencampakkanmu. Apa lagi yang mau diharapkan. Malah membuatmu galau kan."

"Tapi, Pa, tidak begitu juga. Maksud Aster, Aster juga butuh waktu untuk berdamai dengan keadaan kan, Pa."

"Baiklah. Baiklah. Setidaknya coba pertimbangkan mengenal Alfian. Papa lihat dia tidak terlalu buruk. Kecuali adik sepupu itu nyata."

Aster menepuk dahi. Papa juga memiliki kecurigaan pada Alfian kan. Lagi pula apa baik mengenal pria baru secepat ini. Bagaimana kalau dia merasa dimanfaatkan.

Tidak kah hal itu akan menyakiti lebih banyak orang. Belum lagi Aster akan tidak nyaman. Dia memiliki rasa bersalah yang akan terus menggelanyuti.

"Ya, sudah. Kamu istirahat saja dulu. Tidak memikirkan Alfian dan adik sepupu yang entah benar atau tidak. Tapi, pokoknya kamu tinggal di rumah lagi. 3 hari cuti."

"Tiga hari termasuk hari ini, Pa. Tidak lebih. Dini dan Fuad bakal menggantungku kalau aku terlalu lama di sini."

"Apa sih anak - anak itu. Ya, oke. Kamu tidur. Besok bangun lagi, ikut papa jogging. Jam setengah enam ya."

"Ya, Pa. Selamat malam, Pa."

~bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status