Share

Disidang

Papa berdiri berkacak pinggang. Aster pun buru - buru bangkit. Dia menyalami papa dan mama bergantian.

"Pulang juga akhirnya. Makan lah. Selesai itu kita bicara," kata Huda.

"Iya, Pa. Papa sudah makan siang?" ujar Aster.

"Sudah. Ma, tolong kopi. Papa duduk di teras samping," lanjut Huda kemudian melangkah pergi.

Laura menghampiri putrinya. "Selesaiin dulu makannya. Habis itu kamu nurut saja sama papa kamu. Nggak usah protes. Papa kamu itu tahu mana yang baik dan yang buruk. Dia nggak mungkin pilih hal buruk buat putrinya."

"Iya, Ma," jawab Aster patuh.

Laura bergeser ke dapur. Dia mulai sibuk membuat secangkir kopi kesukaan suaminya. Sementara Aster menyelesaikan makan mie. Dan Panji pamit kembali ke warung.

"Nggak usah nyariin cowok yang sudah mutusin kamu. Putus ya berakhir. Untuk apa kejar - kejar lagi. Jaga martabat kamu sebagai wanita," Laura mulai menasehati.

Aster menelan ludah. Dia mengangkat piring kotor ke washbak. "Aster tahu, Ma. Aster nggak akan cari - cari Reno. Sudah jelas dia mutusin Aster dan nggak mau dikontak lagi," beritahu Aster dengan sendu.

Suara denting sendok mengaduk isi cangkir berkolaborasi dengan suara piring disabun dan dibilas air. Tidak ada perdebatan lain dari anak dan ibu itu. Aster mengelap piring dengan kain kotak - kotak, lalu menaruh ke rak.

"Apa papa mau jodohin Aster?" tanya Aster takut - takut.

Laura menaruh secangkir kopi panas ke nampan. "Memangnya papa kamu sekuno itu. Tidak lah. Ya, paling tidak untuk saat ini belum. Kamu tidak usah berpikir ini itu. Fokus saja ke pekerjaan kamu."

"Begitu ya, Ma," jawab Aster.

Laura tidak menyahut. Dia berjalan menuju teras samping mengantar kopi. Tinggal Aster merenung di dapur.

Dia pun beranjak dari dapur setelah menarik nafas dalam - dalam. Apa pun yang akan terjadi, akan dihadapi dengan kepala tegak. Dia tidak akan terpuruk hanya karena ditinggal Reno, kan?

Huda menyeruput kopi. Tampak tenang sambil memandangi aneka tanaman hias yang memenuhi taman samping rumah. Cangkir ditaruh kembali ke tatakan.

Tampaknya kesukaan minum kopi diturunkan dari papa. Aster pun menyukai kopi bahkan sejak sekolah. Dia sering minum kopi hitam untuk membuat terjaga.

Papanya menyuruh duduk. Aster pun duduk di kursi rotan di seberang Huda. Dia ikut memandang ke taman.

Soal taman pun Aster turut menuruni. Di rumah yang dia huni juga memiliki taman meski jauh lebih kecil dari milik orang tuanya. Dia yang menanam dan merawatnya sendiri.

"Sejak kapan putus sama Reo?" tanya Huda.

"Reno, Pa," ralat Aster.

"Ya, Revo. Baru kemarin ya? Baguslah. Papa punya teman yang anaknya seumuran kamu. Kalian kenalan saja. Dia kerja di kota kamu tinggal," kata Huda.

Aster menarik nafas berat. "Iya, Aster diputus Reno kemarin. Tapi, Pa, apa secepat ini?"

"Kan kenalan saja, Aster. Bukan langsung menikah. Ya, kalau kamu mau langsung menikah juga tidak apa - apa."

Aster menggelengkan kepala. Tidak mungkin dia bisa beralih rasa secepat itu. Lebih baik dia menuruti saja perkataan Huda.

"Siapa namanya?" tanya Aster.

"Mana papa tahu. Kamu yang kenalan saja," jawab Huda.

Aster meraup muka. Dia pun mengangguk - angguk saja. Nanti pasti sudah diatur Huda untuk bertemu temannya. Dari sana lah akan bertemu anaknya.

"Menginap saja. Pulang besok - besok. Di sana juga mau apa."

"Pa, Aster kan ada kerjaan. Tidak bisa dikerjakan Dini dan Fuad sendiri. Perlu sama Aster juga."

"Halah! Cuti lah tiga hari. Sudah dua tahun kamu tidak pernah cuti. Buat apa pula kerja kalau kamu masih patah hati begitu."

"Papaaaa.... Tidak begitu juga lah. Kerja dan patah hati itu berbeda. Tidak apple to apple."

"Kamu bicara apa sih, As. Mau jualan apel juga?"

Aster menghembus nafas perlahan. "Papa bersantai saja dulu. Aster mau ke warungnya Panji. Siapa tahu dia butuh bantuan."

"Nah, itu. Kamu magang di tempatnya Panji. 3 hari lah."

"Pa, ada apa sih dalam 3 hari?"

"Ya, ada apa - apa. Hanya saja kita belum tahu. Kita sebagai manusia bisanya berusaha. Kamu coba saja. Sekalian itu dua karyawan kamu suruh cuti juga. Libur bersama 3 hari. Jarang - jarang kan. Cuti bersama pemerintah saja kalian tidak pernah ikut."

Aster mengenyit dahi. Dia beringsut berdiri dari kursi. "Sambil Aster pertimbangkan, Pa. Aster pamit dulu. Hendak berpikir di warung Panji saja."

"Ya, sana pergilah," Huda memberi ijin.

Aster pun undur diri dari teras samping. Dia menuju warung Panji. Namun di halaman, Laura menghadang langkah putrinya.

"Papa kamu bilang apa saja?" tanya Laura.

"Papa suruh Aster cuti 3 hari. Tinggal di sini. Nggak tahu suruh ngapain," jawab Aster.

Laura menyipitkan mata ke arah Aster. Dia menggeleng meragukan. "Tadi bilangnya nggak gitu. Katanya mau disuruh milih kandidat dari bibi Yani. Kok berubah sih."

"Apa, Ma? Papa mau Aster ketemu kandidat dari bibi Yani? Nggak! Nggak! Aster nggak mau."

"Sstt! Rendahin suara kamu, As. Nanti papa kamu dengar. Atau tetangga ada yang dengar. Bisa - bisa kamu dikira ngamuk. Terus ini kamu mau ngapain?"

Aster cemberut. Dia menggaruk kepala yang tidak gatal. "Mau berpikir di warung Panji," kata Aster.

"Aneh ya kalian. Berpikir kok di tempat ramai."

"Kalau gitu Aster mau ke sungai saja. Di tepi sungai tenang dan adem. Sungguh mendukung untuk memikirkan masa depan."

"Aduh, jangan! Kalau ke sungai sendirian jangan. Nanti malah kamu disamperin sama tukang bersih - bersih sungai. Pusing nanti mama nyariin kamu."

"Ya Tuhan, Mama. Amit - amit. Aster ke warung dulu saja. Mama gampang nyarinya."

Laura ikut mengernyit. Dia melambaikan tangan, menyuruh anaknya bergegas saja. Kalau perlu sekalian bantu adiknya.

Aster pun meneruskan langkah. Dia mengeluarkan ponsel dari saku. Dari tadi bergetar - getar. Pertanda adanya pesan - pesan masuk.

"Mbak, mau dibikinkan apa?" tanya Panji melihat kakaknya masuk ke warung.

Aster memilih duduk di kursi tak jauh dari kasir. "Es kopi susu saja," sahut Aster.

Aster meneruskan memeriksa pesan di ponsel. Baik Dini dan Fuad memberondongnya soal pekerjaan. Perusahaan periklanan yang dia dirikan bersama dua temannya tersebut berkembang baik.

Sebenarnya masih ada satu rekan yang membangun usaha tersebut dari awal. Namun orang tersebut memilih berpisah dan pergi ke luar negeri. Tinggal mereka bertiga saja yang menjalankan perusahaan.

Mereka kadang menerima sejumlah pegawai magang dan part-timer. Saat ini bagi mereka itu solusi yang terbaik. Kalau mereka makin berkembang, pegawai magang dan part-timer itu akan direkrut sebagai pegawai tetap.

"Ini, Mbak," kata Panji menyajikan segelas es kopi susu. Dia ikut duduk. "Sudah minum kopi berapa gelas hari ini?"

"Dua gelas. Nggak apa - apa, kamu nggak perlu khawatir."

"Tapi, Mbak. Tetap perlu mengurangi deh. Kalau lagi kerja, pasti lebih dari tiga gelas kan?"

"Ih, kamu kenapa, Pan? Nggak ah. Sana kamu kerja. Ini mbak juga lagi kerja."

"Hehm! Enaknya bisa kerja dari mana saja. Untung bos. Coba jadi karyawan. Work from hospital juga nggak tuh."

"Heh! Heh! Kamu malah mengkritik mbak gimana sih, Pan. Tapi, Pan, soal bibi Yani. Kamu sempat lihat nggak daftar kandidat yang dia bawa?"

Panji memundurkan muka. "Mbak tertarik? Secepat ini move on? Mau balas Reno dengan bawa gandengan baru?"

Aster menepuk lengan Panji. "Nggak lucu! Nggak ada ya mbak dendam dendam gitu. Mbak nggak secethek itu. Ya, siapa tahu ada yang oke gitu. Siapa tahu bibi Yani kali ini bawa yang bener. Bukan aneh aneh kayak dulu."

"Cari tahu sendiri saja, Mbak. Panji nggak tertarik sama daftar cowok."

Panji bangkit berdiri. Dia menuju dapur. Meninggalkan kakaknya yang melongo.

~bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status