Share

3 Hari (kedua)

Lepas subuh Aster hampir tidur lagi. Udara sejuk membuat matanya berat untuk terbuka. Belum lagi selimut dan bantal seakan melambai - lambai memanggil.

Suara ketukan di pintu kamar berbunyi tiap lima menit. Persis alarm ponsel yang lupa dimatikan. Aster pun bergegas memakai baju training dan topi bisbol. Keluar kamar untuk menghentikan ketukan pintu.

"Bawa dua botol minum," suruh Huda.

Aster pun menuju dapur. Mamanya menyerahkan dua botol kosong. Dia isi dari air galon isi ulang di dispenser. Dengan tas serut, Aster membawa kedua botol dan handuk kecil. Serta ponselnya.

"Jangan pakai headset. Papa tidak mau dicuekin," pesan Huda berjalan menuju luar rumah.

Di halaman, keduanya melakukan pemanasan. Huda memimpin gerak pemanasan seperti pada senam. Singkat dan serius.

"Kita ke arah lapangan kampung saja. Di sana sudah ada track lari. Lebih aman. Ada fasilitas olah raga umum lain juga. Lebih mirip alun - alun kota lho sekarang," kata Huda.

Daerah rumah papa Aster memang sudah berkembang. Daerah pinggir kota yang pesat kemajuannya. Panji saja sampai bisa membangun warung di depan rumah.

Rumahnya memang terhitung di dekat jalan masuk kampung. Cukup dekat jalan raya. Bukan komplek perumahan yang berpagar khusus.

Bahkan ada komplek ruko baru tak jauh dari rumah. Pantaslah jika usaha Panji ikut berkembang. Anak - anak muda kadang menyebutnya hidden gem. Meski tidak tersembunyi juga.

Huda pun memimpin berlari kecil menyusuri jalan beraspal. Trotoar masih terjaga. Jadi mereka bisa berlari di jalur trotoar.

Hati - hati menyeberang jalan, sampailah mereka ke lapangan kampung yang tidak lagi kampung. Benar kata Huda, sudah dibangun mirip alun - alun. Dengan segala fasilitas umum dibangun.

Bahkan ada penjual makanan dan minuman di seberang jalan. Kalau tidak berolah raga, ada saja yang jalan - jalan santai sambil jajan. Duduk sambil menonton keramaian.

"Itu, itu, As. Lihat!" tunjuk Huda ke arah segerombolan cowok yang main bola.

Mereka baru dapat dua putaran. Huda memperlambat larinya. Menjadikan Aster dapat mengimbangi kecepatan papanya itu.

Aster pun melempar pandang ke cowok - cowok itu. Tidak ada yang dikenali Aster. Untuk apa pula papanya menyuruh lihat.

"Mereka kenapa, Pa?" tanya Aster kebingungan.

"Kamu nggak lihat yang jaga gawang?" jawab Huda.

"Gawang yang mana?" Aster melongokkan kepala.

"Gawang yang selatan. Kamu nggak kenal dia?"

Aster memicingkan mata. Pandangannya memindai sosok penjaga gawang. Cowok dengan rambut ikal panjang setengkuk.

"Siapa, Pa?"

"Lhah, kamu lupa dia? Kasihan benar anak itu. Dia lho sejak SD kamu usilin."

Aster menggaruk kepala. Sejak SD dia berbuat usil pada cowok itu. Ah, papa ini ada ada saja. Memangnya dia sia--

"Ah, Amar!" seru Aster. Dia menutup mulut dengan telapak tangan.

"Nah, iya betul. Dia jadi guru matematika SMP tuh. Sama kadang - kadang pelatih taekwondo anak anak SD."

"Kenapa sekarang jadi kiper?"

"Libur kenaikan kelas kan sekarang ini. Paling sambilan dia yang lain. Maklum lah jomlo mau ngapain lagi."

"Amar belum nikah juga? Masak sih, Pa. Kan ibunya gencar banget tuh sejak SMA nyariin dia jodoh."

"Kamu pernah diprospek ibunya juga?"

Aster mengerutkan dahi. Dia mana ingat, sudah satu dekade lalu. Orangnya saja dia sampai lupakan. Begitu lulus SMA mereka tidak lagi berkomunikasi.

"Sepertinya Aster tidak masuk daftar. Tante Mira tidak melihat Aster sebagai cewek."

"Kamu sih dulu tomboy. Siapa coba yang suruh kamu potong rambut pendek terus."

"Papa juga nggak melarang. Coba papa kasih larangan."

"Jadi kamu mau kalau dijodohkan dengan Amar?"

Aster terperanjat. Dia hampir terserimpet rumput. Kesimpulan yang Huda ambil sungguh mencengangkan.

"Papa, ih. Nggak ada tema lain? Lama - lama papa bakal kayak bibi Yani lho. Bawa daftar pria bujangan."

"Kalau bermanfaat dan bikin untung sih Papa nggak masalah. Bibi Yani sekarang toko emasnya buka dua cabang sekaligus lho. Berkat banyak koneksi orang tua para bujangan itu."

"Papa juga mau jadi menyebalkan kayak bini Yani?"

"Bukannya di mata anak, orang tua mereka menyebalkan apa pun yang dilakukan?"

"Aster sudah bukan remaja lagi, Pa."

"Ya, kalau bagi papa kan kamu tetap anak gadis papa yang kecil dan mungil."

Aster menarik nafas dalam - dalam. Dia memang pendek dan kurus. Tidak seperti adiknya yang tinggi gempal menuruni perawakan papa. Atau seperti mamanya yang semampai berisi.

"Gimana, As? Alfian atau Amar? AsAl atau AsAm?" tanya Huda tidak menghiraukan keluhan putrinya.

"Aster tidak sedang mendaftar pemilu," sungut Aster.

"Eh, tapi bagus ya, As. Masak sih kamu nggak ada yang setuju? Jarang - jarang lho dapat yang kayak gini. Coba mantanmu kemarin. AsRe? Jelek banget. Apa lagi TerNo. Nggak masuk, As. Ya, kan?"

"Pa, satu putaran lagi, yuk!"

Huda tersenyum kecut. Dia menggerutu kalau putrinya tidak memiliki selera yang bagus. Sudah benar lho ide Huda.

"Pa, kalau belum jelas soal adik sepupu, Aster nggak mau," kata Aster menyerah.

"Berarti mau sama Alfian saja? AsAl untuk 2018 lebih baik?" sahut Huda.

"Udah, ah, Pa. Aster malah jadi lapar."

"Olah raga, As. Malah mikir jajan. Kamu di sana pasti jarang olah raga. Mulai sekarang olah raga rutin."

Aster mempercepat laju. Dia melampaui Huda yang berlari santai. Hanya saja fokusnya teralihkan ketika dari lapangan berlari seseorang ke arah dirinya.

Orang itu melambaikan tangan. Dia mengembangkan senyum lebar. Lalu telunjuk kanannya mengarah ke Aster.

"Aster!" sebutnya ceria.

Aster tersenyum canggung. Dia menurunkan kecepatan kembali. Keduanya pun menjadi berlari beriringan.

"Hai, Amar!" balas Aster.

"Ya ampun, kamu bikin pangling. Dari tadi aku mikir, pak Huda lari sama cewek mana. Rupanya kamu ya. Kamu balik ke sini?"

"Oh, nggak, Mar. Aku baru tengok papa sama mama saja. Kita jarang ketemu ya."

"Iya, nih. Bahkan kalau hari raya juga nggak bisa ketemu. Sepuluh tahun lho. Nggak nyangka ya sudah selama itu."

"Hu um, Mar. Kamu saja kuliah ke luar kota lho. Aku ke kota lain."

"Betul itu. Aku balik ke sini juga baru - baru saja. Jalan setahun ini jadi guru di salah satu SMP."

"Wah, pak guru nih. Betah ngajar anak - anak?"

"Betahlah. Sebelumnya aku ngajar di SMP kota sana. Baru bisa pindah ke sini. Sambil ngurus ibu."

"Ibu kamu kenapa, Mar?"

"Ya, biasalah, As. Sudah pra lansia kan. Ada saja keluhan kesehatan. Tapi nggak yang serem - serem itu, kok. Cuma ya sudah warning saja."

"Iya, bersyukur masih bisa segera diatasi, Mar. Sebagai anak, tugas kita yang kalau dilakukan ikhlas, jadi pahala besar ya, Mar. Berbakti pada orang tua kan salah satu pintu surga."

"Bijaksana banget, Aster. Kamu benar sekali. Aku..., ya, saat ini berusaha meluruskan niat."

"Semoga dimudahkan."

"Aamiin."

Aster mengangguk. Mereka pun menjadi berjalan santai. Diam memandang ke orang orang yang beraktifitas macam macam.

"Kalau kamu mau ikut lewat pintu surga yang ini juga?" celetuk Amar.

"Hah?" balas Aster.

Amar terkejut. "Eh, maksud aku. Ah, nggak, nggak, As. Maaf, maaf. Aku terbawa suasana. Maaf, ya."

Aster tersenyum datar. Suasana di antara mereka menjadi canggung. Aster pun berdeham. Dia mengalihkan obrolan.

"Gawangnya ditinggal nggak apa - apa?"

"Oh, nggak apa - apa. Nggak ada yang kuat angkat."

"Hehehe. Ya, sudah kalau begitu aman. Takutnya dijual ke tukang rongsokan."

Amar tertawa canggung. "Bisa saja kamu, As. Jadi kamu di sini masih lama?"

"Cuma sebentar. Lusa sudah balik. Ada apa?"

"Nggak apa - apa sih. Kita kan sudah lama banget nggak ketemu. Gimana kalau nanti makan siang bareng?"

"Oh, boleh, Mar. Nanti kamu samperin aku saja ke rumah."

"Siap. Kalau gitu, aku jagain gawang lagi ya. Takutnya anak - anak geser gawang nggak bilang - bilang."

"Oke!" sahut Aster sambil tertawa.

Dia melambaikan tangan pada Amar yang berlari kembali ke lapangan. Dia lalu mencari keberadaan papanya. Bapak - bapak itu cepat sekali menghilang.

"Bisa ya begitu? Meninggalkan pria tua di tengah keramaian," protes Huda yang menghampiri putrinya.

"Apa sih, Pa. Aster nyariin papa lho ini," ujar Aster tidak terima.

"Iya, nyariin. Soalnya sudah nggak berduaan. Baru inget deh sama papanya."

"Ya ampun, Pa. Ya, sudah, ayo pulang saja."

"Masih ingat pintu surga kamu kan?"

Aster membelalak. Dia merasakan pipinya memanas. Ingin rasanya berseru kesal.

"Ayo, ikuti pintu surgamu yang ini, As. Sebelum ganti pintu. Enaknya ya jadi anak cewek. Punya banyak pintu surga."

"Papa," balas Aster sendu.

-bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status