Lepas subuh Aster hampir tidur lagi. Udara sejuk membuat matanya berat untuk terbuka. Belum lagi selimut dan bantal seakan melambai - lambai memanggil.
Suara ketukan di pintu kamar berbunyi tiap lima menit. Persis alarm ponsel yang lupa dimatikan. Aster pun bergegas memakai baju training dan topi bisbol. Keluar kamar untuk menghentikan ketukan pintu. "Bawa dua botol minum," suruh Huda. Aster pun menuju dapur. Mamanya menyerahkan dua botol kosong. Dia isi dari air galon isi ulang di dispenser. Dengan tas serut, Aster membawa kedua botol dan handuk kecil. Serta ponselnya. "Jangan pakai headset. Papa tidak mau dicuekin," pesan Huda berjalan menuju luar rumah. Di halaman, keduanya melakukan pemanasan. Huda memimpin gerak pemanasan seperti pada senam. Singkat dan serius. "Kita ke arah lapangan kampung saja. Di sana sudah ada track lari. Lebih aman. Ada fasilitas olah raga umum lain juga. Lebih mirip alun - alun kota lho sekarang," kata Huda. Daerah rumah papa Aster memang sudah berkembang. Daerah pinggir kota yang pesat kemajuannya. Panji saja sampai bisa membangun warung di depan rumah. Rumahnya memang terhitung di dekat jalan masuk kampung. Cukup dekat jalan raya. Bukan komplek perumahan yang berpagar khusus. Bahkan ada komplek ruko baru tak jauh dari rumah. Pantaslah jika usaha Panji ikut berkembang. Anak - anak muda kadang menyebutnya hidden gem. Meski tidak tersembunyi juga. Huda pun memimpin berlari kecil menyusuri jalan beraspal. Trotoar masih terjaga. Jadi mereka bisa berlari di jalur trotoar. Hati - hati menyeberang jalan, sampailah mereka ke lapangan kampung yang tidak lagi kampung. Benar kata Huda, sudah dibangun mirip alun - alun. Dengan segala fasilitas umum dibangun. Bahkan ada penjual makanan dan minuman di seberang jalan. Kalau tidak berolah raga, ada saja yang jalan - jalan santai sambil jajan. Duduk sambil menonton keramaian. "Itu, itu, As. Lihat!" tunjuk Huda ke arah segerombolan cowok yang main bola. Mereka baru dapat dua putaran. Huda memperlambat larinya. Menjadikan Aster dapat mengimbangi kecepatan papanya itu. Aster pun melempar pandang ke cowok - cowok itu. Tidak ada yang dikenali Aster. Untuk apa pula papanya menyuruh lihat. "Mereka kenapa, Pa?" tanya Aster kebingungan. "Kamu nggak lihat yang jaga gawang?" jawab Huda. "Gawang yang mana?" Aster melongokkan kepala. "Gawang yang selatan. Kamu nggak kenal dia?" Aster memicingkan mata. Pandangannya memindai sosok penjaga gawang. Cowok dengan rambut ikal panjang setengkuk. "Siapa, Pa?" "Lhah, kamu lupa dia? Kasihan benar anak itu. Dia lho sejak SD kamu usilin." Aster menggaruk kepala. Sejak SD dia berbuat usil pada cowok itu. Ah, papa ini ada ada saja. Memangnya dia sia-- "Ah, Amar!" seru Aster. Dia menutup mulut dengan telapak tangan. "Nah, iya betul. Dia jadi guru matematika SMP tuh. Sama kadang - kadang pelatih taekwondo anak anak SD." "Kenapa sekarang jadi kiper?" "Libur kenaikan kelas kan sekarang ini. Paling sambilan dia yang lain. Maklum lah jomlo mau ngapain lagi." "Amar belum nikah juga? Masak sih, Pa. Kan ibunya gencar banget tuh sejak SMA nyariin dia jodoh." "Kamu pernah diprospek ibunya juga?" Aster mengerutkan dahi. Dia mana ingat, sudah satu dekade lalu. Orangnya saja dia sampai lupakan. Begitu lulus SMA mereka tidak lagi berkomunikasi. "Sepertinya Aster tidak masuk daftar. Tante Mira tidak melihat Aster sebagai cewek." "Kamu sih dulu tomboy. Siapa coba yang suruh kamu potong rambut pendek terus." "Papa juga nggak melarang. Coba papa kasih larangan." "Jadi kamu mau kalau dijodohkan dengan Amar?" Aster terperanjat. Dia hampir terserimpet rumput. Kesimpulan yang Huda ambil sungguh mencengangkan. "Papa, ih. Nggak ada tema lain? Lama - lama papa bakal kayak bibi Yani lho. Bawa daftar pria bujangan." "Kalau bermanfaat dan bikin untung sih Papa nggak masalah. Bibi Yani sekarang toko emasnya buka dua cabang sekaligus lho. Berkat banyak koneksi orang tua para bujangan itu." "Papa juga mau jadi menyebalkan kayak bini Yani?" "Bukannya di mata anak, orang tua mereka menyebalkan apa pun yang dilakukan?" "Aster sudah bukan remaja lagi, Pa." "Ya, kalau bagi papa kan kamu tetap anak gadis papa yang kecil dan mungil." Aster menarik nafas dalam - dalam. Dia memang pendek dan kurus. Tidak seperti adiknya yang tinggi gempal menuruni perawakan papa. Atau seperti mamanya yang semampai berisi. "Gimana, As? Alfian atau Amar? AsAl atau AsAm?" tanya Huda tidak menghiraukan keluhan putrinya. "Aster tidak sedang mendaftar pemilu," sungut Aster. "Eh, tapi bagus ya, As. Masak sih kamu nggak ada yang setuju? Jarang - jarang lho dapat yang kayak gini. Coba mantanmu kemarin. AsRe? Jelek banget. Apa lagi TerNo. Nggak masuk, As. Ya, kan?" "Pa, satu putaran lagi, yuk!" Huda tersenyum kecut. Dia menggerutu kalau putrinya tidak memiliki selera yang bagus. Sudah benar lho ide Huda. "Pa, kalau belum jelas soal adik sepupu, Aster nggak mau," kata Aster menyerah. "Berarti mau sama Alfian saja? AsAl untuk 2018 lebih baik?" sahut Huda. "Udah, ah, Pa. Aster malah jadi lapar." "Olah raga, As. Malah mikir jajan. Kamu di sana pasti jarang olah raga. Mulai sekarang olah raga rutin." Aster mempercepat laju. Dia melampaui Huda yang berlari santai. Hanya saja fokusnya teralihkan ketika dari lapangan berlari seseorang ke arah dirinya. Orang itu melambaikan tangan. Dia mengembangkan senyum lebar. Lalu telunjuk kanannya mengarah ke Aster. "Aster!" sebutnya ceria. Aster tersenyum canggung. Dia menurunkan kecepatan kembali. Keduanya pun menjadi berlari beriringan. "Hai, Amar!" balas Aster. "Ya ampun, kamu bikin pangling. Dari tadi aku mikir, pak Huda lari sama cewek mana. Rupanya kamu ya. Kamu balik ke sini?" "Oh, nggak, Mar. Aku baru tengok papa sama mama saja. Kita jarang ketemu ya." "Iya, nih. Bahkan kalau hari raya juga nggak bisa ketemu. Sepuluh tahun lho. Nggak nyangka ya sudah selama itu." "Hu um, Mar. Kamu saja kuliah ke luar kota lho. Aku ke kota lain." "Betul itu. Aku balik ke sini juga baru - baru saja. Jalan setahun ini jadi guru di salah satu SMP." "Wah, pak guru nih. Betah ngajar anak - anak?" "Betahlah. Sebelumnya aku ngajar di SMP kota sana. Baru bisa pindah ke sini. Sambil ngurus ibu." "Ibu kamu kenapa, Mar?" "Ya, biasalah, As. Sudah pra lansia kan. Ada saja keluhan kesehatan. Tapi nggak yang serem - serem itu, kok. Cuma ya sudah warning saja." "Iya, bersyukur masih bisa segera diatasi, Mar. Sebagai anak, tugas kita yang kalau dilakukan ikhlas, jadi pahala besar ya, Mar. Berbakti pada orang tua kan salah satu pintu surga." "Bijaksana banget, Aster. Kamu benar sekali. Aku..., ya, saat ini berusaha meluruskan niat." "Semoga dimudahkan." "Aamiin." Aster mengangguk. Mereka pun menjadi berjalan santai. Diam memandang ke orang orang yang beraktifitas macam macam. "Kalau kamu mau ikut lewat pintu surga yang ini juga?" celetuk Amar. "Hah?" balas Aster. Amar terkejut. "Eh, maksud aku. Ah, nggak, nggak, As. Maaf, maaf. Aku terbawa suasana. Maaf, ya." Aster tersenyum datar. Suasana di antara mereka menjadi canggung. Aster pun berdeham. Dia mengalihkan obrolan. "Gawangnya ditinggal nggak apa - apa?" "Oh, nggak apa - apa. Nggak ada yang kuat angkat." "Hehehe. Ya, sudah kalau begitu aman. Takutnya dijual ke tukang rongsokan." Amar tertawa canggung. "Bisa saja kamu, As. Jadi kamu di sini masih lama?" "Cuma sebentar. Lusa sudah balik. Ada apa?" "Nggak apa - apa sih. Kita kan sudah lama banget nggak ketemu. Gimana kalau nanti makan siang bareng?" "Oh, boleh, Mar. Nanti kamu samperin aku saja ke rumah." "Siap. Kalau gitu, aku jagain gawang lagi ya. Takutnya anak - anak geser gawang nggak bilang - bilang." "Oke!" sahut Aster sambil tertawa. Dia melambaikan tangan pada Amar yang berlari kembali ke lapangan. Dia lalu mencari keberadaan papanya. Bapak - bapak itu cepat sekali menghilang. "Bisa ya begitu? Meninggalkan pria tua di tengah keramaian," protes Huda yang menghampiri putrinya. "Apa sih, Pa. Aster nyariin papa lho ini," ujar Aster tidak terima. "Iya, nyariin. Soalnya sudah nggak berduaan. Baru inget deh sama papanya." "Ya ampun, Pa. Ya, sudah, ayo pulang saja." "Masih ingat pintu surga kamu kan?" Aster membelalak. Dia merasakan pipinya memanas. Ingin rasanya berseru kesal. "Ayo, ikuti pintu surgamu yang ini, As. Sebelum ganti pintu. Enaknya ya jadi anak cewek. Punya banyak pintu surga." "Papa," balas Aster sendu. -bersambung"Ma, Mama!" seru Huda begitu masuk ke rumah. Dia berjalan bersemangat menuju dapur. Di sana istrinya tengah sibuk memasak. Panji putranya duduk menikmati secangkir teh. "Ada apa, Pa? Papa sudah mau sarapan? Tunggu dulu ya, Pa. Belum matang ini," balas Laura. "Bukan, bukan. Diselesaikan saja dulu. Tapi, sama dengerin berita dari papa," sahut Huda. Panji menoleh ke papa dan mamanya yang berdiri dekat kompor. Dia juga menoleh ke arah kakaknya yang menyusul masuk ke dapur sekaligus ruang makan mereka. Kakaknya menarik kursi makan, duduk cemberut. "Apa, Pa? Jangan membuat mama khawatir dong," ujar Laura. "Tahu nggak, Ma, itu, anaknya Mira. Mira pensiunan guru SD. Anaknya yang sebaya anak sulung kita. Kamu tahu kan?" "Oh, sobatnya Aster. Si Amar. Kenapa dia, Pa?" "Tadi kan ketemu di lapangan. Coba tebak dia tadi nawarin apa ke putri kita?" "Nawarin? Dia kan guru matematika di SMP dekat jalan besar sana itu. Masak nawarin les matematika ke Aster, Pa." Huda melambaikan tang
Kemarin Aster diantar pulang pukul delapan malam. Rumah sudah sepi. Baik Huda mau pun Laura sudah di dalam kamar. Kalau Panji masih di warung. Aster masuk saja ke kamar. Cuci kaki, cuci muka. Berganti dari celana jeans dan atasan rajut ke baju tidur. Pagi berikutnya dia tidak dibangunkan subuh - subuh untuk diajak jogging. Dia mendengar Huda berangkat jogging sendiri. Maka Aster pun bermalas - malasan di atas kasur. "Kopi, Mbak?" tanya Panji menawarkan. Aster mengangguk. Dia mau kopi hangat yang dibuat adiknya. Bisa membuat dirinya terjaga. "Semalam nggak seru?" tebak Panji. Dia menaruh secangkir kopi ke hadapan Aster. Lalu turut duduk. Sudah ada segelas teh hangat miliknya. "Kok bisa bilang begitu?" sahut Aster. "Habisnya, mbak cemberut gitu. Bangun pagi itu yang sumringah. Semangat menghadapi segala tantangan." "Memangnya aku cemberut? Nggak, kok. Aku biasa saja." "Sila membohongi diri sendiri. Kelihatan kok sedihnya. Padahal pulang sampai malam. Dia ngadalin kamu
Panji benar - benar ikut kakaknya. Dia duduk di kursi kemudi begitu kakaknya selesai memasukkan tas ke bagasi. Juga sudah berpamitan pada papa dan mama mereka. "Pamit dulu ke pak guru," ujar Panji polos. Aster mengacungkan tinju. Dia tidak suka dengan gurauan Panji. Sebab, tidak mungkin dia akan menghubungi Amar untuk mengatakan kalau dia pulang ke tempat tinggal barunya. Tidak setelah perpisahan malam kemarin. Dia malu kalau mengingatnya. Apa lagi kalau sekarang harus mengirim pesan ala - ala berpamitan. Nanti dikira memberi kode rahasia. "Kenapa, Mbak? Nggak berhasil? Gatot alias gagal total?" kata Panji. Adiknya mengendalikan kemudi. Sesekali bersenandung lirih. Sambil menghidupkan radio yang diputar dengan suara rendah. "Ck! Tahu aja," gerutu Aster. "Ayo, bisa yuk. Cerita, cerita," bujuk Panji. Aster menghela nafas. Dia malah mengeluarkan ponsel. Mulai sibuk berkirim pesan dengan dua rekan kerjanya. "Masak sih? Secepat itu? Padahal pulang sampai malam. Kalian ngap
"Kutu kupret!" umpat Panji. Dia meninju dinding. Lalu berjalan menuju kulkas. Diambilnya botol air putih. "Kamu di sini dulu. Besok dia pasti cari aku," kata Aster. "Tentu. Aku juga sudah suruh orang buat kawal kamu, Mbak," jawab Panji. "Baguslah. Mbak capek banget. Mbak takut juga." "Nggak usah takut, Mbak. Kamu kan nggak salah. Dia kan yang sudah brengsek. Nggak modal banget jadi cowok." "Ck! Bukan begitu. Mbak takut nggak bisa kontrol emosi. Antara nangis kayak orang stress atau ngamuk kayak orang gila." Panji mengusap tengkuk. Dia meringis saja pada kakaknya. "Ya..., itu bahaya juga sih. Parah." "Maka dari itu, Pan. Yaudah, kamu mau makan apa? Nanggung amat ini makan siang sudah lewat, makan malam juga masih lumayan." "Pesan online saja, Mbak. Aku yang pesan ya." "Oke, Pan. Aku mau mandi dulu." Aster masuk ke kamarnya. Dia tidak lantas melakukan aksi pembersihan diri. Dia duduk di tepi tempat tidur. Perlahan punggungnya bergetar. Suara lirih isakan keluar.
Memang benar yang sudah diperkirakan. Panji terbukti telah berpengalaman dan tepat dalam memperhitungkan. Orang itu muncul di halaman gedung. Aster mempercepat langkahnya masuk ke lift. Buru buru menekan tombol sebelum orang itu bisa menyusul. Namun dia sudah meminta tolong pada sekuriti gedung agar tidak memberi ijin padanya untuk masuk menemui Aster. "Mbak Aster, kenapa? Kok pucat gitu? Apa sedang sakit?" heran Dini. Aster menyangkal keheranan Dini. Dia duduk ke mejanya seraya menghidupkan komputer. Dia katakan bahwa dia tidak sakit. Hanya saja dia sedikit memiliki hambatan dalam hidup. Dini yang mendengarnya malah menautkan alis. Dia tidak mengerti maksud Aster. "Ck! Reno mutus aku. Dia nikah sama cewek lain dua hari yang lalu. Kemarin aku ditemani Panji datang ke rumahnya buat nagih utang," cerita Aster. Dini membuka mulut. Matanya ikut melebar. Tidak percaya dengan cerita dari Aster. "Bos, jangan gitu dong. Lagi bikin cerpen?" "Bukan, Din. Dia di bawah tuh. Maksa
Dikarenakan pekerjaan yang tidak bisa lagi ditangguhkan. Tenggat waktu juga makin mendekat. Ketiga pekerja keras ini sampai lembur. Sore hari Panji sempat menelepon Aster. Dia memberitahu kalau akan datang ke kantor. Aster pun meminta sang adik membawakan makanan untuk mereka semua. "Besok kunjungan ke pabrik ATK, Mbak. Jam 9 sudah sampai sana," beritahu Dini sebelum mereka pulang. "Oke. Bertiga atau siapa saja?" jawab Aster. "Ya, bertiga dong. Siapa yang mau nyetir coba," sahut Dini. "Mbak Aster dong. SIM aku belum jadi," timpal Fuad. "Pan, kamu besok udah pulang?" tanya Aster. Panji yang duduk santai makan camilan, menoleh terkejut. Dia menelan kunyahan di mulut. Wajahnya jadi terlihat begitu lucu. "Ya, iya sih, Mbak. Tapi ya..., ya misal perlu dibantu ya aku pertimbangkan," jawab Panji. "Nggak, kamu urus soal Reno aja deh, Pan. Urusan kerjaan biar kami saja," sahut Aster. Dini dan Fuad menukar pandang. Mereka pun beranjak dari kursi masing masing. Keduanya menga
Sedari pagi bunyi ketikan keyboard dan pencetan tetikus. Kadang suara printer mencetak. Dering telepon sekali dua kali. Segelas kopi mengepul dibawa dari pantry ke meja kerja. Berkas digeser agar aman. Aroma kopi hitam kental tanpa pemanis menguar. "Sudah nggak ke kantor lagi, kan?" tanya Dini. Dia memandangi Aster yang berjalan menuju mejanya. Senyum lembut terpancar. Ada kekhawatiran terpancar. "Iya. Akhirnya mau tanda tangan perjanjian bayar utang dan nggak akan gangguin aku, keluargaku dan teman temanku," jawab Aster. Aster mengambil berkas yang diangsurkan Dini. Dia membaca sambil berdiri. Begitu berkonsentrasi. Meski sekilas dia teringat bagaimana Panji dan temannya memaksa Reno menyerah. Semi mengancam sampai surat perjanjian resmi ditandatangani. Masih terasa tatapan penuh amarah yang terpancar dari mata Reno. Tengkuk Aster jadi merinding. Dia menutup berkas, membawanya ke meja sendiri. Duduk bersandar penuh ke kursi. "Uang yang dipinjam termasuk uang kantor, D
"Kapan mau pulang lagi?" tanya Huda melalui telepon. "Belum tahu, Pa. Baru banyak kerjaan. Ini mau approach proyek proyek baru. Apa ada masalah, Pa?" jawab Aster. "Nggak ada. Si Bisma, teman papa yang kemarin itu lho, mau datang lagi ke rumah. Biasa, diantar anak cowoknya yang itu." "Alfian? Nggak bisa, Pa. Aster tetap belum bisa pulang." "Hehm! Kalau pintu gimana? Udah diukur ukur belum?" "Pa..., jangan dulu. Nanti ya, Pa. Nanti..., masih lama. Mendingan papa cari tahu soal sepupu Alfian. Aster masih penasaran." "Oh, kamu mau coba kenal Alfian? ASAL? Wah, bisa juga nih. Tapi kurang enak." "Papaaaa!" "Ini aja, Terfian. Terfian terfana terbata." Aster mengunci bibir. Dia menarik nafas dalam dalam. Belum saatnya mengamuk pada orang tua. Aduh, tidak boleh marah sebenarnya. Oh, malah jangan. Ini cobaan Aster sebagai anak. Betapa beruntungnya memiliki ayah sehebat Huda. Tenanglah wahai jiwa yang bertahan. "Kan, bener kata papa. Ku terfian aku menunggu." "Papa, Ast