Memang benar yang sudah diperkirakan. Panji terbukti telah berpengalaman dan tepat dalam memperhitungkan. Orang itu muncul di halaman gedung. Aster mempercepat langkahnya masuk ke lift. Buru buru menekan tombol sebelum orang itu bisa menyusul. Namun dia sudah meminta tolong pada sekuriti gedung agar tidak memberi ijin padanya untuk masuk menemui Aster. "Mbak Aster, kenapa? Kok pucat gitu? Apa sedang sakit?" heran Dini. Aster menyangkal keheranan Dini. Dia duduk ke mejanya seraya menghidupkan komputer. Dia katakan bahwa dia tidak sakit. Hanya saja dia sedikit memiliki hambatan dalam hidup. Dini yang mendengarnya malah menautkan alis. Dia tidak mengerti maksud Aster. "Ck! Reno mutus aku. Dia nikah sama cewek lain dua hari yang lalu. Kemarin aku ditemani Panji datang ke rumahnya buat nagih utang," cerita Aster. Dini membuka mulut. Matanya ikut melebar. Tidak percaya dengan cerita dari Aster. "Bos, jangan gitu dong. Lagi bikin cerpen?" "Bukan, Din. Dia di bawah tuh. Maksa
Dikarenakan pekerjaan yang tidak bisa lagi ditangguhkan. Tenggat waktu juga makin mendekat. Ketiga pekerja keras ini sampai lembur. Sore hari Panji sempat menelepon Aster. Dia memberitahu kalau akan datang ke kantor. Aster pun meminta sang adik membawakan makanan untuk mereka semua. "Besok kunjungan ke pabrik ATK, Mbak. Jam 9 sudah sampai sana," beritahu Dini sebelum mereka pulang. "Oke. Bertiga atau siapa saja?" jawab Aster. "Ya, bertiga dong. Siapa yang mau nyetir coba," sahut Dini. "Mbak Aster dong. SIM aku belum jadi," timpal Fuad. "Pan, kamu besok udah pulang?" tanya Aster. Panji yang duduk santai makan camilan, menoleh terkejut. Dia menelan kunyahan di mulut. Wajahnya jadi terlihat begitu lucu. "Ya, iya sih, Mbak. Tapi ya..., ya misal perlu dibantu ya aku pertimbangkan," jawab Panji. "Nggak, kamu urus soal Reno aja deh, Pan. Urusan kerjaan biar kami saja," sahut Aster. Dini dan Fuad menukar pandang. Mereka pun beranjak dari kursi masing masing. Keduanya menga
Sedari pagi bunyi ketikan keyboard dan pencetan tetikus. Kadang suara printer mencetak. Dering telepon sekali dua kali. Segelas kopi mengepul dibawa dari pantry ke meja kerja. Berkas digeser agar aman. Aroma kopi hitam kental tanpa pemanis menguar. "Sudah nggak ke kantor lagi, kan?" tanya Dini. Dia memandangi Aster yang berjalan menuju mejanya. Senyum lembut terpancar. Ada kekhawatiran terpancar. "Iya. Akhirnya mau tanda tangan perjanjian bayar utang dan nggak akan gangguin aku, keluargaku dan teman temanku," jawab Aster. Aster mengambil berkas yang diangsurkan Dini. Dia membaca sambil berdiri. Begitu berkonsentrasi. Meski sekilas dia teringat bagaimana Panji dan temannya memaksa Reno menyerah. Semi mengancam sampai surat perjanjian resmi ditandatangani. Masih terasa tatapan penuh amarah yang terpancar dari mata Reno. Tengkuk Aster jadi merinding. Dia menutup berkas, membawanya ke meja sendiri. Duduk bersandar penuh ke kursi. "Uang yang dipinjam termasuk uang kantor, D
"Kapan mau pulang lagi?" tanya Huda melalui telepon. "Belum tahu, Pa. Baru banyak kerjaan. Ini mau approach proyek proyek baru. Apa ada masalah, Pa?" jawab Aster. "Nggak ada. Si Bisma, teman papa yang kemarin itu lho, mau datang lagi ke rumah. Biasa, diantar anak cowoknya yang itu." "Alfian? Nggak bisa, Pa. Aster tetap belum bisa pulang." "Hehm! Kalau pintu gimana? Udah diukur ukur belum?" "Pa..., jangan dulu. Nanti ya, Pa. Nanti..., masih lama. Mendingan papa cari tahu soal sepupu Alfian. Aster masih penasaran." "Oh, kamu mau coba kenal Alfian? ASAL? Wah, bisa juga nih. Tapi kurang enak." "Papaaaa!" "Ini aja, Terfian. Terfian terfana terbata." Aster mengunci bibir. Dia menarik nafas dalam dalam. Belum saatnya mengamuk pada orang tua. Aduh, tidak boleh marah sebenarnya. Oh, malah jangan. Ini cobaan Aster sebagai anak. Betapa beruntungnya memiliki ayah sehebat Huda. Tenanglah wahai jiwa yang bertahan. "Kan, bener kata papa. Ku terfian aku menunggu." "Papa, Ast
Dari restoran timur tengah, Aster dan David berpindah ke kafe tak jauh. Keduanya memilih berjalan kaki dari pada memindahkan mobil masing masing. Awalnya Aster hendak melanjutkan ke bioskop sesuai rencana awal. Namun David menawarkan dessert sebagai permintaan maaf sudah menyela mejanya. Aster tidak berani menolak. Dia memikirkan nasib perusahaan. Kalau sampai menyinggung David, nanti kesempatan kerja sama bisa terpengaruh. "Saya sudah minta sekretaris saya untuk kirim jadwal appointment. Kalau hari Selasa, kamu bisa?" Tiba tiba David membahas pekerjaan. Dia mengusap tengkuk. Tampaknya dia tidak berniat mengatakan itu, tapi terlanjur. "Em..., bisa sih. Coba nanti sama saya periksa ke rekan saya." "Oke. Jangan dibicarakan sekarang ya. Ini weekend. Kita bersantai dulu." Aster menaikkan alis. Dia menyunggingkan senyum geli. David balas mengerutkan dahi padanya. "Kenapa? Kok kamu kayak gitu?" "Enggak, aku, maksud saya. Anda bisa bersantai juga rupanya." "Hei. Memangnya t
"Perlu ditelponkan klinik gitu nggak?" bisik Fuad. Dini melambaikan tangan. Dia masih memperhatikan atasan sekaligus rekan kerja. Wanita itu senyam senyum sendiri di kursinya sambil memandang ponsel. "Nanti, Fu. Tunggu satu jam. Misal makin parah, baru kita telpon klinik." "Oke, Din. Kita gantian pantau ya. Aku mau ke bawah ambil surat." "Yoi. Hati hati." Fuad berjalan melewati meja Aster. Dia tak lepas memandang rekan kerjanya tersebut. Dia sampai memicingkan mata. "Permisi, Mbak. Numpang lewat," ujar Fuad agak keras. Aster terlonjak. Dia menjatuhkan ponselnya. Tampak wajahnya menjadi memerah sadar ada Fuad di sana. "Wah, Din, ponsel kantor masih ada nggak?" seru Fuad. "Nggak perlu," seru Aster yang turun mengambil ponsel. "Nitip nggak, Mbak? Aku mau turun nih," kata Fuad. Aster menolak. Tidak ada yang dia perlukan. Semua sudah tercukupi. "Ya, iya lah," goda Fuad sebelum bergegas keluar kantor. Aster menggerutu pelan. Dia mengusap ponselnya. Untung saja tida
Dini mengejar Aster yang hampir menutup lift. Tangannya terangkat melambaikan sebuah map. Aster pun lekas menekan lift agar tidak menutup. Aster melangkah keluar. Dia menghampiri Dini yang menjejalkan map ke tangan Aster. Pun menyuruh Dini mengatur nafas sebelum bicara padanya. "Kopian presentasinya ketinggalan. Sama minta tolong nanti kirim ke ekspedisi. Sama jangan lupa pak David alergi udang," beritahu Dini. "Hah? Alergi udang?" ulang Aster. "Sekretarisnya yang bilang. Katanya minta tolong untuk diingatkan. Pak David suka lupa kalau punya alergi." "Oh, oke, oke. Sama kirim ke chat ya, Din. Biar nggak lupa juga." "Noted. Yaudah, sana buruan jalan. Doi super on time." Aster berterima kasih. Dia pun bergegas masuk ke lift lagi. Seraya menyimpan map ke dalam tas. Dengan mobil dia menuju restoran tempat pertemuan. Dia memeriksa tujuan pada oeta digital. Belum
"Nanti berangkat jam berapa, Mbak?" tanya Dini. Aster mengusap muka. Dia mengecek jam. Jam pulang masih satu jam lagi. "Pulang kerja langsung. Ngomong omong, apa kita bikin jadwal kerja baru? Sabtu dan Minggu libur?" jawab Aster. "Terus hari biasa ganti jam juga?" "Nggak perlu lah. Jam setengah sembilan sampai jam setengah lima sudah cukup kan? Lagian cuma kita bertiga." "Sekarang om suruh tiap weekend pulang ya?" "Nggak lah. Aku kepikiran saja. Sabtu kita masih kerja sampai jam dua belas. Apa nggak sebaiknya kita bikin sesuatu yang menyegarkan?" "Es buah?" Aster melempar pensil ke Dini. Mereka duduk duduk di sofa tengah ruangan. Dekat pun melempar benda tanpa menyakiti. "Seriusan ini. Coba deh nanti kamu cek