Share

3 Hari (ketiga)

Kemarin Aster diantar pulang pukul delapan malam. Rumah sudah sepi. Baik Huda mau pun Laura sudah di dalam kamar. Kalau Panji masih di warung.

Aster masuk saja ke kamar. Cuci kaki, cuci muka. Berganti dari celana jeans dan atasan rajut ke baju tidur.

Pagi berikutnya dia tidak dibangunkan subuh - subuh untuk diajak jogging. Dia mendengar Huda berangkat jogging sendiri. Maka Aster pun bermalas - malasan di atas kasur.

"Kopi, Mbak?" tanya Panji menawarkan.

Aster mengangguk. Dia mau kopi hangat yang dibuat adiknya. Bisa membuat dirinya terjaga.

"Semalam nggak seru?" tebak Panji.

Dia menaruh secangkir kopi ke hadapan Aster. Lalu turut duduk. Sudah ada segelas teh hangat miliknya.

"Kok bisa bilang begitu?" sahut Aster.

"Habisnya, mbak cemberut gitu. Bangun pagi itu yang sumringah. Semangat menghadapi segala tantangan."

"Memangnya aku cemberut? Nggak, kok. Aku biasa saja."

"Sila membohongi diri sendiri. Kelihatan kok sedihnya. Padahal pulang sampai malam. Dia ngadalin kamu, Mbak? Bilang saja semuanya. Biar aku yang balas dia kontan hari ini."

Aster mengusap cangkir. Hanya terlihat asap air kopi yang masih mengepul sedikit. Tidak keluar jin yang bisa memberinya tiga permintaan.

Sirik! Tidak boleh seperti itu. Dia pun menyeruput kopinya.

"Aku berangkat sekarang nih," ancam Panji.

Aster menahan lengan Panji. Dia menggeleng, melarang Panji berbuat gegabah. Apa yang terjadi bukan apa yang dipikirkan Panji.

"Terus ada apa, Mbak? Nggak mungkinkan kalau kemarin bersenang - senang, paginya jadi nelangsa gini," kejar Panji.

Aster menunjukkan sesuatu di ponselnya. Dia menghela nafas berat. Kembali menyeruput kopi yang pahit dan panas.

"Eh, Reno nikah hari ini?" pekik Panji.

"Baca bawahnya," suruh Aster. Dia menghela nafas lagi.

Panji memekik kencang. Dia menjatuhkan ponsel kakaknya ke atas meja. Kedua matanya terbelalak.

"Mbak, dia nggak - ngapa ngapain kamu, kan? Dia nggak rusak kamu kan? Jujur ke aku, Mbak! Nggak usah takut. Aku janji nggak akan marah ke mbak Aster. Tapi, aku akan membalas Reno separah dia melukai mbak Aster," kata Panji.

Aster mendengkus. Dia menaruh cangkir dengan bunyi tuk keras. Dia menatap adiknya lekat lekat.

"Jangan khawatir, Pan. Mbak aman. Mbak Aster belum sampai dirusak orang itu. Mbak hanya kaget dan sangat kecewa. Ternyata dia begitu busuk," ungkap Aster.

"Benar? Nggak bohong?"

"Benar. Mbak nggak bohong."

Panji menarik nafas lega. Dia memeluk kakaknya singkat. Tampak surut ekspresi marahnya.

"Syukurlah. Berarti ini mbak Aster diselamatkan dari lelaki busuk macam dia. Lihat, dia menghamili perempuan lain. Dia selingkuh di belakang mbak. Namun itu malah berarti mbak Aster diselamatkan."

Aster tertawa masam. Dia menyetujui pernyataan sang adik. Tuhan sudah menyelamatkan Aster dari makhluk tak tahu diri bernama Reno.

"Tahu nggak, Pan," kata Aster muram.

"Hehm? Apa lagi, Mbak? Jangan bikin aku cemas. Dia benar tidak merusakmu, kan?" sahut Panji.

"Dia pinjam dua puluh juta belum kembali. Itu sebagian uang perusahaan," ungkap Aster.

"Oh, begitu. Cowok busuk itu juga melarikan uang. Oke, Panji paham. Besok aku akan ikut mbak Aster pulang. Kita tagih bedebah itu. Aku akan menjadwalkan bang De. Sini kasih data diri Reno dan rincian hutang. Ck! Kenapa juga tidak bilang dari kemarin."

"Mbak kira masih ada kesempatan."

"Halah! Mana ada. Lihat saja sekarang apa yang terjadi. Terungkapkan dia memang bedebah busuk. Percuma mbak mencoba memberi dia kesempatan. Belum diberi saja sudah akan menyia - siakan. Sudah, tidak perlu ditutupi. Mana data Reno kutu busuk."

"Apa ini? Ada apa sama Reno?" timpal Laura yang muncul di dapur.

Laura berkacak pinggang. Kantong plastik berisi belanjaan sayur terayun dia salah satu tangan. Air muka Laura keruh.

"Ah, mama. Eng-nggak. Ini, ini apa sih, Mbak," sahut Panji tergagap.

"Bukan apa apa, Ma. Hanya menggerutu soal mantan," timpal Aster

Laura menyipitkan mata. Disapukan ke arah kedua anaknya. Tak berhasil membuat salah satu dari mereka berucap.

"Awas kalau menyembunyikan sesuatu. Mama nggak akan mau bantu kalau ada apa - apa," ancam Laura.

"Apa ini? Kok sembunyi sembunyi," kata Huda mengagetkan semua orang.

Laura menggerutu pada suaminya. Dia sampai memukulkan kantong plastik ke arah Huda. Aster dan Panji melonjak di kursi masing - masing.

"Coba kamu tanya ke kedua anak kamu itu, Pa. Mama mencium ketidakjujuran saat ini. Wajah ketakutan mereka tidak bisa dipungkiri bahwa tengah menutupi sesuatu hal besar," kata Laura.

Laura berjalan ke area dapur. Dia menaruh kantong plastik ke meja dapur. Lalu berbalik dan berkacak pinggang lagi.

"Aster, Panji, kasih tahu papa dan mama. Kalian baru saja membicarakan apa? Segera katakan secara jujur. Papa tidak mau ada yang ditutupi."

Aster dan Panji bertukar pandang. Dagu Panji dimajukan. Dengan gerakan mata, dia menyuruh Aster bicara.

Aster mengerucutkan bibir. Dari awal dia tidak mau kedua orang tuanya tahu mengenai perkara uang ini. Pasti Aster kena ceramah panjang lebar.

Terlebih nominal yang dilibatkan tidaklah kecil. Semudah itu dia memberikan uang dalam jumlah besar kepada cowok tersebut. Cowok yang jelas - jelas banyak dikritik papa dan mama.

"Nggak ada yang mau bicara?" kata Huda tajam.

Huda memandang tajam bergantian dari Panji lalu ke Aster. Paling lama pada anak sulungnya. Penuh dengan aura penuntut.

"Kalian tidak percaya pada papa dan mama? Kalian takut kami berbuat tidak bijak? Begitu kah?" tuduh Huda.

Aster memandang balik papanya. Dia menggelengkan kepala cepat - cepat. Dia tidak mau menjadi anak durhaka kalau membenarkan tuduhan tersebut.

"Bukan begitu, Pa. Aster hanya takut papa dan mama marah besar pada Aster. Ini terlalu memalukan bagi Aster," kata Aster beralasan.

"Jangan menebak sesuatu yang tidak kamu tahu pasti. Padahal kamu bisa bertanya langsung. Jadi, katakan saja. Hal memalukan apa yang telah terjadi?"

"Ma-maafkan Aster, Pa. Aster minta maaf, Mama."

"Jadi, ada apa?"

Aster menelan ludah. Dia menata hati dan pikiran. Dia tidak bisa berkata bohong. Harus mengatakan apa adanya.

"Aster dapat kabar dari teman kalau hari ini Reno menikah. Kata teman, calon istrinya sudah hamil."

Huda menggeram. Dia meninju meja konsol terdekat. Air muka mulai keruh.

"Jangan bilang kalau dia juga sudah pernah sentuh kamu!" hardik Huda.

"Nggak, Pa. Aster aman dari tangan jahat Reno. Hanya saja..., hanya saja ada sedikit masalah, Pa," balas Aster menahan emosi.

"Lantas apa? Kejahatan apa yang sudah dilakukan keparat itu?"

"Dia pinjam uang belum dikembalikan, Pa. Sekarang dia sudah susah dikontak. Dia blokir semua akses."

"Licik! Kurang ajar! Keparat busuk!" amuk Huda.

Laura berlari menghampiri suaminya. Dielus - elus dadanya agar tenang. Muka Huda sudah memerah semua.

"Berapa banyak? Berapa banyak uang yang kunyuk itu bawa?" tanya Huda secara lebih tenang.

"Ya, beberapa, Pa. Itu..., itu kalau ditotal ya ada dua puluh juta. Hanya ada jaminan sepeda motor dia," jawab Aster sejujurnya.

"Mana datanya?"

"Data apa, Pa?"

"Data hutang dia. Termasuk data hadiah yang dia berikan dan kamu berikan padanya. Semua kasih ke papa."

"Ada uang perusahaan tiga juta, Pa."

"Makanya mana datanya. Kamu kasih semua ke papa."

Aster mengangguk patuh. Dia pamit menuju kamar. Untung saja dia sudah membuat catatan hutang Reno. Sekarang jadi bermanfaat tinggi.

Data tersebut dikirim ke adiknya. Dia juga mencetak menjadi dua rangkap. Satu diberikan pada papa dan adiknya.

Selanjutnya Aster memasrahkan diri.

~bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status