Kemarin Aster diantar pulang pukul delapan malam. Rumah sudah sepi. Baik Huda mau pun Laura sudah di dalam kamar. Kalau Panji masih di warung.
Aster masuk saja ke kamar. Cuci kaki, cuci muka. Berganti dari celana jeans dan atasan rajut ke baju tidur. Pagi berikutnya dia tidak dibangunkan subuh - subuh untuk diajak jogging. Dia mendengar Huda berangkat jogging sendiri. Maka Aster pun bermalas - malasan di atas kasur. "Kopi, Mbak?" tanya Panji menawarkan. Aster mengangguk. Dia mau kopi hangat yang dibuat adiknya. Bisa membuat dirinya terjaga. "Semalam nggak seru?" tebak Panji. Dia menaruh secangkir kopi ke hadapan Aster. Lalu turut duduk. Sudah ada segelas teh hangat miliknya. "Kok bisa bilang begitu?" sahut Aster. "Habisnya, mbak cemberut gitu. Bangun pagi itu yang sumringah. Semangat menghadapi segala tantangan." "Memangnya aku cemberut? Nggak, kok. Aku biasa saja." "Sila membohongi diri sendiri. Kelihatan kok sedihnya. Padahal pulang sampai malam. Dia ngadalin kamu, Mbak? Bilang saja semuanya. Biar aku yang balas dia kontan hari ini." Aster mengusap cangkir. Hanya terlihat asap air kopi yang masih mengepul sedikit. Tidak keluar jin yang bisa memberinya tiga permintaan. Sirik! Tidak boleh seperti itu. Dia pun menyeruput kopinya. "Aku berangkat sekarang nih," ancam Panji. Aster menahan lengan Panji. Dia menggeleng, melarang Panji berbuat gegabah. Apa yang terjadi bukan apa yang dipikirkan Panji. "Terus ada apa, Mbak? Nggak mungkinkan kalau kemarin bersenang - senang, paginya jadi nelangsa gini," kejar Panji. Aster menunjukkan sesuatu di ponselnya. Dia menghela nafas berat. Kembali menyeruput kopi yang pahit dan panas. "Eh, Reno nikah hari ini?" pekik Panji. "Baca bawahnya," suruh Aster. Dia menghela nafas lagi. Panji memekik kencang. Dia menjatuhkan ponsel kakaknya ke atas meja. Kedua matanya terbelalak. "Mbak, dia nggak - ngapa ngapain kamu, kan? Dia nggak rusak kamu kan? Jujur ke aku, Mbak! Nggak usah takut. Aku janji nggak akan marah ke mbak Aster. Tapi, aku akan membalas Reno separah dia melukai mbak Aster," kata Panji. Aster mendengkus. Dia menaruh cangkir dengan bunyi tuk keras. Dia menatap adiknya lekat lekat. "Jangan khawatir, Pan. Mbak aman. Mbak Aster belum sampai dirusak orang itu. Mbak hanya kaget dan sangat kecewa. Ternyata dia begitu busuk," ungkap Aster. "Benar? Nggak bohong?" "Benar. Mbak nggak bohong." Panji menarik nafas lega. Dia memeluk kakaknya singkat. Tampak surut ekspresi marahnya. "Syukurlah. Berarti ini mbak Aster diselamatkan dari lelaki busuk macam dia. Lihat, dia menghamili perempuan lain. Dia selingkuh di belakang mbak. Namun itu malah berarti mbak Aster diselamatkan." Aster tertawa masam. Dia menyetujui pernyataan sang adik. Tuhan sudah menyelamatkan Aster dari makhluk tak tahu diri bernama Reno. "Tahu nggak, Pan," kata Aster muram. "Hehm? Apa lagi, Mbak? Jangan bikin aku cemas. Dia benar tidak merusakmu, kan?" sahut Panji. "Dia pinjam dua puluh juta belum kembali. Itu sebagian uang perusahaan," ungkap Aster. "Oh, begitu. Cowok busuk itu juga melarikan uang. Oke, Panji paham. Besok aku akan ikut mbak Aster pulang. Kita tagih bedebah itu. Aku akan menjadwalkan bang De. Sini kasih data diri Reno dan rincian hutang. Ck! Kenapa juga tidak bilang dari kemarin." "Mbak kira masih ada kesempatan." "Halah! Mana ada. Lihat saja sekarang apa yang terjadi. Terungkapkan dia memang bedebah busuk. Percuma mbak mencoba memberi dia kesempatan. Belum diberi saja sudah akan menyia - siakan. Sudah, tidak perlu ditutupi. Mana data Reno kutu busuk." "Apa ini? Ada apa sama Reno?" timpal Laura yang muncul di dapur. Laura berkacak pinggang. Kantong plastik berisi belanjaan sayur terayun dia salah satu tangan. Air muka Laura keruh. "Ah, mama. Eng-nggak. Ini, ini apa sih, Mbak," sahut Panji tergagap. "Bukan apa apa, Ma. Hanya menggerutu soal mantan," timpal Aster Laura menyipitkan mata. Disapukan ke arah kedua anaknya. Tak berhasil membuat salah satu dari mereka berucap. "Awas kalau menyembunyikan sesuatu. Mama nggak akan mau bantu kalau ada apa - apa," ancam Laura. "Apa ini? Kok sembunyi sembunyi," kata Huda mengagetkan semua orang. Laura menggerutu pada suaminya. Dia sampai memukulkan kantong plastik ke arah Huda. Aster dan Panji melonjak di kursi masing - masing. "Coba kamu tanya ke kedua anak kamu itu, Pa. Mama mencium ketidakjujuran saat ini. Wajah ketakutan mereka tidak bisa dipungkiri bahwa tengah menutupi sesuatu hal besar," kata Laura. Laura berjalan ke area dapur. Dia menaruh kantong plastik ke meja dapur. Lalu berbalik dan berkacak pinggang lagi. "Aster, Panji, kasih tahu papa dan mama. Kalian baru saja membicarakan apa? Segera katakan secara jujur. Papa tidak mau ada yang ditutupi." Aster dan Panji bertukar pandang. Dagu Panji dimajukan. Dengan gerakan mata, dia menyuruh Aster bicara. Aster mengerucutkan bibir. Dari awal dia tidak mau kedua orang tuanya tahu mengenai perkara uang ini. Pasti Aster kena ceramah panjang lebar. Terlebih nominal yang dilibatkan tidaklah kecil. Semudah itu dia memberikan uang dalam jumlah besar kepada cowok tersebut. Cowok yang jelas - jelas banyak dikritik papa dan mama. "Nggak ada yang mau bicara?" kata Huda tajam. Huda memandang tajam bergantian dari Panji lalu ke Aster. Paling lama pada anak sulungnya. Penuh dengan aura penuntut. "Kalian tidak percaya pada papa dan mama? Kalian takut kami berbuat tidak bijak? Begitu kah?" tuduh Huda. Aster memandang balik papanya. Dia menggelengkan kepala cepat - cepat. Dia tidak mau menjadi anak durhaka kalau membenarkan tuduhan tersebut. "Bukan begitu, Pa. Aster hanya takut papa dan mama marah besar pada Aster. Ini terlalu memalukan bagi Aster," kata Aster beralasan. "Jangan menebak sesuatu yang tidak kamu tahu pasti. Padahal kamu bisa bertanya langsung. Jadi, katakan saja. Hal memalukan apa yang telah terjadi?" "Ma-maafkan Aster, Pa. Aster minta maaf, Mama." "Jadi, ada apa?" Aster menelan ludah. Dia menata hati dan pikiran. Dia tidak bisa berkata bohong. Harus mengatakan apa adanya. "Aster dapat kabar dari teman kalau hari ini Reno menikah. Kata teman, calon istrinya sudah hamil." Huda menggeram. Dia meninju meja konsol terdekat. Air muka mulai keruh. "Jangan bilang kalau dia juga sudah pernah sentuh kamu!" hardik Huda. "Nggak, Pa. Aster aman dari tangan jahat Reno. Hanya saja..., hanya saja ada sedikit masalah, Pa," balas Aster menahan emosi. "Lantas apa? Kejahatan apa yang sudah dilakukan keparat itu?" "Dia pinjam uang belum dikembalikan, Pa. Sekarang dia sudah susah dikontak. Dia blokir semua akses." "Licik! Kurang ajar! Keparat busuk!" amuk Huda. Laura berlari menghampiri suaminya. Dielus - elus dadanya agar tenang. Muka Huda sudah memerah semua. "Berapa banyak? Berapa banyak uang yang kunyuk itu bawa?" tanya Huda secara lebih tenang. "Ya, beberapa, Pa. Itu..., itu kalau ditotal ya ada dua puluh juta. Hanya ada jaminan sepeda motor dia," jawab Aster sejujurnya. "Mana datanya?" "Data apa, Pa?" "Data hutang dia. Termasuk data hadiah yang dia berikan dan kamu berikan padanya. Semua kasih ke papa." "Ada uang perusahaan tiga juta, Pa." "Makanya mana datanya. Kamu kasih semua ke papa." Aster mengangguk patuh. Dia pamit menuju kamar. Untung saja dia sudah membuat catatan hutang Reno. Sekarang jadi bermanfaat tinggi. Data tersebut dikirim ke adiknya. Dia juga mencetak menjadi dua rangkap. Satu diberikan pada papa dan adiknya. Selanjutnya Aster memasrahkan diri. ~bersambungPanji benar - benar ikut kakaknya. Dia duduk di kursi kemudi begitu kakaknya selesai memasukkan tas ke bagasi. Juga sudah berpamitan pada papa dan mama mereka. "Pamit dulu ke pak guru," ujar Panji polos. Aster mengacungkan tinju. Dia tidak suka dengan gurauan Panji. Sebab, tidak mungkin dia akan menghubungi Amar untuk mengatakan kalau dia pulang ke tempat tinggal barunya. Tidak setelah perpisahan malam kemarin. Dia malu kalau mengingatnya. Apa lagi kalau sekarang harus mengirim pesan ala - ala berpamitan. Nanti dikira memberi kode rahasia. "Kenapa, Mbak? Nggak berhasil? Gatot alias gagal total?" kata Panji. Adiknya mengendalikan kemudi. Sesekali bersenandung lirih. Sambil menghidupkan radio yang diputar dengan suara rendah. "Ck! Tahu aja," gerutu Aster. "Ayo, bisa yuk. Cerita, cerita," bujuk Panji. Aster menghela nafas. Dia malah mengeluarkan ponsel. Mulai sibuk berkirim pesan dengan dua rekan kerjanya. "Masak sih? Secepat itu? Padahal pulang sampai malam. Kalian ngap
"Kutu kupret!" umpat Panji. Dia meninju dinding. Lalu berjalan menuju kulkas. Diambilnya botol air putih. "Kamu di sini dulu. Besok dia pasti cari aku," kata Aster. "Tentu. Aku juga sudah suruh orang buat kawal kamu, Mbak," jawab Panji. "Baguslah. Mbak capek banget. Mbak takut juga." "Nggak usah takut, Mbak. Kamu kan nggak salah. Dia kan yang sudah brengsek. Nggak modal banget jadi cowok." "Ck! Bukan begitu. Mbak takut nggak bisa kontrol emosi. Antara nangis kayak orang stress atau ngamuk kayak orang gila." Panji mengusap tengkuk. Dia meringis saja pada kakaknya. "Ya..., itu bahaya juga sih. Parah." "Maka dari itu, Pan. Yaudah, kamu mau makan apa? Nanggung amat ini makan siang sudah lewat, makan malam juga masih lumayan." "Pesan online saja, Mbak. Aku yang pesan ya." "Oke, Pan. Aku mau mandi dulu." Aster masuk ke kamarnya. Dia tidak lantas melakukan aksi pembersihan diri. Dia duduk di tepi tempat tidur. Perlahan punggungnya bergetar. Suara lirih isakan keluar.
Memang benar yang sudah diperkirakan. Panji terbukti telah berpengalaman dan tepat dalam memperhitungkan. Orang itu muncul di halaman gedung. Aster mempercepat langkahnya masuk ke lift. Buru buru menekan tombol sebelum orang itu bisa menyusul. Namun dia sudah meminta tolong pada sekuriti gedung agar tidak memberi ijin padanya untuk masuk menemui Aster. "Mbak Aster, kenapa? Kok pucat gitu? Apa sedang sakit?" heran Dini. Aster menyangkal keheranan Dini. Dia duduk ke mejanya seraya menghidupkan komputer. Dia katakan bahwa dia tidak sakit. Hanya saja dia sedikit memiliki hambatan dalam hidup. Dini yang mendengarnya malah menautkan alis. Dia tidak mengerti maksud Aster. "Ck! Reno mutus aku. Dia nikah sama cewek lain dua hari yang lalu. Kemarin aku ditemani Panji datang ke rumahnya buat nagih utang," cerita Aster. Dini membuka mulut. Matanya ikut melebar. Tidak percaya dengan cerita dari Aster. "Bos, jangan gitu dong. Lagi bikin cerpen?" "Bukan, Din. Dia di bawah tuh. Maksa
Dikarenakan pekerjaan yang tidak bisa lagi ditangguhkan. Tenggat waktu juga makin mendekat. Ketiga pekerja keras ini sampai lembur. Sore hari Panji sempat menelepon Aster. Dia memberitahu kalau akan datang ke kantor. Aster pun meminta sang adik membawakan makanan untuk mereka semua. "Besok kunjungan ke pabrik ATK, Mbak. Jam 9 sudah sampai sana," beritahu Dini sebelum mereka pulang. "Oke. Bertiga atau siapa saja?" jawab Aster. "Ya, bertiga dong. Siapa yang mau nyetir coba," sahut Dini. "Mbak Aster dong. SIM aku belum jadi," timpal Fuad. "Pan, kamu besok udah pulang?" tanya Aster. Panji yang duduk santai makan camilan, menoleh terkejut. Dia menelan kunyahan di mulut. Wajahnya jadi terlihat begitu lucu. "Ya, iya sih, Mbak. Tapi ya..., ya misal perlu dibantu ya aku pertimbangkan," jawab Panji. "Nggak, kamu urus soal Reno aja deh, Pan. Urusan kerjaan biar kami saja," sahut Aster. Dini dan Fuad menukar pandang. Mereka pun beranjak dari kursi masing masing. Keduanya menga
Sedari pagi bunyi ketikan keyboard dan pencetan tetikus. Kadang suara printer mencetak. Dering telepon sekali dua kali. Segelas kopi mengepul dibawa dari pantry ke meja kerja. Berkas digeser agar aman. Aroma kopi hitam kental tanpa pemanis menguar. "Sudah nggak ke kantor lagi, kan?" tanya Dini. Dia memandangi Aster yang berjalan menuju mejanya. Senyum lembut terpancar. Ada kekhawatiran terpancar. "Iya. Akhirnya mau tanda tangan perjanjian bayar utang dan nggak akan gangguin aku, keluargaku dan teman temanku," jawab Aster. Aster mengambil berkas yang diangsurkan Dini. Dia membaca sambil berdiri. Begitu berkonsentrasi. Meski sekilas dia teringat bagaimana Panji dan temannya memaksa Reno menyerah. Semi mengancam sampai surat perjanjian resmi ditandatangani. Masih terasa tatapan penuh amarah yang terpancar dari mata Reno. Tengkuk Aster jadi merinding. Dia menutup berkas, membawanya ke meja sendiri. Duduk bersandar penuh ke kursi. "Uang yang dipinjam termasuk uang kantor, D
"Kapan mau pulang lagi?" tanya Huda melalui telepon. "Belum tahu, Pa. Baru banyak kerjaan. Ini mau approach proyek proyek baru. Apa ada masalah, Pa?" jawab Aster. "Nggak ada. Si Bisma, teman papa yang kemarin itu lho, mau datang lagi ke rumah. Biasa, diantar anak cowoknya yang itu." "Alfian? Nggak bisa, Pa. Aster tetap belum bisa pulang." "Hehm! Kalau pintu gimana? Udah diukur ukur belum?" "Pa..., jangan dulu. Nanti ya, Pa. Nanti..., masih lama. Mendingan papa cari tahu soal sepupu Alfian. Aster masih penasaran." "Oh, kamu mau coba kenal Alfian? ASAL? Wah, bisa juga nih. Tapi kurang enak." "Papaaaa!" "Ini aja, Terfian. Terfian terfana terbata." Aster mengunci bibir. Dia menarik nafas dalam dalam. Belum saatnya mengamuk pada orang tua. Aduh, tidak boleh marah sebenarnya. Oh, malah jangan. Ini cobaan Aster sebagai anak. Betapa beruntungnya memiliki ayah sehebat Huda. Tenanglah wahai jiwa yang bertahan. "Kan, bener kata papa. Ku terfian aku menunggu." "Papa, Ast
Dari restoran timur tengah, Aster dan David berpindah ke kafe tak jauh. Keduanya memilih berjalan kaki dari pada memindahkan mobil masing masing. Awalnya Aster hendak melanjutkan ke bioskop sesuai rencana awal. Namun David menawarkan dessert sebagai permintaan maaf sudah menyela mejanya. Aster tidak berani menolak. Dia memikirkan nasib perusahaan. Kalau sampai menyinggung David, nanti kesempatan kerja sama bisa terpengaruh. "Saya sudah minta sekretaris saya untuk kirim jadwal appointment. Kalau hari Selasa, kamu bisa?" Tiba tiba David membahas pekerjaan. Dia mengusap tengkuk. Tampaknya dia tidak berniat mengatakan itu, tapi terlanjur. "Em..., bisa sih. Coba nanti sama saya periksa ke rekan saya." "Oke. Jangan dibicarakan sekarang ya. Ini weekend. Kita bersantai dulu." Aster menaikkan alis. Dia menyunggingkan senyum geli. David balas mengerutkan dahi padanya. "Kenapa? Kok kamu kayak gitu?" "Enggak, aku, maksud saya. Anda bisa bersantai juga rupanya." "Hei. Memangnya t
"Perlu ditelponkan klinik gitu nggak?" bisik Fuad. Dini melambaikan tangan. Dia masih memperhatikan atasan sekaligus rekan kerja. Wanita itu senyam senyum sendiri di kursinya sambil memandang ponsel. "Nanti, Fu. Tunggu satu jam. Misal makin parah, baru kita telpon klinik." "Oke, Din. Kita gantian pantau ya. Aku mau ke bawah ambil surat." "Yoi. Hati hati." Fuad berjalan melewati meja Aster. Dia tak lepas memandang rekan kerjanya tersebut. Dia sampai memicingkan mata. "Permisi, Mbak. Numpang lewat," ujar Fuad agak keras. Aster terlonjak. Dia menjatuhkan ponselnya. Tampak wajahnya menjadi memerah sadar ada Fuad di sana. "Wah, Din, ponsel kantor masih ada nggak?" seru Fuad. "Nggak perlu," seru Aster yang turun mengambil ponsel. "Nitip nggak, Mbak? Aku mau turun nih," kata Fuad. Aster menolak. Tidak ada yang dia perlukan. Semua sudah tercukupi. "Ya, iya lah," goda Fuad sebelum bergegas keluar kantor. Aster menggerutu pelan. Dia mengusap ponselnya. Untung saja tida