Setelah kejadian itu, Visha semakin waspada. Dia berusaha menjauhkan Kai dari Calvin. Sementara Calvin, ia merasa khawatir karena tidak bisa menemukan Kai di rumahnya selama beberapa hari ini, untuk memulai rencananya melakukan tes DNA pada Kai. Dengan penuh kebingungan, setelah hampir dua minggu Kai tak pernah datang lagi. Calvin memutuskan untuk bertanya kepada Asih, tentang keberadaan Kai. “Sepertinya Kai sudah lama tidak terlihat. Apa ada masalah?” “Oh, maaf ya, Den Calvin. Kai baru mulai sekolah jadi dia tidak bisa datang ke sini lagi. Paling nanti kalau liburan Ibu bawa ke sini.” Calvin mengangguk paham, “Dimana Kai bersekolah?” “Kai belajar di TK Bintang Kecil di dekat gank ujung kompleks sini,” jawab Asih sambil kembali fokus pada tanamannya. Wajahnya polos, tidak menunjukkan tanda-tanda curiga atau pertanyaan mengapa seorang Calvin begitu tertarik pada cucunya. Di sisi lain Calvin merasa senang. Setelah mendapat informasi dari Asih, Calvin memutuskan untuk
Pada saat Calvin kembali ke mobilnya, dia lantas menyuruh Bara untuk menelepon sekertarisnya untuk menanyai agenda pada hari ini. Calvin menarik napas lega, mendengar tidak ada jadwal rapat yang mengganggu agenda hari ini. Dia lantas menyuruh sopirnya mengarahkan mobil menuju kafe Dion yang terkenal dengan kopi aromatiknya dan sengaja datang ke sana untuk melakukan pendekatan pada Visha. Setibanya di kafe, Calvin melangkah masuk dengan langkah pasti. Tanpa menunggu lama, dia memilih tempat duduk yang menghadap ke jendela, tempat terbaik untuk menikmati pemandangan jalanan yang ramai. Di sisi lain, Visha yang tengah sibuk melayani pembeli, terkejut bukan kepalang melihat sosok Calvin yang tiba-tiba muncul. Wajahnya yang tadinya ceria berubah menjadi murung. “Pria itu, kenapa dia datang lagi ke sini sih!” gumamnya dalam hati, rasa kesal bercampur bingung mengapa Calvin kembali ke kafe tempat dia bekerja. Visha berusaha menyembunyikan kegelisahannya, namun tangannya sediki
Visha menatap Calvin dengan mata yang berkilat, mencoba membaca setiap ekspresi wajahnya yang tampak tenang namun penuh teka-teki. Dia menelan ludah, berusaha keras untuk menjaga ketenangan meski di dalam hatinya bergemuruh tak menentu. “Ya, Pak! Apa Anda butuh sesuatu?” Suaranya terdengar sedikit gemetar. Di tengah keramaian kafe yang dipenuhi suara bising para pengunjung, saat mata mereka bertemu, ada gema yang tak terdefinisi, sebuah pengakuan tanpa kata yang terhenti di tengah jeda. “Hei, ayo katakan! Elo mau pesan apalagi?” Dion, tiba-tiba memecah suasana tegang namun penuh dengan ketidakpastian itu. Calvin, yang tampaknya terhipnotis oleh kepolosan yang terpancar dari wajah Visha, hanya menggelengkan kepalanya perlahan. “Bawakan satu gelas air putih untuk saya,” ucap Calvin akhirnya, sembari mencoba menyembunyikan kekacauan emosi yang ia rasakan. Visha merasa seakan beban berat terangkat dari bahunya. Dia mengira bahwa Calvin sudah menyadari siapa dia sebenarnya, b
Setelah memberi makan Kai dengan penuh kasih, Visha kembali fokus pada pekerjaannya di Kafe, sebelum itu, dia memerintahkan Kai dengan lembut untuk tidak pergi terlalu jauh. “Bunda, Kai mau ke taman belakang kafe boleh?” tanyanya. “Boleh, tapi jangan jauh-jauh ya, Sayang?” “Baik Bunda.” Kai melangkahkan kakinya dengan gembira. Namun, begitu melangkahkan kaki keluar ruangan, pandangannya secara tidak sengaja terhenti pada sosok Calvin yang tengah asyik berbincang di salah satu sudut Kafe. Mata mereka bertemu, dan dengan gerakan cepat namun halus, Calvin menempatkan jari di bibirnya, memberi isyarat kepada Kai untuk tetap tenang dan tidak mendekatinya. “Papa,” bisiknya. “Ssst!” Calvin memberi isyarat kembali. Kai mengangguk patuh dan pergi terlebih dahulu ke belakang. Calvin beranjak dengan alasan ingin ke toilet, menyusul Kai ke belakang meski dia sendiri tidak tahu apakah Kai mengerti sebuah kode yang dia berikan. Calvin mengikuti Kai yang sudah terlebih dahulu menunggu
Calvin dan Bara segera meninggalkan kafe, ledekan Bara membuka Calvin berpikir tentang kedekatan Visha dan Dion selama ini. “Apa benar Visha dan Dion saling mencintai?” tanyanya sendiri, rasa cemburu yang membara dalam hati, belum dia sadari juga selama ini. Setibanya di kantor, Calvin melangkahkan kakinya, memasuki kantor dengan pikiran yang tak tenang. Setiap langkahnya terasa berat, menggambarkan kekacauan emosi yang sedang dia alami. Dalam hati kecilnya, Calvin merasa iri dengan Dion, namun dia berusaha keras untuk menyembunyikan rasa cemburu itu. Di meja kerjanya, dia mencoba untuk konsentrasi pada tumpukan berkas yang menanti, tetapi kata-kata Bara tentang Visha dan Dion terus menghantui pikirannya. “Kenapa aku harus cemburu,” batin Calvin lagi, berusaha menenangkan diri. Dia menghela napas dalam-dalam, mencoba membuang semua pikiran negatif tersebut. Calvin membuka laptopnya, berpura-pura asyik dengan pekerjaan yang menumpuk. Namun, matanya masih mengingat wajah dan
Calvin memijat pelipisnya, langkahnya tergopoh-gopoh menembus lorong rumah sakit yang ramai. Setiap detik baginya terasa bagai jam. Sesampainya di ruang dokter yang menangani tes DNA, Calvin langsung menyapa dokter tersebut dengan napas tersengal. “Dok, bagaimana hasilnya?” suaranya bergetar, memancarkan kegelisahan yang mendalam.Dokter itu menoleh dengan senyum lembut yang menenangkan. Perlahan, ia mengeluarkan sebuah amplop dari laci meja dan membukanya dengan hati-hati. Calvin menelan ludah, jantungnya berdegup kencang, menunggu kata-kata yang akan menentukan masa depannya.Melihat kegelisahan Calvin, dokter itu berkata dengan suara yang penuh empati, “Pak Calvin, saya mengerti ini momen penting bagi Anda.” Ia menarik napas sejenak, kemudian melanjutkan, “Hasil tes DNA menunjukkan bahwa Kai adalah anak biologis Pak Calvin. Selamat, Pak.”Seakan beban berat terangkat dari pundaknya, Calvin merasa lega sekaligus terharu. Air mata kebahagiaan menetes di pipinya. Ia tak bisa berk
Calvin membisikkan misinya dengan suara yang hanya bisa didengar oleh Kai, membuat jantung Kai berdetak kencang karena gembira. “Kai, kamu paham kan apa yang Papah katakan?” bisik Calvin dengan tatapan penuh harap.“Ya, Papa. Kai paham banget!” jawabnya dengan semangat.Mereka berdua saling bertos tangan, tanda persetujuan misi yang akan dimulai. Calvin segera mendekap Kai dengan erat, saat itu suara Visha dari kejauhan terdengar di telinga Kai. “Kai, Sayang? Di mana kamu?” panggil Visha.“Papa, ada Bunda!” bisik Kai pelan, mata mereka bertukar pandang penuh arti.Calvin cepat-cepat menyembunyikan diri, seraya hampir terjatuh karena tergesa-gesa. “Loh, Kai, kamu di sini? Bunda cari-cari kamu terus,” ucap Visha dengan nada lega namun penuh kekhawatiran.Namun, Kai yang sudah bersiap dengan misinya, berpura-pura merajuk dan menolak bicara. Tangannya terlipat di dada. “Kai sayang, kenapa? Ada yang menyakiti kamu lagi?” tanya Visha lembut.“Kai marah, sama Bunda ...” Suarany
Visha menyadari waktu untuk beristirahatnya telah habis, dia tak mau membuat Rani dan para karyawan Dion, lainnya kembali cemburu padanya.“Sayang, ayok kita kembali ke dalam?” ajak Visha.“Bunda, Kai mau di sini saja boleh?” Visha berpikir sejenak, dan merasa akhir-akhir ini sikap Kai semakin aneh. “Ya sudah, tapi jangan jauh-jauh ya?”“Ok Bunda!” jawab Kai penuh semangat.Visha pun dengan pasrah pergi kembali ke dalam, dia tak mungkin diam di sini menemani Kai. Setelah Visha benar-benar pergi, Calvin kembali menghampiri puteranya itu.“Kai?” panggilnya.“Papa,” ucap Kai perlahan. “Maafin Kai, misi dari Papah gagal.”Calvin tersenyum, tangannya langsung memeluk erat Kai. “Anak Papa hebat, Papa bangga sama kamu.”Kai membalas pelukan itu, dan bertanya dengan polos, “Apa Papa, Papa kandung Kai?” “Ya, tentu. Papa adalah Papanya Kai, lihat wajah Papa, kita mirip bukan?” Kai mengangguk perlahan membenarkan apa yang Calvin katakan. “Sekarang kita ke dalam yah? Giliran Papa
Calvin memejamkan mata perlahan, air mata luruh membasahi pipinya. Rasa sesal dan penyesalan begitu dalam mencengkeram hatinya. “Mas tahu hatimu masih cinta sama Mas, Sha. Maafin Mas, jika mengecewakan kamu.”“Mas,” ucap Visha akhirnya, suaranya bergetar menahan tangis.“Yah sayang,” jawab Calvin, suaranya terdengar parau.“Berjuanglah, luluhkan dan ...” Visha terdiam, kalimatnya terhenti di tengah jalan. Dia tidak tega untuk melanjutkan kalimatnya. Dia tahu, apa yang dia harapkan dari Calvin sangatlah sulit.“Mas akan berusaha,” jawab Calvin, suaranya terdengar lemah. Dia tahu, dia harus berjuang untuk mendapatkan kembali hati Visha. Namun, dia juga tahu, jalan yang harus dia tempuh tidaklah mudah.“Mas, aku percaya kamu bisa,” ucap Visha, tangannya menggenggam erat ponsel. Dia memberikan dukungan penuh kepada Calvin, meskipun hatinya terluka.“Terima kasih sayang,” ucap Calvin, dengan lega. Dia bersyukur memiliki Visha, wanita yang selalu ada di sisinya, mendukungnya dalam s
Calvin terkejut dengan suara Asih, ibu mertuanya yang meninggi. “Turun!” perintah Asih. “B-baik, Bu.” Calvin menjawab, dia pun membuka pintu dan menghampiri Asih. “Bu, Visha ...” “Mulai sekarang, jangan kamu temui lagi Visha dan Kai. Mereka bahagia meski tanpa kamu, pria pengecut yang selalu termakan hasutan mantan kekasihmu.” Calvin lagi-lagi terkejut dengan ucapan Asih. “Bu ... tapi Visha dan Kai, bagian dari keluarga Calvin.” “Bagian dari keluarga kamu? Lalu ke mana saja saat anakku tadi menangis, bahkan dengan tega kamu mengusirnya?” “Bu, Calvin benar-benar minta maaf! Calvin janji tidak akan mengulangi hal ini lagi.” Calvin berusaha meminta maaf pada Asih, tetapi Asih tak luluh begitu saja. “Cukup! Tinggalkan anak saya sekarang juga!” “Bu,” panggil Visha, dia berdiri dengan tegak, bibirnya gemetar. “Sha, ayok pulang? Maaf, jika Mas tadi ...” “Mas, pulanglah!” Visha menunduk, air matanya menetes. Calvin terdiam, hatinya terasa sesak. Dia mencintai Visha dan
Greta tersenyum licik. Dia pun menambahkan kata-kata lagi untuk meracuni pikiran Calvin. “Oh, jangan-jangan kamu sengaja menggoda Pak Cokro?”Visha tersentak. “Tutup mulutmu!” teriaknya. “Calvin ... Calvin, kamu mau saja ditipu oleh wanita ini! Padahal aku sudah mengantarkan Visha ke depan ruanganmu, tetapi kenapa dia malah pergi ke ruangan Pak Cokro!”“Hentikan ucapanmu, Mbak Greta!” Visha kesal. “Aku bahkan tidak mengenal pria itu!”“Owh yah?” Greta mencemooh. “Aku tidak yakin. Jangan-jangan kamu ...” “Greta, sebaiknya kamu pergi ke ruanganmu!” perintah Calvin, suaranya dingin.Calvin meleraikan pelukannya. Dia berjalan selangkah, hatinya cemburu dan terhasut oleh ucapan Greta. Pandangannya tertuju pada Visha yang berdiri terdiam, wajahnya memerah menahan amarah.“Visha, sebaiknya kamu pulang. Biar Bara yang antar kamu,” ucap Calvin, suaranya terdengar dingin.“Mas, aku ke sini hanya untuk bertemu dengan kamu. Aku bawain ...” Visha mencoba menjelaskan, tetapi Calvin langs
Tanpa merasa curiga, Visha masuk ke dalam ruangan itu. Dia duduk di sofa, sesekali menatap satu per satu ruangan yang tampak mewah. "Jadi ini ruangan kerja Mas Calvin," ucapnya bangga.Visha berjalan menuju jendela, menatap indahnya pemandangan dari atas gedung bertingkat lima. Angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya, membawanya pada lamunan tentang masa depan bersama Calvin."Semoga saja dengan kedatanganku kemari, Mas Calvin akan sangat bahagia," gumam Visha, matanya berkaca-kaca.Pada saat Visha sedang melamun, pintu ruangan terbuka dengan suara berderit. Seorang pria gendut berwajah garang terkejut dengan pemandangan wanita yang berbaju merah berdiri dengan anggunnya di dekat jendela."Wow, bukannya aku baru beberapa menit memesan wanita cantik? Rupanya Carles cepat sekali mendapatkan wanita cantik!" katanya sembari melangkah mendekati Visha.Visha yang sedang melamun tak menyadari gerakan langkah kaki yang mendekat. Dia tersentak kaget saat merasakan tangan kekar itu melingka
Visha berjongkok di depan Kai, puteranya yang polos. Tangannya menggenggam erat tangan mungil Kai, mencoba menenangkan. "Sayang, Jangan berbicara seperti itu yah, Nak. Papah Calvin—""Stop Bunda, Om Superman bukan Papah Kai!" teriak Kai, suaranya bergetar menahan tangis."Nak!" Visha terkesiap, hatinya tersayat mendengar kata-kata putranya.Kai menghempaskan tangannya, dia berbalik mendekati Asih, neneknya. "Nek, Kai mau tinggal di sini sama Nenek, Kai tidak mau bertemu dengan Om jahat."Asih memeluk erat Kai, tangannya mengusap perlahan rambut Kai. "Sayang, ayok sekarang Kai cuci kaki dan kita berangkat sekolah. Nanti Nenek yang antar kamu ke sekolah."Kai mengangguk, matanya berkaca-kaca. Dia pun bergegas pergi meninggalkan Visha yang berdiri terpaku, air matanya menetes perlahan."Bu?" panggil Visha, suaranya terengah-engah. "Kamu harus bersabar, Kai masih trauma pada Ayahnya, biarkan dia tenang dulu!" kata Asih, lembut.Visha hanya bisa mengangguk, hatinya pedih meliha
Visha berdecak kesal, matanya menatap layar ponsel yang menampilkan pesan dari Calvin. Jari-jarinya menekan tombol Power, mematikan layar yang menampilkan pesan yang membuatnya geram.“Menyebalkan, apa kamu pikir aku butuh uangmu!” gerutu Visha, suaranya meninggi. Dia melempar ponselnya ke atas ranjang, kepalanya tertunduk lesu.Visha enggan untuk menelepon kembali Calvin, apalagi menjelaskannya. Perasaannya campur, antara kesal, kecewa, dan sedikit takut.“Huhh! Kenapa jadi seperti ini?” gumam Visha, lelah. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.Asih kembali mendekati Visha. “Bagaimana, apa suami kamu mengizinkannya?” tanyanya, matanya penuh harap.Visha menggigit bibirnya, ragu untuk mengatakan yang sebenarnya. “Iyah Bu, Mas Calvin sudah mengizinkan Visha untuk menginap di rumah Ibu,” jawabnya berbohong.“Ya sudah, ayok bantu Ibu membereskannya rumah ini?” Asih tersenyum, tangannya terulur untuk menggenggam tangan Visha.Keduanya seharian membereskan ruma
Visha mengecup pipi Kai yang Chubby, meski hatinya terasa resah akan kelangsungan pernikahannya dengan Calvin. “Kenapa ini bisa terjadi di saat bulan madu kami?” gumam Visha tak mengerti.Di perusahaan Calvin, sang ayah, Pak Mahessa, memutuskan untuk memantau perkembangan para klien di rumah mereka. “Kita harus selalu memantau saham perusahaan, Calvin. Situasi perusahaan sedang tidak baik,” ujar Pak Mahessa. Calvin, Bara, bahkan Greta pun ikut pulang ke rumah mereka. Setibanya di sana, Kai berlari saat melihat Calvin. “Papah, sudah pulang? Adik bayinya mana?” tanya Kai, “Papah, ayok kita bermain?” ajak Kai dengan riang. Calvin yang sedang emosi langsung membentak Kai. “Kai, diam! Jangan ganggu Papah!”“Mas!” teriak Visha, “Kenapa kamu marahin Kai? Dia tidak tahu apa-apa Mas!”Calvin menatap wajah Visha kesal, “Harusnya kamu jaga anakmu. Sudah tahu Mas sedang pusing memikirkan perusahaan!”“Anakku? Oh, kamu benar, dia anakku.” Visha terdiam, matanya berkaca-kaca.“Astagh
Selesai bersih-bersih, saat Calvin akan mencium bibir Visha, ponselnya berdering.“Mas, angkat dulu teleponnya, siapa tahu penting!” ucap Visha.“Huhh! Mengganggu saja, harusnya tadi Mas matikan dulu teleponnya!” keluhnya kesal, tangannya masih terulur hendak meraih Visha.Visha terkekeh pelan, menarik hidung Calvin gemas. “Angkat dulu, kita bisa memulainya nanti bukan.”“Hmm, baiklah! Mas angkat telepon dulu yah, kamu tunggu di tempat tidur.” Calvin berusaha menahan gejolak di hatinya, mencoba fokus pada panggilan yang mengusik ketenangannya.Visha mengangguk, Calvin meraih ponselnya yang di simpan di atas meja. Saat nama ‘Bara’ muncul di layar ponsel, dia mendengus kesal.“Ah, sial! Mengganggu saja!” pekiknya kesal, sembari tetap mengangkat panggilan itu.“Hallo, bos?” sapa Bara.“Ya, ada apa? Apa kamu tidak punya kerjaan mengganggu saya?” Nada Calvin terdengar dingin, penuh kekecewaan.“Cal, ini Papah!” ucap Mahessa.“Papah!” Calvin terkejut, jantungnya berdebar kencang.
Calvin tertawa saat melihat wajah Visha yang gugup. "Apa kamu takut?" Visha mengangguk perlahan, meski begitu dia tak mau membuat Calvin kecewa. "Aku siap Mas!" jawab Visha, akhirnya. Calvin tersenyum, dia mengecup kening Visha perlahan. "Hemm, sayangnya Mas tidak akan melakukannya sekaranh. Oh yah, sayang... nanti siang persiapkan barang-barang Mas dan kamu yah, Mas akan ajak kamu pergi bulan madu!" "Bulan madu? Kai bagaimana Mas?" tanya Visha. "Sayang, Kai sementara sama orang tua kita dulu yah!" jawab Calvin, "Jangan khawatir, mereka pasti akan senang menjaga Kai." Visha terdiam sejenak, memikirkan hal itu. Dia tahu bahwa orang tua mereka sangat menyayangi Kai dan akan merawatnya dengan baik. Namun, tetap saja ada sedikit keraguan di hatinya. "Mas, apa kedua orang tua Mas nggak akan keberatan?" tanyanya. "Tentu tidak sayang," jawab Calvin, "Lagipula, kita tidak akan pergi terlalu lama. Hanya beberapa hari saja." Visha mengangguk, lega. "Baiklah Mas, aku persiapkan d