Calvin dan Bara segera meninggalkan kafe, ledekan Bara membuka Calvin berpikir tentang kedekatan Visha dan Dion selama ini. “Apa benar Visha dan Dion saling mencintai?” tanyanya sendiri, rasa cemburu yang membara dalam hati, belum dia sadari juga selama ini. Setibanya di kantor, Calvin melangkahkan kakinya, memasuki kantor dengan pikiran yang tak tenang. Setiap langkahnya terasa berat, menggambarkan kekacauan emosi yang sedang dia alami. Dalam hati kecilnya, Calvin merasa iri dengan Dion, namun dia berusaha keras untuk menyembunyikan rasa cemburu itu. Di meja kerjanya, dia mencoba untuk konsentrasi pada tumpukan berkas yang menanti, tetapi kata-kata Bara tentang Visha dan Dion terus menghantui pikirannya. “Kenapa aku harus cemburu,” batin Calvin lagi, berusaha menenangkan diri. Dia menghela napas dalam-dalam, mencoba membuang semua pikiran negatif tersebut. Calvin membuka laptopnya, berpura-pura asyik dengan pekerjaan yang menumpuk. Namun, matanya masih mengingat wajah dan
Calvin memijat pelipisnya, langkahnya tergopoh-gopoh menembus lorong rumah sakit yang ramai. Setiap detik baginya terasa bagai jam. Sesampainya di ruang dokter yang menangani tes DNA, Calvin langsung menyapa dokter tersebut dengan napas tersengal. “Dok, bagaimana hasilnya?” suaranya bergetar, memancarkan kegelisahan yang mendalam.Dokter itu menoleh dengan senyum lembut yang menenangkan. Perlahan, ia mengeluarkan sebuah amplop dari laci meja dan membukanya dengan hati-hati. Calvin menelan ludah, jantungnya berdegup kencang, menunggu kata-kata yang akan menentukan masa depannya.Melihat kegelisahan Calvin, dokter itu berkata dengan suara yang penuh empati, “Pak Calvin, saya mengerti ini momen penting bagi Anda.” Ia menarik napas sejenak, kemudian melanjutkan, “Hasil tes DNA menunjukkan bahwa Kai adalah anak biologis Pak Calvin. Selamat, Pak.”Seakan beban berat terangkat dari pundaknya, Calvin merasa lega sekaligus terharu. Air mata kebahagiaan menetes di pipinya. Ia tak bisa berk
Calvin membisikkan misinya dengan suara yang hanya bisa didengar oleh Kai, membuat jantung Kai berdetak kencang karena gembira. “Kai, kamu paham kan apa yang Papah katakan?” bisik Calvin dengan tatapan penuh harap.“Ya, Papa. Kai paham banget!” jawabnya dengan semangat.Mereka berdua saling bertos tangan, tanda persetujuan misi yang akan dimulai. Calvin segera mendekap Kai dengan erat, saat itu suara Visha dari kejauhan terdengar di telinga Kai. “Kai, Sayang? Di mana kamu?” panggil Visha.“Papa, ada Bunda!” bisik Kai pelan, mata mereka bertukar pandang penuh arti.Calvin cepat-cepat menyembunyikan diri, seraya hampir terjatuh karena tergesa-gesa. “Loh, Kai, kamu di sini? Bunda cari-cari kamu terus,” ucap Visha dengan nada lega namun penuh kekhawatiran.Namun, Kai yang sudah bersiap dengan misinya, berpura-pura merajuk dan menolak bicara. Tangannya terlipat di dada. “Kai sayang, kenapa? Ada yang menyakiti kamu lagi?” tanya Visha lembut.“Kai marah, sama Bunda ...” Suarany
Visha menyadari waktu untuk beristirahatnya telah habis, dia tak mau membuat Rani dan para karyawan Dion, lainnya kembali cemburu padanya.“Sayang, ayok kita kembali ke dalam?” ajak Visha.“Bunda, Kai mau di sini saja boleh?” Visha berpikir sejenak, dan merasa akhir-akhir ini sikap Kai semakin aneh. “Ya sudah, tapi jangan jauh-jauh ya?”“Ok Bunda!” jawab Kai penuh semangat.Visha pun dengan pasrah pergi kembali ke dalam, dia tak mungkin diam di sini menemani Kai. Setelah Visha benar-benar pergi, Calvin kembali menghampiri puteranya itu.“Kai?” panggilnya.“Papa,” ucap Kai perlahan. “Maafin Kai, misi dari Papah gagal.”Calvin tersenyum, tangannya langsung memeluk erat Kai. “Anak Papa hebat, Papa bangga sama kamu.”Kai membalas pelukan itu, dan bertanya dengan polos, “Apa Papa, Papa kandung Kai?” “Ya, tentu. Papa adalah Papanya Kai, lihat wajah Papa, kita mirip bukan?” Kai mengangguk perlahan membenarkan apa yang Calvin katakan. “Sekarang kita ke dalam yah? Giliran Papa
Visha merasakan betapa beratnya kaki melangkah menuju pantry, di mana dia akan bertemu dengan Kai, anaknya yang berwajah polos. Tangannya gemetar saat dia membuka pintu, dan matanya langsung tertuju pada wajah Kai yang mirip dengan Calvin. Jantungnya berdegup kencang, mengingatkan pada malam yang telah lama berlalu, malam ketika Calvin merenggut segalanya dari dirinya.Sementara itu, kata-kata Calvin barusan semakin membuatnya kesal, bagaimana Calvin mengundangnya pada acara pertunangannya nanti. "Apa maksud dia berkata seperti itu padaku?" sungut Visha, kesal. Dia menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menatap wajah Kai. Air matanya mulai menggenang, dia tak sanggup menahan beban emosi yang terus menerus dia pendam. “Maafkan Bunda, Nak. Jika Bunda terlalu egois tak mempertemukan kamu dengan ayah kandung kamu.” Suaranya terdengar sangat lirih, seolah-olah takut mengganggu keheningan yang sedang terjadi.Kai, yang duduk di hadapannya, terlihat bingung namun j
Visha merasa cemas dan gugup yang tak tertahankan saat menatap Calvin. “Kai, ayok kita pulang, Nak?” ajaknya dengan suara gemetar. "Bunda, Om Superman sudah janji, mau antar Kai pulang,” gumam Kai penuh harap. “Kai, tidak boleh begitu. Om sedang sibuk, ayo kita pulang sayang!” kata Visha berusaha meyakinkan Kai. Namun Calvin melangkah lebih dekat dan berkata lembut. “Om nggak sibuk, ayok sayang. Om akan menggendong kamu sampai ke bawah dan kita akan pulang bersama-sama.” Visha mendengus kesal, menatap Calvin dengan pandangan sinis. "Seharusnya Anda tidak perlu memanjakan Kai seperti itu!" Calvin hanya tersenyum melihat kemarahan di wajah Visha. Dia segera menggendong Kai di belakang punggungnya membuat Visha tak bisa berbuat apa-apa. “Sayang, turun yuk Nak? Om pasti berat daritadi gendong kamu terus!” titahnya. "Bunda, Kai sudah mengantuk!" timpal Kai sembari berpura-pura menguap. “Tenang saja, Kai tidak berat sama sekali. Apa kamu mau aku gendong juga?" lanjut Cal
Pada keesokan harinya, Visha menyiapkan sarapan sambil menyanyikan lagu kesukaan Kai. Namun, suara Kai yang polos memanggilnya membuat Visha terhenti sejenak. “Ayok sayang sarapan dulu!” ajaknya dengan suara yang bergetar sedikit.Kai, dengan mata yang berbinar, bertanya dengan polos, “Bunda, Papa mana?” Pertanyaan itu seakan membawa gemuruh di hati Visha. “Papa?” Visha terkejut, jantungnya berdegup kencang.Kai, menyadari kesalahannya, segera menepuk jidatnya sendiri, “Oh, Om Superman, Bunda. Kai jadi rindu sama Papa, apa wajah Papa sama seperti Kai?” Visha tampak gugup, matanya terlihat cemas dan bibirnya bergetar sedikit. Tanpa menjawab, Visha kembali menyuruh Kai untuk segera sarapan.“Baik Bunda,” jawab Kai pelan. Dengan langkah yang gontai, dia berjalan menuju kamar mandi, mencoba menenangkan diri. Di balik pintu yang tertutup, Visha menarik nafas dalam-dalam, berusaha meredam emosi yang bergejolak.Sementara itu, Kai, yang masih duduk di meja makan, melanjutkan sarapa
Malam itu, angin berembus perlahan, mengusik ketenangan Asih dan Visha yang tampak gelisah memikirkan bagaimana nasib mereka. Visha, dengan rambutnya yang terurai dan mata yang sayu, tampak bingung memikirkan di mana ia akan menghabiskan malam ini. Dengan tangan yang gemetar, ia memainkan ujung baju, pertanda kecemasan yang mendalam.“Visha, Ibu akan coba meminta bantuan pada Den Calvin,” ujar Asih dengan suara lembut, mencoba menenangkan hati anaknya.“Bu, jangan!” sergah Visha cepat, matanya membelalak, seolah ada rahasia besar yang berusaha ia sembunyikan.“Kenapa Nak?” tanya Asih heran, alisnya mengerut tidak mengerti. Rasa khawatir mulai menyelimuti hatinya, menduga ada yang tidak beres.“Eum,” gumam Visha, suaranya tercekat, dia menelan ludah berusaha menyembunyikan kegelisahannya, “ya sudah terserah Ibu.” Dia berusaha terlihat tenang, namun jelas terlihat ada ketakutan yang menggelayuti dirinya.Tanpa menunda, Asih segera mengambil ponsel dan menekan nomor Calvin. Tapi sa