Calvin membisikkan misinya dengan suara yang hanya bisa didengar oleh Kai, membuat jantung Kai berdetak kencang karena gembira. “Kai, kamu paham kan apa yang Papah katakan?” bisik Calvin dengan tatapan penuh harap.“Ya, Papa. Kai paham banget!” jawabnya dengan semangat.Mereka berdua saling bertos tangan, tanda persetujuan misi yang akan dimulai. Calvin segera mendekap Kai dengan erat, saat itu suara Visha dari kejauhan terdengar di telinga Kai. “Kai, Sayang? Di mana kamu?” panggil Visha.“Papa, ada Bunda!” bisik Kai pelan, mata mereka bertukar pandang penuh arti.Calvin cepat-cepat menyembunyikan diri, seraya hampir terjatuh karena tergesa-gesa. “Loh, Kai, kamu di sini? Bunda cari-cari kamu terus,” ucap Visha dengan nada lega namun penuh kekhawatiran.Namun, Kai yang sudah bersiap dengan misinya, berpura-pura merajuk dan menolak bicara. Tangannya terlipat di dada. “Kai sayang, kenapa? Ada yang menyakiti kamu lagi?” tanya Visha lembut.“Kai marah, sama Bunda ...” Suarany
Visha menyadari waktu untuk beristirahatnya telah habis, dia tak mau membuat Rani dan para karyawan Dion, lainnya kembali cemburu padanya.“Sayang, ayok kita kembali ke dalam?” ajak Visha.“Bunda, Kai mau di sini saja boleh?” Visha berpikir sejenak, dan merasa akhir-akhir ini sikap Kai semakin aneh. “Ya sudah, tapi jangan jauh-jauh ya?”“Ok Bunda!” jawab Kai penuh semangat.Visha pun dengan pasrah pergi kembali ke dalam, dia tak mungkin diam di sini menemani Kai. Setelah Visha benar-benar pergi, Calvin kembali menghampiri puteranya itu.“Kai?” panggilnya.“Papa,” ucap Kai perlahan. “Maafin Kai, misi dari Papah gagal.”Calvin tersenyum, tangannya langsung memeluk erat Kai. “Anak Papa hebat, Papa bangga sama kamu.”Kai membalas pelukan itu, dan bertanya dengan polos, “Apa Papa, Papa kandung Kai?” “Ya, tentu. Papa adalah Papanya Kai, lihat wajah Papa, kita mirip bukan?” Kai mengangguk perlahan membenarkan apa yang Calvin katakan. “Sekarang kita ke dalam yah? Giliran Papa
Visha merasakan betapa beratnya kaki melangkah menuju pantry, di mana dia akan bertemu dengan Kai, anaknya yang berwajah polos. Tangannya gemetar saat dia membuka pintu, dan matanya langsung tertuju pada wajah Kai yang mirip dengan Calvin. Jantungnya berdegup kencang, mengingatkan pada malam yang telah lama berlalu, malam ketika Calvin merenggut segalanya dari dirinya.Sementara itu, kata-kata Calvin barusan semakin membuatnya kesal, bagaimana Calvin mengundangnya pada acara pertunangannya nanti. "Apa maksud dia berkata seperti itu padaku?" sungut Visha, kesal. Dia menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menatap wajah Kai. Air matanya mulai menggenang, dia tak sanggup menahan beban emosi yang terus menerus dia pendam. “Maafkan Bunda, Nak. Jika Bunda terlalu egois tak mempertemukan kamu dengan ayah kandung kamu.” Suaranya terdengar sangat lirih, seolah-olah takut mengganggu keheningan yang sedang terjadi.Kai, yang duduk di hadapannya, terlihat bingung namun j
Visha merasa cemas dan gugup yang tak tertahankan saat menatap Calvin. “Kai, ayok kita pulang, Nak?” ajaknya dengan suara gemetar. "Bunda, Om Superman sudah janji, mau antar Kai pulang,” gumam Kai penuh harap. “Kai, tidak boleh begitu. Om sedang sibuk, ayo kita pulang sayang!” kata Visha berusaha meyakinkan Kai. Namun Calvin melangkah lebih dekat dan berkata lembut. “Om nggak sibuk, ayok sayang. Om akan menggendong kamu sampai ke bawah dan kita akan pulang bersama-sama.” Visha mendengus kesal, menatap Calvin dengan pandangan sinis. "Seharusnya Anda tidak perlu memanjakan Kai seperti itu!" Calvin hanya tersenyum melihat kemarahan di wajah Visha. Dia segera menggendong Kai di belakang punggungnya membuat Visha tak bisa berbuat apa-apa. “Sayang, turun yuk Nak? Om pasti berat daritadi gendong kamu terus!” titahnya. "Bunda, Kai sudah mengantuk!" timpal Kai sembari berpura-pura menguap. “Tenang saja, Kai tidak berat sama sekali. Apa kamu mau aku gendong juga?" lanjut Cal
Pada keesokan harinya, Visha menyiapkan sarapan sambil menyanyikan lagu kesukaan Kai. Namun, suara Kai yang polos memanggilnya membuat Visha terhenti sejenak. “Ayok sayang sarapan dulu!” ajaknya dengan suara yang bergetar sedikit.Kai, dengan mata yang berbinar, bertanya dengan polos, “Bunda, Papa mana?” Pertanyaan itu seakan membawa gemuruh di hati Visha. “Papa?” Visha terkejut, jantungnya berdegup kencang.Kai, menyadari kesalahannya, segera menepuk jidatnya sendiri, “Oh, Om Superman, Bunda. Kai jadi rindu sama Papa, apa wajah Papa sama seperti Kai?” Visha tampak gugup, matanya terlihat cemas dan bibirnya bergetar sedikit. Tanpa menjawab, Visha kembali menyuruh Kai untuk segera sarapan.“Baik Bunda,” jawab Kai pelan. Dengan langkah yang gontai, dia berjalan menuju kamar mandi, mencoba menenangkan diri. Di balik pintu yang tertutup, Visha menarik nafas dalam-dalam, berusaha meredam emosi yang bergejolak.Sementara itu, Kai, yang masih duduk di meja makan, melanjutkan sarapa
Malam itu, angin berembus perlahan, mengusik ketenangan Asih dan Visha yang tampak gelisah memikirkan bagaimana nasib mereka. Visha, dengan rambutnya yang terurai dan mata yang sayu, tampak bingung memikirkan di mana ia akan menghabiskan malam ini. Dengan tangan yang gemetar, ia memainkan ujung baju, pertanda kecemasan yang mendalam.“Visha, Ibu akan coba meminta bantuan pada Den Calvin,” ujar Asih dengan suara lembut, mencoba menenangkan hati anaknya.“Bu, jangan!” sergah Visha cepat, matanya membelalak, seolah ada rahasia besar yang berusaha ia sembunyikan.“Kenapa Nak?” tanya Asih heran, alisnya mengerut tidak mengerti. Rasa khawatir mulai menyelimuti hatinya, menduga ada yang tidak beres.“Eum,” gumam Visha, suaranya tercekat, dia menelan ludah berusaha menyembunyikan kegelisahannya, “ya sudah terserah Ibu.” Dia berusaha terlihat tenang, namun jelas terlihat ada ketakutan yang menggelayuti dirinya.Tanpa menunda, Asih segera mengambil ponsel dan menekan nomor Calvin. Tapi sa
Pagi itu, atmosfer dapur Visha dipenuhi aroma harum nasi goreng yang sengaja ia masak untuk sarapan bersama Kai. Dengan cermat, ia mengatur segala sesuatu, berharap Calvin masih terlelap di kamarnya.“Semoga saja pria itu masih tidur,” gumam Visha berharap. Visha menyiapkan sarapan untuk dirinya di meja makan, sementara dia pergi ke kamar mandi sebentar. Namun, tak disangka, Calvin justru duduk di meja makan, menikmati hidangan yang seharusnya untuk Visha makan. “Heum, enak sekali. Tumben Bi Asih buatkan sarapan nasi goreng,” ucap Calvin sembari menikmatinya. Saat suapan terakhir yang penuh ketergesaan, Calvin tiba-tiba merasakan gatal yang membara di sekujur tubuhnya, memaksanya berlari ke dapur untuk mencari pertolongan. "Tuan Calvin?" Visha terkejut saat melihat Calvin memuntahkan isi makanannya. “Visha, tolong ambilkan lebih banyak air untukku," pinta Calvin dengan suara serak.Wajah Calvin merah padam, menunjukkan tanda-tanda alergi yang serius, mirip dengan yang ser
Di dalam kamar, Calvin berusaha untuk “Ada apa sih, kenapa kamu malah membela anak pembantu itu?” tanya Greta dengan nada kesal.“Greta, dia hanya anak kecil, kenapa kamu sampai membentak dan menyakitinya!” kata Calvin menahan geram.“Gitu aja lebay! Sudah ah, aku mau numpang ke toilet dulu!” ujarnya kesal.“Ya, setelah ini sebaiknya kamu pergi!” titah Calvin ketus."Kamu mengusirku?" Greta bertanya kesal.Tanpa menjawab pertanyaan dari Greta, Calvin segera menghampiri Kai di dapur. Setibanya di sana, Calvin terpaku sejenak, melihat Kai yang terisak dan langsung bersembunyi di belakang punggung Visha, menghindari Calvin. Ia menoleh ke Visha yang masih berdiri tegap dengan pandangan yang menghindar. Dengan langkah yang berat, Calvin mendekati Visha.“Apa Kai baik-baik saja?” tanyanya cemas.“Dia baik, Anda tak perlu khawatir!” jawab Visha, ketus.“Kai, Om punya sesuatu untuk Kai, sini Nak?”“Kai nggak mau!” teriaknya.“Kenapa Kai berkata seperti itu, ayok sini, Nak?”“
Calvin memejamkan mata perlahan, air mata luruh membasahi pipinya. Rasa sesal dan penyesalan begitu dalam mencengkeram hatinya. “Mas tahu hatimu masih cinta sama Mas, Sha. Maafin Mas, jika mengecewakan kamu.”“Mas,” ucap Visha akhirnya, suaranya bergetar menahan tangis.“Yah sayang,” jawab Calvin, suaranya terdengar parau.“Berjuanglah, luluhkan dan ...” Visha terdiam, kalimatnya terhenti di tengah jalan. Dia tidak tega untuk melanjutkan kalimatnya. Dia tahu, apa yang dia harapkan dari Calvin sangatlah sulit.“Mas akan berusaha,” jawab Calvin, suaranya terdengar lemah. Dia tahu, dia harus berjuang untuk mendapatkan kembali hati Visha. Namun, dia juga tahu, jalan yang harus dia tempuh tidaklah mudah.“Mas, aku percaya kamu bisa,” ucap Visha, tangannya menggenggam erat ponsel. Dia memberikan dukungan penuh kepada Calvin, meskipun hatinya terluka.“Terima kasih sayang,” ucap Calvin, dengan lega. Dia bersyukur memiliki Visha, wanita yang selalu ada di sisinya, mendukungnya dalam s
Calvin terkejut dengan suara Asih, ibu mertuanya yang meninggi. “Turun!” perintah Asih. “B-baik, Bu.” Calvin menjawab, dia pun membuka pintu dan menghampiri Asih. “Bu, Visha ...” “Mulai sekarang, jangan kamu temui lagi Visha dan Kai. Mereka bahagia meski tanpa kamu, pria pengecut yang selalu termakan hasutan mantan kekasihmu.” Calvin lagi-lagi terkejut dengan ucapan Asih. “Bu ... tapi Visha dan Kai, bagian dari keluarga Calvin.” “Bagian dari keluarga kamu? Lalu ke mana saja saat anakku tadi menangis, bahkan dengan tega kamu mengusirnya?” “Bu, Calvin benar-benar minta maaf! Calvin janji tidak akan mengulangi hal ini lagi.” Calvin berusaha meminta maaf pada Asih, tetapi Asih tak luluh begitu saja. “Cukup! Tinggalkan anak saya sekarang juga!” “Bu,” panggil Visha, dia berdiri dengan tegak, bibirnya gemetar. “Sha, ayok pulang? Maaf, jika Mas tadi ...” “Mas, pulanglah!” Visha menunduk, air matanya menetes. Calvin terdiam, hatinya terasa sesak. Dia mencintai Visha dan
Greta tersenyum licik. Dia pun menambahkan kata-kata lagi untuk meracuni pikiran Calvin. “Oh, jangan-jangan kamu sengaja menggoda Pak Cokro?”Visha tersentak. “Tutup mulutmu!” teriaknya. “Calvin ... Calvin, kamu mau saja ditipu oleh wanita ini! Padahal aku sudah mengantarkan Visha ke depan ruanganmu, tetapi kenapa dia malah pergi ke ruangan Pak Cokro!”“Hentikan ucapanmu, Mbak Greta!” Visha kesal. “Aku bahkan tidak mengenal pria itu!”“Owh yah?” Greta mencemooh. “Aku tidak yakin. Jangan-jangan kamu ...” “Greta, sebaiknya kamu pergi ke ruanganmu!” perintah Calvin, suaranya dingin.Calvin meleraikan pelukannya. Dia berjalan selangkah, hatinya cemburu dan terhasut oleh ucapan Greta. Pandangannya tertuju pada Visha yang berdiri terdiam, wajahnya memerah menahan amarah.“Visha, sebaiknya kamu pulang. Biar Bara yang antar kamu,” ucap Calvin, suaranya terdengar dingin.“Mas, aku ke sini hanya untuk bertemu dengan kamu. Aku bawain ...” Visha mencoba menjelaskan, tetapi Calvin langs
Tanpa merasa curiga, Visha masuk ke dalam ruangan itu. Dia duduk di sofa, sesekali menatap satu per satu ruangan yang tampak mewah. "Jadi ini ruangan kerja Mas Calvin," ucapnya bangga.Visha berjalan menuju jendela, menatap indahnya pemandangan dari atas gedung bertingkat lima. Angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya, membawanya pada lamunan tentang masa depan bersama Calvin."Semoga saja dengan kedatanganku kemari, Mas Calvin akan sangat bahagia," gumam Visha, matanya berkaca-kaca.Pada saat Visha sedang melamun, pintu ruangan terbuka dengan suara berderit. Seorang pria gendut berwajah garang terkejut dengan pemandangan wanita yang berbaju merah berdiri dengan anggunnya di dekat jendela."Wow, bukannya aku baru beberapa menit memesan wanita cantik? Rupanya Carles cepat sekali mendapatkan wanita cantik!" katanya sembari melangkah mendekati Visha.Visha yang sedang melamun tak menyadari gerakan langkah kaki yang mendekat. Dia tersentak kaget saat merasakan tangan kekar itu melingka
Visha berjongkok di depan Kai, puteranya yang polos. Tangannya menggenggam erat tangan mungil Kai, mencoba menenangkan. "Sayang, Jangan berbicara seperti itu yah, Nak. Papah Calvin—""Stop Bunda, Om Superman bukan Papah Kai!" teriak Kai, suaranya bergetar menahan tangis."Nak!" Visha terkesiap, hatinya tersayat mendengar kata-kata putranya.Kai menghempaskan tangannya, dia berbalik mendekati Asih, neneknya. "Nek, Kai mau tinggal di sini sama Nenek, Kai tidak mau bertemu dengan Om jahat."Asih memeluk erat Kai, tangannya mengusap perlahan rambut Kai. "Sayang, ayok sekarang Kai cuci kaki dan kita berangkat sekolah. Nanti Nenek yang antar kamu ke sekolah."Kai mengangguk, matanya berkaca-kaca. Dia pun bergegas pergi meninggalkan Visha yang berdiri terpaku, air matanya menetes perlahan."Bu?" panggil Visha, suaranya terengah-engah. "Kamu harus bersabar, Kai masih trauma pada Ayahnya, biarkan dia tenang dulu!" kata Asih, lembut.Visha hanya bisa mengangguk, hatinya pedih meliha
Visha berdecak kesal, matanya menatap layar ponsel yang menampilkan pesan dari Calvin. Jari-jarinya menekan tombol Power, mematikan layar yang menampilkan pesan yang membuatnya geram.“Menyebalkan, apa kamu pikir aku butuh uangmu!” gerutu Visha, suaranya meninggi. Dia melempar ponselnya ke atas ranjang, kepalanya tertunduk lesu.Visha enggan untuk menelepon kembali Calvin, apalagi menjelaskannya. Perasaannya campur, antara kesal, kecewa, dan sedikit takut.“Huhh! Kenapa jadi seperti ini?” gumam Visha, lelah. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.Asih kembali mendekati Visha. “Bagaimana, apa suami kamu mengizinkannya?” tanyanya, matanya penuh harap.Visha menggigit bibirnya, ragu untuk mengatakan yang sebenarnya. “Iyah Bu, Mas Calvin sudah mengizinkan Visha untuk menginap di rumah Ibu,” jawabnya berbohong.“Ya sudah, ayok bantu Ibu membereskannya rumah ini?” Asih tersenyum, tangannya terulur untuk menggenggam tangan Visha.Keduanya seharian membereskan ruma
Visha mengecup pipi Kai yang Chubby, meski hatinya terasa resah akan kelangsungan pernikahannya dengan Calvin. “Kenapa ini bisa terjadi di saat bulan madu kami?” gumam Visha tak mengerti.Di perusahaan Calvin, sang ayah, Pak Mahessa, memutuskan untuk memantau perkembangan para klien di rumah mereka. “Kita harus selalu memantau saham perusahaan, Calvin. Situasi perusahaan sedang tidak baik,” ujar Pak Mahessa. Calvin, Bara, bahkan Greta pun ikut pulang ke rumah mereka. Setibanya di sana, Kai berlari saat melihat Calvin. “Papah, sudah pulang? Adik bayinya mana?” tanya Kai, “Papah, ayok kita bermain?” ajak Kai dengan riang. Calvin yang sedang emosi langsung membentak Kai. “Kai, diam! Jangan ganggu Papah!”“Mas!” teriak Visha, “Kenapa kamu marahin Kai? Dia tidak tahu apa-apa Mas!”Calvin menatap wajah Visha kesal, “Harusnya kamu jaga anakmu. Sudah tahu Mas sedang pusing memikirkan perusahaan!”“Anakku? Oh, kamu benar, dia anakku.” Visha terdiam, matanya berkaca-kaca.“Astagh
Selesai bersih-bersih, saat Calvin akan mencium bibir Visha, ponselnya berdering.“Mas, angkat dulu teleponnya, siapa tahu penting!” ucap Visha.“Huhh! Mengganggu saja, harusnya tadi Mas matikan dulu teleponnya!” keluhnya kesal, tangannya masih terulur hendak meraih Visha.Visha terkekeh pelan, menarik hidung Calvin gemas. “Angkat dulu, kita bisa memulainya nanti bukan.”“Hmm, baiklah! Mas angkat telepon dulu yah, kamu tunggu di tempat tidur.” Calvin berusaha menahan gejolak di hatinya, mencoba fokus pada panggilan yang mengusik ketenangannya.Visha mengangguk, Calvin meraih ponselnya yang di simpan di atas meja. Saat nama ‘Bara’ muncul di layar ponsel, dia mendengus kesal.“Ah, sial! Mengganggu saja!” pekiknya kesal, sembari tetap mengangkat panggilan itu.“Hallo, bos?” sapa Bara.“Ya, ada apa? Apa kamu tidak punya kerjaan mengganggu saya?” Nada Calvin terdengar dingin, penuh kekecewaan.“Cal, ini Papah!” ucap Mahessa.“Papah!” Calvin terkejut, jantungnya berdebar kencang.
Calvin tertawa saat melihat wajah Visha yang gugup. "Apa kamu takut?" Visha mengangguk perlahan, meski begitu dia tak mau membuat Calvin kecewa. "Aku siap Mas!" jawab Visha, akhirnya. Calvin tersenyum, dia mengecup kening Visha perlahan. "Hemm, sayangnya Mas tidak akan melakukannya sekaranh. Oh yah, sayang... nanti siang persiapkan barang-barang Mas dan kamu yah, Mas akan ajak kamu pergi bulan madu!" "Bulan madu? Kai bagaimana Mas?" tanya Visha. "Sayang, Kai sementara sama orang tua kita dulu yah!" jawab Calvin, "Jangan khawatir, mereka pasti akan senang menjaga Kai." Visha terdiam sejenak, memikirkan hal itu. Dia tahu bahwa orang tua mereka sangat menyayangi Kai dan akan merawatnya dengan baik. Namun, tetap saja ada sedikit keraguan di hatinya. "Mas, apa kedua orang tua Mas nggak akan keberatan?" tanyanya. "Tentu tidak sayang," jawab Calvin, "Lagipula, kita tidak akan pergi terlalu lama. Hanya beberapa hari saja." Visha mengangguk, lega. "Baiklah Mas, aku persiapkan d