Visha merasakan betapa beratnya kaki melangkah menuju pantry, di mana dia akan bertemu dengan Kai, anaknya yang berwajah polos. Tangannya gemetar saat dia membuka pintu, dan matanya langsung tertuju pada wajah Kai yang mirip dengan Calvin. Jantungnya berdegup kencang, mengingatkan pada malam yang telah lama berlalu, malam ketika Calvin merenggut segalanya dari dirinya.Sementara itu, kata-kata Calvin barusan semakin membuatnya kesal, bagaimana Calvin mengundangnya pada acara pertunangannya nanti. "Apa maksud dia berkata seperti itu padaku?" sungut Visha, kesal. Dia menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan keberanian untuk menatap wajah Kai. Air matanya mulai menggenang, dia tak sanggup menahan beban emosi yang terus menerus dia pendam. “Maafkan Bunda, Nak. Jika Bunda terlalu egois tak mempertemukan kamu dengan ayah kandung kamu.” Suaranya terdengar sangat lirih, seolah-olah takut mengganggu keheningan yang sedang terjadi.Kai, yang duduk di hadapannya, terlihat bingung namun j
Visha merasa cemas dan gugup yang tak tertahankan saat menatap Calvin. “Kai, ayok kita pulang, Nak?” ajaknya dengan suara gemetar. "Bunda, Om Superman sudah janji, mau antar Kai pulang,” gumam Kai penuh harap. “Kai, tidak boleh begitu. Om sedang sibuk, ayo kita pulang sayang!” kata Visha berusaha meyakinkan Kai. Namun Calvin melangkah lebih dekat dan berkata lembut. “Om nggak sibuk, ayok sayang. Om akan menggendong kamu sampai ke bawah dan kita akan pulang bersama-sama.” Visha mendengus kesal, menatap Calvin dengan pandangan sinis. "Seharusnya Anda tidak perlu memanjakan Kai seperti itu!" Calvin hanya tersenyum melihat kemarahan di wajah Visha. Dia segera menggendong Kai di belakang punggungnya membuat Visha tak bisa berbuat apa-apa. “Sayang, turun yuk Nak? Om pasti berat daritadi gendong kamu terus!” titahnya. "Bunda, Kai sudah mengantuk!" timpal Kai sembari berpura-pura menguap. “Tenang saja, Kai tidak berat sama sekali. Apa kamu mau aku gendong juga?" lanjut Cal
Pada keesokan harinya, Visha menyiapkan sarapan sambil menyanyikan lagu kesukaan Kai. Namun, suara Kai yang polos memanggilnya membuat Visha terhenti sejenak. “Ayok sayang sarapan dulu!” ajaknya dengan suara yang bergetar sedikit.Kai, dengan mata yang berbinar, bertanya dengan polos, “Bunda, Papa mana?” Pertanyaan itu seakan membawa gemuruh di hati Visha. “Papa?” Visha terkejut, jantungnya berdegup kencang.Kai, menyadari kesalahannya, segera menepuk jidatnya sendiri, “Oh, Om Superman, Bunda. Kai jadi rindu sama Papa, apa wajah Papa sama seperti Kai?” Visha tampak gugup, matanya terlihat cemas dan bibirnya bergetar sedikit. Tanpa menjawab, Visha kembali menyuruh Kai untuk segera sarapan.“Baik Bunda,” jawab Kai pelan. Dengan langkah yang gontai, dia berjalan menuju kamar mandi, mencoba menenangkan diri. Di balik pintu yang tertutup, Visha menarik nafas dalam-dalam, berusaha meredam emosi yang bergejolak.Sementara itu, Kai, yang masih duduk di meja makan, melanjutkan sarapa
Malam itu, angin berembus perlahan, mengusik ketenangan Asih dan Visha yang tampak gelisah memikirkan bagaimana nasib mereka. Visha, dengan rambutnya yang terurai dan mata yang sayu, tampak bingung memikirkan di mana ia akan menghabiskan malam ini. Dengan tangan yang gemetar, ia memainkan ujung baju, pertanda kecemasan yang mendalam.“Visha, Ibu akan coba meminta bantuan pada Den Calvin,” ujar Asih dengan suara lembut, mencoba menenangkan hati anaknya.“Bu, jangan!” sergah Visha cepat, matanya membelalak, seolah ada rahasia besar yang berusaha ia sembunyikan.“Kenapa Nak?” tanya Asih heran, alisnya mengerut tidak mengerti. Rasa khawatir mulai menyelimuti hatinya, menduga ada yang tidak beres.“Eum,” gumam Visha, suaranya tercekat, dia menelan ludah berusaha menyembunyikan kegelisahannya, “ya sudah terserah Ibu.” Dia berusaha terlihat tenang, namun jelas terlihat ada ketakutan yang menggelayuti dirinya.Tanpa menunda, Asih segera mengambil ponsel dan menekan nomor Calvin. Tapi sa
Pagi itu, atmosfer dapur Visha dipenuhi aroma harum nasi goreng yang sengaja ia masak untuk sarapan bersama Kai. Dengan cermat, ia mengatur segala sesuatu, berharap Calvin masih terlelap di kamarnya.“Semoga saja pria itu masih tidur,” gumam Visha berharap. Visha menyiapkan sarapan untuk dirinya di meja makan, sementara dia pergi ke kamar mandi sebentar. Namun, tak disangka, Calvin justru duduk di meja makan, menikmati hidangan yang seharusnya untuk Visha makan. “Heum, enak sekali. Tumben Bi Asih buatkan sarapan nasi goreng,” ucap Calvin sembari menikmatinya. Saat suapan terakhir yang penuh ketergesaan, Calvin tiba-tiba merasakan gatal yang membara di sekujur tubuhnya, memaksanya berlari ke dapur untuk mencari pertolongan. "Tuan Calvin?" Visha terkejut saat melihat Calvin memuntahkan isi makanannya. “Visha, tolong ambilkan lebih banyak air untukku," pinta Calvin dengan suara serak.Wajah Calvin merah padam, menunjukkan tanda-tanda alergi yang serius, mirip dengan yang ser
Di dalam kamar, Calvin berusaha untuk “Ada apa sih, kenapa kamu malah membela anak pembantu itu?” tanya Greta dengan nada kesal.“Greta, dia hanya anak kecil, kenapa kamu sampai membentak dan menyakitinya!” kata Calvin menahan geram.“Gitu aja lebay! Sudah ah, aku mau numpang ke toilet dulu!” ujarnya kesal.“Ya, setelah ini sebaiknya kamu pergi!” titah Calvin ketus."Kamu mengusirku?" Greta bertanya kesal.Tanpa menjawab pertanyaan dari Greta, Calvin segera menghampiri Kai di dapur. Setibanya di sana, Calvin terpaku sejenak, melihat Kai yang terisak dan langsung bersembunyi di belakang punggung Visha, menghindari Calvin. Ia menoleh ke Visha yang masih berdiri tegap dengan pandangan yang menghindar. Dengan langkah yang berat, Calvin mendekati Visha.“Apa Kai baik-baik saja?” tanyanya cemas.“Dia baik, Anda tak perlu khawatir!” jawab Visha, ketus.“Kai, Om punya sesuatu untuk Kai, sini Nak?”“Kai nggak mau!” teriaknya.“Kenapa Kai berkata seperti itu, ayok sini, Nak?”“
Saat membuka kertas itu, Greta membelakkan matanya, terkejut dengan apa yang dia lihat. "T-tidak mungkin!" ucap Greta dengan gemetar. Dia terduduk lemas di ranjang tidur Calvin saat mengetahui Kai adalah anak kandungnya. "Jadi, anak itu anak kandung Calvin?" ucapnya masih tidak percaya. Greta segera memfoto hasil kertas itu untuk menjadikannya bukti, setelah itu dia pergi tergesa-gesa meninggalkan rasa cemas dan terkejutnya. "Bagaimana bisa?" tanyanya masih tak percaya. Greta memukul setir mobil merasa terkhianati. "Aku yakin Calvin masih menyembunyikan status anak haramnya dari pembantu sialan itu! Lihat saja, aku akan membuat wanita kampungan itu membenci Calvin!" Sementara Visha, meminta izin pada Asih untuk mencari tempat tinggal mengabaikan ancaman Calvin. Dia tak ingin Calvin semakin tahu kalau Kai adalah anak kandungnya. "Kamu yakin mau cari tempat tinggal?" tanya Asih. "Iya Bu, Visha nggak enak kalau tinggal terus di sini," jawabnya. Asih mendesah berat,
Setibanya di rumah, Visha berjalan dengan kesal, namun pada saat dia menaiki tangga, kaki pincangnya terpeleset hingga terkilir kembali. “Auww!” jerit Visha. Calvin yang baru saja masuk sembari menggendong Kai yang tidur dalam pelukannya, buru-buru menghampiri. “Ada apa?” tanyanya khawatir. Visha berusaha menahan tangisannya menggeleng perlahan. “A-aku tidak apa-apa.” Calvin segera menarik sedikit rok yang menutupi kaki Visha dan melihat kakinya yang memar. “Tuan, apa yang Anda lakukan!” sergah Visha. “Apa kamu terpeleset?” tanya Calvin. Visha menggeleng, namun dia merintih saat berusaha bangkit. “Tunggu di sini, aku tidurkan Kai dahulu.” “Tidak usah, aku bisa sendiri.” Namun, Calvin buru-buru menaiki tangga tak memedulikan tolakan Visha, dia segera menidurkan Kai di kamarnya, sementara Visha berusaha bangkit dan tak ingin membuat Calvin membantunya. “Auw... kenapa sakit sekali?” gumamnya putus asa. Calvin kembali ke bawah dan melihat Visha yang sedang berusa