Kai muncul tiba-tiba di ambang pintu kamar mandi, busanya menutupi seluruh tubuhnya, membuat suasana yang tadinya tegang menjadi menghangat.“Apa dia selalu seperti itu?” tanya Calvin penasaran.Visha mengangguk perlahan, “maaf, jika Kai merepotkan Anda, Tuan.”Calvin hanya menatap Visha, tak mampu menyembunyikan rasa bahagianya. ‘Huh, hampir saja aku lepas kendali.’ “Kai, ayo sayang, biar Bunda yang mandikan kamu?” Visha menawarkan dengan lembut.Namun, ketika hendak menurunkan kakinya dari tempat tidur, rasa nyeri tiba-tiba menusuk kakinya, membuatnya mengerang kesakitan. “Sebaiknya kamu istirahat, biar saya yang memandikan Kai.” Calvin bersikeras dengan nada suara yang memaksa. “Jangan Tuan!” sergah Visha.“Kamu mau, kaki kamu tak bisa jalan? Kenapa kamu keras kepala sekali.”Dengan kepala yang masih tertunduk, Visha hanya bisa menggeleng, kata-kata terasa tercekat di tenggorokannya, tidak mampu membantah perintah Calvin. Sementara itu, Calvin melangkah pasti menuju
“Visha, jawab Ibu!” teriak Asih dengan suara yang menggelegar. Suara itu menyayat ruang sepi, meninggalkan getar yang mencekam.“Bu ... Visha butuh waktu,” bisik Visha dengan suara terguncang.“Jadi benar, Calvin adalah pria bejat yang menodaimu pada malam itu?” teriak Asih, suaranya penuh amarah dan kebencian.Air mata Visha semakin deras, ia menundukkan kepala, kata-kata terasa tercekat di tenggorokannya.“Ibu harus memberi pelajaran kepada pria berengsek itu!” ucap Asih, matanya menyala dengan tekad membara.“Jangan, Bu, Visha mohon... Tuan Calvin belum tahu kalau Kai adalah anaknya,” pinta Visha, suaranya bergetar, mengungkapkan ketakutan dan kecemasan yang mendalam.“Jadi, Calvin belum tahu kalau kamu adalah wanita yang dia nodai?” tanya Asih, nada suaranya meninggi, dipenuhi ketidak percayaan dan kekecewaan.Dengan perlahan, Visha mengangguk, menatap ibunya dengan mata yang sayu, mencari secercah pengertian di tengah badai yang melanda hatinya.“Maafkan Visha, Bu.” Vish
Visha merasakan jantungnya berdegup kencang saat mendengar ucapan Calvin yang mendekat dengan tatapan tajam.“Jawab aku, Visha. Apa kamu wanita di malam itu?” tanya Calvin sekali lagi. Tubuh Visha semakin gemetar, dan suaranya serak ketika mencoba menyangkal tuduhan itu, “B-bukan, Anda salah orang.” Napasnya tersengal, mencoba menjaga ketenangan meski ketakutan meliputi seluruh raga.“Salah orang? Apa Kai anak kandungku?” desak Calvin dengan nada meninggi, membuat Visha semakin mundur selangkah. Rasa takut terpancar dari matanya yang berkaca-kaca, mencari jalan keluar dari situasi yang memojokkannya.“T-tuan, Anda benar-benar sudah gila, Kai tentu anakku dari almarhum suamiku,” sahut Visha, suaranya terdengar lemah dan putus asa, mencoba meyakinkan Calvin meski dia sendiri tahu fakta yang sesungguhnya.“Suami? Bahkan kamu belum pernah menikah Tavisha!” Calvin terus mendekat, tiap langkahnya seolah menghantam kepercayaan diri Visha. Wajah Visha pucat, dan sudut bibirnya berg
Sore itu, Calvin yang baru saja menjemput kedua orang tuanya di bandara, terlihat kesal pada sikap Greta yang selalu menguntitnya. Perjalanan menuju rumahnya seolah memakan waktu lama.“Cal, apa kamu akan terus ketus sama aku? Lihat wajah Ibumu, dia tampak bahagia melihat kita!” bisik Greta. Calvin menoleh sejenak, memerhatikan kedua orang tua yang tampak lelah setelah perjalanan panjang dari luar negeri, tetapi senyum mereka masih terjaga saat melihat dia berdampingan dengan Greta.Setibanya di depan rumah, “Mama, Papa, aku senang sekali kalian bisa pulang,” ujar Calvin seraya membantu mengangkat koper dari bagasi mobil.“Alhamdulillah, Cal, bagaimana dengan kabar di kantor? Papah dengar perusahaan kita semakin maju pesat.”“Ya Pah, ini juga berkat Papah.”Mereka berdua tampak serius, namun suasana yang hangat itu segera terganggu saat Mirra, ibu Calvin, dengan blak-blakan menyentil masalah pribadi Calvin.“Kalian itu berduaan terus, kapan kalian akan menikah?” tanya Mirra
Saat Calvin melangkah mendekat, matanya memancarkan kelembutan namun yang terpancar dari Kai adalah kecemasan. Tubuh mungil itu mundur, semakin mendekap erat Kiara yang berdiri sebagai tameng. “Sayang, maafin Papah, ayok sini peluk Papah?” Suara Calvin memecah kesunyian, penuh kehangatan, tapi gagal menenangkan Kai.Kai, dengan mata berkaca-kaca, semakin mengeratkan genggamannya pada baju Visha. Teriakan Calvin yang sempat terdengar ketika bertengkar dengan ibunya masih terngiang di benak kecilnya, menimbulkan rasa takut yang mendalam.“Visha, tolong bujuk Kai, aku ingin memeluknya!” pinta Calvin dengan suara yang bergetar, mencoba menahan kekecewaan. Ia berharap Visha, yang lebih dekat dengan Kai, dapat membantu meredakan situasi.“Sudahlah Tuan, aku bilang apa? Tuan bukan Papah kandung Kai, kalian tidak terikat ikatan batin apa pun, aku tidak bisa membujuk Kai jika sedang merajuk!” Visha menjelaskan dengan nada tegas namun lembut, mencoba mengingatkan Calvin tentang batasan ya
Visha kembali ke kamar dengan piring berisi nasi goreng hangat. Dia mendapati Kai, yang ceria, sedang asyik menggambar bersama Calvin. Suasana kamar yang tadinya sepi, kini terasa hangat dengan tawa dan obrolan kecil antara ayah dan anak itu.“Kai, ayok sayang katanya mau makan?” tawar Visha dengan nada lembut, berusaha memecah keseruan yang tengah terjadi“Ok Bunda!” seru Kai antusias, segera meninggalkan krayon dan kertas gambar di lantai.“Papah Kainya enggak ditawari?” goda Calvin dengan kerlingan nakal, matanya berbinar menantang Visha yang tampak terganggu.Visha hanya berdecak kesal. Perasaannya masih belum sepenuhnya pulih dari pertengkaran kecil mereka pagi itu. Hatinya yang dingin tak semudah itu luluh hanya karena rayuan singkat Calvin.“Papah, ayok?” ajak Kai, tidak menyadari ketegangan yang terjadi, sambil menarik lengan Calvin agar segera bergabung di meja makan.Dengan langkah gontai, Calvin menghampiri meja dan duduk di sebelah Kai yang sudah bersemangat dengan
Calvin masih berdiri di depan Visha, matanya menatap tajam wanita yang tanpa status, namun telah menjadi ibu dari anaknya. Dia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa Visha, wanita yang telah mengisi hatinya, tidak memiliki ikatan resmi dengannya. “Terima kasih nasi gorengnya, aku sangat menyukainya,” ucap Calvin, berusaha bersikap biasa. “Oh yah, besok siang aku ingin mengajak kamu ke dokter.” “Dokter? Untuk apa Tuan?” tanya Visha, raut wajahnya penuh tanda tanya. Calvin tersenyum jahil. “Memeriksakan otakmu.” “Otakku, memangnya otakku kenapa?” tanya Visha, polos. Dia tidak mengerti maksud Calvin. Calvin terkekeh, lalu mencubit hidung Visha yang kecil, membuat Visha mengerutkan kening. “Aku bercanda, nanti juga kamu tahu. Ya sudah, aku ke kamar dulu.” Sebelum Calvin pergi, hatinya berbisik untuk memeluk Visha. Dia tidak tahu kenapa, tetapi dia ingin merasakan kehangatan tubuh Visha. Dan tanpa sadar, dia pun melakukannya. Visha terkejut, tubuhnya menegang. “T-tuan!” uc
Namun, Calvin yang diliputi rasa cemburu segera memboyong tubuh Visha ke atas ranjang. "Tuan, lepaskan!" teriak Visha putus asa, suaranya bergetar hebat. Kejadian malam nahas lima tahun yang lalu, seolah terulang kembali. "Aku tidak akan melepaskan kamu!" Ancam Calvin, suaranya terdengar dingin, menunjukkan rasa marah. Dia menjatuhkan tubuh mungil Visha di atas ranjang. "Tuan, jangan lakukan ini kembali, aku mohon... ini salah!" ucap Visha lirih, suaranya penuh keputusasaan. Calvin yang dibakar api cemburu segera meraih tubuh Visha dan menciuminya. Visha terisak, hanya bisa memukul punggung Calvin berulangkali. Namun, tangisan Visha membuat Calvin sadar dengan tindakannya. "Berhenti! Saya mohon jangan lakukan ini lagi?" "Maaf," ucapnya lirih, suaranya terdengar menyesal. Dia menyelimuti tubuh Visha yang telah terbuka. Visha masih terisak penuh ketakutan. "Kenapa Anda melakukan ini lagi? Belum cukup lima tahun lalu Anda membuat hidup saya hancur, Tuan?" tanya Visha, suar