Winter, 2010.
Masih mengingat masa tujuh tahun lalu, tepatnya ketika musim dingin tahun 2010 di Seoul. Shin Hasung, lelaki bertubuh tinggi dengan suara lembut dan sikap yang hangat itu berasal dari Incheon.[1] Ia adalah Mahasiswa Manajemen Bisnis tahun ke dua di Universitas Hanyang, sama seperti Adelian. Hanya saja, Lian mengambil Keperawatan. Mereka saling mengenal sejak dua tahun sebelum itu, ketika Lian datang dan menyewa rumah kosong di samping rumah Hasung. Dua tahun saling mengenal, mereka sudah sangat akrab, lantaran Hasung yang mudah bergaul dan Lian juga merupakan tipe wanita yang tidak sulit didekati.
Sementara itu, Adelian adalah wanita kelahiran Jakarta[2], Indonesia. Ayahnya adalah orang Korea asli, sedangkan ibunya adalah orang Indonesia. Saat remaja, tepatnya memasuki SMA, Adelian datang ke Korea bersama kedua orang tuanya dan melanjutkan sekolah di Kapyeong.[3]
Keseharian Adelian tak jauh berbeda dengan Hasung, ia akan menyesuaikan jadwal kuliahnya setiap hari dengan jadwal kerja paruh waktunya di Guardian Cafe. Hasunglah yang memperkenalkan pekerjaan itu pada Lian karena sebelumnya Hasung sedikit kasihan melihat Lian bekerja di Sauna[4] yang letaknya cukup jauh dari rumah. Bukan hanya itu saja, Lian akan selalu siap menerima tawaran kerja paruh waktu mendadak, dua sampai tiga shif per hari di tempat berbeda. Waktu libur untuk Lian hanyalah saat malam. Terkadang, meskipun akhir pekan, ia akan tetap bekerja.
***
Lian dan Hasung melangkah beriringan menaiki tangga, mereka sama-sama gontai kelelahan setelah bekerja seharian di kafe karena ada acara ulang tahun seorang pelanggan yang dirayakan di sana. Hasung dan Lian harus bekerja ekstra mempersiapkan pesta sebelum dimulai sampai membereskan semuanya ketika pesta selesai.
Hasung menyandarkan tubuhnya di tembok. Ia merasa sudah tak kuat lagi untuk melangkah, meskipun tinggal beberapa anak tangga lagi yang harus ia tempuh. “Aku pasti lelah sekali. Tidak biasanya keringatku keluar saat salju turun.” Hasung mengusap pelipisnya yang dibanjiri keringat dingin.
“Bagaimana bisa kau berkeringat saat cuaca sedingin ini?” celetuk Lian ketika sudah tiba di koridor dan menyaksikan Hasung yang masih sempat menopang tubuhnya di tembok tangga.
“Itulah maksudku,” timpal Hasung dengan suara tertahan. “Adelian, sepertinya aku sakit.” Ia merengek.
“Ayolah, jangan bercanda.” Lian ikut merengek karena sudah sangat letih. “Kemarilah!” Tangannya mengisyaratkan agar Hasung segera menaiki tangga dan menyusulnya.
“Aku serius.”
Lian mendesah, lalu buru-buru menuruni tangga kembali untuk menghampiri Hasung. Ia menempelkan telapak tangannya di dahi Hasung yang sudah kebanjiran keringat dan membuat bola mata bulatnya langsung membesar, “Hei, kau demam!” serunya.
Hasung mengangguk seadanya, “Sepertinya aku akan mati.”
Lian mendesah sekali lagi seiring dengan kepalanya yang menggeleng akibat kalimat konyol yang memasuki lubang telinganya itu. “Aku yang akan mati lebih dulu karena membeku kedinginan di sini,” timpal Lian sembari menyambar lengan Hasung dan menariknya dengan sekuat tenaga.
Kini, Hasung sudah berbaring di atas tempat tidurnya, sedangkan Lian sibuk mengompres Hasung bersama celoteh yang terus meluncur dari mulutnya. Menyadari Hasung yang selalu jatuh sakit di setiap musim dingin membuat Lian heran. Padahal, Hasung adalah tipe lelaki yang menomor satukan kesehatan, tapi tetap saja Hasung akan jatuh sakit setiap musim dingin datang.
“Tunggu di sini, aku akan keluar mencarikanmu obat.” Lian mengangkat tubuhnya begitu mengatakan kalimat itu. Namun, saat baru hendak melangkah keluar, tiba-tiba saja wajah lesunya berbinar. Sepertinya ia menemukan solusi. “Kau pasti akan segera sembuh jika memakan sup kimchi[5] buatan ibumu, ‘kan!” seru Lian, tapi Hasung tak merespons. “Benar, ‘kan?” ulangnya sekali lagi, tapi Hasung tetap enggan untuk merespons.
Lian tak peduli Hasung mau menjawab atau tidak, ia lebih memilih untuk segera menghampiri kulkas dan memeriksa wadah plastik demi plastik yang ada di sana. “Ke mana sup kimchi buatan ibumu?” tanya Lian.
Hasung mengerang dan akhirnya ia terpaksa mengeluarkan suara dengan susah payah. “Sudah habis. Aku memakannya bersama teman-temanku. Kau juga mengambil sebagian dan memakannya bersama teman-temanmu,” jelanya lirih.
Lian membuka mulutnya, dan mengangguk paham, “Kalau begitu, akan aku buatkan untukmu,” pungkasnya sembari mengeluarkan seplastik kimchi dari dalam kulkas.
“Kau yakin?” tanya Hasung.
“Tentu saja!”
Meski Lian meyakinkannya dengan mantap, tetap saja Hasung mendesah ragu karena setahunya Lian tidak bisa memasak. Bahkan hanya untuk memasak ramen[6] saja, Hasung harus membantunya karena Lian sulit mengukur takaran air dengan benar.
Tangan Lian mulai mencincang kimchi sawi putih dengan bentuk tak beraturan. Wajahnya terlihat yakin, tapi tangannya bergerak ragu. Sesekali Lian memastikan Hasung yang masih terpejam di tempat tidur. Entah Hasung tertidur atau tidak, Lian tak tahu. Karena ia hanya bisa memastikannya dari kejauhan.
Setelah semua bahan, dan bumbu masuk ke dalam panci, Lian mencicipinya dengan hati-hati. Wajahnya sama sekali tak bereaksi, itu artinya masakannya terasa hambar. Lian menambahkan bumbu instan satu sendok, lalu mengaduknya dengan pelan. Kemudian, ia mencicipinya lagi begitu yakin bumbu sudah merata.
Namun, tubuh Lian tiba-tiba terperanjak seiring dengan matanya yang terpejam, lalu terbuka seketika. Ia tampak tak yakin dan memiringkan kepalanya untuk berpikir beberapa saat. Tangannya kembali meraih air putih dan menuangnya ke dalam sup. Entah apa yang ia rasakan kali ini, yang jelas rasa sup kimchi buatannya seratus persen berbeda dengan sup kimchi buatan ibu Hasung dan sup kimchi yang ia tahu pada umumnya.
“Supnya sudah jadi!” jelas Lian pada akhirnya. Ia menarik meja kecil dari bawah ranjang Hasung lalu meletakkan sepanci sup di sana. “Turunlah! Kau harus mencobanya. Aku yakin kau akan langsung sembuh setelah memakannya.” tutur Lian dengan penuh percaya diri. Tak ada yang bisa menebak apa yang ia lakukan pada sup kimchi itu sehingga ia tampak begitu antusias. “Ayolah!” Lian merengek sembari menarik turun Hasung dari atas tempat tidur.
“Bukankah seharusnya aku menyantapnya dengan tenang di atas tempat tidurku?” tanya Hasung sembari merangkak turun dengan malas.
“Eey!” Lian menggeleng. “Kau sudah bukan anak kecil lagi. Kau tidak boleh menyantap makanan di atas tempat tidur. Itu akan membuat selimutmu bau dan kau tidak akan menyukai selimutmu lagi.”
“Bahkan, meskipun sudah tua, orang sakit akan tetap makan di atas tempat tidurnya. Sekarang aku tidak yakin apa kau benar-benar belajar keperawatan dengan benar atau tidak,” gerutu Hasung.
“Berhentilah berceloteh dan coba ini.” Lian langsung menghidangkan satu mangkuk sup kimchi karyanya di hadapan Hasung.
Hasung mengangkat sendoknya ragu-ragu. Begitu matanya menyapu tampilan sup itu, ia langsung mendesah. Jika sup kimchi buatan ibunya ataupun sup kimchi yang biasa ia temukan di warung makan akan berwarna merah kecoklatan dengan aroma kimchi yang menyengat, maka lain halnya dengan sup kimchi di hadapannya ini. Tidak memiliki warna, dan terlihat bening seperti tanpa sentuhan bumbu, dan bahkan tidak ada aroma apapun yang bisa ia cium dari sup dengan kepulan asap panas itu, oke! Untuk yang satu ini Hasung bisa memakluminya karena saat ini hidungnya sedang tersumbat.
Akhirnya, dengan terpaksa Hasung menyendok sup sembari melirik Lian yang tampak penasaran sekilas. Satu detik kemudian, sesendok sup itu mendarat ke dalam tenggorokannya. Hasung terdiam tanpa ekspresi, sedangkan Lian sibuk menanti komentar darinya.
“Bagaimana?” tanya Lian dengan wajah semringah, tapi Hasung tak menjawab hingga ia kembali bertanya, “Tidak enak?”
Hasung mendesah sembari mengangkat wajahnya dan menemukan Adelian yang tengah menanti komentarnya sejak tadi. “Mulai sekarang, sebaiknya kau tak memasak apapun. Jika kau ingin makan sesuatu, aku bisa membuat apapun untukmu. Dan, aku hanya perlu minum obat saja untuk sembuh,” tutur Hasung pelan, takut Lian tersinggung karenanya.
Lian menghela napas tanpa mengatakan apapun.
Sebenarnya, Hasung merasa bersalah, mengingat Lian yang rela melupakan rasa lelahnya demi membuatkan sup kimchi untuknya. Untuk itu, Hasung segera menyantap dan menghabiskan semangkuk sup kimchi di hadapannya. “Kau sudah berusaha keras!” tukas Hasung sembari menatap Lian yang masih terdiam.
Semoga saja dengan ini Lian tidak akan merasa bahwa aku tak menghargainya, pikir Hasung.
“Bagaimana jika kau semakin sakit karena sup itu?” celetuk Lian tanpa ekspresi.
“Tentu saja kau harus bertanggung jawab.” timpal Hasung tanpa menyaksikan Lian yang mulai mengulum senyum.
Meskipun masakan pertamanya gagal dan Hasung dengan terpaksa menyantapnya, Lian sama sekali tak kecewa. Ia tahu pada akhirnya Hasung akan selalu menghargainya lebih dari siapa pun.
“Ayo kita menonton drama,” tawar Lian yang mendadak antusias kembali.
“Di mana?”
“Di sini.” Lian meraih remote control dan langsung menyalakan TV.
Hasung melebarkan mata sipitnya, “Hei! Kau tidak berpikir untuk tidur di sini, ‘kan?”
Lian mengangguk. “Aku akan segera pulang saat episode ini berakhir,” ujarnya, kemudian sibuk mengambil posisi di depan TV, sedangkan Hasung langsung membuang tubuhnya ke ranjang dengan frustrasi.
Hasung membungkus tubuhnya dan menutup telinganya rapat-rapat. Ia benar-benar tak menyukai drama. Hasung yakin, besok pagi sakitnya akan semakin parah karena Lian menyiksa batinnya. Pertama, dengan sup hambar yang ia makan dengan terpaksa. Dan kedua, dengan suara celotehan drama yang mengacaukan kepalanya.
***
[1] Kota metropolitan dan pelabuhan utama di pesisir barat Korea Selatan.
[2] Ibu Kota sekaligus Kota terbesar di Negara Indonesia
[3] Sebuah Kabupaten di Provinsi Gyeonggi, Korea Selatan.
[4] Suatu ruangan kecil yang dirancang agar pengguna dapat menikmati mandi uap atau pemanasan tubuh, baik secara basah maupun kering.
[5] Makanan tradisional Korea yang berasal dari Tiongkok, salah satu jenis asinan sayur hasil fermentasi yang diberi bumbu.
[6] Semacam mie instan di Indonesia. Terkenal dengan nama ramen di berbagai Negara seperti Korea, Jepang, dan China.
Teriakan alarm membangunkan Hasung. Tubuhnya masih terasa remuk redam, kepalanya juga masih pening, dan demam yang melandanya masih belum ada tanda-tanda untuk menurun. Dengan hati-hati, Hasung melenyapkan suara alarm itu menggunakan satu sentuhan kecil sembari memeriksa keadaan sekitar. Ketika Hasung hendak mengangkat tubuhnya, tiba-tiba terdengar suara seseorang menekan kombinasi kunci rumahnya. Hasung sudah tahu, itu pasti Adelian. Jadi, Hasung tak peduli. “Adeul[1].” “Eomma[2]?” Mata sipit Hasung langsung membesar. Ternyata yang datang bukan Adelian. Hasung Menemukan ibunya datang dengan bingkisan plastik besar. “Bagaimana Ibu bisa datang ke sini?” Hasung masih tak habis pikir. jam berapa ibunya berangkat dari Incheon hingga tiba di Seoul sepagi ini. “Lian menelepon Ibu dan mengatakan kau sedang sakit,” jelas Ibunya saat hendak
Winter, 2010. Cerita Lian dan Hasung tak selamanya berjalan mulus, juga tak akan mungkin tetap semanis macaroon seperti yang dikatakan kebanyakan orang. Ada satu hal yang akan terasa amat menyakitkan bagi Lian hanya untuk sekadar mengenangnya. Lian memang tak mau mengingatnya, akan tetapi mau bagaimana lagi? Itu adalah bagian dari sejarah berharga yang ia miliki bersama Hasung. Waktu itu, pertengahan musim panas. “Gomawo,” ucap Lian begitu menemukan Hasung yang menunggu ia mengganti baju yang basah dengan hoodie milik Hasung. Diikuti dengan Jiwoo yang juga baru selesai mengganti pakaian dengan kaus fakultas yang ia bawa, sedangkan Jiyul harus pulang lebih dulu karena tak membawa apa pun untuk mengganti pakaiannya. “Bukankah kalian ada kelas?” tanya Jaehan. Jiwoo mengangguk, “Prof. Hwang tidak bisa me
“Hasung-ah, sepertinya Adelian benar-benar menyukaimu.” Giseok berkomentar. Melihat Hasung yang tak berselera makan, membuatnya memikirkan Lian yang sudah beberapa minggu tak kelihatan. “Berhenti berbicara omong kosong,” ujar Hasung sembari melahap jajangmyun[1]-nya dengan suapan besar. “Aku serius,” balas Giseok meyakinkan. “Saat melihatnya menangis karena tahu kau akan Wajib Militer, aku langsung bisa menebaknya. Terlebih lagi, sudah beberapa minggu ini dia terus menghindarimu” “Dia tidak menghindar, dia ada kerja.” Hasung mengelak, meskipun pada kenyataannya ia juga merasa Lian menghindarinya beberapa waktu terakhir ini. “Tapi, kau juga menyukainya, ‘kan?” Giseok mencari kejelasan sekali lagi. Hasung diam, ia ragu dan tak tahu bagaimana untuk menjawab. “Giseok sudah punya pacar. Aku dan Youngmin juga, hanya kau yang belum,” celetuk
Winter, 2010. Shin Hasung, lelaki dengan setelan jeans yang membawa ransel di punggungnya berjalan pelan bersama wanita mungil berponi tipis dengan dress biru muda yang tak lain adalah Adelian. Keramaian pengunjung Sungai Han yang berlalu lalang tanpa henti membuat tangan kiri Hasung dan tangan kanan Lian terus berbenturan. Suasana di antara mereka semakin canggung. Ditambah Hasung ternyata mendapat informasi yang salah karena pameran di Sungai Han sudah selesai kemarin malam. Sekarang, Hasung sedang berpikir keras, ke mana tujuan yang harus ia tempuh bersama Lian untuk sisa waktunya yang sangat sedikit ini. “Apa aku boleh menggenggam tanganmu?” tanya Hasung berusaha santai. Lian mengulum senyum. “Kenapa kau bertanya? Rasanya sangat aneh karena biasanya kau selalu menggenggam tanganku tanpa mengatakan apa pun.” “Bukankah sekarang sudah berbeda? Sekarang aku bukan l
Senyuman di bibir Lian mengembang ketika tangannya memasukkan sepucuk surat ke dalam amplop berwarna merah. Karena Hasung sedang Wajib Militer, ia merasa minat belajarnya semakin menurun. Jadi, daripada menyia-nyiakan biaya dan tenaga, ia memutuskan untuk mengambil cuti. Jiyul dan Jiwoo juga akan melakukan hal yang sama. Lian akan mencari pekerjaan lebih selama cuti, begitu pula dengan Jiyul. Sedangkan Jiwoo, ia hanya ingin beristirahat. Minat kuliah Jiwoo juga mendadak turun mendengar keputusan Lian dan Jiyul yang ingin mengambil cuti. “Kau baru akan mengirim surat untuk Hasung? Bukankah sebentar lagi dia akan menerima libur pertamanya?” celetuk Jiyul. Ia sedang sibuk memperhatikan Lian yang terus tersenyum sejak tadi. Entah apa yang ada dalam surat itu. Namun, Jiyul berpikir itu pasti hal yang sangat menyenangkan bagi Lian dan Hasung. “Goo Nara, barangmu jatuh,” cegat Jiwoo yang baru tiba di kelas, menemukan barang milik Goo Nara yang terjatuh di lantai. Goo Nara m
End of Spring, 2017. Ia membesarkan mata sipitnya sembari membuka mulut, tak percaya. Di antara megah dan mewahnya acara malam ini, ia mengagumi ciptaan Tuhan yang satu itu. Wanita berambut hitam, panjang sedikit melebihi bahu. Wanita itu mengenakan gaun sederhana, tapi sangat pas dengan tubuh mungilnya. Ditambah lagi dengan make up tipis yang membuat wajahnya segar berseri. Tak ada aksesoris yang mencolok yang ia kenakan. Akan tetapi, ia terlihat sangat memukau, indah, dan anggun. High heels yang ia kenakan memang membuat tubuhnya sedikit lebih tinggi, juga lebih dewasa. Namun, ia tetap terlihat menggemaskan. Membuat pemilik mata yang memandanginya itu semakin terkagum. Kagum karena lama tak mengetahui kabarnya, juga bahagia karena ternyata selama ini wanita itu baik-baik saja. Lelaki itu bersorak dalam diam, juga bersyukur dalam diam karena Tuhan telah mempersembahkan kejutan tak terduga untuknya malam in
Malam itu benar-benar seperti mimpi buruk yang tak mau Lian ingat lagi. Ingin rasanya Lian menghapus kejadian itu dari museum kenangan dalam kepalanya. Namun, apa boleh buat? Kenyataan memang seperti itu. Selama ini secara tidak langsung, dengan menolak semua lelaki yang berusaha mendekatinya, Lian melakukan penantian tak berdasar selama tujuh tahun ke pada Hasung yang sudah memiliki seorang kekasih. Sejak pertemuan malam itu, Lian enggan menyisakan waktunya untuk menonton drama di malam hari. Karena waktu malam adalah waktu penayangan drama yang ditulis oleh Han Jinhee, penulis muda yang katanya sangat berbakat itu. Akibatnya, Lian terpaksa bertukar shif dengan rekan kerjanya. Kini ia bebas di siang hari dan bertugas saat malam datang. Meski sudah dua minggu berlalu, Lian masih tetap merasa seolah-olah kejadian itu baru terjadi tadi malam. Jadi, ia tak pernah bahagia sepenuhnya ketika pagi datang. Sama seperti pagi ini, ia bermalas-malasan bangkit dari temp
Lelah mendengar bujukan Hasung, akhirnya Jinhee menyetujui keputusan Hasung untuk menyewa apertemen itu. Tidak ada alasan kuat yang Jinhee miliki untuk terus-menerus menolak. Setelah menekan kontrak, malam-malam Hasung langsung memindakan barang-barang dan menatanya di sana. Lian pasti akan sangat senang bertetangga dengannya lagi, pikir Hasung. Ketika merasa sudah tak kuat, Hasung memutuskan untuk tidur sebentar sebelum pagi benar-benar datang. Hingga beberapa jam kemudian, Hasung terbangun karena ponselnya berbunyi. Sms pagi dari Jinhee, ia hanya tersenyum dan membalasnya dengan beberapa kata singkat sebelum berlalu untuk membersihkan tubuhnya. Ketika tengah bersiap, Hasung mendengar suara derapan kaki di balkon. Hasung segara melangkah ke sana dan menemukan Lian yang membungkus dirinya dengan selimut sembari menyesap kopi, persis seperti yang ia lakukan beberapa hari yang lalu saat Hasung sedang mencari rumah.  
“Karena sebuah takdir itu persis seperti melempar bumerang. Sejauh apa pun kau melemparnya, ia akan kembali kepada titik semula. Sejauh apa pun kau bersembunyi dan menutup diri dari kenyataan, niscaya kau akan kembali berjalan pada takdir yang seharusnya. Jika pada satu kisah kau tak bertemu dengannya lagi, itu berarti dia bukan takdirmu. Sebenarnya, cara Tuhan sesederhana itu. Hanya saja, kadang kau berusaha terlalu keras untuk menghindar dan berjalan pada jalan yang tidak seharusnya. Jikalau karena itu kau pun terluka, jangan salahkan Tuhan. Salahkan dirimu yang tak mau percaya pada takdir-Nya.”Itulah bunyi tulisan hangat dalam sebuah lukisan raksasa di sudut pekarangan vila. Semua orang dapat melihat tulisan yang dipersembahkan oleh Han Jinhee itu. Semua orang tersentuh sembari memandangi satu sama lain untuk melempar senyuman.Hampir dua tahun telah berlalu. Lian sudah kembali ke Korea setelah menyelesaikan tugasnya di Ja
Lian melangkah gontai keluar dari kamarnya. Ia ingin tidur, tapi tak bisa. Ia pun terpaksa ke luar. Lian tak ingin memikirkan apa pun. Namun, lelaki itu terus masuk ke kepalanya.“Astaga!” Mata Lian membesar. Tubuhnya terpental beberapa senti ke belakang, lalu langsung memaku bak patung.“Maaf, aku mengagetkanmu.” Suara itu keluar dari mulut Hasung yang sudah bersila di atas karpet di depan sofa dengan bungkusan makanan yang mengeluarkan aroma gochujang yang menyengat.“Apa yang membawamu ke sini?” tanya Lian. Ia belum berniat untuk mendekat.“Aku bawa Odeng dan Tteokpokki. Ayo makan bersama!” pinta Hasung. Wajahnya berseri, tidak seperti sebelumnya.Tentu saja Lian kebingungan. “Apa yang merasukimu?”Hasung tersenyum. Lama menunggu Lian yang masih tetap pada posisinya, Hasung langsung menarik tubuh Lian dan memintanya segera duduk. Lian tak memberontak, t
Sesi pembacaan naskah untuk naskah drama terbaru yang digarap Han Jinhee berjalan dengan sangat lancar. Semua pihak hadir tanpa terkecuali. Penulis novel yang digarap oleh Jinhee menjadi Naskah drama pun hadir ditemani Shin Hasung sebagai perwakilan dari pihak penerbitan Ahn Young. Di mana Ahn Young-lah penerbit yang membuat naskah novel ini menjadi best seller sampai beberapa kali cetakan hingga produser tertarik untuk menjadikannya sebuah drama. Hasung pulang. Kali ini tidak dengan Jinhee yang tadi pagi lebih dulu menawarkan diri untuk menjemputnya. Ia pulang sendiri dengan wajah yang tidak sesegar pagi tadi.Saat Hasung baru saja menapaki kakinya keluar dari lift, ia menemukan pintu rumah Lian yang baru saja tertutup. Sepertinya Lian baru pulang sama sepertinya. Hanya saja, jika Hasung bisa sedikit lebih cepat, mereka pasti akan bertemu dan Hasung mungkin tidak akan bisa me
Lian melangkah gontai menerobos dinginnya malam. Ia terpaksa pulang lebih dulu karena tak tahu harus berbuat apa. Di sepanjang jalan yang sepi, Lian terus terisak sembari menyembunyikan wajahnya dengan tekukan. Ia memeriksa sekeliling sebentar. Namun, semuanya tampak biasa dan bahkan Hasung pun tak muncul untuk mencegah kepergiannya seperti yang ia harapkan.Lian kembali terisak. Kali ini ia tak bisa menahan suaranya. Namun, ia tak berhenti melangkah. Meskipun kadang ada taksi yang berjalan pelan melintasinya Lian tak peduli.Sampai satu sedan merah berteriak dengan klaksonnya dan menghentikan langkah gontai Lian. Tanpa pikir panjang, Lian mendekat. Ada Jiwoo yang muncul dari balik kemudi. Sahabatnya itu tampak iba. Namun, tak bisa berbuat banyak. Untung saja Jiwoo tidak sedang sibuk sehingga tak lama dari saat Lian menghubunginya, ia sudah tiba.Satu loncatan kecil membuat Lian kini sudah berada di samping Jiwoo. Mata basah Lian menjelaskan semuanya, termasuk m
Hasung dan Lian sudah tiba di Lotte World[1]. Mereka tampak berjalan seperti biasa di tengah keramaian dengan setelan musim dingin yang juga terlihat biasa. Hanya saja, Lian sedikit terlihat berbeda karena menambah polesan make up di wajahnya yang terlihat tidak setipis biasanya.Lian menyadari sebagian besar pengunjung sudah memakai bando animasi yang didapatkannya di toko dekat pintu masuk. Lian pun mengajak Hasung untuk memakainya. Hasung menolak. Namun, Lian terus memaksanya hingga bando berbentuk kucing singgah di kepala Hasung dan Lian terlihat bahagia dengan bando kelinci yang sesuai dengan setelan white-peach nya.Saat berjalan-jalan memeriksa sudut taman bermain terbesar di Korea itu, Lian dan Hasung menikmati waktunya dengan menikmati latte hangat. Mereka persis terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang berkencan. Mereka juga menemukan ada banyak orang yang terlihat melakukan hal yang sama, tapi dengan
“Hasunglah yang bertemu dengan Goo Nara dan memintanya untuk menjelaskan semuanya padamu.”Deg! Degupan keras menghantam jantung Lian. Tak ada alasan pasti, hanya saja mendengar pengakuan Jiwoo jantungnya hampir berhenti berdetak. “Bagaimana mungkin?” Lian tak habis pikir.“Apa yang kau pikirkan ketika dia masih peduli kejadian tujuh tahun silam?” Jiwoo menginterogasi.Lian menggeleng sembari berusaha menyeimbangkan napasnya. “Kenapa dia harus melakukannya?” Lian bertanya pada Jiwoo juga pada dirinya sendiri yang terheran. “Dia bisa saja tak peduli apa pun tentang saat itu, tapi kenapa dia melakukannya?” tanya Lian sekali lagi.“Mungkin dia juga masih mengharapkanmu.” Jiwoo tak sepenuhnya yakin dengan apa yang ia katakan. “Seperti yang kau katakan. Jika dia memang tak punya harapan, seharusnya dia melupakannya, bukan?”Lian menghela napas dalam-dala
“Lian-ah.”Lian memutar tubuhnya spontan. “Oh, Hasung!” Suara Lian terdengar antusias ketika menemukan Hasung yang menyapanya dari balik kemudi.“Masuklah!” pinta Hasung sembari membuka kunci pintu mobil.Namun, Lian menggeleng sembari tersenyum. “Tinggal sedikit lagi,” ucapnya sembari menunjuk jalanan gelap yang hendak ia tempuh.Hasung pura-pura tak mendengar. Ia tetap mendorong pintu mobilnya dari dalam hingga terbuka lebar. Lian hanya bisa terkekeh lalu benar-benar mendekat dan masuk ke dalam mobil Hasung. Hasung ikut tertawa sembari menghidupkan mobilnya. Baru saja Hasung hendak menarik persneling, suara deringan ponsel menggagalkan niatnya. Ia lebih memilih untuk mengangkat teleponnya lebih dulu.“Oh, Jinseok-ah,” seru Hasung pada seseorang di balik earphone-nya sembari mengemudikan mobilnya dengan pelan.“Timjangnim, gawat! Par
Lian menyantap menu pilihannya, begitu pula dengan Ki Beom. Mereka menyantap makan malam tanpa kata selama beberapa saat.“Padahal aku berniat mentraktirmu di restoran yang lebih baik,” tukas Kibeom.Lian menggeleng. “Tidak apa-apa. Di sini makanannya enak.”Restoran sederhana yang terletak di lobi gedung apertemen tempat Lian tinggal ini memang memiliki menu yang enak. Lian sering menyantap makanan di sini ketika ia merasa jenuh mengonsumsi makanan siap saji di rumahnya.“Kalau begitu, kau masih tak mau berkencan denganku?” tanya Ki Beom setelah menyelesaikan makannya.Lian sama sekali tak terkejut karena ini bukan pertama kalinya ia mendengar tawaran Ki Beom soal itu. Dulu saat Ki Beom masih menjadi mentornya di rumah sakit, Ki Beom juga pernah menyatakan hal yang sama. Jadi, Lian tidak terlalu terkejut sama sekali. Hanya saja profesionalitas yang dimiliki Ki Beom memang benar-benar membuatnya kagum.&ld
Seoul, 2010.Pada istirahat pertama, Hasung memantapkan hatinya untuk pulang ke Seoul. Dengan masih berseragam Militer, Hasung mendatangi rumah kontrakan di mana ia tinggal bertetangga dengan Lian. Meskipun Jaehan sudah mengatakan tentang kepindahan Lian, tapi Hasung ingin membuktikannya sendiri.Benar saja. Kombinasi kunci yang biasa sudah tidak bisa digunakan. Sekian kali Hasung menekan bel, tak ada Lian yang keluar. Bahkan, rumah itu sudah kosong tak berpenghuni.Hasung mencari pemilik kontrakan dan menanyakan perihal itu. Namun, lagi-lagi informasi yang ia dapatkan hanyalah kepindahan Lian, ke mana dan dengan siapa? Tak ada yang mampu menjelaskannya.Hasung juga menyempatkan diri pergi ke kampus Lian, menanyakan tentang wanita itu pada mahasiswa keperawatan yang sempat sekelas dengannya. Namun, jawaban mereka sama saja. Tak ada yang mengetahui pasti ke mana Lian. Bahkan, tentang kedua temann