Lian melangkah gontai menerobos dinginnya malam. Ia terpaksa pulang lebih dulu karena tak tahu harus berbuat apa. Di sepanjang jalan yang sepi, Lian terus terisak sembari menyembunyikan wajahnya dengan tekukan. Ia memeriksa sekeliling sebentar. Namun, semuanya tampak biasa dan bahkan Hasung pun tak muncul untuk mencegah kepergiannya seperti yang ia harapkan.
Lian kembali terisak. Kali ini ia tak bisa menahan suaranya. Namun, ia tak berhenti melangkah. Meskipun kadang ada taksi yang berjalan pelan melintasinya Lian tak peduli.
Sampai satu sedan merah berteriak dengan klaksonnya dan menghentikan langkah gontai Lian. Tanpa pikir panjang, Lian mendekat. Ada Jiwoo yang muncul dari balik kemudi. Sahabatnya itu tampak iba. Namun, tak bisa berbuat banyak. Untung saja Jiwoo tidak sedang sibuk sehingga tak lama dari saat Lian menghubunginya, ia sudah tiba.
Satu loncatan kecil membuat Lian kini sudah berada di samping Jiwoo. Mata basah Lian menjelaskan semuanya, termasuk m
Sesi pembacaan naskah untuk naskah drama terbaru yang digarap Han Jinhee berjalan dengan sangat lancar. Semua pihak hadir tanpa terkecuali. Penulis novel yang digarap oleh Jinhee menjadi Naskah drama pun hadir ditemani Shin Hasung sebagai perwakilan dari pihak penerbitan Ahn Young. Di mana Ahn Young-lah penerbit yang membuat naskah novel ini menjadi best seller sampai beberapa kali cetakan hingga produser tertarik untuk menjadikannya sebuah drama. Hasung pulang. Kali ini tidak dengan Jinhee yang tadi pagi lebih dulu menawarkan diri untuk menjemputnya. Ia pulang sendiri dengan wajah yang tidak sesegar pagi tadi.Saat Hasung baru saja menapaki kakinya keluar dari lift, ia menemukan pintu rumah Lian yang baru saja tertutup. Sepertinya Lian baru pulang sama sepertinya. Hanya saja, jika Hasung bisa sedikit lebih cepat, mereka pasti akan bertemu dan Hasung mungkin tidak akan bisa me
Lian melangkah gontai keluar dari kamarnya. Ia ingin tidur, tapi tak bisa. Ia pun terpaksa ke luar. Lian tak ingin memikirkan apa pun. Namun, lelaki itu terus masuk ke kepalanya.“Astaga!” Mata Lian membesar. Tubuhnya terpental beberapa senti ke belakang, lalu langsung memaku bak patung.“Maaf, aku mengagetkanmu.” Suara itu keluar dari mulut Hasung yang sudah bersila di atas karpet di depan sofa dengan bungkusan makanan yang mengeluarkan aroma gochujang yang menyengat.“Apa yang membawamu ke sini?” tanya Lian. Ia belum berniat untuk mendekat.“Aku bawa Odeng dan Tteokpokki. Ayo makan bersama!” pinta Hasung. Wajahnya berseri, tidak seperti sebelumnya.Tentu saja Lian kebingungan. “Apa yang merasukimu?”Hasung tersenyum. Lama menunggu Lian yang masih tetap pada posisinya, Hasung langsung menarik tubuh Lian dan memintanya segera duduk. Lian tak memberontak, t
“Karena sebuah takdir itu persis seperti melempar bumerang. Sejauh apa pun kau melemparnya, ia akan kembali kepada titik semula. Sejauh apa pun kau bersembunyi dan menutup diri dari kenyataan, niscaya kau akan kembali berjalan pada takdir yang seharusnya. Jika pada satu kisah kau tak bertemu dengannya lagi, itu berarti dia bukan takdirmu. Sebenarnya, cara Tuhan sesederhana itu. Hanya saja, kadang kau berusaha terlalu keras untuk menghindar dan berjalan pada jalan yang tidak seharusnya. Jikalau karena itu kau pun terluka, jangan salahkan Tuhan. Salahkan dirimu yang tak mau percaya pada takdir-Nya.”Itulah bunyi tulisan hangat dalam sebuah lukisan raksasa di sudut pekarangan vila. Semua orang dapat melihat tulisan yang dipersembahkan oleh Han Jinhee itu. Semua orang tersentuh sembari memandangi satu sama lain untuk melempar senyuman.Hampir dua tahun telah berlalu. Lian sudah kembali ke Korea setelah menyelesaikan tugasnya di Ja
End of Spring, 2017. Villa itu didekorasi dengan sempurna. Meja dan kursi bernuanasa putih bersih berjejer rapi. Bunga dan berbagai dekorasi lainnya yang terlihat tak terlalu mencolok pun ikut menghiasi suasana sore yang cerah tak berawan. Para tamu laki-laki mengenakan setelan jas rapi serta wanita-wanita muda memakai gaun pesta andalan. Kemudian, kedua orangtua wanita dari setiap mempelai menggunakan hanbok[1] yang sama. Persis seperti pesta pernikahanan modern Korea Selatan pada umumnya. Para tamu undangan bersorak serta bertepuk tangan meriah ketika pasangan pengantin mulai melintasi karpet bersih yang telah ditaburi bunga-bunga. Lian menjadi salah satu tamu yang tampak tersenyum lebar di sana. Bahagia rasanya melihat teman yang akhirnya memiliki tempat perlabuhan resmi. Bahagia sekaligus bimbang menunggu gilirannya yang entah kapan dan dengan siapa kelak. &nbs
End of Spring, 2017. Lian tersenyum senang sekaligus gugup di tempatnya, mendengar intrumen Waltz 101 yang mengiringi dansa setiap pasangan di sekitarnya membuat ia mengingat dansa pertamanya bersama Hasung, beberapa tahun silam. Tak peduli seberapa kuat Lian mengendalikan dirinya, ia tetap saja merasa gugup. Semakin ia berharap, semakin hatinya tak terkendali. Ditambah lagi dengan masa lalunya bersama Hasung yang terus berputar dalam kepalanya, membuat Lian semakin tak yakin. Akankah harga dirinya masih mampu berdiri tenang di hadapan Hasung jika malam ini mereka benar-benar ditakdirkan untuk bertemu? *** Winter, 2010. Subway[1] siang itu tak seramai biasanya, hanya beberapa pekerja berjas yang terlihat sedang menyantap sandwich.
Winter, 2010. Masih mengingat masa tujuh tahun lalu, tepatnya ketika musim dingin tahun 2010 di Seoul. Shin Hasung, lelaki bertubuh tinggi dengan suara lembut dan sikap yang hangat itu berasal dari Incheon.[1] Ia adalah Mahasiswa Manajemen Bisnis tahun ke dua di Universitas Hanyang, sama seperti Adelian. Hanya saja, Lian mengambil Keperawatan. Mereka saling mengenal sejak dua tahun sebelum itu, ketika Lian datang dan menyewa rumah kosong di samping rumah Hasung. Dua tahun saling mengenal, mereka sudah sangat akrab, lantaran Hasung yang mudah bergaul dan Lian juga merupakan tipe wanita yang tidak sulit didekati. Sementara itu, Adelian adalah wanita kelahiran Jakarta[2], Indonesia. Ayahnya adalah orang Korea asli, sedangkan ibunya adalah orang Indonesia. Saat remaja, tepatnya memasuki SMA, Adelian datang ke Korea bersama kedua orang tuanya dan melanjutkan sekolah di Kapy
Teriakan alarm membangunkan Hasung. Tubuhnya masih terasa remuk redam, kepalanya juga masih pening, dan demam yang melandanya masih belum ada tanda-tanda untuk menurun. Dengan hati-hati, Hasung melenyapkan suara alarm itu menggunakan satu sentuhan kecil sembari memeriksa keadaan sekitar. Ketika Hasung hendak mengangkat tubuhnya, tiba-tiba terdengar suara seseorang menekan kombinasi kunci rumahnya. Hasung sudah tahu, itu pasti Adelian. Jadi, Hasung tak peduli. “Adeul[1].” “Eomma[2]?” Mata sipit Hasung langsung membesar. Ternyata yang datang bukan Adelian. Hasung Menemukan ibunya datang dengan bingkisan plastik besar. “Bagaimana Ibu bisa datang ke sini?” Hasung masih tak habis pikir. jam berapa ibunya berangkat dari Incheon hingga tiba di Seoul sepagi ini. “Lian menelepon Ibu dan mengatakan kau sedang sakit,” jelas Ibunya saat hendak
Winter, 2010. Cerita Lian dan Hasung tak selamanya berjalan mulus, juga tak akan mungkin tetap semanis macaroon seperti yang dikatakan kebanyakan orang. Ada satu hal yang akan terasa amat menyakitkan bagi Lian hanya untuk sekadar mengenangnya. Lian memang tak mau mengingatnya, akan tetapi mau bagaimana lagi? Itu adalah bagian dari sejarah berharga yang ia miliki bersama Hasung. Waktu itu, pertengahan musim panas. “Gomawo,” ucap Lian begitu menemukan Hasung yang menunggu ia mengganti baju yang basah dengan hoodie milik Hasung. Diikuti dengan Jiwoo yang juga baru selesai mengganti pakaian dengan kaus fakultas yang ia bawa, sedangkan Jiyul harus pulang lebih dulu karena tak membawa apa pun untuk mengganti pakaiannya. “Bukankah kalian ada kelas?” tanya Jaehan. Jiwoo mengangguk, “Prof. Hwang tidak bisa me