Lian menyantap menu pilihannya, begitu pula dengan Ki Beom. Mereka menyantap makan malam tanpa kata selama beberapa saat.
“Padahal aku berniat mentraktirmu di restoran yang lebih baik,” tukas Kibeom.
Lian menggeleng. “Tidak apa-apa. Di sini makanannya enak.”
Restoran sederhana yang terletak di lobi gedung apertemen tempat Lian tinggal ini memang memiliki menu yang enak. Lian sering menyantap makanan di sini ketika ia merasa jenuh mengonsumsi makanan siap saji di rumahnya.
“Kalau begitu, kau masih tak mau berkencan denganku?” tanya Ki Beom setelah menyelesaikan makannya.
Lian sama sekali tak terkejut karena ini bukan pertama kalinya ia mendengar tawaran Ki Beom soal itu. Dulu saat Ki Beom masih menjadi mentornya di rumah sakit, Ki Beom juga pernah menyatakan hal yang sama. Jadi, Lian tidak terlalu terkejut sama sekali. Hanya saja profesionalitas yang dimiliki Ki Beom memang benar-benar membuatnya kagum.
&ld
“Lian-ah.”Lian memutar tubuhnya spontan. “Oh, Hasung!” Suara Lian terdengar antusias ketika menemukan Hasung yang menyapanya dari balik kemudi.“Masuklah!” pinta Hasung sembari membuka kunci pintu mobil.Namun, Lian menggeleng sembari tersenyum. “Tinggal sedikit lagi,” ucapnya sembari menunjuk jalanan gelap yang hendak ia tempuh.Hasung pura-pura tak mendengar. Ia tetap mendorong pintu mobilnya dari dalam hingga terbuka lebar. Lian hanya bisa terkekeh lalu benar-benar mendekat dan masuk ke dalam mobil Hasung. Hasung ikut tertawa sembari menghidupkan mobilnya. Baru saja Hasung hendak menarik persneling, suara deringan ponsel menggagalkan niatnya. Ia lebih memilih untuk mengangkat teleponnya lebih dulu.“Oh, Jinseok-ah,” seru Hasung pada seseorang di balik earphone-nya sembari mengemudikan mobilnya dengan pelan.“Timjangnim, gawat! Par
“Hasunglah yang bertemu dengan Goo Nara dan memintanya untuk menjelaskan semuanya padamu.”Deg! Degupan keras menghantam jantung Lian. Tak ada alasan pasti, hanya saja mendengar pengakuan Jiwoo jantungnya hampir berhenti berdetak. “Bagaimana mungkin?” Lian tak habis pikir.“Apa yang kau pikirkan ketika dia masih peduli kejadian tujuh tahun silam?” Jiwoo menginterogasi.Lian menggeleng sembari berusaha menyeimbangkan napasnya. “Kenapa dia harus melakukannya?” Lian bertanya pada Jiwoo juga pada dirinya sendiri yang terheran. “Dia bisa saja tak peduli apa pun tentang saat itu, tapi kenapa dia melakukannya?” tanya Lian sekali lagi.“Mungkin dia juga masih mengharapkanmu.” Jiwoo tak sepenuhnya yakin dengan apa yang ia katakan. “Seperti yang kau katakan. Jika dia memang tak punya harapan, seharusnya dia melupakannya, bukan?”Lian menghela napas dalam-dala
Hasung dan Lian sudah tiba di Lotte World[1]. Mereka tampak berjalan seperti biasa di tengah keramaian dengan setelan musim dingin yang juga terlihat biasa. Hanya saja, Lian sedikit terlihat berbeda karena menambah polesan make up di wajahnya yang terlihat tidak setipis biasanya.Lian menyadari sebagian besar pengunjung sudah memakai bando animasi yang didapatkannya di toko dekat pintu masuk. Lian pun mengajak Hasung untuk memakainya. Hasung menolak. Namun, Lian terus memaksanya hingga bando berbentuk kucing singgah di kepala Hasung dan Lian terlihat bahagia dengan bando kelinci yang sesuai dengan setelan white-peach nya.Saat berjalan-jalan memeriksa sudut taman bermain terbesar di Korea itu, Lian dan Hasung menikmati waktunya dengan menikmati latte hangat. Mereka persis terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang berkencan. Mereka juga menemukan ada banyak orang yang terlihat melakukan hal yang sama, tapi dengan
Lian melangkah gontai menerobos dinginnya malam. Ia terpaksa pulang lebih dulu karena tak tahu harus berbuat apa. Di sepanjang jalan yang sepi, Lian terus terisak sembari menyembunyikan wajahnya dengan tekukan. Ia memeriksa sekeliling sebentar. Namun, semuanya tampak biasa dan bahkan Hasung pun tak muncul untuk mencegah kepergiannya seperti yang ia harapkan.Lian kembali terisak. Kali ini ia tak bisa menahan suaranya. Namun, ia tak berhenti melangkah. Meskipun kadang ada taksi yang berjalan pelan melintasinya Lian tak peduli.Sampai satu sedan merah berteriak dengan klaksonnya dan menghentikan langkah gontai Lian. Tanpa pikir panjang, Lian mendekat. Ada Jiwoo yang muncul dari balik kemudi. Sahabatnya itu tampak iba. Namun, tak bisa berbuat banyak. Untung saja Jiwoo tidak sedang sibuk sehingga tak lama dari saat Lian menghubunginya, ia sudah tiba.Satu loncatan kecil membuat Lian kini sudah berada di samping Jiwoo. Mata basah Lian menjelaskan semuanya, termasuk m
Sesi pembacaan naskah untuk naskah drama terbaru yang digarap Han Jinhee berjalan dengan sangat lancar. Semua pihak hadir tanpa terkecuali. Penulis novel yang digarap oleh Jinhee menjadi Naskah drama pun hadir ditemani Shin Hasung sebagai perwakilan dari pihak penerbitan Ahn Young. Di mana Ahn Young-lah penerbit yang membuat naskah novel ini menjadi best seller sampai beberapa kali cetakan hingga produser tertarik untuk menjadikannya sebuah drama. Hasung pulang. Kali ini tidak dengan Jinhee yang tadi pagi lebih dulu menawarkan diri untuk menjemputnya. Ia pulang sendiri dengan wajah yang tidak sesegar pagi tadi.Saat Hasung baru saja menapaki kakinya keluar dari lift, ia menemukan pintu rumah Lian yang baru saja tertutup. Sepertinya Lian baru pulang sama sepertinya. Hanya saja, jika Hasung bisa sedikit lebih cepat, mereka pasti akan bertemu dan Hasung mungkin tidak akan bisa me
Lian melangkah gontai keluar dari kamarnya. Ia ingin tidur, tapi tak bisa. Ia pun terpaksa ke luar. Lian tak ingin memikirkan apa pun. Namun, lelaki itu terus masuk ke kepalanya.“Astaga!” Mata Lian membesar. Tubuhnya terpental beberapa senti ke belakang, lalu langsung memaku bak patung.“Maaf, aku mengagetkanmu.” Suara itu keluar dari mulut Hasung yang sudah bersila di atas karpet di depan sofa dengan bungkusan makanan yang mengeluarkan aroma gochujang yang menyengat.“Apa yang membawamu ke sini?” tanya Lian. Ia belum berniat untuk mendekat.“Aku bawa Odeng dan Tteokpokki. Ayo makan bersama!” pinta Hasung. Wajahnya berseri, tidak seperti sebelumnya.Tentu saja Lian kebingungan. “Apa yang merasukimu?”Hasung tersenyum. Lama menunggu Lian yang masih tetap pada posisinya, Hasung langsung menarik tubuh Lian dan memintanya segera duduk. Lian tak memberontak, t
“Karena sebuah takdir itu persis seperti melempar bumerang. Sejauh apa pun kau melemparnya, ia akan kembali kepada titik semula. Sejauh apa pun kau bersembunyi dan menutup diri dari kenyataan, niscaya kau akan kembali berjalan pada takdir yang seharusnya. Jika pada satu kisah kau tak bertemu dengannya lagi, itu berarti dia bukan takdirmu. Sebenarnya, cara Tuhan sesederhana itu. Hanya saja, kadang kau berusaha terlalu keras untuk menghindar dan berjalan pada jalan yang tidak seharusnya. Jikalau karena itu kau pun terluka, jangan salahkan Tuhan. Salahkan dirimu yang tak mau percaya pada takdir-Nya.”Itulah bunyi tulisan hangat dalam sebuah lukisan raksasa di sudut pekarangan vila. Semua orang dapat melihat tulisan yang dipersembahkan oleh Han Jinhee itu. Semua orang tersentuh sembari memandangi satu sama lain untuk melempar senyuman.Hampir dua tahun telah berlalu. Lian sudah kembali ke Korea setelah menyelesaikan tugasnya di Ja
End of Spring, 2017. Villa itu didekorasi dengan sempurna. Meja dan kursi bernuanasa putih bersih berjejer rapi. Bunga dan berbagai dekorasi lainnya yang terlihat tak terlalu mencolok pun ikut menghiasi suasana sore yang cerah tak berawan. Para tamu laki-laki mengenakan setelan jas rapi serta wanita-wanita muda memakai gaun pesta andalan. Kemudian, kedua orangtua wanita dari setiap mempelai menggunakan hanbok[1] yang sama. Persis seperti pesta pernikahanan modern Korea Selatan pada umumnya. Para tamu undangan bersorak serta bertepuk tangan meriah ketika pasangan pengantin mulai melintasi karpet bersih yang telah ditaburi bunga-bunga. Lian menjadi salah satu tamu yang tampak tersenyum lebar di sana. Bahagia rasanya melihat teman yang akhirnya memiliki tempat perlabuhan resmi. Bahagia sekaligus bimbang menunggu gilirannya yang entah kapan dan dengan siapa kelak. &nbs