End of Spring, 2017.
Villa itu didekorasi dengan sempurna. Meja dan kursi bernuanasa putih bersih berjejer rapi. Bunga dan berbagai dekorasi lainnya yang terlihat tak terlalu mencolok pun ikut menghiasi suasana sore yang cerah tak berawan. Para tamu laki-laki mengenakan setelan jas rapi serta wanita-wanita muda memakai gaun pesta andalan. Kemudian, kedua orangtua wanita dari setiap mempelai menggunakan hanbok[1] yang sama. Persis seperti pesta pernikahanan modern Korea Selatan pada umumnya.
Para tamu undangan bersorak serta bertepuk tangan meriah ketika pasangan pengantin mulai melintasi karpet bersih yang telah ditaburi bunga-bunga. Lian menjadi salah satu tamu yang tampak tersenyum lebar di sana. Bahagia rasanya melihat teman yang akhirnya memiliki tempat perlabuhan resmi. Bahagia sekaligus bimbang menunggu gilirannya yang entah kapan dan dengan siapa kelak.
“Wah, ini pertemuan pertama kita setelah tujuh tahun.” Lelaki bertubuh kekar dengan setelan jas necis itu menghampiri lalu menjabat tangan Lian sembari tersenyum senang.
“Sudah lama sekali rupanya,” balas Lian. “Jika aku tidak tahu ternyata pengantinmu satu divisi denganku, kita pasti tidak akan bertemu.”
Lelaki itu tertawa, begitu pula dengan Lian. “Kau benar-benar berubah sekarang, kau semakin cantik dan sedikit lebih tinggi,” pujinya sembari memeriksa penampilan Lian dari ujung rambut sampai ujung kaki.
“Benarkah?” Tentu saja Lian merasa tersanjung dengan pujian itu. Ia mengangkat kaki kirinya sedikit. “Mungkin karena ini,” katanya, menunjuk high heels yang ia kenakan, membuat lelaki itu tertawa kembali. “Tapi, ke mana pengantinmu?”
“Nanti kupanggilkan. Sekarang dia masih sibuk dengan rekannya yang lain,” jawab Giseok. Lian mengangguk paham.
Lee Gaeun adalah pengantinnya hari ini. Wanita dengan paras cantik yang satu divisi dengan Lian di rumah sakit. Wanita itu satu tahun lebih dewasa dari Lian. Dan, satu tahun lebih dewasa juga untuk Jang Giseok, lelaki di hadapan Lian saat ini.
“Oh iya, kau sudah bertemu dengan Hasung?”
“Hasung?” Lian tak percaya, matanya terbelalak seolah melihat sesuatu yang mengejutkan di hadapannya.
“Iya, Hasung,” jelas Giseok. “Dia juga datang. Kalian sama-sama menghilang dan tak mengabari satu sama lain. Aku belum sempat memberitahu Hasung bahwa kau masih di Korea. Kau bisa mengatakan sendiri padanya.” Giseok tak sempat membaca ekspresi Lian yang terpaku lantaran seseorang terus memanggil namanya dari kejauhan. “Adelian, aku ke sana dulu. Nikmati waktumu.”
Lian mengangguk sembari menyunggingkan senyum tipis. Ia berusaha menghilangkan kegugupannya dengan melangkah cepat menuju meja yang menghidangkan sampanye. Matanya menyapu segala sesuatu yang ada di sekitarnya, sementara pikirannya menjelajahi ingatan yang membuat sekujur tubuhnya dijalari rasa tegang. Rasa tegang yang diam-diam membuat hati Lian berdebar.
Lelaki yang bernama Shin Hasung itu, masih mampu membuat Lian merasakan desiran indah dalam hatinya meski sudah tujuh tahun berlalu. Rasa yang tak berubah dan bahkan tak berkurang itu masih tersimpan baik dalam hati Lian. Lelaki yang memiliki kekuatan luar biasa yang mampu menutup mata Lian tanpa celah untuk melihat laki-laki lain. Sehingga Lian merasa sampai detik ini tak ada laki-laki yang lebih baik darinya, tak ada laki-laki yang lebih mengerti Lian, dan tak ada laki-laki yang Lian harapkan selain dia. Hanya Hasung, laki-laki yang membuat Lian tersenyum hanya karena sekadar mengingatnya. Dan, membuat hati Lian membuncah hanya karena mendengar namanya, hanya Hasung.
Meski Lian tak tahu bagaimana dengan Hasung sekarang. Masih samakah ia dengan dirinya yang dulu? Apakah perasaannya tak berubah? Dan pikiran yang membuat Lian merasa sangat gelisah sekarang adalah; Apakah Hasung masih mengingat Lian yang tenggelam dalam pikirannya sendiri ini?
***
Winter, 2010.
Begitu senja pulang, seketika langit Seoul berubah gelap. Kelap-kelip lampu satu persatu mulai menerangi jendela di setiap gedung, baik yang jelas terlihat karena menjulang dengan angkuhnya maupun bangunan-bangunan kecil yang bersembunyi di bawah sana. Suara klakson kendaraan berbagai macam jenis tak ada habisnya terdengar. Begitu pula dengan rem yang meraung karena diinjak terlalu keras oleh pengemudinya. Seolah semua itu tak berarti, Hasung tetap fokus berdansa sendiri dengan mata terpejam, menghayati intrumen Waltz 101 yang bersumber dari radio tape sederhana miliknya.
Ketika intrumen itu tak terdengar lagi, ia mendesah lelah sekaligus tidak puas. Lelah karena sepanjang hari ia hanya memutar-mutar tubuhnya tak menentu dan tidak puas karena selama sehari penuh berlatih ia tak ada kemajuan sama sekali. Waltz 101 adalah dansa dengan koreo paling sederhana. Namun, tetap saja Hasung merasa kaku dan tidak puas dengan apa yang ia lakukan. Apakah karena berdansa tanpa pasangan? Atau memang Hasung tak berbakat? Entahlah.
Tanpa pikir panjang, Hasung segera menyambar jaket dan radio tape miliknya, kemudian melesat keluar dari rumahnya dan menerobos masuk ke dalam rumah Adelian. “Lian-ah, kau sudah tidur?” tanyanya, begitu menemukan Adelian yang membungkus tubuhnya dengan selimut di atas tempat tidur ditemani TV yang masih menyala.
“Tidak, aku baru selesai menonton drama,” jawab Lian sembari membuka bungkusan selimutnya.
“Tepat sekali!” seru Hasung, antusias.
Tanpa aba-aba Hasung segera menarik tubuh mungil Adelian dan menggiringnya sampai ke atap rumah. Adelian tak memberontak. Hanya saja ia terlihat tak bersemangat, apalagi setelah angin malam meniup tubuhnya yang hanya memakai pakaian seperempat hingga membuat ia bergidik kedinginan.
“Aku harus mengikuti ujian Waltz. Jadi, bantu aku untuk berlatih.”
Adelian memeluk tubuhnya kedinginan. Ia mendengarkan Hasung, lalu mengangguk ringan.
“Kau tahu sekarang musim dingin, kenapa berpakaian seperti ini?” Hasung mengerutu dan langsung membuka jaket yang segera ia pasangkan di tubuh Lian dengan sigap. Hasung lupa bahwa ia tak memberi kesempatan Lian untuk memakai jaketnya sebelum keluar.
“Ini aneh,” kata Adelian, membuat Hasung mengangkat alisnya tak mengerti. Adelian buru-buru melanjutkan kalimatnya, “Aku ujian Waltz saat semester 2, kenapa kau malah ujian di smester 4?”
Hasung mengangkat bahunya dan menggeleng, “Aku juga tidak tahu. Bagaimana nilaimu saat itu?”
“A,” jawab Adelian cepat.
“Wow, kau luar biasa!” puji Hasung, takjub.
Adelian hanya tersenyum. Begitu Hasung memutar intrumen Waltz 101 di radio tape-nya, tangan kanan Lian membentang ke samping sedikit atas, lalu Hasung menyusulnya. Hasung menggenggam jemari Lian dan tangan kanannya menyilang ke punggung wanita itu. Lian pun melakukan hal yang sama.
“1, 2, 3 … 2, 2, 3 ….” Mereka menghitung bersama dengan suara pelan, tidak melebihi suara intrumen yang mengiringi gerakan mereka. Anehnya sejak mulai berdansa bersama Lian, Hasung merasa lebih bersemangat, gerakannya terasa pas dan menyenangkan. Ah sepertinya memang ia adalah lelaki berbakat, hanya saja berdansa sendirian membuat dansanya terasa kurang. Kalau tahu begini sudah sejak pagi ia akan meminta Lian membantunya.
“Aku penasaran dengan siapa kau akan berdansa di masa depan,” celetuk Hasung begitu menemukan Lian yang menikmati latihannya dengan senyuman lebar.
“Entahlah” jawab Lian malu-malu, “Aku juga penasaran dengan siapa kau akan berdansa di masa depan,” balasnya.
Ketika intrumen sudah sampai di menit pertengahan, angin musim dingin kembali berhembus. Kelap-kelip lampu malam yang semakin ramai menghiasi kota Seoul. Juga langit gelap tak berbintang, tetap setia menyaksikan keduanya berdansa di atap hingga intrumen selesai seiring dengan gerakan kaki Hasung dan Adelian yang juga berhenti.
“Ayo buat kesepakatan,” kata Hasung, membuat Lian mengangkat alisnya tak mengerti. “Kelak, siapa pun yang menikah lebih dulu, kita harus tetap berdansa bersama.”
Lian tersenyum dan mengangguk mantap, “Yakseok[2]?” Lian menyodorkan jari kelingkingnya di hadapan Hasung.
Hasung mengangguk. Ia segera mengaitkan jari kelingkingnya di jari kelingking Lian seraya tersenyum dan menjawab mantap, “Yakseok!”
Sejenak, mereka kembali melanjutkan latihan sebelum salju tebal turun malam itu.
***
[1] Pakaian tradisional korea.
[2] Janji.
End of Spring, 2017. Lian tersenyum senang sekaligus gugup di tempatnya, mendengar intrumen Waltz 101 yang mengiringi dansa setiap pasangan di sekitarnya membuat ia mengingat dansa pertamanya bersama Hasung, beberapa tahun silam. Tak peduli seberapa kuat Lian mengendalikan dirinya, ia tetap saja merasa gugup. Semakin ia berharap, semakin hatinya tak terkendali. Ditambah lagi dengan masa lalunya bersama Hasung yang terus berputar dalam kepalanya, membuat Lian semakin tak yakin. Akankah harga dirinya masih mampu berdiri tenang di hadapan Hasung jika malam ini mereka benar-benar ditakdirkan untuk bertemu? *** Winter, 2010. Subway[1] siang itu tak seramai biasanya, hanya beberapa pekerja berjas yang terlihat sedang menyantap sandwich.
Winter, 2010. Masih mengingat masa tujuh tahun lalu, tepatnya ketika musim dingin tahun 2010 di Seoul. Shin Hasung, lelaki bertubuh tinggi dengan suara lembut dan sikap yang hangat itu berasal dari Incheon.[1] Ia adalah Mahasiswa Manajemen Bisnis tahun ke dua di Universitas Hanyang, sama seperti Adelian. Hanya saja, Lian mengambil Keperawatan. Mereka saling mengenal sejak dua tahun sebelum itu, ketika Lian datang dan menyewa rumah kosong di samping rumah Hasung. Dua tahun saling mengenal, mereka sudah sangat akrab, lantaran Hasung yang mudah bergaul dan Lian juga merupakan tipe wanita yang tidak sulit didekati. Sementara itu, Adelian adalah wanita kelahiran Jakarta[2], Indonesia. Ayahnya adalah orang Korea asli, sedangkan ibunya adalah orang Indonesia. Saat remaja, tepatnya memasuki SMA, Adelian datang ke Korea bersama kedua orang tuanya dan melanjutkan sekolah di Kapy
Teriakan alarm membangunkan Hasung. Tubuhnya masih terasa remuk redam, kepalanya juga masih pening, dan demam yang melandanya masih belum ada tanda-tanda untuk menurun. Dengan hati-hati, Hasung melenyapkan suara alarm itu menggunakan satu sentuhan kecil sembari memeriksa keadaan sekitar. Ketika Hasung hendak mengangkat tubuhnya, tiba-tiba terdengar suara seseorang menekan kombinasi kunci rumahnya. Hasung sudah tahu, itu pasti Adelian. Jadi, Hasung tak peduli. “Adeul[1].” “Eomma[2]?” Mata sipit Hasung langsung membesar. Ternyata yang datang bukan Adelian. Hasung Menemukan ibunya datang dengan bingkisan plastik besar. “Bagaimana Ibu bisa datang ke sini?” Hasung masih tak habis pikir. jam berapa ibunya berangkat dari Incheon hingga tiba di Seoul sepagi ini. “Lian menelepon Ibu dan mengatakan kau sedang sakit,” jelas Ibunya saat hendak
Winter, 2010. Cerita Lian dan Hasung tak selamanya berjalan mulus, juga tak akan mungkin tetap semanis macaroon seperti yang dikatakan kebanyakan orang. Ada satu hal yang akan terasa amat menyakitkan bagi Lian hanya untuk sekadar mengenangnya. Lian memang tak mau mengingatnya, akan tetapi mau bagaimana lagi? Itu adalah bagian dari sejarah berharga yang ia miliki bersama Hasung. Waktu itu, pertengahan musim panas. “Gomawo,” ucap Lian begitu menemukan Hasung yang menunggu ia mengganti baju yang basah dengan hoodie milik Hasung. Diikuti dengan Jiwoo yang juga baru selesai mengganti pakaian dengan kaus fakultas yang ia bawa, sedangkan Jiyul harus pulang lebih dulu karena tak membawa apa pun untuk mengganti pakaiannya. “Bukankah kalian ada kelas?” tanya Jaehan. Jiwoo mengangguk, “Prof. Hwang tidak bisa me
“Hasung-ah, sepertinya Adelian benar-benar menyukaimu.” Giseok berkomentar. Melihat Hasung yang tak berselera makan, membuatnya memikirkan Lian yang sudah beberapa minggu tak kelihatan. “Berhenti berbicara omong kosong,” ujar Hasung sembari melahap jajangmyun[1]-nya dengan suapan besar. “Aku serius,” balas Giseok meyakinkan. “Saat melihatnya menangis karena tahu kau akan Wajib Militer, aku langsung bisa menebaknya. Terlebih lagi, sudah beberapa minggu ini dia terus menghindarimu” “Dia tidak menghindar, dia ada kerja.” Hasung mengelak, meskipun pada kenyataannya ia juga merasa Lian menghindarinya beberapa waktu terakhir ini. “Tapi, kau juga menyukainya, ‘kan?” Giseok mencari kejelasan sekali lagi. Hasung diam, ia ragu dan tak tahu bagaimana untuk menjawab. “Giseok sudah punya pacar. Aku dan Youngmin juga, hanya kau yang belum,” celetuk
Winter, 2010. Shin Hasung, lelaki dengan setelan jeans yang membawa ransel di punggungnya berjalan pelan bersama wanita mungil berponi tipis dengan dress biru muda yang tak lain adalah Adelian. Keramaian pengunjung Sungai Han yang berlalu lalang tanpa henti membuat tangan kiri Hasung dan tangan kanan Lian terus berbenturan. Suasana di antara mereka semakin canggung. Ditambah Hasung ternyata mendapat informasi yang salah karena pameran di Sungai Han sudah selesai kemarin malam. Sekarang, Hasung sedang berpikir keras, ke mana tujuan yang harus ia tempuh bersama Lian untuk sisa waktunya yang sangat sedikit ini. “Apa aku boleh menggenggam tanganmu?” tanya Hasung berusaha santai. Lian mengulum senyum. “Kenapa kau bertanya? Rasanya sangat aneh karena biasanya kau selalu menggenggam tanganku tanpa mengatakan apa pun.” “Bukankah sekarang sudah berbeda? Sekarang aku bukan l
Senyuman di bibir Lian mengembang ketika tangannya memasukkan sepucuk surat ke dalam amplop berwarna merah. Karena Hasung sedang Wajib Militer, ia merasa minat belajarnya semakin menurun. Jadi, daripada menyia-nyiakan biaya dan tenaga, ia memutuskan untuk mengambil cuti. Jiyul dan Jiwoo juga akan melakukan hal yang sama. Lian akan mencari pekerjaan lebih selama cuti, begitu pula dengan Jiyul. Sedangkan Jiwoo, ia hanya ingin beristirahat. Minat kuliah Jiwoo juga mendadak turun mendengar keputusan Lian dan Jiyul yang ingin mengambil cuti. “Kau baru akan mengirim surat untuk Hasung? Bukankah sebentar lagi dia akan menerima libur pertamanya?” celetuk Jiyul. Ia sedang sibuk memperhatikan Lian yang terus tersenyum sejak tadi. Entah apa yang ada dalam surat itu. Namun, Jiyul berpikir itu pasti hal yang sangat menyenangkan bagi Lian dan Hasung. “Goo Nara, barangmu jatuh,” cegat Jiwoo yang baru tiba di kelas, menemukan barang milik Goo Nara yang terjatuh di lantai. Goo Nara m
End of Spring, 2017. Ia membesarkan mata sipitnya sembari membuka mulut, tak percaya. Di antara megah dan mewahnya acara malam ini, ia mengagumi ciptaan Tuhan yang satu itu. Wanita berambut hitam, panjang sedikit melebihi bahu. Wanita itu mengenakan gaun sederhana, tapi sangat pas dengan tubuh mungilnya. Ditambah lagi dengan make up tipis yang membuat wajahnya segar berseri. Tak ada aksesoris yang mencolok yang ia kenakan. Akan tetapi, ia terlihat sangat memukau, indah, dan anggun. High heels yang ia kenakan memang membuat tubuhnya sedikit lebih tinggi, juga lebih dewasa. Namun, ia tetap terlihat menggemaskan. Membuat pemilik mata yang memandanginya itu semakin terkagum. Kagum karena lama tak mengetahui kabarnya, juga bahagia karena ternyata selama ini wanita itu baik-baik saja. Lelaki itu bersorak dalam diam, juga bersyukur dalam diam karena Tuhan telah mempersembahkan kejutan tak terduga untuknya malam in