Winter, 2010.
Cerita Lian dan Hasung tak selamanya berjalan mulus, juga tak akan mungkin tetap semanis macaroon seperti yang dikatakan kebanyakan orang. Ada satu hal yang akan terasa amat menyakitkan bagi Lian hanya untuk sekadar mengenangnya. Lian memang tak mau mengingatnya, akan tetapi mau bagaimana lagi? Itu adalah bagian dari sejarah berharga yang ia miliki bersama Hasung.
Waktu itu, pertengahan musim panas.
“Gomawo,” ucap Lian begitu menemukan Hasung yang menunggu ia mengganti baju yang basah dengan hoodie milik Hasung. Diikuti dengan Jiwoo yang juga baru selesai mengganti pakaian dengan kaus fakultas yang ia bawa, sedangkan Jiyul harus pulang lebih dulu karena tak membawa apa pun untuk mengganti pakaiannya.
“Bukankah kalian ada kelas?” tanya Jaehan.
Jiwoo mengangguk, “Prof. Hwang tidak bisa mengisi kelas. Asdos Kim seharusnya menggantikan, tapi dia juga tidak bisa hadir.”
“Jadi, karena itu kalian mandi hujan dan menari-nari tidak jelas?” tanya Hasung.
Jiwoo dan Lian saling menatap sembari terkekeh.
“Kudengar ada pameran seni di Sungai Han[1]. Ayo kita ke sana besok,” tawar Lian sembari menatap teman-temannya satu persatu. Namun, hanya Jiwoo saja yang mengangguk. Sedangkan Hasung, Giseok, Youngmin, dan Jaehan tak bereaksi. “Kenapa?” tanya Lian heran.
“Tidak bisa.” Hasung yang menjawab mewakili ketiga kawannya.
“Kenapa?” tanya Lian sekali lagi.
“Ada tes fisik besok,” jawab Youngmin.
“Tes fisik?” ulang Lian. Ia mendadak ragu. “Untuk wajib militer?”
Hasung mengangguk, disusul dengan anggukan dari kawan-kawannya.
“Siapa yang akan pergi?” Kali ini Jiwoo yang bertanya, ia terlihat benar-benar penasaran.
“Kami semua. Kurasa akan lebih baik jika kami melakukannya bersama-sama,” jelas Hasung.
Jiwoo mengangguk mengerti sebelum melihat Youngmin mengangkat alisnya dan menunjuk Adelian yang berada di sampingnya. Jiwoo menemukan Adelian yang diam-diam menangis dengan menyembunyikan wajahnya di balik kupluk hoodie yang ia kenakan.
“Kau menangis?” tanya Jiwoo tak percaya.
Hasung segera mendekati Lian, “Kenapa? Apa yang terjadi?” tanya Hasung sembari menyingkap poni tipis yang hampir sempurna menyembunyikan mata Lian.
“Adelian, kenapa kau menangis?” tanya Giseok yang ikut terheran.
“Apa kau menyukai lelaki malang seperti Hasung ini?” kata Youngmin yang segera merangkul Hasung dan berniat melucu.
Namun, Hasung buru-buru melepas paksa rangkulan Youngmin.
“Dia sedih karena tidak bisa menyantap makanan buatan ibuku lagi,” kata Hasung, entah membela Lian atau melindungi jantungnya yang mulai berdesir tak karuan. “Jangan menangis! Wajib Militer hanya dua tahun, itu juga ada waktu libur. Jadi, aku bisa menemuimu. Kita juga bisa bertukar surat sesering mungkin.” Hasung berusaha menenangkan Lian dengan belaian kecil di kepala gadis itu yang dibaluti kupluk hoodie.
Tetapi Lian masih terisak. “Aku bilang jangan menangis,” pinta Hasung sekali lagi.
Lian pun menyeka air matanya. Namun, ia tak lantas berhenti menangis. Jiwoo menggeleng ketika mata Hasung mengisyaratkan kebingungan padanya. Jadilah Hasung hanya menenangkan Lian dengan elusan kecil saja karena ia tak tahu harus bagaimana. Hasung jadi bingung. Rasanya sangat aneh melihat Lian menangis untuk pertama kalinya seperti ini hanya karena tahu Hasung akan segera menjalani masa Wajib Militer.
***
Sudah beberapa minggu ini Lian mengasingkan diri dari pandangan Hasung. Sejujurnya, ia kecewa. Seingat Lian, Hasung pernah mengatakan ia akan Wajib Militer tahun depan, tapi nyatanya Hasung malah memutuskan Wajib Militer tahun ini dan tak mengatakan apa pun sebelum itu. Seandainya Lian tak menawarkan untuk menonton pameran di Sungai Han waktu itu, sudah pasti Lian tak akan mengetahuinya. Ia kecewa, untuk pertama kalinya. Dia juga sedih dan takut, bagaimana jika Hasung benar-benar pergi?
“Apa kau benar-benar menyukai Hasung?” tanya Jiwoo pada Lian yang tampak lesu di tempat tidurnya.
“Mungkin bukan seperti itu. Karena Adelian merasa Hasung sahabat terbaiknya, jadi Lian sedih.” Jiyul membela Lian yang masih membisu.
“Tapi aku baru kali ini menemukan seorang yang berstatus teman menangis hanya karena temannya akan Wajib Militer. Bukankah kata ‘teman’ terlalu berlebihan?” lanjutnya lagi.
“Jika kau benar-benar menyukainya katakan saja padanya.” Jiwoo memberi saran.
“Aku yang harus mengatakannya?” tanya Lian yang baru membuka suara.
Jiwoo mengangguk mantap. “Dari pada kau menyesal nantinya. Kau tahu Goo Nara masih mengincarnya, ‘kan?”
“Benar!” Jiyul setuju, “Kurasa Hasung juga begitu. Dia pasti ingin berkencan sebelum Wajib Militer.”
“Semua laki-laki menginginkan itu.” Jiwoo menambahkan.
***
[1] Sebuah sungai yang membelah Kota Seoul, terbentuk akibat pertemuan dari sungai Namhan yang bermata air di gunung Daedeok , Korea Selatan dan Sungai Bukhan yang berhulu dari lembah gunung Geumgang di Korea Utara. Sungai Han mengalir melewati Seoul dan bergabung dengan Sungai Imjin sebelum bermuara ke laut Kunging.
“Hasung-ah, sepertinya Adelian benar-benar menyukaimu.” Giseok berkomentar. Melihat Hasung yang tak berselera makan, membuatnya memikirkan Lian yang sudah beberapa minggu tak kelihatan. “Berhenti berbicara omong kosong,” ujar Hasung sembari melahap jajangmyun[1]-nya dengan suapan besar. “Aku serius,” balas Giseok meyakinkan. “Saat melihatnya menangis karena tahu kau akan Wajib Militer, aku langsung bisa menebaknya. Terlebih lagi, sudah beberapa minggu ini dia terus menghindarimu” “Dia tidak menghindar, dia ada kerja.” Hasung mengelak, meskipun pada kenyataannya ia juga merasa Lian menghindarinya beberapa waktu terakhir ini. “Tapi, kau juga menyukainya, ‘kan?” Giseok mencari kejelasan sekali lagi. Hasung diam, ia ragu dan tak tahu bagaimana untuk menjawab. “Giseok sudah punya pacar. Aku dan Youngmin juga, hanya kau yang belum,” celetuk
Winter, 2010. Shin Hasung, lelaki dengan setelan jeans yang membawa ransel di punggungnya berjalan pelan bersama wanita mungil berponi tipis dengan dress biru muda yang tak lain adalah Adelian. Keramaian pengunjung Sungai Han yang berlalu lalang tanpa henti membuat tangan kiri Hasung dan tangan kanan Lian terus berbenturan. Suasana di antara mereka semakin canggung. Ditambah Hasung ternyata mendapat informasi yang salah karena pameran di Sungai Han sudah selesai kemarin malam. Sekarang, Hasung sedang berpikir keras, ke mana tujuan yang harus ia tempuh bersama Lian untuk sisa waktunya yang sangat sedikit ini. “Apa aku boleh menggenggam tanganmu?” tanya Hasung berusaha santai. Lian mengulum senyum. “Kenapa kau bertanya? Rasanya sangat aneh karena biasanya kau selalu menggenggam tanganku tanpa mengatakan apa pun.” “Bukankah sekarang sudah berbeda? Sekarang aku bukan l
Senyuman di bibir Lian mengembang ketika tangannya memasukkan sepucuk surat ke dalam amplop berwarna merah. Karena Hasung sedang Wajib Militer, ia merasa minat belajarnya semakin menurun. Jadi, daripada menyia-nyiakan biaya dan tenaga, ia memutuskan untuk mengambil cuti. Jiyul dan Jiwoo juga akan melakukan hal yang sama. Lian akan mencari pekerjaan lebih selama cuti, begitu pula dengan Jiyul. Sedangkan Jiwoo, ia hanya ingin beristirahat. Minat kuliah Jiwoo juga mendadak turun mendengar keputusan Lian dan Jiyul yang ingin mengambil cuti. “Kau baru akan mengirim surat untuk Hasung? Bukankah sebentar lagi dia akan menerima libur pertamanya?” celetuk Jiyul. Ia sedang sibuk memperhatikan Lian yang terus tersenyum sejak tadi. Entah apa yang ada dalam surat itu. Namun, Jiyul berpikir itu pasti hal yang sangat menyenangkan bagi Lian dan Hasung. “Goo Nara, barangmu jatuh,” cegat Jiwoo yang baru tiba di kelas, menemukan barang milik Goo Nara yang terjatuh di lantai. Goo Nara m
End of Spring, 2017. Ia membesarkan mata sipitnya sembari membuka mulut, tak percaya. Di antara megah dan mewahnya acara malam ini, ia mengagumi ciptaan Tuhan yang satu itu. Wanita berambut hitam, panjang sedikit melebihi bahu. Wanita itu mengenakan gaun sederhana, tapi sangat pas dengan tubuh mungilnya. Ditambah lagi dengan make up tipis yang membuat wajahnya segar berseri. Tak ada aksesoris yang mencolok yang ia kenakan. Akan tetapi, ia terlihat sangat memukau, indah, dan anggun. High heels yang ia kenakan memang membuat tubuhnya sedikit lebih tinggi, juga lebih dewasa. Namun, ia tetap terlihat menggemaskan. Membuat pemilik mata yang memandanginya itu semakin terkagum. Kagum karena lama tak mengetahui kabarnya, juga bahagia karena ternyata selama ini wanita itu baik-baik saja. Lelaki itu bersorak dalam diam, juga bersyukur dalam diam karena Tuhan telah mempersembahkan kejutan tak terduga untuknya malam in
Malam itu benar-benar seperti mimpi buruk yang tak mau Lian ingat lagi. Ingin rasanya Lian menghapus kejadian itu dari museum kenangan dalam kepalanya. Namun, apa boleh buat? Kenyataan memang seperti itu. Selama ini secara tidak langsung, dengan menolak semua lelaki yang berusaha mendekatinya, Lian melakukan penantian tak berdasar selama tujuh tahun ke pada Hasung yang sudah memiliki seorang kekasih. Sejak pertemuan malam itu, Lian enggan menyisakan waktunya untuk menonton drama di malam hari. Karena waktu malam adalah waktu penayangan drama yang ditulis oleh Han Jinhee, penulis muda yang katanya sangat berbakat itu. Akibatnya, Lian terpaksa bertukar shif dengan rekan kerjanya. Kini ia bebas di siang hari dan bertugas saat malam datang. Meski sudah dua minggu berlalu, Lian masih tetap merasa seolah-olah kejadian itu baru terjadi tadi malam. Jadi, ia tak pernah bahagia sepenuhnya ketika pagi datang. Sama seperti pagi ini, ia bermalas-malasan bangkit dari temp
Lelah mendengar bujukan Hasung, akhirnya Jinhee menyetujui keputusan Hasung untuk menyewa apertemen itu. Tidak ada alasan kuat yang Jinhee miliki untuk terus-menerus menolak. Setelah menekan kontrak, malam-malam Hasung langsung memindakan barang-barang dan menatanya di sana. Lian pasti akan sangat senang bertetangga dengannya lagi, pikir Hasung. Ketika merasa sudah tak kuat, Hasung memutuskan untuk tidur sebentar sebelum pagi benar-benar datang. Hingga beberapa jam kemudian, Hasung terbangun karena ponselnya berbunyi. Sms pagi dari Jinhee, ia hanya tersenyum dan membalasnya dengan beberapa kata singkat sebelum berlalu untuk membersihkan tubuhnya. Ketika tengah bersiap, Hasung mendengar suara derapan kaki di balkon. Hasung segara melangkah ke sana dan menemukan Lian yang membungkus dirinya dengan selimut sembari menyesap kopi, persis seperti yang ia lakukan beberapa hari yang lalu saat Hasung sedang mencari rumah.  
“Hasung tinggal bertetangga denganmu?” seru wanita berjas biru muda itu ketika mendengar penuturan Lian. Ketika melihat Lian mengangguk, ia semakin tak percaya. “Kau baik-baik saja? Jika kau tak tahan, datanglah ke rumahku. Kau bisa tinggal sampai kau puas di sana.” Sebagai teman ia merasa sangat khawatir. “Aku tidak bisa menjauh lagi, aku harus menghadapinya. Aku harus melupakannya,” ucap Lian sembari memutar pipet di dalam segelas jus di hadapannya. “Kau tidak benci padanya? Jika kau mau membunuhnya, aku sanggup membantumu, Teman.” Wanita itu langsung menggenggam kedua tangan Lian, membuat Lian merasa lucu. “Jaksa macam apa yang berkata seperti itu?” Mereka akhirnya tertawa konyol. Namun, tawa wanita itu segera lenyap disusul dengan kening Lian yang berkerut heran. Wanita itu menyadari waktu di ponselnya. Ia tak bisa berlama-lama berada di luar karena masih banyak kasus yang
Hasung, selaku ketua tim pemasaran dan beberapa anggota eksekutif yang terdiri dari Direktur, Wakil Direktur, Ketua Tim Editor, dan beberapa lainnya tengah menatap satu sama lain. Di hadapan mereka sudah ada bagian kopi masing-masing serta map tipis untuk melengkapi rapat kali ini. “Biarkan saya menjelaskan sekali lagi.” Hasung memohon dengan sangat di tengah keheningan rapat. “Sudah cukup.” Wakil Direktur Oh menyergah dengan killing smile khasnya. Wanita itu menatap wajah masam Hasung tanpa iba. “Baiklah, silahkan masukkan vote kalian.” Kali ini Direktur Min yang bersuara. Lelaki dengan kerutan kecil yang menumpuk di wajahnya itu mengangkat kotak berbentuk celengan lalu meletakkannya di tengah-tengah meja. Satu persatu anggota eksekutif memasukkan kertas kecil ke dalamnya. Hingga yang terakhir adalah giliran Hasung, lelaki yang terlihat setengah hidup di tempat duduknya. “Giliranmu.” Suara Ketua Tim Editor, wanita modi