Lelah mendengar bujukan Hasung, akhirnya Jinhee menyetujui keputusan Hasung untuk menyewa apertemen itu. Tidak ada alasan kuat yang Jinhee miliki untuk terus-menerus menolak.
Setelah menekan kontrak, malam-malam Hasung langsung memindakan barang-barang dan menatanya di sana. Lian pasti akan sangat senang bertetangga dengannya lagi, pikir Hasung.
Ketika merasa sudah tak kuat, Hasung memutuskan untuk tidur sebentar sebelum pagi benar-benar datang. Hingga beberapa jam kemudian, Hasung terbangun karena ponselnya berbunyi. Sms pagi dari Jinhee, ia hanya tersenyum dan membalasnya dengan beberapa kata singkat sebelum berlalu untuk membersihkan tubuhnya.
Ketika tengah bersiap, Hasung mendengar suara derapan kaki di balkon. Hasung segara melangkah ke sana dan menemukan Lian yang membungkus dirinya dengan selimut sembari menyesap kopi, persis seperti yang ia lakukan beberapa hari yang lalu saat Hasung sedang mencari rumah.
 
“Hasung tinggal bertetangga denganmu?” seru wanita berjas biru muda itu ketika mendengar penuturan Lian. Ketika melihat Lian mengangguk, ia semakin tak percaya. “Kau baik-baik saja? Jika kau tak tahan, datanglah ke rumahku. Kau bisa tinggal sampai kau puas di sana.” Sebagai teman ia merasa sangat khawatir. “Aku tidak bisa menjauh lagi, aku harus menghadapinya. Aku harus melupakannya,” ucap Lian sembari memutar pipet di dalam segelas jus di hadapannya. “Kau tidak benci padanya? Jika kau mau membunuhnya, aku sanggup membantumu, Teman.” Wanita itu langsung menggenggam kedua tangan Lian, membuat Lian merasa lucu. “Jaksa macam apa yang berkata seperti itu?” Mereka akhirnya tertawa konyol. Namun, tawa wanita itu segera lenyap disusul dengan kening Lian yang berkerut heran. Wanita itu menyadari waktu di ponselnya. Ia tak bisa berlama-lama berada di luar karena masih banyak kasus yang
Hasung, selaku ketua tim pemasaran dan beberapa anggota eksekutif yang terdiri dari Direktur, Wakil Direktur, Ketua Tim Editor, dan beberapa lainnya tengah menatap satu sama lain. Di hadapan mereka sudah ada bagian kopi masing-masing serta map tipis untuk melengkapi rapat kali ini. “Biarkan saya menjelaskan sekali lagi.” Hasung memohon dengan sangat di tengah keheningan rapat. “Sudah cukup.” Wakil Direktur Oh menyergah dengan killing smile khasnya. Wanita itu menatap wajah masam Hasung tanpa iba. “Baiklah, silahkan masukkan vote kalian.” Kali ini Direktur Min yang bersuara. Lelaki dengan kerutan kecil yang menumpuk di wajahnya itu mengangkat kotak berbentuk celengan lalu meletakkannya di tengah-tengah meja. Satu persatu anggota eksekutif memasukkan kertas kecil ke dalamnya. Hingga yang terakhir adalah giliran Hasung, lelaki yang terlihat setengah hidup di tempat duduknya. “Giliranmu.” Suara Ketua Tim Editor, wanita modi
Pagi tiba, shift di rumah sakit pun berganti dengan normal dan sesuai jadwal. Lian sudah pamit pulang, begitu pula dengan Jinhee yang baru saja tiba di rumahnya, ditemani oleh sang kekasih dan kedua orangtuanya. Hasung tak sempat berlama-lama di rumah Jinhee karena meskipun ia lelah dan tak sempat beristirahat semalaman, ia harus tetap bekerja. Namun, sebelum itu, Hasung memilih untuk memenuhi janjinya untuk sarapan pagi bersama Kim Kibeom, sahabatnya. “Dia Adelian yang kau maksud?” tanya Kibeom di sela santapannya bersama Hasung. Hasung mengangguk. “Mm …, bagaimana menurutmu?” Kibeom tersenyum sembari melirik Hasung. “Aku sudah pernah ditolak olehnya.” &n
“Songsaengnim!” seru Lian dengan bola mata melebar begitu menemukan Dokter Kim yang tiba-tiba berdiri tegak bersama sebuah SUV hitam di depan gedung tempat toko Marry bersembunyi. “Kau sudah tiba!” celetuk Hasung yang melangkah mendekat dari belakang Lian. Dokter Kim hanya tersenyum pada Lian seraya membalas sambutan Hasung dengan lambaian kecil. “Kibeom akan mengantarmu pulang,” kata Hasung tiba-tiba. “Aku harus mengurus persiapan untuk ulang tahun Jinhee. Tidak apa-apa, kan?” -Apa-apaan ini? batin Lian. Ia kecewa sementara mulutnya tak bisa merespons apapun. Ia merasak
Kwang In Ho, itulah nama pasangan kencan buta Lian malam ini. Yoo Jiwoo memperkenalkan mereka tadi di rumah sakit sebelum Lian berangkat ke tempat ini. Sama seperti pengacara pada umumnya, Kwang In Ho terlihat rapi dan cukup menawan. Meskipun Lian tak yakin, tapi ia berusaha untuk bersikap biasa. “Kau sudah lama berteman dengan Jiwoo?” Pertanyaan untuk basa-basi saja karena Lian sudah tahu bahwa Kwang In Ho adalah teman dari temannya Jiwoo.“Sebenarnya, aku tak terlalu mengenalnya. Aku hanya pernah beberapa kali bertemu di ruang sidang dengannya.”Lian mengangguk. “Pekerjaanmu lancar?”“Bisa dikatakan begitu,” jawab In Ho singkat. Lian merasa sedikit canggung karena bukankah seharusnya jika seseorang bertanya sesuatu terkait pekerjaan dan sebagainya itu adalah tanda bahwa ia p
Lian membuang tubuhnya ke ranjang. Ia berteriak kesal sembari mengacak-acak rambutnya. Jiwoo yang menyaksikan hanya menekuk wajahnya karena merasa bersalah. Untung saja rumahnya kedap suara. Jika tidak, tetangganya pasti akan mengebom rumahnya karena membuat keributan di tengah malam.“Mian.” Hanya itu yang bisa Jiwoo katakan setelah puas memarahi temannya yang memperkenalkan ia dengan si berengsek In Ho itu. “Kau mau makan malam? Mau ramen? Atau aku belikan makanan di luar?” tawar Jiwoo hati-hati. Namun, Lian tak menjawab. “Aku benar-benar minta maaf,” sesal Jiwoo untuk ke sekian kalinya. Namun, lagi-lagi Lian tak menjawab, membuat Jiwoo akhirnya mendesah dan menyerah.*** Sepanjang jalan, Hasung merenungkan kejadian tadi. Entah apa salahnya hingga Lian bisa semurka itu. Bukan
Setelah selesai mengurus sesuatu terkait kontrak kerja dan mengubah shift-nya menjadi siang seperti semula, Lian datang menghampiri pasien yang baru selesai menjalani operasi usus buntu untuk memenuhi permintaan bantuan dari salah satu senior di divisinya. Begitu menyadari pasien tersebut baru saja sadar, Lian memeriksa cairan infusnya sembari tersenyum. “Ahn Jaerim-ssi, Anda sudah bangun?”“Iya,“ jawab pasien itu dengan suara lemah. “Tapi, Kanosanim[1], bisakah Anda menambahkan sesuatu untukku? Semacam obat penghilang rasa sakit. Aku benar-benar tidak bisa menahannya.” Pasien itu meringis sembari berusaha mencari posisi yang enak untuk tubuhnya.Dengan berat hati Lian menggeleng. “Anda harus kuat menahannya. Kami tidak bisa memberikan obat itu karena akan membahayakan janin Anda.”Pasien itu terkejut. “Maksud Kanosanim?” selidiknya, memastikan ia tak
“Code blue, code blue ….” Suara itu menggelegar di seluruh sudut gedung membuat Dokter Kim memutar tubuhnya bingung. Semua orang ribut menemukan rombongan dokter berjubah putih bak malaikat yang entah datang dari mana.Dokter Kim ikut menyusul. Namun, ia berlari memutar arah ke meja resepsionis dan menemukan Lian yang berlari ke arahnya.“Kau yang menekan code blue?” tanya Dokter Kim cepat.“Iya,” jawab Lian.Dokter Kim memejamkan mata. Kepalan tangannya semakin mengeras. Lian yang menyaksikannya hanya melongo bingung. Apakah ia melakukan kesalahan lagi? “Kau membuat keadaan semakin kacau,” pekik Dokter Kim untuk ke sekian kalinya.Tiba-tiba suara keributan di luar kembali mencuri perhatian seisi gedung. Dokter Kim dan Lian bertanya-tanya apa yang terjadi sembari memandang satu sama lain. Kini sepertinya mereka memikirkan hal yang sama.Dokter Kim berlari disusul Lian.