Pagi tiba, shift di rumah sakit pun berganti dengan normal dan sesuai jadwal. Lian sudah pamit pulang, begitu pula dengan Jinhee yang baru saja tiba di rumahnya, ditemani oleh sang kekasih dan kedua orangtuanya. Hasung tak sempat berlama-lama di rumah Jinhee karena meskipun ia lelah dan tak sempat beristirahat semalaman, ia harus tetap bekerja. Namun, sebelum itu, Hasung memilih untuk memenuhi janjinya untuk sarapan pagi bersama Kim Kibeom, sahabatnya.
“Dia Adelian yang kau maksud?” tanya Kibeom di sela santapannya bersama Hasung.
Hasung mengangguk. “Mm …, bagaimana menurutmu?”
Kibeom tersenyum sembari melirik Hasung. “Aku sudah pernah ditolak olehnya.”
&n
“Songsaengnim!” seru Lian dengan bola mata melebar begitu menemukan Dokter Kim yang tiba-tiba berdiri tegak bersama sebuah SUV hitam di depan gedung tempat toko Marry bersembunyi. “Kau sudah tiba!” celetuk Hasung yang melangkah mendekat dari belakang Lian. Dokter Kim hanya tersenyum pada Lian seraya membalas sambutan Hasung dengan lambaian kecil. “Kibeom akan mengantarmu pulang,” kata Hasung tiba-tiba. “Aku harus mengurus persiapan untuk ulang tahun Jinhee. Tidak apa-apa, kan?” -Apa-apaan ini? batin Lian. Ia kecewa sementara mulutnya tak bisa merespons apapun. Ia merasak
Kwang In Ho, itulah nama pasangan kencan buta Lian malam ini. Yoo Jiwoo memperkenalkan mereka tadi di rumah sakit sebelum Lian berangkat ke tempat ini. Sama seperti pengacara pada umumnya, Kwang In Ho terlihat rapi dan cukup menawan. Meskipun Lian tak yakin, tapi ia berusaha untuk bersikap biasa. “Kau sudah lama berteman dengan Jiwoo?” Pertanyaan untuk basa-basi saja karena Lian sudah tahu bahwa Kwang In Ho adalah teman dari temannya Jiwoo.“Sebenarnya, aku tak terlalu mengenalnya. Aku hanya pernah beberapa kali bertemu di ruang sidang dengannya.”Lian mengangguk. “Pekerjaanmu lancar?”“Bisa dikatakan begitu,” jawab In Ho singkat. Lian merasa sedikit canggung karena bukankah seharusnya jika seseorang bertanya sesuatu terkait pekerjaan dan sebagainya itu adalah tanda bahwa ia p
Lian membuang tubuhnya ke ranjang. Ia berteriak kesal sembari mengacak-acak rambutnya. Jiwoo yang menyaksikan hanya menekuk wajahnya karena merasa bersalah. Untung saja rumahnya kedap suara. Jika tidak, tetangganya pasti akan mengebom rumahnya karena membuat keributan di tengah malam.“Mian.” Hanya itu yang bisa Jiwoo katakan setelah puas memarahi temannya yang memperkenalkan ia dengan si berengsek In Ho itu. “Kau mau makan malam? Mau ramen? Atau aku belikan makanan di luar?” tawar Jiwoo hati-hati. Namun, Lian tak menjawab. “Aku benar-benar minta maaf,” sesal Jiwoo untuk ke sekian kalinya. Namun, lagi-lagi Lian tak menjawab, membuat Jiwoo akhirnya mendesah dan menyerah.*** Sepanjang jalan, Hasung merenungkan kejadian tadi. Entah apa salahnya hingga Lian bisa semurka itu. Bukan
Setelah selesai mengurus sesuatu terkait kontrak kerja dan mengubah shift-nya menjadi siang seperti semula, Lian datang menghampiri pasien yang baru selesai menjalani operasi usus buntu untuk memenuhi permintaan bantuan dari salah satu senior di divisinya. Begitu menyadari pasien tersebut baru saja sadar, Lian memeriksa cairan infusnya sembari tersenyum. “Ahn Jaerim-ssi, Anda sudah bangun?”“Iya,“ jawab pasien itu dengan suara lemah. “Tapi, Kanosanim[1], bisakah Anda menambahkan sesuatu untukku? Semacam obat penghilang rasa sakit. Aku benar-benar tidak bisa menahannya.” Pasien itu meringis sembari berusaha mencari posisi yang enak untuk tubuhnya.Dengan berat hati Lian menggeleng. “Anda harus kuat menahannya. Kami tidak bisa memberikan obat itu karena akan membahayakan janin Anda.”Pasien itu terkejut. “Maksud Kanosanim?” selidiknya, memastikan ia tak
“Code blue, code blue ….” Suara itu menggelegar di seluruh sudut gedung membuat Dokter Kim memutar tubuhnya bingung. Semua orang ribut menemukan rombongan dokter berjubah putih bak malaikat yang entah datang dari mana.Dokter Kim ikut menyusul. Namun, ia berlari memutar arah ke meja resepsionis dan menemukan Lian yang berlari ke arahnya.“Kau yang menekan code blue?” tanya Dokter Kim cepat.“Iya,” jawab Lian.Dokter Kim memejamkan mata. Kepalan tangannya semakin mengeras. Lian yang menyaksikannya hanya melongo bingung. Apakah ia melakukan kesalahan lagi? “Kau membuat keadaan semakin kacau,” pekik Dokter Kim untuk ke sekian kalinya.Tiba-tiba suara keributan di luar kembali mencuri perhatian seisi gedung. Dokter Kim dan Lian bertanya-tanya apa yang terjadi sembari memandang satu sama lain. Kini sepertinya mereka memikirkan hal yang sama.Dokter Kim berlari disusul Lian.
Lian menerawang ke kejauhan dari balkon rumahnya. Kelap kelip lampu malam bertambah banyak karena kilatan di matanya berubah menjadi bendungan menyesakkan. Lian menahan tangis karena ia rasa sudah cukup menangis hari ini. Tetapi, ternyata matanya belum juga puas.Yang menyesakkan hati Lian bukan hanya tamparan Jinhee siang tadi, bukan pula bentakan Dokter Kim untuk pertama kalinya. Akan tetapi, karena kecerobohan yang ia lakukan. Kecerobohan kecil yang mengakibatkan dua nyawa melayang. Kenyataan itu lebih menyakitkan daripada keputusan rumah sakit yang hampir memecatnya sebelum kontraknya benar-benar habis.“Jiwoo-ya, kau di mana?” tanya Lian. Ia sedang menelpon Jiwoo. Ia ingin mengungkapkan kekacauannya malam ini pada sahabat terbaiknya itu.“Aku masih di kantor, kenapa? Apa terjadi sesuatu?” tanya Jiwoo mendapatkan suara Lian yang tidak sesegar biasanya.Lian menggeleng meski Jiwoo tak mel
“Kau sudah bertemu dengan Jinhee?” Dokter Kim Ki Beom menelepon dan datang menemui Hasung di jam kerja hingga Hasung hanya bisa menyajikan teh panas di dapur perusahaan.“Dia menghindariku,” jawab Hasung singkat.Dokter Kim mengangguk mengerti karena sebelumnya Hasung sudah pernah menjelaskan masalahnya dengan Jinhee. Setelah membahas beberapa masalah yang tak terlalu penting, akhirnya Dokter Kim mulai ke inti permasalahan yang membuat ia datang menghampiri Hasung di jam kerja seperti ini.Dokter Kim menceritakan semua hal yang terjadi padanya sebulan terakhir. Hidupnya tak tenang karena kematian pasiennya sebulan yang lalu. Dokter Kim juga menjelaskan menyangkut Lian dan Jinhee. Mulai dari kedatangan Jinhee yang melabrak Lian tiba-tiba dan kesalahannya saat menangani pasien hingga Adelian terpaksa mendapatkan masa meditasi dari rumah sakit dan hampir saja dipecat.“Kau meminta Lian yang tidak melakukan kesalahan apa pu
Jiwoo, Jiyul, dan Adelian memutuskan untuk keluar mencari makan malam. Mereka masih memeluk lengan satu sama lain saat melangkah dengan diiringi tawa sesekali. Satu tangan Lian berusaha meraih gagang pintu dan membukanya dengan susah payah. Baru saja kaki ketiga sahabat itu akan melangkah keluar dari pintu, Lian lebih dulu terpaku karena menemukan tiga orang lelaki yang melangkah mendekat. Giseok, Youngmin, dan… Hasung.Jiwoo dan Jiyul segera menarik tubuh Lian mendekat kepada tiga lelaki yang tampak melihat Jiyul dengan tatapan tak percaya itu.“Jiyul!” seru Hasung. “Sudah lama sekali!”Jiyul tersenyum sembari mengangguk. “Bagaimana kabar kalian?” tanya Jiyul pada Youngmin, Hasung, dan Giseok yang tampak senang bertemu dengannya kembali.“Kami baik-baik saja.” Giseok yang menjawab, mewakili kedua temannya.“Kami tidak menyangka akan bertemu seperti ini,” sambung Youngmin.&l