Lian melangkah gontai keluar dari kamarnya. Ia ingin tidur, tapi tak bisa. Ia pun terpaksa ke luar. Lian tak ingin memikirkan apa pun. Namun, lelaki itu terus masuk ke kepalanya.
“Astaga!” Mata Lian membesar. Tubuhnya terpental beberapa senti ke belakang, lalu langsung memaku bak patung.
“Maaf, aku mengagetkanmu.” Suara itu keluar dari mulut Hasung yang sudah bersila di atas karpet di depan sofa dengan bungkusan makanan yang mengeluarkan aroma gochujang yang menyengat.
“Apa yang membawamu ke sini?” tanya Lian. Ia belum berniat untuk mendekat.
“Aku bawa Odeng dan Tteokpokki. Ayo makan bersama!” pinta Hasung. Wajahnya berseri, tidak seperti sebelumnya.
Tentu saja Lian kebingungan. “Apa yang merasukimu?”
Hasung tersenyum. Lama menunggu Lian yang masih tetap pada posisinya, Hasung langsung menarik tubuh Lian dan memintanya segera duduk. Lian tak memberontak, t
“Karena sebuah takdir itu persis seperti melempar bumerang. Sejauh apa pun kau melemparnya, ia akan kembali kepada titik semula. Sejauh apa pun kau bersembunyi dan menutup diri dari kenyataan, niscaya kau akan kembali berjalan pada takdir yang seharusnya. Jika pada satu kisah kau tak bertemu dengannya lagi, itu berarti dia bukan takdirmu. Sebenarnya, cara Tuhan sesederhana itu. Hanya saja, kadang kau berusaha terlalu keras untuk menghindar dan berjalan pada jalan yang tidak seharusnya. Jikalau karena itu kau pun terluka, jangan salahkan Tuhan. Salahkan dirimu yang tak mau percaya pada takdir-Nya.”Itulah bunyi tulisan hangat dalam sebuah lukisan raksasa di sudut pekarangan vila. Semua orang dapat melihat tulisan yang dipersembahkan oleh Han Jinhee itu. Semua orang tersentuh sembari memandangi satu sama lain untuk melempar senyuman.Hampir dua tahun telah berlalu. Lian sudah kembali ke Korea setelah menyelesaikan tugasnya di Ja
End of Spring, 2017. Villa itu didekorasi dengan sempurna. Meja dan kursi bernuanasa putih bersih berjejer rapi. Bunga dan berbagai dekorasi lainnya yang terlihat tak terlalu mencolok pun ikut menghiasi suasana sore yang cerah tak berawan. Para tamu laki-laki mengenakan setelan jas rapi serta wanita-wanita muda memakai gaun pesta andalan. Kemudian, kedua orangtua wanita dari setiap mempelai menggunakan hanbok[1] yang sama. Persis seperti pesta pernikahanan modern Korea Selatan pada umumnya. Para tamu undangan bersorak serta bertepuk tangan meriah ketika pasangan pengantin mulai melintasi karpet bersih yang telah ditaburi bunga-bunga. Lian menjadi salah satu tamu yang tampak tersenyum lebar di sana. Bahagia rasanya melihat teman yang akhirnya memiliki tempat perlabuhan resmi. Bahagia sekaligus bimbang menunggu gilirannya yang entah kapan dan dengan siapa kelak. &nbs
End of Spring, 2017. Lian tersenyum senang sekaligus gugup di tempatnya, mendengar intrumen Waltz 101 yang mengiringi dansa setiap pasangan di sekitarnya membuat ia mengingat dansa pertamanya bersama Hasung, beberapa tahun silam. Tak peduli seberapa kuat Lian mengendalikan dirinya, ia tetap saja merasa gugup. Semakin ia berharap, semakin hatinya tak terkendali. Ditambah lagi dengan masa lalunya bersama Hasung yang terus berputar dalam kepalanya, membuat Lian semakin tak yakin. Akankah harga dirinya masih mampu berdiri tenang di hadapan Hasung jika malam ini mereka benar-benar ditakdirkan untuk bertemu? *** Winter, 2010. Subway[1] siang itu tak seramai biasanya, hanya beberapa pekerja berjas yang terlihat sedang menyantap sandwich.
Winter, 2010. Masih mengingat masa tujuh tahun lalu, tepatnya ketika musim dingin tahun 2010 di Seoul. Shin Hasung, lelaki bertubuh tinggi dengan suara lembut dan sikap yang hangat itu berasal dari Incheon.[1] Ia adalah Mahasiswa Manajemen Bisnis tahun ke dua di Universitas Hanyang, sama seperti Adelian. Hanya saja, Lian mengambil Keperawatan. Mereka saling mengenal sejak dua tahun sebelum itu, ketika Lian datang dan menyewa rumah kosong di samping rumah Hasung. Dua tahun saling mengenal, mereka sudah sangat akrab, lantaran Hasung yang mudah bergaul dan Lian juga merupakan tipe wanita yang tidak sulit didekati. Sementara itu, Adelian adalah wanita kelahiran Jakarta[2], Indonesia. Ayahnya adalah orang Korea asli, sedangkan ibunya adalah orang Indonesia. Saat remaja, tepatnya memasuki SMA, Adelian datang ke Korea bersama kedua orang tuanya dan melanjutkan sekolah di Kapy
Teriakan alarm membangunkan Hasung. Tubuhnya masih terasa remuk redam, kepalanya juga masih pening, dan demam yang melandanya masih belum ada tanda-tanda untuk menurun. Dengan hati-hati, Hasung melenyapkan suara alarm itu menggunakan satu sentuhan kecil sembari memeriksa keadaan sekitar. Ketika Hasung hendak mengangkat tubuhnya, tiba-tiba terdengar suara seseorang menekan kombinasi kunci rumahnya. Hasung sudah tahu, itu pasti Adelian. Jadi, Hasung tak peduli. “Adeul[1].” “Eomma[2]?” Mata sipit Hasung langsung membesar. Ternyata yang datang bukan Adelian. Hasung Menemukan ibunya datang dengan bingkisan plastik besar. “Bagaimana Ibu bisa datang ke sini?” Hasung masih tak habis pikir. jam berapa ibunya berangkat dari Incheon hingga tiba di Seoul sepagi ini. “Lian menelepon Ibu dan mengatakan kau sedang sakit,” jelas Ibunya saat hendak
Winter, 2010. Cerita Lian dan Hasung tak selamanya berjalan mulus, juga tak akan mungkin tetap semanis macaroon seperti yang dikatakan kebanyakan orang. Ada satu hal yang akan terasa amat menyakitkan bagi Lian hanya untuk sekadar mengenangnya. Lian memang tak mau mengingatnya, akan tetapi mau bagaimana lagi? Itu adalah bagian dari sejarah berharga yang ia miliki bersama Hasung. Waktu itu, pertengahan musim panas. “Gomawo,” ucap Lian begitu menemukan Hasung yang menunggu ia mengganti baju yang basah dengan hoodie milik Hasung. Diikuti dengan Jiwoo yang juga baru selesai mengganti pakaian dengan kaus fakultas yang ia bawa, sedangkan Jiyul harus pulang lebih dulu karena tak membawa apa pun untuk mengganti pakaiannya. “Bukankah kalian ada kelas?” tanya Jaehan. Jiwoo mengangguk, “Prof. Hwang tidak bisa me
“Hasung-ah, sepertinya Adelian benar-benar menyukaimu.” Giseok berkomentar. Melihat Hasung yang tak berselera makan, membuatnya memikirkan Lian yang sudah beberapa minggu tak kelihatan. “Berhenti berbicara omong kosong,” ujar Hasung sembari melahap jajangmyun[1]-nya dengan suapan besar. “Aku serius,” balas Giseok meyakinkan. “Saat melihatnya menangis karena tahu kau akan Wajib Militer, aku langsung bisa menebaknya. Terlebih lagi, sudah beberapa minggu ini dia terus menghindarimu” “Dia tidak menghindar, dia ada kerja.” Hasung mengelak, meskipun pada kenyataannya ia juga merasa Lian menghindarinya beberapa waktu terakhir ini. “Tapi, kau juga menyukainya, ‘kan?” Giseok mencari kejelasan sekali lagi. Hasung diam, ia ragu dan tak tahu bagaimana untuk menjawab. “Giseok sudah punya pacar. Aku dan Youngmin juga, hanya kau yang belum,” celetuk
Winter, 2010. Shin Hasung, lelaki dengan setelan jeans yang membawa ransel di punggungnya berjalan pelan bersama wanita mungil berponi tipis dengan dress biru muda yang tak lain adalah Adelian. Keramaian pengunjung Sungai Han yang berlalu lalang tanpa henti membuat tangan kiri Hasung dan tangan kanan Lian terus berbenturan. Suasana di antara mereka semakin canggung. Ditambah Hasung ternyata mendapat informasi yang salah karena pameran di Sungai Han sudah selesai kemarin malam. Sekarang, Hasung sedang berpikir keras, ke mana tujuan yang harus ia tempuh bersama Lian untuk sisa waktunya yang sangat sedikit ini. “Apa aku boleh menggenggam tanganmu?” tanya Hasung berusaha santai. Lian mengulum senyum. “Kenapa kau bertanya? Rasanya sangat aneh karena biasanya kau selalu menggenggam tanganku tanpa mengatakan apa pun.” “Bukankah sekarang sudah berbeda? Sekarang aku bukan l