“Hasung-ah, sepertinya Adelian benar-benar menyukaimu.” Giseok berkomentar. Melihat Hasung yang tak berselera makan, membuatnya memikirkan Lian yang sudah beberapa minggu tak kelihatan.
“Berhenti berbicara omong kosong,” ujar Hasung sembari melahap jajangmyun[1]-nya dengan suapan besar.
“Aku serius,” balas Giseok meyakinkan. “Saat melihatnya menangis karena tahu kau akan Wajib Militer, aku langsung bisa menebaknya. Terlebih lagi, sudah beberapa minggu ini dia terus menghindarimu”
“Dia tidak menghindar, dia ada kerja.” Hasung mengelak, meskipun pada kenyataannya ia juga merasa Lian menghindarinya beberapa waktu terakhir ini.
“Tapi, kau juga menyukainya, ‘kan?” Giseok mencari kejelasan sekali lagi.
Hasung diam, ia ragu dan tak tahu bagaimana untuk menjawab.
“Giseok sudah punya pacar. Aku dan Youngmin juga, hanya kau yang belum,” celetuk Jaehan.
Mendengar pengakuan Jaehan, membuat Hasung buru-buru mengangkat wajahnya, ia terkejut. “Bagaimana bisa?”
“Kencan buta dengan mahasiswi Universitas Wanita, Genie.” Kali ini Youngmin yang menjawab.
“Bukankah itu sedikit kejam? Kalian akan meninggalkan mereka? Wajib Militer tidak haya satu atau dua bulan, tapi dua tahun. Mungkin saja mereka akan mencari lelaki lain saat kalian sedang bertugas.”
Giseok menggeleng mendengar Hasung. Temannya yang bernama Hasung ini memang sangat naïf. Mereka tidak bisa mengatakan Hasung bodoh karena Hasunglah yang memiliki nilai tertinggi di antara mereka.
“Hasung-ah, gunakanlah otakmu yang cerdas itu. Kau pikir kami benar-benar jatuh cinta pada mereka? Untuk saat ini, hubungan kami boleh dikatakan sekadar untuk status saja. Karena jika mereka tak sanggup menunggu, mereka bisa mencari lelaki lain. Sedangkan bagi kami semua itu tidak masalah kalau pun sampai kami kembali mereka masih menunggu. Ya, kami akan menjalaninya,” tutur Giseok kepada Hasung, lalu mendapatkan anggukan setuju dari Youngmin dan Jaehan. “Lalu dari segi mana kau berpikir tindakan kami kejam?“ Giseok bertanya pada Hasung yang terpaku.
“Wah, melihat Hasung seperti ini, kurasa dia benar-benar menyukai Adelian. Ekspresinya terlihat sangat berat,” tambah Jaehan dengan wajah sumringah.
Giseok dan Youngmin mengangguk. “Katakan padanya sebelum kau berangkat atau kau akan menyesal,” pinta Giseok lebih seperti ancaman. Giseok memberi rangkulan pada Hasung yang tampak bimbang, berniat menyalurkan semangat dan keyakinan pada temannya itu.
Namun, Hasung buru-buru mengangkat tubuhnya. “Bicaralah sesuka kalian,” tukasnya, kemudian berlalu keluar meninggalkan teman-temannya yang keheranan.
Di luar, Hasung kembali terpaku karena menemukan Lian yang juga terpaku menatapnya. Situasi apa ini? Rasanya sangat aneh dan canggung.
“Jiyul dan Jiwoo ada di rumahku,” celetuk Lian ragu.
Tanpa sadar sepenuhnya, Hasung mengangguk. “Oh, iya. Giseok, Youngmin, dan Jaehan juga ada di rumahku,” balasnya.
Hasung melihat Lian yang juga hanya mengangguk. Mereka sama-sama tak tahu harus bagaimana dan mengatakan apa. “Mau … mau cari udara segar?” tawar Hasung pada akhirnya sembari menunjuk ke atas dengan telunjuknya.
Lian mengangguk dengan kaku. “Iya, di sini membuatku gerah.”
Hasung memutar tubuhnya dan melangkah lebih dulu diikuti dengan Lian di belakangnya. Di atap, mereka duduk di bangku panjang yang biasa mereka gunakan saat menikmati galbi[2] bersama. Cukup lama mereka terdiam dengan pikiran masing-masing. Melihat Hasung yang tampak memandang ke kejauhan, Lian berpikir Hasung benar-benar hanya ingin mencari udara segar.
“Kau akan berangkat besok, ‘kan?” tanya Lian memulai percakapan.
Hasung melihat Lian sekilas sebelum akhirnya mengangguk pelan. Ia tidak melihat bagaimana ekspresi Lian, lebih tepatnya ia tak sanggup melihatnya. “Tentang Goo Nara …,” ucap Lian ragu.
Ia sempat berpikir untuk tidak melanjutkan kalimatnya. Namun, karena Hasung memalingkan wajah ke arahnya dan menatapnya dengan kening berkerut, Lian akhirnya kembali melanjutkan, “Tentang Goo Nara … apa kau berkencan dengannya?”
Hasung tersenyum dan menekuk wajahnya sesaat, “Kenapa kau bertanya?” Hasung balik bertanya.
Lian terkejut. Ini pertama kalinya Hasung tak langsung menjawab pada intinya saat Lian bertanya. “Aku hanya bertanya karena kau terlihat sering bersamanya beberapa waktu terakhir.” Lian mencoba menjelaskan.
“Aku tidak menyukainya,” jawab Hasung. Namun, Lian malah mengambil giliran menekuk wajahnya. “Aku hanya menyukaimu.” Lian langsung mengangkat wajahnya dan menemukan Hasung yang kini sedang menatapnya serius.
“Apakah kau mau menungguku?” tanya Hasung, ia memutar tubuhnya hingga menghadap Lian di sampingnya.
“Apa?” Lian memastikan ia tak salah dengar.
“Aku tidak memintamu untuk menjadi pacarku.” Hasung mengambil jeda sesaat. Ia sudah cukup memikirkan hal ini sebelum mengatakannya. Jadi, sekarang ia sedang berusaha mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkannya. “Aku hanya ingin mendengar kau mau menungguku atau tidak.”
Hasung menatap mata Lian yang juga sedang menatapnya. Namun, Lian tak merespons sama sekali. “Kalau aku, aku mendapatkan tugas penuh. Jadi, aku tidak punya banyak waktu untuk memikirkanmu. Sedangkan kau … kau bisa saja tidak sanggup. Jadi, jika kau ternyata menemukan belahan jiwamu sebelum aku kembali, aku akan tetap baik-baik saja. Aku hanya ingin kau tahu perasaanku dan mendapatkan kepastian kau mau menungguku atau tidak.”
Melihat Adelian yang tak kunjung membuka mulut, Hasung memutar tubuhnya lurus kembali dan ikut terdiam. Meski kemungkinan akan terluka tidaklah kecil, Hasung tetap ingin mengungkapkan perasaannya pada Adelian.
“Aku akan menunggumu,” jawab Lian, cepat. Seketika membuat wajah datar Hasung berseri senang. “Sebenarnya, aku juga ingin mengatakan itu meskipun kau tak meminta,” lanjut Lian. Entah apa yang sedang merasukinya sehingga berani berterus terang seperti itu.
Hasung mengangguk santai, meskipun sebenarnya hatinya kini sedang berteriak senang. “Kau masih ingin ke pameran Sungai Han? Kudengar malam ini yang terakhir,” tawar Hasung. Lian mengangguk. “Kalau begitu aku akan menjemputmu setelah acara dengan teman-temanku selesai.”
Lian mengangguk sekali lagi.
Hasung tersenyum menyaksikannya dan Lian juga melakukan hal yang sama. Sekali lagi Hasung menyadari suasana yang membuat hatinya ingin tinggal lebih lama ini bisa ia rasakan karena wanita mungil yang bernama Adelian. Ia menatap mata hitam Adelian semakin lama dan semakin dalam.
Hasung tak yakin apa yang membuat suasana ini amat sangat istimewa rasanya. Apa karena Lian? Karena musim panas yang mulai terasa menyegarkan? Pemandangan yang sama saja dari waktu ke waktu, tapi baru terlihat menarik hari ini? Ataukah … karena perasaan sedang ditumbuhi bunga-bunga yang mekar? Atau karena ia baru merasakan apa yang disebut dengan ‘jatuh cinta’? Apakah karena alasan sederhana itu? Apakah ….
Tiiit!
Suara klakson mobil tiba-tiba menyadarkan Hasung. Ia tergagap dan buru-buru mengangkat tubuhnya. “T-teman-teman menungguku,” ucap Hasung sedikit terbata.
“Oh, iya. Jiyul dan Jiwoo juga menungguku,” balas Lian tanpa berpikir. Begitu menyadari Hasung menatapnya tanpa kata, Lian buru buru menambahkan kalimatnya. “Tapi, aku ingin tinggal lebih lama di sini. Kau duluan saja,” pintanya sembari kembali duduk.
Berjalan bersama Hasung lagi akan membuatnya semakin canggung setelah apa yang baru saja terjadi.
“Baiklah. Aku turun duluan,” ucap Hasung.
Lian mengangguk dengan senyum yang ia paksakan untuk menutupi rasa gugupnya. Setelah Hasung lenyap dari jangkauannya, Lian buru-buru menghela napas lega. Bibirnya kembali mengembangkan senyum. Kali ini, jauh lebih lebar. Ia menengadahkan wajahnya lalu menghela napas sekali lagi. Untuk pertama kalinya musim panas terasa sangat menyegarkan bagi Lian. Senja sore terlihat lebih berseri dari biasanya dan suara keriuhan kota Seoul yang terdengar indah bagai intrumen Waltz yang pernah ia nikmati bersama Hasung, membuat seluruh tubuhnya gatal ingin berdansa lagi.
[1] Makanan khas Korea Selatan yang terbuat dari mie atau pasta yang dibumbui saus kacang kedelai hitam.
[2] Barbeque khas Korea.
Winter, 2010. Shin Hasung, lelaki dengan setelan jeans yang membawa ransel di punggungnya berjalan pelan bersama wanita mungil berponi tipis dengan dress biru muda yang tak lain adalah Adelian. Keramaian pengunjung Sungai Han yang berlalu lalang tanpa henti membuat tangan kiri Hasung dan tangan kanan Lian terus berbenturan. Suasana di antara mereka semakin canggung. Ditambah Hasung ternyata mendapat informasi yang salah karena pameran di Sungai Han sudah selesai kemarin malam. Sekarang, Hasung sedang berpikir keras, ke mana tujuan yang harus ia tempuh bersama Lian untuk sisa waktunya yang sangat sedikit ini. “Apa aku boleh menggenggam tanganmu?” tanya Hasung berusaha santai. Lian mengulum senyum. “Kenapa kau bertanya? Rasanya sangat aneh karena biasanya kau selalu menggenggam tanganku tanpa mengatakan apa pun.” “Bukankah sekarang sudah berbeda? Sekarang aku bukan l
Senyuman di bibir Lian mengembang ketika tangannya memasukkan sepucuk surat ke dalam amplop berwarna merah. Karena Hasung sedang Wajib Militer, ia merasa minat belajarnya semakin menurun. Jadi, daripada menyia-nyiakan biaya dan tenaga, ia memutuskan untuk mengambil cuti. Jiyul dan Jiwoo juga akan melakukan hal yang sama. Lian akan mencari pekerjaan lebih selama cuti, begitu pula dengan Jiyul. Sedangkan Jiwoo, ia hanya ingin beristirahat. Minat kuliah Jiwoo juga mendadak turun mendengar keputusan Lian dan Jiyul yang ingin mengambil cuti. “Kau baru akan mengirim surat untuk Hasung? Bukankah sebentar lagi dia akan menerima libur pertamanya?” celetuk Jiyul. Ia sedang sibuk memperhatikan Lian yang terus tersenyum sejak tadi. Entah apa yang ada dalam surat itu. Namun, Jiyul berpikir itu pasti hal yang sangat menyenangkan bagi Lian dan Hasung. “Goo Nara, barangmu jatuh,” cegat Jiwoo yang baru tiba di kelas, menemukan barang milik Goo Nara yang terjatuh di lantai. Goo Nara m
End of Spring, 2017. Ia membesarkan mata sipitnya sembari membuka mulut, tak percaya. Di antara megah dan mewahnya acara malam ini, ia mengagumi ciptaan Tuhan yang satu itu. Wanita berambut hitam, panjang sedikit melebihi bahu. Wanita itu mengenakan gaun sederhana, tapi sangat pas dengan tubuh mungilnya. Ditambah lagi dengan make up tipis yang membuat wajahnya segar berseri. Tak ada aksesoris yang mencolok yang ia kenakan. Akan tetapi, ia terlihat sangat memukau, indah, dan anggun. High heels yang ia kenakan memang membuat tubuhnya sedikit lebih tinggi, juga lebih dewasa. Namun, ia tetap terlihat menggemaskan. Membuat pemilik mata yang memandanginya itu semakin terkagum. Kagum karena lama tak mengetahui kabarnya, juga bahagia karena ternyata selama ini wanita itu baik-baik saja. Lelaki itu bersorak dalam diam, juga bersyukur dalam diam karena Tuhan telah mempersembahkan kejutan tak terduga untuknya malam in
Malam itu benar-benar seperti mimpi buruk yang tak mau Lian ingat lagi. Ingin rasanya Lian menghapus kejadian itu dari museum kenangan dalam kepalanya. Namun, apa boleh buat? Kenyataan memang seperti itu. Selama ini secara tidak langsung, dengan menolak semua lelaki yang berusaha mendekatinya, Lian melakukan penantian tak berdasar selama tujuh tahun ke pada Hasung yang sudah memiliki seorang kekasih. Sejak pertemuan malam itu, Lian enggan menyisakan waktunya untuk menonton drama di malam hari. Karena waktu malam adalah waktu penayangan drama yang ditulis oleh Han Jinhee, penulis muda yang katanya sangat berbakat itu. Akibatnya, Lian terpaksa bertukar shif dengan rekan kerjanya. Kini ia bebas di siang hari dan bertugas saat malam datang. Meski sudah dua minggu berlalu, Lian masih tetap merasa seolah-olah kejadian itu baru terjadi tadi malam. Jadi, ia tak pernah bahagia sepenuhnya ketika pagi datang. Sama seperti pagi ini, ia bermalas-malasan bangkit dari temp
Lelah mendengar bujukan Hasung, akhirnya Jinhee menyetujui keputusan Hasung untuk menyewa apertemen itu. Tidak ada alasan kuat yang Jinhee miliki untuk terus-menerus menolak. Setelah menekan kontrak, malam-malam Hasung langsung memindakan barang-barang dan menatanya di sana. Lian pasti akan sangat senang bertetangga dengannya lagi, pikir Hasung. Ketika merasa sudah tak kuat, Hasung memutuskan untuk tidur sebentar sebelum pagi benar-benar datang. Hingga beberapa jam kemudian, Hasung terbangun karena ponselnya berbunyi. Sms pagi dari Jinhee, ia hanya tersenyum dan membalasnya dengan beberapa kata singkat sebelum berlalu untuk membersihkan tubuhnya. Ketika tengah bersiap, Hasung mendengar suara derapan kaki di balkon. Hasung segara melangkah ke sana dan menemukan Lian yang membungkus dirinya dengan selimut sembari menyesap kopi, persis seperti yang ia lakukan beberapa hari yang lalu saat Hasung sedang mencari rumah.  
“Hasung tinggal bertetangga denganmu?” seru wanita berjas biru muda itu ketika mendengar penuturan Lian. Ketika melihat Lian mengangguk, ia semakin tak percaya. “Kau baik-baik saja? Jika kau tak tahan, datanglah ke rumahku. Kau bisa tinggal sampai kau puas di sana.” Sebagai teman ia merasa sangat khawatir. “Aku tidak bisa menjauh lagi, aku harus menghadapinya. Aku harus melupakannya,” ucap Lian sembari memutar pipet di dalam segelas jus di hadapannya. “Kau tidak benci padanya? Jika kau mau membunuhnya, aku sanggup membantumu, Teman.” Wanita itu langsung menggenggam kedua tangan Lian, membuat Lian merasa lucu. “Jaksa macam apa yang berkata seperti itu?” Mereka akhirnya tertawa konyol. Namun, tawa wanita itu segera lenyap disusul dengan kening Lian yang berkerut heran. Wanita itu menyadari waktu di ponselnya. Ia tak bisa berlama-lama berada di luar karena masih banyak kasus yang
Hasung, selaku ketua tim pemasaran dan beberapa anggota eksekutif yang terdiri dari Direktur, Wakil Direktur, Ketua Tim Editor, dan beberapa lainnya tengah menatap satu sama lain. Di hadapan mereka sudah ada bagian kopi masing-masing serta map tipis untuk melengkapi rapat kali ini. “Biarkan saya menjelaskan sekali lagi.” Hasung memohon dengan sangat di tengah keheningan rapat. “Sudah cukup.” Wakil Direktur Oh menyergah dengan killing smile khasnya. Wanita itu menatap wajah masam Hasung tanpa iba. “Baiklah, silahkan masukkan vote kalian.” Kali ini Direktur Min yang bersuara. Lelaki dengan kerutan kecil yang menumpuk di wajahnya itu mengangkat kotak berbentuk celengan lalu meletakkannya di tengah-tengah meja. Satu persatu anggota eksekutif memasukkan kertas kecil ke dalamnya. Hingga yang terakhir adalah giliran Hasung, lelaki yang terlihat setengah hidup di tempat duduknya. “Giliranmu.” Suara Ketua Tim Editor, wanita modi
Pagi tiba, shift di rumah sakit pun berganti dengan normal dan sesuai jadwal. Lian sudah pamit pulang, begitu pula dengan Jinhee yang baru saja tiba di rumahnya, ditemani oleh sang kekasih dan kedua orangtuanya. Hasung tak sempat berlama-lama di rumah Jinhee karena meskipun ia lelah dan tak sempat beristirahat semalaman, ia harus tetap bekerja. Namun, sebelum itu, Hasung memilih untuk memenuhi janjinya untuk sarapan pagi bersama Kim Kibeom, sahabatnya. “Dia Adelian yang kau maksud?” tanya Kibeom di sela santapannya bersama Hasung. Hasung mengangguk. “Mm …, bagaimana menurutmu?” Kibeom tersenyum sembari melirik Hasung. “Aku sudah pernah ditolak olehnya.” &n