“Hasung-ah, sepertinya Adelian benar-benar menyukaimu.” Giseok berkomentar. Melihat Hasung yang tak berselera makan, membuatnya memikirkan Lian yang sudah beberapa minggu tak kelihatan.
“Berhenti berbicara omong kosong,” ujar Hasung sembari melahap jajangmyun[1]-nya dengan suapan besar.
“Aku serius,” balas Giseok meyakinkan. “Saat melihatnya menangis karena tahu kau akan Wajib Militer, aku langsung bisa menebaknya. Terlebih lagi, sudah beberapa minggu ini dia terus menghindarimu”
“Dia tidak menghindar, dia ada kerja.” Hasung mengelak, meskipun pada kenyataannya ia juga merasa Lian menghindarinya beberapa waktu terakhir ini.
“Tapi, kau juga menyukainya, ‘kan?” Giseok mencari kejelasan sekali lagi.
Hasung diam, ia ragu dan tak tahu bagaimana untuk menjawab.
“Giseok sudah punya pacar. Aku dan Youngmin juga, hanya kau yang belum,” celetuk Jaehan.
Mendengar pengakuan Jaehan, membuat Hasung buru-buru mengangkat wajahnya, ia terkejut. “Bagaimana bisa?”
“Kencan buta dengan mahasiswi Universitas Wanita, Genie.” Kali ini Youngmin yang menjawab.
“Bukankah itu sedikit kejam? Kalian akan meninggalkan mereka? Wajib Militer tidak haya satu atau dua bulan, tapi dua tahun. Mungkin saja mereka akan mencari lelaki lain saat kalian sedang bertugas.”
Giseok menggeleng mendengar Hasung. Temannya yang bernama Hasung ini memang sangat naïf. Mereka tidak bisa mengatakan Hasung bodoh karena Hasunglah yang memiliki nilai tertinggi di antara mereka.
“Hasung-ah, gunakanlah otakmu yang cerdas itu. Kau pikir kami benar-benar jatuh cinta pada mereka? Untuk saat ini, hubungan kami boleh dikatakan sekadar untuk status saja. Karena jika mereka tak sanggup menunggu, mereka bisa mencari lelaki lain. Sedangkan bagi kami semua itu tidak masalah kalau pun sampai kami kembali mereka masih menunggu. Ya, kami akan menjalaninya,” tutur Giseok kepada Hasung, lalu mendapatkan anggukan setuju dari Youngmin dan Jaehan. “Lalu dari segi mana kau berpikir tindakan kami kejam?“ Giseok bertanya pada Hasung yang terpaku.
“Wah, melihat Hasung seperti ini, kurasa dia benar-benar menyukai Adelian. Ekspresinya terlihat sangat berat,” tambah Jaehan dengan wajah sumringah.
Giseok dan Youngmin mengangguk. “Katakan padanya sebelum kau berangkat atau kau akan menyesal,” pinta Giseok lebih seperti ancaman. Giseok memberi rangkulan pada Hasung yang tampak bimbang, berniat menyalurkan semangat dan keyakinan pada temannya itu.
Namun, Hasung buru-buru mengangkat tubuhnya. “Bicaralah sesuka kalian,” tukasnya, kemudian berlalu keluar meninggalkan teman-temannya yang keheranan.
Di luar, Hasung kembali terpaku karena menemukan Lian yang juga terpaku menatapnya. Situasi apa ini? Rasanya sangat aneh dan canggung.
“Jiyul dan Jiwoo ada di rumahku,” celetuk Lian ragu.
Tanpa sadar sepenuhnya, Hasung mengangguk. “Oh, iya. Giseok, Youngmin, dan Jaehan juga ada di rumahku,” balasnya.
Hasung melihat Lian yang juga hanya mengangguk. Mereka sama-sama tak tahu harus bagaimana dan mengatakan apa. “Mau … mau cari udara segar?” tawar Hasung pada akhirnya sembari menunjuk ke atas dengan telunjuknya.
Lian mengangguk dengan kaku. “Iya, di sini membuatku gerah.”
Hasung memutar tubuhnya dan melangkah lebih dulu diikuti dengan Lian di belakangnya. Di atap, mereka duduk di bangku panjang yang biasa mereka gunakan saat menikmati galbi[2] bersama. Cukup lama mereka terdiam dengan pikiran masing-masing. Melihat Hasung yang tampak memandang ke kejauhan, Lian berpikir Hasung benar-benar hanya ingin mencari udara segar.
“Kau akan berangkat besok, ‘kan?” tanya Lian memulai percakapan.
Hasung melihat Lian sekilas sebelum akhirnya mengangguk pelan. Ia tidak melihat bagaimana ekspresi Lian, lebih tepatnya ia tak sanggup melihatnya. “Tentang Goo Nara …,” ucap Lian ragu.
Ia sempat berpikir untuk tidak melanjutkan kalimatnya. Namun, karena Hasung memalingkan wajah ke arahnya dan menatapnya dengan kening berkerut, Lian akhirnya kembali melanjutkan, “Tentang Goo Nara … apa kau berkencan dengannya?”
Hasung tersenyum dan menekuk wajahnya sesaat, “Kenapa kau bertanya?” Hasung balik bertanya.
Lian terkejut. Ini pertama kalinya Hasung tak langsung menjawab pada intinya saat Lian bertanya. “Aku hanya bertanya karena kau terlihat sering bersamanya beberapa waktu terakhir.” Lian mencoba menjelaskan.
“Aku tidak menyukainya,” jawab Hasung. Namun, Lian malah mengambil giliran menekuk wajahnya. “Aku hanya menyukaimu.” Lian langsung mengangkat wajahnya dan menemukan Hasung yang kini sedang menatapnya serius.
“Apakah kau mau menungguku?” tanya Hasung, ia memutar tubuhnya hingga menghadap Lian di sampingnya.
“Apa?” Lian memastikan ia tak salah dengar.
“Aku tidak memintamu untuk menjadi pacarku.” Hasung mengambil jeda sesaat. Ia sudah cukup memikirkan hal ini sebelum mengatakannya. Jadi, sekarang ia sedang berusaha mengumpulkan keberanian untuk mengungkapkannya. “Aku hanya ingin mendengar kau mau menungguku atau tidak.”
Hasung menatap mata Lian yang juga sedang menatapnya. Namun, Lian tak merespons sama sekali. “Kalau aku, aku mendapatkan tugas penuh. Jadi, aku tidak punya banyak waktu untuk memikirkanmu. Sedangkan kau … kau bisa saja tidak sanggup. Jadi, jika kau ternyata menemukan belahan jiwamu sebelum aku kembali, aku akan tetap baik-baik saja. Aku hanya ingin kau tahu perasaanku dan mendapatkan kepastian kau mau menungguku atau tidak.”
Melihat Adelian yang tak kunjung membuka mulut, Hasung memutar tubuhnya lurus kembali dan ikut terdiam. Meski kemungkinan akan terluka tidaklah kecil, Hasung tetap ingin mengungkapkan perasaannya pada Adelian.
“Aku akan menunggumu,” jawab Lian, cepat. Seketika membuat wajah datar Hasung berseri senang. “Sebenarnya, aku juga ingin mengatakan itu meskipun kau tak meminta,” lanjut Lian. Entah apa yang sedang merasukinya sehingga berani berterus terang seperti itu.
Hasung mengangguk santai, meskipun sebenarnya hatinya kini sedang berteriak senang. “Kau masih ingin ke pameran Sungai Han? Kudengar malam ini yang terakhir,” tawar Hasung. Lian mengangguk. “Kalau begitu aku akan menjemputmu setelah acara dengan teman-temanku selesai.”
Lian mengangguk sekali lagi.
Hasung tersenyum menyaksikannya dan Lian juga melakukan hal yang sama. Sekali lagi Hasung menyadari suasana yang membuat hatinya ingin tinggal lebih lama ini bisa ia rasakan karena wanita mungil yang bernama Adelian. Ia menatap mata hitam Adelian semakin lama dan semakin dalam.
Hasung tak yakin apa yang membuat suasana ini amat sangat istimewa rasanya. Apa karena Lian? Karena musim panas yang mulai terasa menyegarkan? Pemandangan yang sama saja dari waktu ke waktu, tapi baru terlihat menarik hari ini? Ataukah … karena perasaan sedang ditumbuhi bunga-bunga yang mekar? Atau karena ia baru merasakan apa yang disebut dengan ‘jatuh cinta’? Apakah karena alasan sederhana itu? Apakah ….
Tiiit!
Suara klakson mobil tiba-tiba menyadarkan Hasung. Ia tergagap dan buru-buru mengangkat tubuhnya. “T-teman-teman menungguku,” ucap Hasung sedikit terbata.
“Oh, iya. Jiyul dan Jiwoo juga menungguku,” balas Lian tanpa berpikir. Begitu menyadari Hasung menatapnya tanpa kata, Lian buru buru menambahkan kalimatnya. “Tapi, aku ingin tinggal lebih lama di sini. Kau duluan saja,” pintanya sembari kembali duduk.
Berjalan bersama Hasung lagi akan membuatnya semakin canggung setelah apa yang baru saja terjadi.
“Baiklah. Aku turun duluan,” ucap Hasung.
Lian mengangguk dengan senyum yang ia paksakan untuk menutupi rasa gugupnya. Setelah Hasung lenyap dari jangkauannya, Lian buru-buru menghela napas lega. Bibirnya kembali mengembangkan senyum. Kali ini, jauh lebih lebar. Ia menengadahkan wajahnya lalu menghela napas sekali lagi. Untuk pertama kalinya musim panas terasa sangat menyegarkan bagi Lian. Senja sore terlihat lebih berseri dari biasanya dan suara keriuhan kota Seoul yang terdengar indah bagai intrumen Waltz yang pernah ia nikmati bersama Hasung, membuat seluruh tubuhnya gatal ingin berdansa lagi.
[1] Makanan khas Korea Selatan yang terbuat dari mie atau pasta yang dibumbui saus kacang kedelai hitam.
[2] Barbeque khas Korea.
Winter, 2010. Shin Hasung, lelaki dengan setelan jeans yang membawa ransel di punggungnya berjalan pelan bersama wanita mungil berponi tipis dengan dress biru muda yang tak lain adalah Adelian. Keramaian pengunjung Sungai Han yang berlalu lalang tanpa henti membuat tangan kiri Hasung dan tangan kanan Lian terus berbenturan. Suasana di antara mereka semakin canggung. Ditambah Hasung ternyata mendapat informasi yang salah karena pameran di Sungai Han sudah selesai kemarin malam. Sekarang, Hasung sedang berpikir keras, ke mana tujuan yang harus ia tempuh bersama Lian untuk sisa waktunya yang sangat sedikit ini. “Apa aku boleh menggenggam tanganmu?” tanya Hasung berusaha santai. Lian mengulum senyum. “Kenapa kau bertanya? Rasanya sangat aneh karena biasanya kau selalu menggenggam tanganku tanpa mengatakan apa pun.” “Bukankah sekarang sudah berbeda? Sekarang aku bukan l
Senyuman di bibir Lian mengembang ketika tangannya memasukkan sepucuk surat ke dalam amplop berwarna merah. Karena Hasung sedang Wajib Militer, ia merasa minat belajarnya semakin menurun. Jadi, daripada menyia-nyiakan biaya dan tenaga, ia memutuskan untuk mengambil cuti. Jiyul dan Jiwoo juga akan melakukan hal yang sama. Lian akan mencari pekerjaan lebih selama cuti, begitu pula dengan Jiyul. Sedangkan Jiwoo, ia hanya ingin beristirahat. Minat kuliah Jiwoo juga mendadak turun mendengar keputusan Lian dan Jiyul yang ingin mengambil cuti. “Kau baru akan mengirim surat untuk Hasung? Bukankah sebentar lagi dia akan menerima libur pertamanya?” celetuk Jiyul. Ia sedang sibuk memperhatikan Lian yang terus tersenyum sejak tadi. Entah apa yang ada dalam surat itu. Namun, Jiyul berpikir itu pasti hal yang sangat menyenangkan bagi Lian dan Hasung. “Goo Nara, barangmu jatuh,” cegat Jiwoo yang baru tiba di kelas, menemukan barang milik Goo Nara yang terjatuh di lantai. Goo Nara m
End of Spring, 2017. Ia membesarkan mata sipitnya sembari membuka mulut, tak percaya. Di antara megah dan mewahnya acara malam ini, ia mengagumi ciptaan Tuhan yang satu itu. Wanita berambut hitam, panjang sedikit melebihi bahu. Wanita itu mengenakan gaun sederhana, tapi sangat pas dengan tubuh mungilnya. Ditambah lagi dengan make up tipis yang membuat wajahnya segar berseri. Tak ada aksesoris yang mencolok yang ia kenakan. Akan tetapi, ia terlihat sangat memukau, indah, dan anggun. High heels yang ia kenakan memang membuat tubuhnya sedikit lebih tinggi, juga lebih dewasa. Namun, ia tetap terlihat menggemaskan. Membuat pemilik mata yang memandanginya itu semakin terkagum. Kagum karena lama tak mengetahui kabarnya, juga bahagia karena ternyata selama ini wanita itu baik-baik saja. Lelaki itu bersorak dalam diam, juga bersyukur dalam diam karena Tuhan telah mempersembahkan kejutan tak terduga untuknya malam in
Malam itu benar-benar seperti mimpi buruk yang tak mau Lian ingat lagi. Ingin rasanya Lian menghapus kejadian itu dari museum kenangan dalam kepalanya. Namun, apa boleh buat? Kenyataan memang seperti itu. Selama ini secara tidak langsung, dengan menolak semua lelaki yang berusaha mendekatinya, Lian melakukan penantian tak berdasar selama tujuh tahun ke pada Hasung yang sudah memiliki seorang kekasih. Sejak pertemuan malam itu, Lian enggan menyisakan waktunya untuk menonton drama di malam hari. Karena waktu malam adalah waktu penayangan drama yang ditulis oleh Han Jinhee, penulis muda yang katanya sangat berbakat itu. Akibatnya, Lian terpaksa bertukar shif dengan rekan kerjanya. Kini ia bebas di siang hari dan bertugas saat malam datang. Meski sudah dua minggu berlalu, Lian masih tetap merasa seolah-olah kejadian itu baru terjadi tadi malam. Jadi, ia tak pernah bahagia sepenuhnya ketika pagi datang. Sama seperti pagi ini, ia bermalas-malasan bangkit dari temp
Lelah mendengar bujukan Hasung, akhirnya Jinhee menyetujui keputusan Hasung untuk menyewa apertemen itu. Tidak ada alasan kuat yang Jinhee miliki untuk terus-menerus menolak. Setelah menekan kontrak, malam-malam Hasung langsung memindakan barang-barang dan menatanya di sana. Lian pasti akan sangat senang bertetangga dengannya lagi, pikir Hasung. Ketika merasa sudah tak kuat, Hasung memutuskan untuk tidur sebentar sebelum pagi benar-benar datang. Hingga beberapa jam kemudian, Hasung terbangun karena ponselnya berbunyi. Sms pagi dari Jinhee, ia hanya tersenyum dan membalasnya dengan beberapa kata singkat sebelum berlalu untuk membersihkan tubuhnya. Ketika tengah bersiap, Hasung mendengar suara derapan kaki di balkon. Hasung segara melangkah ke sana dan menemukan Lian yang membungkus dirinya dengan selimut sembari menyesap kopi, persis seperti yang ia lakukan beberapa hari yang lalu saat Hasung sedang mencari rumah.  
“Hasung tinggal bertetangga denganmu?” seru wanita berjas biru muda itu ketika mendengar penuturan Lian. Ketika melihat Lian mengangguk, ia semakin tak percaya. “Kau baik-baik saja? Jika kau tak tahan, datanglah ke rumahku. Kau bisa tinggal sampai kau puas di sana.” Sebagai teman ia merasa sangat khawatir. “Aku tidak bisa menjauh lagi, aku harus menghadapinya. Aku harus melupakannya,” ucap Lian sembari memutar pipet di dalam segelas jus di hadapannya. “Kau tidak benci padanya? Jika kau mau membunuhnya, aku sanggup membantumu, Teman.” Wanita itu langsung menggenggam kedua tangan Lian, membuat Lian merasa lucu. “Jaksa macam apa yang berkata seperti itu?” Mereka akhirnya tertawa konyol. Namun, tawa wanita itu segera lenyap disusul dengan kening Lian yang berkerut heran. Wanita itu menyadari waktu di ponselnya. Ia tak bisa berlama-lama berada di luar karena masih banyak kasus yang
Hasung, selaku ketua tim pemasaran dan beberapa anggota eksekutif yang terdiri dari Direktur, Wakil Direktur, Ketua Tim Editor, dan beberapa lainnya tengah menatap satu sama lain. Di hadapan mereka sudah ada bagian kopi masing-masing serta map tipis untuk melengkapi rapat kali ini. “Biarkan saya menjelaskan sekali lagi.” Hasung memohon dengan sangat di tengah keheningan rapat. “Sudah cukup.” Wakil Direktur Oh menyergah dengan killing smile khasnya. Wanita itu menatap wajah masam Hasung tanpa iba. “Baiklah, silahkan masukkan vote kalian.” Kali ini Direktur Min yang bersuara. Lelaki dengan kerutan kecil yang menumpuk di wajahnya itu mengangkat kotak berbentuk celengan lalu meletakkannya di tengah-tengah meja. Satu persatu anggota eksekutif memasukkan kertas kecil ke dalamnya. Hingga yang terakhir adalah giliran Hasung, lelaki yang terlihat setengah hidup di tempat duduknya. “Giliranmu.” Suara Ketua Tim Editor, wanita modi
Pagi tiba, shift di rumah sakit pun berganti dengan normal dan sesuai jadwal. Lian sudah pamit pulang, begitu pula dengan Jinhee yang baru saja tiba di rumahnya, ditemani oleh sang kekasih dan kedua orangtuanya. Hasung tak sempat berlama-lama di rumah Jinhee karena meskipun ia lelah dan tak sempat beristirahat semalaman, ia harus tetap bekerja. Namun, sebelum itu, Hasung memilih untuk memenuhi janjinya untuk sarapan pagi bersama Kim Kibeom, sahabatnya. “Dia Adelian yang kau maksud?” tanya Kibeom di sela santapannya bersama Hasung. Hasung mengangguk. “Mm …, bagaimana menurutmu?” Kibeom tersenyum sembari melirik Hasung. “Aku sudah pernah ditolak olehnya.” &n
“Karena sebuah takdir itu persis seperti melempar bumerang. Sejauh apa pun kau melemparnya, ia akan kembali kepada titik semula. Sejauh apa pun kau bersembunyi dan menutup diri dari kenyataan, niscaya kau akan kembali berjalan pada takdir yang seharusnya. Jika pada satu kisah kau tak bertemu dengannya lagi, itu berarti dia bukan takdirmu. Sebenarnya, cara Tuhan sesederhana itu. Hanya saja, kadang kau berusaha terlalu keras untuk menghindar dan berjalan pada jalan yang tidak seharusnya. Jikalau karena itu kau pun terluka, jangan salahkan Tuhan. Salahkan dirimu yang tak mau percaya pada takdir-Nya.”Itulah bunyi tulisan hangat dalam sebuah lukisan raksasa di sudut pekarangan vila. Semua orang dapat melihat tulisan yang dipersembahkan oleh Han Jinhee itu. Semua orang tersentuh sembari memandangi satu sama lain untuk melempar senyuman.Hampir dua tahun telah berlalu. Lian sudah kembali ke Korea setelah menyelesaikan tugasnya di Ja
Lian melangkah gontai keluar dari kamarnya. Ia ingin tidur, tapi tak bisa. Ia pun terpaksa ke luar. Lian tak ingin memikirkan apa pun. Namun, lelaki itu terus masuk ke kepalanya.“Astaga!” Mata Lian membesar. Tubuhnya terpental beberapa senti ke belakang, lalu langsung memaku bak patung.“Maaf, aku mengagetkanmu.” Suara itu keluar dari mulut Hasung yang sudah bersila di atas karpet di depan sofa dengan bungkusan makanan yang mengeluarkan aroma gochujang yang menyengat.“Apa yang membawamu ke sini?” tanya Lian. Ia belum berniat untuk mendekat.“Aku bawa Odeng dan Tteokpokki. Ayo makan bersama!” pinta Hasung. Wajahnya berseri, tidak seperti sebelumnya.Tentu saja Lian kebingungan. “Apa yang merasukimu?”Hasung tersenyum. Lama menunggu Lian yang masih tetap pada posisinya, Hasung langsung menarik tubuh Lian dan memintanya segera duduk. Lian tak memberontak, t
Sesi pembacaan naskah untuk naskah drama terbaru yang digarap Han Jinhee berjalan dengan sangat lancar. Semua pihak hadir tanpa terkecuali. Penulis novel yang digarap oleh Jinhee menjadi Naskah drama pun hadir ditemani Shin Hasung sebagai perwakilan dari pihak penerbitan Ahn Young. Di mana Ahn Young-lah penerbit yang membuat naskah novel ini menjadi best seller sampai beberapa kali cetakan hingga produser tertarik untuk menjadikannya sebuah drama. Hasung pulang. Kali ini tidak dengan Jinhee yang tadi pagi lebih dulu menawarkan diri untuk menjemputnya. Ia pulang sendiri dengan wajah yang tidak sesegar pagi tadi.Saat Hasung baru saja menapaki kakinya keluar dari lift, ia menemukan pintu rumah Lian yang baru saja tertutup. Sepertinya Lian baru pulang sama sepertinya. Hanya saja, jika Hasung bisa sedikit lebih cepat, mereka pasti akan bertemu dan Hasung mungkin tidak akan bisa me
Lian melangkah gontai menerobos dinginnya malam. Ia terpaksa pulang lebih dulu karena tak tahu harus berbuat apa. Di sepanjang jalan yang sepi, Lian terus terisak sembari menyembunyikan wajahnya dengan tekukan. Ia memeriksa sekeliling sebentar. Namun, semuanya tampak biasa dan bahkan Hasung pun tak muncul untuk mencegah kepergiannya seperti yang ia harapkan.Lian kembali terisak. Kali ini ia tak bisa menahan suaranya. Namun, ia tak berhenti melangkah. Meskipun kadang ada taksi yang berjalan pelan melintasinya Lian tak peduli.Sampai satu sedan merah berteriak dengan klaksonnya dan menghentikan langkah gontai Lian. Tanpa pikir panjang, Lian mendekat. Ada Jiwoo yang muncul dari balik kemudi. Sahabatnya itu tampak iba. Namun, tak bisa berbuat banyak. Untung saja Jiwoo tidak sedang sibuk sehingga tak lama dari saat Lian menghubunginya, ia sudah tiba.Satu loncatan kecil membuat Lian kini sudah berada di samping Jiwoo. Mata basah Lian menjelaskan semuanya, termasuk m
Hasung dan Lian sudah tiba di Lotte World[1]. Mereka tampak berjalan seperti biasa di tengah keramaian dengan setelan musim dingin yang juga terlihat biasa. Hanya saja, Lian sedikit terlihat berbeda karena menambah polesan make up di wajahnya yang terlihat tidak setipis biasanya.Lian menyadari sebagian besar pengunjung sudah memakai bando animasi yang didapatkannya di toko dekat pintu masuk. Lian pun mengajak Hasung untuk memakainya. Hasung menolak. Namun, Lian terus memaksanya hingga bando berbentuk kucing singgah di kepala Hasung dan Lian terlihat bahagia dengan bando kelinci yang sesuai dengan setelan white-peach nya.Saat berjalan-jalan memeriksa sudut taman bermain terbesar di Korea itu, Lian dan Hasung menikmati waktunya dengan menikmati latte hangat. Mereka persis terlihat seperti sepasang kekasih yang sedang berkencan. Mereka juga menemukan ada banyak orang yang terlihat melakukan hal yang sama, tapi dengan
“Hasunglah yang bertemu dengan Goo Nara dan memintanya untuk menjelaskan semuanya padamu.”Deg! Degupan keras menghantam jantung Lian. Tak ada alasan pasti, hanya saja mendengar pengakuan Jiwoo jantungnya hampir berhenti berdetak. “Bagaimana mungkin?” Lian tak habis pikir.“Apa yang kau pikirkan ketika dia masih peduli kejadian tujuh tahun silam?” Jiwoo menginterogasi.Lian menggeleng sembari berusaha menyeimbangkan napasnya. “Kenapa dia harus melakukannya?” Lian bertanya pada Jiwoo juga pada dirinya sendiri yang terheran. “Dia bisa saja tak peduli apa pun tentang saat itu, tapi kenapa dia melakukannya?” tanya Lian sekali lagi.“Mungkin dia juga masih mengharapkanmu.” Jiwoo tak sepenuhnya yakin dengan apa yang ia katakan. “Seperti yang kau katakan. Jika dia memang tak punya harapan, seharusnya dia melupakannya, bukan?”Lian menghela napas dalam-dala
“Lian-ah.”Lian memutar tubuhnya spontan. “Oh, Hasung!” Suara Lian terdengar antusias ketika menemukan Hasung yang menyapanya dari balik kemudi.“Masuklah!” pinta Hasung sembari membuka kunci pintu mobil.Namun, Lian menggeleng sembari tersenyum. “Tinggal sedikit lagi,” ucapnya sembari menunjuk jalanan gelap yang hendak ia tempuh.Hasung pura-pura tak mendengar. Ia tetap mendorong pintu mobilnya dari dalam hingga terbuka lebar. Lian hanya bisa terkekeh lalu benar-benar mendekat dan masuk ke dalam mobil Hasung. Hasung ikut tertawa sembari menghidupkan mobilnya. Baru saja Hasung hendak menarik persneling, suara deringan ponsel menggagalkan niatnya. Ia lebih memilih untuk mengangkat teleponnya lebih dulu.“Oh, Jinseok-ah,” seru Hasung pada seseorang di balik earphone-nya sembari mengemudikan mobilnya dengan pelan.“Timjangnim, gawat! Par
Lian menyantap menu pilihannya, begitu pula dengan Ki Beom. Mereka menyantap makan malam tanpa kata selama beberapa saat.“Padahal aku berniat mentraktirmu di restoran yang lebih baik,” tukas Kibeom.Lian menggeleng. “Tidak apa-apa. Di sini makanannya enak.”Restoran sederhana yang terletak di lobi gedung apertemen tempat Lian tinggal ini memang memiliki menu yang enak. Lian sering menyantap makanan di sini ketika ia merasa jenuh mengonsumsi makanan siap saji di rumahnya.“Kalau begitu, kau masih tak mau berkencan denganku?” tanya Ki Beom setelah menyelesaikan makannya.Lian sama sekali tak terkejut karena ini bukan pertama kalinya ia mendengar tawaran Ki Beom soal itu. Dulu saat Ki Beom masih menjadi mentornya di rumah sakit, Ki Beom juga pernah menyatakan hal yang sama. Jadi, Lian tidak terlalu terkejut sama sekali. Hanya saja profesionalitas yang dimiliki Ki Beom memang benar-benar membuatnya kagum.&ld
Seoul, 2010.Pada istirahat pertama, Hasung memantapkan hatinya untuk pulang ke Seoul. Dengan masih berseragam Militer, Hasung mendatangi rumah kontrakan di mana ia tinggal bertetangga dengan Lian. Meskipun Jaehan sudah mengatakan tentang kepindahan Lian, tapi Hasung ingin membuktikannya sendiri.Benar saja. Kombinasi kunci yang biasa sudah tidak bisa digunakan. Sekian kali Hasung menekan bel, tak ada Lian yang keluar. Bahkan, rumah itu sudah kosong tak berpenghuni.Hasung mencari pemilik kontrakan dan menanyakan perihal itu. Namun, lagi-lagi informasi yang ia dapatkan hanyalah kepindahan Lian, ke mana dan dengan siapa? Tak ada yang mampu menjelaskannya.Hasung juga menyempatkan diri pergi ke kampus Lian, menanyakan tentang wanita itu pada mahasiswa keperawatan yang sempat sekelas dengannya. Namun, jawaban mereka sama saja. Tak ada yang mengetahui pasti ke mana Lian. Bahkan, tentang kedua temann