"Duh, ngenes banget sih jadi Mbak." Inggit menatapku dengan iba. Segera kusudahi air mataku yang mengalir dengan sendirinya. "Tapi Kenapa, sih, Mbak, tak mau memberitahukan suami Mbak aja?" Inggit tampak heran campur gereget."Gak, Git, percuma dia tahu, malah nanti anak ini akan dianggapnya sebagai penghalangnya untuk bersatu dengan Cleo. akan menambah sakit padaku nantinya. Udahlah Inder tak menyukaiku, aku tak kamu ia juga membenci anakku. Cukup aku yang ia benci.""Emang Mbak merasa Mas Inder membenci Mbak?""Tak suka artinya juga benci, Git.""Gak gitu juga, Mbak," timpal Inggit."Terserah, Git. Yang penting, tak ada orang yang tahu tentang kehamilanku ini. Kecuali kamu. Aku gak akan memberitagu siapapun. Dan kamu jangan cerita Maslahku apalagi kehamilanku pada Emak. Nantiia jadi kepiran." "Lal
Belum sempat aku balas pesan yang pertama, Cleo kembali mengirimku pesan.'Terimakasih atas bantuanmu, Mbak. Kami tak akan melupakan kebaikan, Mbak.' Pesan Cleo di selipi emot senyum kalem.Entah kenapa aku merasa kata-kata terimakasih Cleo hanya sebuah ejekan saja. Apa hanya perasaanku saja. Kenapa aku panas dengan itu. Kenapa begitu menyakitkan, ya? Aku memukul-mukul dadaku yang terasa begitu sesak, ini salahku, salahku sendiri. Hanya karena terlena akan rupa Inder, aku menjerumuskan diriku sendiri ke lembah keterpurukan. Hingga aku lupa apa tujuanku dari pernikahan ini. Iya, ini salahku...yang tak sadar diri. Jika di pikir-pikir, Inder pria br*ngsek yang pernah aku temui. Bisa-bisanya dia tak menghargaiku sama sekali.Tak tahan sudah aku tinggal bersamanya, serumah dengan suami mu nafik.
Aku pulang ke rumah Emak dengan menaiki taxi yang dipesankan Inder. Ah, rupanya pria itu melepaskan aku dengan begitu rela. Percuma aku menangisi kandasnya hubungan ini.Toh, hanya aku yang peduli. Inder tidak. Tentu, memang ini, bukan, yang diinginkan Inder.Saat pertama kali masuk kerumah, aku menjumpai Emak tengah memandangi foto Bapak, dan mata Emak tampak berembun. Beliau menangis.Emak pasti mengenang Bapak, aku tahu Emak begitu sangat terpukul dengan kepergian Bapak.Mendadak aku tak siap masuk tuk bertemu Emak. Emak pasti tambah sedih melihatku pulang tanpa suami, lebih-lebih tahu kalau hubungan rumah tanggaku sudah hancur. Bagaimanapun aku berusaha mengelabui Emak, tentunya Emak pasti curiga juga.Diantara aku, Inggit dan juga Dirham, Emak memang lebih peka dan perhatian padaku. Seperti yang Inggit katakan, kalau
"Jadi Mbak memutuskan untuk bercerai dari Mas Inder?" Dirham tampak terkejut. Setelah tahu dari Inggit, dia langsung mengajakku ketemuan di cafe seperti biasa aku dan Inggit bertemu."Kamu jangan bilang Emak, Dir. Awas aja!" Aku mengancam Dirham sambil menunjukkan tangan yang terkepal ke wajahnya."Tapi kenapa, Mbak. Kenapa Mbak harus memilih cerai. Semua masalah pasti ada jalan keluarnya.""Dan jalan keluarnya Mbak Dinar adalah dengan bercerai!" Inggit menyela."Tapi Mbak Dinar, kan, lagi mengandung.""Udah, jangan bawel. Kamu laki-laki, gak akan tahu perasaan wanita." Lagi-lagi Inggit menyemprot dengan sengit."Tugas kamu hanya tutup mulut pada Emak," lanjut Inggit dengan masih nada sengit."Iya, betul." Aku menambahi."Dan lagi, kalau nanti jadi suami jangan kayak In
"Beraninya, ya, kamu bilang aku sekasar tadi!" Jari telunjuk Cleo menunjuk ke wajahku dengan tatapan penuh amarah.Aku segera menepis jari telunjuk wanita yang tampak memanas rona wajahnya.Aku kembali tersenyum puas. Makanya, Dinar dilawan. Ya aku lawan balek lah."Aku tak peduli meskipun kamu dengan Inder melakukannya berkali-kali. Sungguh itu tak ngefek untukku. Jadi awas minggir, Wahai bekas!"Aku menggeser kasar tubuh Cleo yang menghalangi jalan keluar hingga hampir saja tubuh ramping jatuh ke lantai.Aku tampak baik-baik saja, padahal hatiku, hu hu hu….Inder benar-benar bej4t. Kukira akulah wanita pertama kalinya yang ia sentuh, meskipun tanpa cinta.Tak tahunya, hu hu hu….Inder baj*ngan. Aku jijik disentuh pros itu dan menyesal telah jatuh hati.Hu hu h
Setelah pusingku agak baikan, aku duduk di kursi panjang yang ada di parkiran.Inder juga ikut duduk di sampingku. Ngapain coba ikut-ikutan?"Kenapa kau membohongiku, bilangnya ingin pulang ke rumah Emak, tapi tadi aku kesana kamu gak ada!" Sontak aku menatap terkejut ke Inder. "Jadi kamu ketemu Emak?" Inder menatapku dengan tatapan tak bersahabat."Jawab dulu pertanyaanku. Jangan kebiasaan melontarkan pertanyaan balik!" ketus Inder dengan tatapan sengit.Hadeuh…ribet berurusan dengan orang kayak Inder."Aku tinggal di kontrakan," jawabku tanpa melihat pria yang sebentar lagi berstatus mantan suami."Kenapa berbohong? ""Aku gak bohong, awalnya aku pulang ke rumah Emak, tapi gak jadi," jawabku lagi."Gak usah tanya kenapa gak jadi, aku punya alasan yang tepat pastinya!" sekakku saat melihat mulut Inder bergerak tampak ingin mengatakan sesuatu.Inder terdiam, mungkin kata-kataku ngena."Kalau begitu, ayo sekarang kesana, aku pengen tahu tempat tinggalmu." Inder berdiri dan langsun
Aku menelan ludah daat Inder menatapku tanpa berkedip. Bahkan wajahnya begitu dekat saat ini.Saat tanganku terangkat hendak mendorong dadanya tiba-tiba…."Ceklek!" tangan kanan Inder memutar knop pintu rumah utama."Ada yang datang sepertinya, tadi aku dengar suara ketukan pintu," ucap Inder sambil menarik diri dariku. Duh, kirain mau macem-macem. Aku menghembuskan nafas lega. Saat tadi sempat aku tahan karena ulah Inder.Haish...pria, nih...."Tadi kamu kenapa? Tegang gitu kayaknya, dan aku sempat liat kamu tadi mau merem juga, kamu beneran kangen sungguhan padaku?" Inder Henda kembali mendekatkan tubunya padaku namun segera kudorong kuat dadanya hingga ia kembali mundur.Dih, pikirannya gak nguatin ini pria.Aku tak menggubris ocehan Inder, segera berbalik untuk membuka pintu."Ha
Hari ini aku kembali ketemuan dengan kedua saudaraku, Inggit sama Dirham, di cafe seperti biasa.Semenjak aku pindah ke kontrakan, Dirham lebih sering ingin bertemu denganku. Ia khawatir katanya. Apalagi aku cewek,lagi hamil lagi.Ah, terharu jadinya sama Dirham. Ia lebih dewasa dari Inder. Andai Inder seperti Dirham, sudah pasti aku sangat senang dan cintaku akan berlipat ganda. Andai ia bisa menghargaiku. Sekali saja.Di cafe, aku bolak-balik ke toilet, memuntahkan isi perutku, hingga badanku terasa begitu lemas oleh karenanya. Bahkan badanku sekarang makin kurusan."Kamu pucat, Mbak." Raut wajah Dirham tampak tak tega. Penuh kekhawatiran saat menatapku."Pulang aja yok, Mbak. Biar kita anter," usul Inggit. Tak kalah khawatirnya sambil memijatu punggungku. "Iya, Mbak, ayo biar aku Dirham anter pulang pak