Hari ini aku kembali ketemuan dengan kedua saudaraku, Inggit sama Dirham, di cafe seperti biasa.Semenjak aku pindah ke kontrakan, Dirham lebih sering ingin bertemu denganku. Ia khawatir katanya. Apalagi aku cewek,lagi hamil lagi.Ah, terharu jadinya sama Dirham. Ia lebih dewasa dari Inder. Andai Inder seperti Dirham, sudah pasti aku sangat senang dan cintaku akan berlipat ganda. Andai ia bisa menghargaiku. Sekali saja.Di cafe, aku bolak-balik ke toilet, memuntahkan isi perutku, hingga badanku terasa begitu lemas oleh karenanya. Bahkan badanku sekarang makin kurusan."Kamu pucat, Mbak." Raut wajah Dirham tampak tak tega. Penuh kekhawatiran saat menatapku."Pulang aja yok, Mbak. Biar kita anter," usul Inggit. Tak kalah khawatirnya sambil memijatu punggungku. "Iya, Mbak, ayo biar aku Dirham anter pulang pak
"Aneh banget sih, Mbak. Masak sakit Mbak hanya bisa diobati dengan hanya nyium bau keringat Mas Inder." Dirham masih tampak tak percaya."Tapi memang itu kenyataannya, Dir. Kemarin Mbak aja mual-mual pas gak sengaja kecium aroma Mas Inder langsung hilang sekaligus mual dan pusing Mbak," jelasku pada Inder."Tapi ini wajar sih, ngidam wanita hamil itu memang aneh-aneh. Teman ku dulu juga ada, gak suka cium bau suaminya, bawaanya langsung muntah. Kalau si Mbak kayaknya kebalik, dia muntah kalau gak cium bapak dari sih tuh anak!" jelas Inggit menatapku dan Dirham dengan secara bergantian."Ha…tuh kan, Dir! Ayo dong…mau, ya?" Aku memasang wajah semelas mungkin untuk meluluhkan hati Dirham. Tanga aku katuokan di depan dada."Masak iya, sih, gak kasihan liat Mbak sakit begini!" ucapku lagi tak kalah melasnya dari raut sebelumnya. Agar Dirham luluh dan mau membantuku mencuri. Eh, minjem maksudny
"Aku gak nyuri," sungutku. Enak aja dia nuduh aku pencuri. "Jas kamu ketinggalan disini, ini aku mau balikin ke kamu." Akhirnya aku nemu jawaban juga buat ngelak ke Inder."Kapan? Aku kemarin kesini gak pakai jas itu," ujar Inder sambil menunjuk ke jas yang kupegang.Duh, ternyata kuat juga ingatan Inder. Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal. Bingung mau ngeles gimana lagi. Udah ketahuan mencuri lagi.Tapi untungnya setelah itu Inder menerima panggilan telepon, hingga aku bisa terbebas dari pertanyaannya.Ah...lega....Aku mengusap dada, selamat…."Ok, aku segera kesana." Inder menyudahi percakapannya di telepon. Entah dengan siapa.Karena penasaran, sekilas kuintip layar Hp Inder. Aku mencebik, saat mengetahui peneleponnya adalah si mantan terindahnya, alias Cleo. Gadis yang sok lembut. Padahal y
"Emang harus dengan cara itu, ya?" tanyaku memastikan. Dan masih tak yakin aja dengan cara Inggit yang diusulkan padaku."Iya, udah ikutin aja saranku, greget juga aku tuh sama si nyamuk yang kegatelan itu," ucap Inggit tampak geram. Melebihi aku sendiri."Nanti aku bantu siapin semuanya, deh. Mbak tinggal jalanin, okay!" imbuh Inggit tampak antusias sambil jarinya membentuk ok.Aku hanya menelan ludah. Ragu masih….Tapi ingin memberi pelajaran juga pada mereka berdua, yang menari-nari di atas lukaku ini.Huft...harus bisa, Cleo dan Inder aja bisa kenapa aku gak?*****Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Entah sudah berapa lama aku tertidur. Ah, entahlah. Kenapa akhir-akhir ini aku suka ngantuk. Mungkin efek hamil mudaTerakhir ingat, aku sedang ada di taman bunga, menyirami bun
Aku segera berdiri, sebab menunggu Inder untuk membantuku berdiri kayaknya sampai aku lahiran pun tak akan ia bantu.Aku mah apa? Hanya istri syaratnya. Bukan Cleo.Aku melangkah keluar untuk ke dapur mengambil air minum, mendadak haus.Saat keluar dari dapur aku menjumpai Inder di depan dapur. Sepertinya ia sengaja menungguku."Aku mau keluar dulu," ucap Inder dingin. Menatapku tanpa ekspresi.Sudah pasti mau menemui Cleo. Dah bisa ditebak.Hebat bener tuh cewek, bisa mengatur-ngatur pria yang berhati beku macam Inder, hanya tinggal di telepon dituruti.Ngiri. Aku istrinya aja gak gitu. Mau nyium keringatnya aja karena anaknya sendiri aja susah.Tapi Cleo?Ah, sudahlah. Laki-laki mah banyak. Aku rasa gak perlu tuh ngemis-ngemis cinta ke Inder.
Nasibku Pun, ujung-ujungnya berakhir di ranjang. Setelah menuntaskan hasratnya, seperti biasa, Inder akan tidur. Mana pernah dia memperdulikanku, setidaknya basa-basi di ajak ngobrol, kek. Dia terlalu cuek, entah apa akunya yang terlalu ngarep.Aku membalikkan badan membelakangi Inder. Ingin sekali memejamkan mata dan tertidur, tapi aku gak bisa. Aku merasa…sepi.Iya, aku merasa kesepian dalam keramaian.Ada Inder serasa tak ada dia. Dia terlalu ceuk. Aku gelisah, juga resah, pengen ngobrol dan bercerita-cerita seperti pasangan lainnya. Tapi apalah daya, pernikahan kami berbeda.Niatku memang salah, menikah hanya untuk tujuan tertentu bukan seperti tujuan wanita pada umumnya. Iya, aku memang mendapatkan tujuanku, sekalipun ada kerugian di dalamnya. Yaitu dengan hamil anaknya Inder. Dan nantinya aku akan membesarkan anak itu sendiri.Ah,k
Selepas shalat Subuh, aku keluar dari kamar. Di meja makan, aku mendapati nasi goreng. Sudah pasti Inder yang memasaknya. Aku kenal masakan Inder, sebab ia pernah masak juga saat aku tinggal di rumahnya. Pria itu tak hanya punya wajah tampan, namun juga pintar masak.Tak hanya masak, Inder juga pinter segalanya. Ah, jadi untuk apalagi aku harus mengharapkan Inder.Aku merasa minder melihat kelebihan Inder dibandingkan aku yang tak ada apa-apanya.Aku mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, semuanya sudah rapi, piring kotor di wastafel sudah bersih, baju kotor di keranjang sudah tidak ada, dan tertata rapi di jemuran. Lantai sudah bersih dan kinclong tanda sudah disapu dan dipel. Aku menatapnya jais segar.Satu lagi, Inder pria pecinta kebersihan. Sering kali ia mengataiku jorok. Dia juga tidak suka jika aku mencucikan bajunya, katanya kurang bersih.
"Jawab, Dinar…kamu hamil, bukan? " Inder kembali bertanya.Aku terdiam, tak tahu harus jawab apa. Aku belum siap untuk mengaku tentang kehamilanku."Bahkan kandunganmu sudah berusia tiga bulan, dan selama itu juga kau menyembunyikan fakta ini dariku," protes Inder, seakan tak terima aku menyembunyikan kehamilanku.Aku membuang pandangan, menghindari tatapannya.D*sar munafik. Padahal ia kaget karena mau menerima anak ini."Apa alasanmu apa melakukan ini?" Inder masih menyerangku dengan pertanyaan-pertanyaan.Namun aku tak perduli. Aku rurun dari ranjang, berdiri tanpa berkata-kata.Inder ikut berdiri. "Dinar…hei.""Katakanlah sesuatu!" Inder mennguncang pundak kananku.Aku masih bergeming, malas rasanya bicara dengan Inder."Dinar…kenapa?"
Setelah habis beper-baperan karena kalimat Inder yang mengatakan kalau memang hanya aku jodohnya, aku menatap Inder untuk meyakinkan perkataannya. Namun, ia hanya menaik turunkan alisnya."Sudah jelas, kan, sekarang alasanku apa?" Dia melipat tanga di dada sambi menaikkan satu kakinya ke lutut."Apa?" Aku masih tak paham. Tepatnya pura-pura tak paham, sih."Sekarang perasaan kira sudah impas. Sama seperti kamu," ucapnya tenang."Memang apa perasaanku?" Aku melipat tangan menirukan gaya Inder saat ini sambil menatapnya dengan sebelah alis terangkat."Gak tau. Yang aku tahu kamu mau menikah denganku sebab uang."Aku terdiam sejenak. Antara ingin mengaku dan tidak pada Inder. Malu gak, ya? Andaikan aku mengaku pada Inder kalau aku suka dia. Bahkan cinta dia suda lama, sebelum kami menikah.
"Tadi kamu bilang apa?" tanyaku sambil melirik Inder, untuk meyakinkan pendengaranku tak salah."Apa? Gak ada!" elak Inder sambil menjalankan mobil."Itu tadi, yang aku cemburu!" ingatku, siapa tahu ini pria punya penyakit amnesia mendadak.Inder tak menggubris ucapanku, malah ia memasang kaca mata, terlihat santai seakan tak mendengar pertanyaanku. Padahal jelas-jelas pertanyaanku begitu jelas dan cukup nyaring. Hanya saja Inder cuek. Malu kali. Setelah tak sengaja bilang cemburu."Cie, yang cemburu, ehem!" Entah kenapa aku suka dan ingin sekali untuk menggoda pria sok jaim itu kali ini."Coba, dong, ulang sekali lagi, aku cemburu gitu!" tuntutku. Ah, kemaruk banget emang aku. "Tadi kurang jelas aku dengarnya!" pintaku. Kembali Inder tak menggubrisku. Tapi gak masalah, aku suka itu, lama-lama aku terbiasa dengan sikapnya. Kesel-kesel gemes gitu. Tapi aku cinta."Mas Inder ….""Bisa diem, gak? Jangan mancing-mancing saya, kamu itu gak bisa diapa-apain!"Hah! Maksudnya? Aku melongo m
Setelah 20 menit kemudian, Dokter Mekka, dokter kepercayaan keluarga Inder yang bekerja sudah bertahun-tahun lamanya tersebut masuk kedalam kamar dengan membawa tas.Dokter Meka langsung memeriksaku. Setelah duduk di pinggir ranjang."Nyonya gak minum vitamin yang kemarin saya kasih? Untuk mengurangi sensitif bau yang Nyonya rasakan yang mengakibatkan Nyonya terus ingin mual," tanya Dokter Meka. Menatapku penuh kelembutan."Udah, kok, Dok, cuman gak ngefek!" jawabku sambil duduk dari posisi tidurku. Setelah diperiksa Dokter Mekka."Kok bisa, ya? sedikitpun tak ngefek?" tanyanya lagi dengan raut heran. "Tidak, Dok!" jawabku sambil menggelengkan kepala."Emhhh … apa ada hal lain yang bisa ngilangin sensitif baumu?" tanya lagi Dokter Meka. Tampak sedang berpikir.Aku
Aku mengusap-usap perutku yang mulai membuncit di usia kandunganku yang sudah lima bulan lebih ini."Bisa tidak, kamu gak usah mandi dulu!" Inder yang baru masuk kamar sepulang dari kantornya, dan membuka jasnya tampak terkejut dengan permintaanku.Inder menatapku dengan ekspresi anyep. Cukup lama Inder menterengin wajahku, membuatku tak nyaman dan menyesali ucapanku barusan. Hingga beberapa detik berlalu, Inder masih saja menatapku dengan raut heran. Aku menelan saliva. Benar-benar menyesali permintaanku.Selanjutnya, tanpa berkata, Inder meraih handuk dan masuk ke kamar mandi. Aku mengusap dada, terasa lega tak mendapatkan perkataan yang nyelekit dari Inder atas permintaan anehku tadi. Iya, aneh memang. Jelas-jelas Inder tak bisa hidup tanpa mandi. Selama aku hidup dengannya saja entah berapa kali aku menjumpai ia seharinya mandi ban
Hening ….Selama dalam perjalan menuju pulang, aku dan Inder hanya diem-dieman. Tepatnya Inder saja yang diam. Sebenarnya sedari tadi aku sudah jenuh dengan keheningan ini. Aku tidak suka keheningan saat sedang bersama seseorang. Aku maunya ngobrol atau cerita.Saat Inder memergokiku tengah duduk bersama dengan Andra, aku kira ia bakalan marah atau apapun, tak tahunya ia hanya menyuruhku masuk kedalam mobil. Itu pun hanya melalui bahasa isyarat saja, bukan tanpa kata-kata atau perintah dengan sengit seperti biasanya.Inder tidak marah, namun sikapnya yang pria itu tunjukkan padaku lebih dari kemarahannya. iya, aku merasakan itu.Sikap diam Inder bukan mengatakan kalau ia tidak marah, melainkan perasaan ia sedang tidak baik-baik saja. Lambat laun, sedikit demi sedikit aku sudah memahami karakter Inder. Diamnya Inder menandakan bahwa ia sedang marah. Sedangkan jika dia banyak omong maka kebalikannya.Inder memang sedikit berbeda dengan pada umumnya. Ia lebih suka diam saat ada masalah,
Saat aku melangkah ke parkiran untuk menunggu jemputan Inder, mataku menangkap sosok Andra yang lagi duduk di kursi biasa aku duduk di sana.Andra tersenyum ke arahku. Duh …mendadak bingung, dilema juga. Di satu sisi aku ingin menghampiri Andra. Dia baik dan gak seburuk yang Inder kira dan selalu katakan padaku. Andra justru sering membantu dan perhatian padaku tanpa pamrih.Tapi di sisi lain aku takut akan pesan Inder tadi pagi. Yang berpesan bahkan dengan sangat menekan untuk tidak mendekati pria saudara tirinya itu."Gak papa, kok, Din, sini aja. Aku gak macam-macam, kok!" ujar Andra seakan tahu isi hatiku.Aku nyengir merasa malu. Bak maling yang sedang ketangkap basah. Ragu-ragu aku melangkah mendekati kursi tempat di mana Andra tengah duduk dengan tenang di sana."Aku cuman mau mengembalikan ini." Andra menyodorkan sebuah map dan amplop coklat setibanya aki di hadapannya.Aku mengernyit. "Apa ini?" tanyaku sambil menerima Map yang disodorkan Andra."Itu milik Inder suami
Pagi setelah sarapan, Aku langsung pergi ke kampus dengan diantar Inder.Ada rasa senang di hati diantar olehnya. "Ingat…jangan dekat-dekat atau menemui Andra lagi!" pesan Inder saat aku hendak membuka pintu mobil, sebab dia mana pernah berinisiatif untuk membuka pintu mobil buat istrinya yang lagi hamil ini.Kalah sama Andra emang. Padahal dia bukan suamiku."Kenapa?" Nada pertanyaanku terdengar ketus."Kamu lagi hamil!" Nada Inder tak kalah ketusnya.Hah! Apa hubungannya coba? Hamil sama ketemu Andra. Aneh banget. "Dia bukan pria baik-baik, nanti anakku nurun dia." Inder melirik perutku yang masih rata. Hanya sekilas, selanjutnya ia kembali membuang pandangan. Aku segera membuka pintu mobil dan keluar.Inder langsung menjalankan mobilnya keluar dari area parkiran kampus setelah a
Aku masih ternganga mendengar jawaban Inder bahwa ia sebenarnya tak suka Cleo. Lalu ...?"Aku hanya memaksakan diri ini untuk suka pada Cleo. Sekalipun Papa tak pernah merestui hubungan ku dengan Cloe. Aku lakukan itu hanya karena agar Ibu Yasmin memberikan kasih sayangnya padaku. Sesuatu yang tak pernah aku dapatkan. Hanya kasih sayang dari Papa saja yang aku dapatkan," jelas Inder seolah tahu isi pikiranku."Lalu kenapa kau membencinya? Membenci Papa Aleks?" tanyaku."Karena dia menikah lagi disaat Ibu Yasmin mengalami depresi. Sekalipun pernikahan itu atas permintaan Ibu Yasmin. Ibu menyuruh Papa menikah lagi sebab Ibu tak mau berperan sebagai istri dari Papa lagi. Ia hanya mau jadi istri di atas kertas saja."Benar-benar rumit ternyata kisah keluarga Inder. Aku kira orang kaya gak akan sepusing orang tak punya sepertiku. Sebab harus banting tulang untuk mencari uang. Bahkan aku harus rela menik
Meskipun aku tak ingin pulang dari rumah Emak, tapi melihat sikap Inder yang seperti benar-benar tak betah di rumah Emak, entah apa alasannya, akhirnya aku pun ikut dengannya. Pulang ke rumahnya. Tentunya setelah Inder pamit dan minta maaf sama Emak dan menjelaskan pada Emak juga adik-adikku bahwa semua masalah yang terjadi hanya sebuah kesalahan pahaman dan Inder tidak selingkuh dengan Cleo.Usai makan malam, aku berdiri di balkon kamar bersama Inder. Menikmati angin malam yang sejuk.Di sana, pria itu menjelaskan semua pertanyaanku yang tadi siang. Inder bilang, bahwa, ibunya Yasmin mengalami depresi saat ia kehilangan perusahaan dan beberapa bisnis lainnya. Semuanya dialihkan atas nama keluarga Cleo. Entah bagaimana caranya dia tak menjelaskan begitu detail.Inder dan Cleo sudah dari sejak SMA menjalin hubungan. Kata Inder, Cleo mendekati Inder hanya karena ada sesuatu yang ia incar, yaitu bisnis Ibu Yasmin.Ibu Yasmin dan Papa Aleks menikah bukan karena cinta, melainkan karen