Waktu yang Hilang- Takut Kehilangan Saga tersenyum saat melihat Melati muncul dari samping kafe. Dada Melati pun berdesir ketika lelaki gagah yang duduk di atas motor itu tersenyum di balik kaca helm-nya."Mel, mana helm-mu? Aku tidak punya selain yang aku pakai," tanya Saga setelah Melati mendekat."Oh, bentar aku ambil dulu."Melati bergegas kembali ke dalam untuk mengambil helm. Dia tidak ingat untuk membawanya tadi. Saga tidak memiliki helm cadangan. Benarkah dia memang tidak memiliki kekasih seperti yang dia bilang beberapa hari kemarin?Bertahun-tahun dia terbiasa berinteraksi dengan Saga, tapi canggungnya tidak seperti hari ini. Debaran di dadanya sudah sangat berbeda. "Kok balik lagi, Mbak?" tanya Mbak Harti."Ngambil helm, Mbak," jawab Melati sambil meraih benda itu di atas kulkas dapur. Ia pamitan lagi pada tukang masaknya, lantas tergesa keluar menemui Saga.Baru kali ini ia dibonceng Saga pakai motornya. Selama di Malang, mereka tidak pernah berboncengan. Saga selalu me
Jam sebelas siang, Melati mengajak Saga untuk pamitan. Ia harus segera kembali, karena biasa hari libur begini kafe sangat ramai."Seringlah kalian berdua main ke sini!" Bu Ariana bicara ketika mengantarkan Saga dan Melati ke depan. "InsyaAllah, Bulek," jawab Melati sambil tersenyum."Ayoklah, kita agendakan untuk jalan-jalan. Ke pantai Parangtritis atau ke mana saja yang kalian inginkan. Kita bisa berangkat pagi biar pulangnya nggak kesorean." Bu Ariana memandang Saga dan Melati bergantian."Bagaimana, Mel?" Saga bertanya pada Melati."Kapan?""Selonggarnya kamu saja. Kalau bulek dan Saga kan ngikut saja. Sebab hari Minggu pasti Saga libur, tapi kafemu pasti ramai.""InysaAllah, Bulek. Saya usahakan."Bu Ariana tersenyum. "Bulek tunggu kabar dari kalian.""Kalau gitu, kami pulang dulu, Bulek," pamit Saga."Iya, hati-hati."Bu Ariana masih berdiri di teras meski mereka sudah hilang dari pandangan. Sebenarnya tak sabar melihat mereka bersama. Sebab dia bisa merasakan kalau di antara k
Waktu yang Hilang- 30 Seminggu Saja"Kalau aku nggak ngasih tahu ke mana membawa Moana, apa kamu nggak percaya padaku, Mas?" suara Melati di seberang terdengar kecewa."Aku ibunya. Aku juga ingin bersama anakku meski hanya beberapa hari saja. Udah kubilang kalau Moana akan kuantarkan lagi pada, Mas."Hening. Akbar menatap mendung yang berarak di angkasa. Dia ingin tahu di mana Melati tinggal selama ini. Kerja apa? Jika dia bekerja, bagaimana bisa mengajak Moana."Biarkan, Bar. Melati bilang akan mengantarkan Moana lagi. Percayalah. Dia ibunya, pasti akan menjaga Moa dengan baik,"ujar Pak Norman yang mendengarkan percakapan anak dan mantan menantunya.Akbar mendesah panjang. Sungguh berat ia untuk menyetujuinya. Terlebih tidak tahu ke mana Moana akan dibawa Melati.Setelah berpisah dengan Melati dan rumah tangganya bersama Nara bagai kerakap tumbuh di batu, hidup segan mati tak mau, Moana merupakan penyemangat hidupnya. Pelipur lara. "Aku akan mengantar Moana kembali padamu, Mas. Aku
"Kenapa kamu izinin mantanmu bawa Moa? Bagaimana jika nanti dia nggak mulangin lagi ke kamu?" teriak Bu Rista dengan nada marah. Malam itu saat mereka tengah duduk di ruang keluarga."Ma, sabar," jawab Pak Norman. Jaga emosimu. "Papa yang menyuruh Akbar supaya mengizinkan Melati ngajak Moana. Hanya seminggu saja. Melati sudah banyak mengalah dan terluka, Ma. Biarlah dia mengajak Moana beberapa hari saja."Bu Rista ganti menatap marah pada suaminya. Namun sebelum dia buka suara, Pak Norman kembali berbicara. "Mama, nggak usah khawatir. Melati pasti menepati janjinya. Nanti papa yang bicara sama dia."Meski marah, wanita itu akhirnya diam. Dia ingat kalau harus tetap menjaga emosi. Jika sampai mengalami stroke sungguhan, malah dirinya tak berdaya untuk merawat cucunya.Akbar yang duduk di sana, hanya diam saja sambil menatap layar televisi. Meski begitu, ia tidak tahu apa acara yang tengah dilihatnya. "Lagian biar Akbar juga bisa menyelesaikan permasalahannya dengan Nara," kata Pak Nor
Waktu yang Hilang- Om Saga Akbar merogoh ponsel dari dalam sakunya untuk menghubungi Melati. Pada deringan kedua, panggilan langsung dijawab."Halo, Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Kamu di mana? Apa sudah berangkat? Aku ada di depan rumah Budhe Tami sekarang.""Ya, Mas. Kami berangkat jam setengah enam tadi."Akbar melihat jam tangannya. "Berarti masih di perjalanan. Ke stasiun apa ke terminal?""Nanti saja kita ketemu lagi saat aku mengantarkan Moana pulang."Akbar mendengkus kasar. Melati keukeh tidak mau memberitahunya. Tapi jika Melati naik taksi atau pun angkot, kenapa tidak ada suara kendaraan. Yang ada hanya hening. Suara Moana juga tak terdengar.Tadi malam Akbar sempat menyarankan supaya Tini diajak, tapi Melati menolak. Selagi Moana ikut bersamanya, biarlah Tini pulang untuk bercuti."Mas Akbar, nggak usah khawatir. Moana pasti akan pulang tepat waktu. Akan kutepati janjiku.""Oke," jawab Akbar tidak bersemangat. "Apa Budhe Tami ikut juga?""Hu um, Budhe ikut aku. Nan
Melati mengembalikan ponsel ke dalam tasnya."Sopo, Nduk?" tanya Budhe Tami."Saga, Budhe. Tanya sudah berangkat apa belum.""Oh. Tapi nanti setelah kamu nganterin Moana pulang, bisa jadi Moa akan cerita kalau bertemu dengan Omnya.""Nggak apa-apa, saya akan bilang terus terang kalau Mas Akbar bertanya," jawab Melati sambil menatap Budhe Tami yang duduk di sebelahnya. Melati tampak tenang, tapi budhenya khawatir. Bisa saja akan terjadi kesalahpahaman di antara kakak adik itu dan keponakannya. Memang jelas kalau Melati dan Akbar sudah resmi bercerai, tapi konflik baru bisa timbul karena mereka sama-sama tinggal di Jogja."Apa yang hendak di permasalahkan, Budhe. Saya yang lebih dulu pergi ke Jogja. Mana saya tahu kalau akan tinggal di lingkungan kerabatnya Saga. Begitu juga dengan Saga. Dia juga nggak tahu kalau saya berada di kota yang sama.""Iya, budhe paham. Kalau kemarin kamu ngasih oleh-oleh bakpia. Akbar sekarang tahu kamu tinggal di mana.""Untungnya Budhe ngingetin aku kemar
Waktu yang Hilang- Minggu PagiMelati tercekat di anak tangga ketika mendengar ucapan Saga. Tubuhnya gemetar. Benarkah apa yang ia dengar?Sejak dulu Saga memang perhatian padanya. Menjaga jarak ketika ia menikah dengan Akbar. Tapi tetap dekat dengan cara sewajarnya. Lantas kembali perhatian setelah Akbar mengkhianatinya.Jujur saja sekarang ini terkadang hati kecilnya merasakan perhatian yang berbeda. Namun Melati mengabaikan. Dia menganggap itu hanya perasaan yang berlebihan dan tak tahu diri. Bukankah sejak kecil lagi mereka telah berteman dan Saga memang lelaki yang baik?Namun malam itu, ia mendengar sendiri dengan jelas pengakuan Saga. Mungkinkah dia salah dengar?Melati masih diam, menetralisir hatinya yang berdebar-debar dan tubuhnya yang gemetar.Setelah menarik napas dalam-dalam, Melati kembali menaiki dua anak tangga. Tersenyum pada mereka yang duduk di karpet depan televisi."Moa, kenapa gelendot saja sama Om Saga. Ayo, tidur! Besok Om Saga harus kerja," ucap Melati sambi
Hingga tengah malam Melati belum bisa tidur. Sosok Saga dan ucapannya tadi masih terngiang di telinga. Perasaannya campur aduk. Hingga bulir bening jatuh dari sudut matanya.Jujur saja, dia pernah merasakan jatuh hati pada teman masa kecilnya itu. Namun melihat Saga yang bersikap biasa saja dan hanya menganggapnya seperti teman-teman yang lain, Melati tahu diri. Hingga suatu ketika Akbar mendekati, melamar, dan menikahinya. Perasaan pada Saga terkubur, karena sadar tak mungkin akan terbalas. Melati mencintai Akbar yang telah menjadi suaminya. Mengabdi sepenuh hati, kendati mama mertuanya selalu bersikap sinis. Hanya karena dia anak dari Hasanah. Perempuan yang menjadi sahabat dari rivalnya.Lantas rasa cinta, kepercayaan, dan kesetiaannya dikhianati oleh sang suami. Hancur lebur perasaan yang ia pupuk dan ia jaga dengan baik. Kemudian sekarang, Saga mendekati dan mengungkapkan perasaannya. Membuat Melati diliputi kebimbangan, takut, dan tidak percaya diri.Sampai lewat tengah malam M