Waktu yang Hilang- Kenangan Jika dulu ucapan begini dianggap hal biasa oleh Melati, lain pula terasa sekarang. Mereka tak lagi ada ikatan sebagai kerabat. Namun dua orang dewasa yang kembali dipertemukan setelah beberapa waktu berpisah. Dua insan yang sudah berteman semenjak masih kecil lagi. Namun Melati tetap menjaga sikap, meski dadanya bergemuruh. Senyum wanita itu terbit seraya tengadah memandang Saga. "Pulanglah, sambangi Papamu, Ga. Dia pasti kangen sama kamu."Saga mengangguk. "Ya, pasti aku pulang. Tapi belum bisa nentuin kapan waktunya. Bulek Ariana juga ingin bertemu papa. Aku belum bisa menyanggupi kapan akan mengajaknya ke Malang."Keduanya menatap gerimis yang berubah menjadi hujan lebat. Beberapa orang pengunjung nekat pulang dan sebagian lagi masih duduk di bawah kanopi tempat parkir. Yang membawa mobil juga langsung pergi."Duduklah dulu, Ga." Melati mengajak Saga duduk di kursi teras kafe."Kamu tidur di sini juga?" tanya Saga memandang ke arah dalam."Ya. Bersama
Melati masuk ke kafe, tidak lama kemudian keluar sambil membawa mantel dan memberikannya pada Saga."Mel, lihat ini kekecilan!" Saga menunjukkan mantel milik Melati yang hanya numpang di tubuhnya."Astaga, aku nggak mikir kalau mantelnya nggak bakalan muat, Ga." Melati tertawa lepas sambil menutup mulutnya."Percuma juga kupakai. Udahlah, nggak apa-apa aku kehujanan. Nanti sampai kosan aku ganti baju.""Hati-hati kalau gitu. Jalanan licin soalnya."Saga mengangguk. Kemudian melangkah ke arah motornya. Melambaikan tangan pada Melati lantas melaju pergi.Melati baru masuk ke dalam kafe setelah Saga menghilang dalam derasnya hujan. Wanita itu menyapa Mbak Harti yang masih di dapur, makan malam bersama dua karyawannya. "Mbak Mel, nggak mau makan dulu. Ini saya bikin ayam geprek." Wanita setengah baya dengan tubuh berisi itu menawari Melati makan."Nggak usah, Mbak. Saya sudah makan sore tadi." Setelah mengambil satu botol air mineral, Melati bergegas menaiki tangga. Di lantai dua ada dua
Waktu yang Hilang- Malam Minggu "Tadi malam kamu dari mana? Pulang telat banget," tanya Giri pada Saga yang tengah memakai sepatunya di depan pintu kamar kos pagi itu."Karena hujan makanya aku menepi dulu." Saga belum ingin jujur kalau ia baru dari Kafe Kasturi. Bahkan bertemu dengan seseorang yang istimewa di kafe itu.Saga berdiri dan melangkah ke arah motornya. Giri pun mengikuti. Setiap hari mereka memang berangkat bebarengan meskipun beda kantor."Ssstt, tadi malam kamu di cariin Farhana," ucap Giri lirih.Saga yang tengah memakai sarung tangannya mengernyit heran. "Untuk apa nyariin aku?""Tadi malam kan ada acara pengajian di rumah Bu Ipah. Makanya mereka ngirimi makanan anak-anak kos."Bu Ipah ini ibu kostnya mereka. Juga mamanya calon dokter, Farhana."Kebetulan ada temanku yang mampir karena kehujanan, akhirnya jatahmu kukasihkan sama dia.""Ya, tak apa. Lain kali kalau aku tidak ada di kosan, misalnya ada yang ngasih makanan, kamu ambil nggak apa-apa. Sayang kan, itu rez
Kenyataannya sekarang jauh dari segala impian. Siapa menduga kalau orang tua Sindi berteman baik dengan mertuanya. Porak-poranda sudah harapannya."Tolong beritahu aku, apa dengan kata maaf dariku bisa merubah segalanya? Nggak, 'kan?" Akbar menatap tajam Nara. Membuat perempuan itu ciut nyalinya."Kepada siapa kamu berikan kehormatanmu? Pak Yahya atau bosmu yang juga rekan bisnisku? Atau malah pada laki-laki yang aku tidak tahu."Nara menunduk. Sakit rasanya mendengar pertanyaan itu dari sang suami. Tapi wajar saja, kalau Akbar penasaran. Sebab ia sudah terlanjur kecewa dan marah karena kebohongannya."Lupakan pertanyaanku jika kamu nggak mau menjawab." Akbar bangkit dari duduknya, lantas melangkah masuk kamar. Membuka pintu dan keluar lalu turun ke lantai bawah. Tidur di kamar lain dan membiarkan Nara sendirian di balkon.Tangis Nara pecah. Pulang malu pada keluarga, kerabat, dan teman-temannya. Karena dia sudah pamer kalau hidup bahagia dengan Akbar. Kalau pergi, hendak pergi ke man
Waktu yang Hilang- Fighter Sejati Melati tidak langsung mengiyakan, justru ia bingung dengan pelawaan wanita yang baru ditemuinya hari ini. Baru kenal dan dia begitu ramah."Saga cerita banyak tentang kamu dan ibumu. Ternyata dulu Mbak Ariani berteman baik dengan ibumu. Mari kita lanjutkan hubungan silaturahmi di antara mereka dulu. Datanglah ke rumah, biar Saga yang akan menjemputmu besok."Akhirnya Melati mengangguk. "Ya, Bulek. Kalau gitu saya tinggal ke belakang sebentar. Saya mau menyiapkan makan malam. Nanti kalau mau salat Maghrib, mushola di sebelah sana." Melati menunjuk ke arah samping kafe. Di sana ada bangunan kecil yang difungsikan untuk musholla."Oke," jawab Saga.Melati bangkit dan melangkah ke belakang. Saga memerhatikan hingga wanita itu hilang di balik pintu dapur."Dia wanita yang lembut dan cantik, Ga," ujar Bu Ariana.Saga tersenyum. Melati memang tipe perempuan yang ia sukai. "Kenapa kakakmu tega menduakannya? Apa dia nggak belajar dari masa lalu papa kalian?"
Melati sangat beruntung mendapatkan banyak nasehat dan pandangan hidup dari Bu Ariana. Jiwanya merasa lebih lapang dalam menyikapi apa yang dialami sekarang ini. "Kalian berhak menjauh dari orang-orang yang egois. Hanya mau dimengerti tapi nggak mau timbal balik saling pengertian. Remove toxic people. Tak mengapa kita memiliki circle pertemanan yang kecil, tapi menyisakan orang-orang yang tahu bagaimana saling mengerti dan mendukung, bukan menikung. You deserve to be happy." Kalimat panjang dari Bu Ariana, sangat bermakna bagi Saga dan Melati. Mereka dapat ilmu gratis. Andai Melati butuh membayar psikolog, sudah berapa uang yang harus ia keluarkan. Dikarenakan pengunjung kafe semakin ramai, terpaksa Melati meninggalkan Saga dan Bu Ariana untuk membantu karyawannya di kasir.Tidak lama kemudian Saga dan Bu Ariana pun pamitan. Mereka berdua menghampiri Melati di kasir depan."Melati, makasih untuk makan malamnya. Kapan-kapan ganti bulek yang akan mentraktirmu. Tapi jangan lupa besok d
Waktu yang Hilang- Takut Kehilangan Saga tersenyum saat melihat Melati muncul dari samping kafe. Dada Melati pun berdesir ketika lelaki gagah yang duduk di atas motor itu tersenyum di balik kaca helm-nya."Mel, mana helm-mu? Aku tidak punya selain yang aku pakai," tanya Saga setelah Melati mendekat."Oh, bentar aku ambil dulu."Melati bergegas kembali ke dalam untuk mengambil helm. Dia tidak ingat untuk membawanya tadi. Saga tidak memiliki helm cadangan. Benarkah dia memang tidak memiliki kekasih seperti yang dia bilang beberapa hari kemarin?Bertahun-tahun dia terbiasa berinteraksi dengan Saga, tapi canggungnya tidak seperti hari ini. Debaran di dadanya sudah sangat berbeda. "Kok balik lagi, Mbak?" tanya Mbak Harti."Ngambil helm, Mbak," jawab Melati sambil meraih benda itu di atas kulkas dapur. Ia pamitan lagi pada tukang masaknya, lantas tergesa keluar menemui Saga.Baru kali ini ia dibonceng Saga pakai motornya. Selama di Malang, mereka tidak pernah berboncengan. Saga selalu me
Jam sebelas siang, Melati mengajak Saga untuk pamitan. Ia harus segera kembali, karena biasa hari libur begini kafe sangat ramai."Seringlah kalian berdua main ke sini!" Bu Ariana bicara ketika mengantarkan Saga dan Melati ke depan. "InsyaAllah, Bulek," jawab Melati sambil tersenyum."Ayoklah, kita agendakan untuk jalan-jalan. Ke pantai Parangtritis atau ke mana saja yang kalian inginkan. Kita bisa berangkat pagi biar pulangnya nggak kesorean." Bu Ariana memandang Saga dan Melati bergantian."Bagaimana, Mel?" Saga bertanya pada Melati."Kapan?""Selonggarnya kamu saja. Kalau bulek dan Saga kan ngikut saja. Sebab hari Minggu pasti Saga libur, tapi kafemu pasti ramai.""InysaAllah, Bulek. Saya usahakan."Bu Ariana tersenyum. "Bulek tunggu kabar dari kalian.""Kalau gitu, kami pulang dulu, Bulek," pamit Saga."Iya, hati-hati."Bu Ariana masih berdiri di teras meski mereka sudah hilang dari pandangan. Sebenarnya tak sabar melihat mereka bersama. Sebab dia bisa merasakan kalau di antara k