Gama diam mendengar buleknya bicara. Mulutnya susah untuk mengunyah. Terasa perih dan kaku. Ditambah lagi kata-kata Bu Ariana yang secara tidak langsung telah menyalahkannya. Saga telah merebut perhatian banyak keluarganya. "Kamu tahu, Nak. Apa yang tersisa dari seorang laki-laki jika telah kehilangan kehormatan, martabat, ketangguhan, kemampuan, lebih parahnya lagi kehilangan harga diri. Apa yang tersisa coba? Selain seonggok daging yang bernyawa." Ucapan Bu Ariana begitu menohok bagi Gama."Bulek sayang sama kalian berdua. Sangat berharap kalian bisa rukun. Bulek nggak akan berat sebelah. Siapa yang salah, dia yang akan bulek tegur. Menyalahkan orang lain adalah hal paling mudah. Namun tanpa sengaja, kadang telah menjatuhkan harga diri sendiri. Bersainglah secara sehat dan terhormat, Nak."Hening. Bu Ariana menuangkan segelas air putih di gelas bening untuk Gama."Kamu sudah menyambangi Fellycia?" tanya Bu Ariana mengalihkan pembicaraan. Sebab laki-laki seperti Gama tidak bisa dige
Waktu yang Hilang- Kaget Sekarang Akbar baru mengerti, betapa berharganya seseorang yang pernah membersamainya setulus hati. Melati tidak hanya sekedar menemani, tapi juga menerima kekurangannya dengan lapang hati. Menjaga dengan baik rahasianya selama ini, meski mereka tidak lagi menjadi suami istri. Rela dituduh oleh ibu mertua dan kerabat lainnya yang mengantakan kalau Melati mandul.Akbar ingat bagaimana wanita itu membersamai dan memberinya semangat untuk memulihkan diri, di antara kebencian dan tuduhan ibu mertua yang mengatai dirinya tidak bisa melahirkan cucu penerus keluarga mereka. Padahal sesungguhnya sang putra yang bermasalah.Tiap hari tak bosan mengingatkannya untuk mengkonsumsi suplemen penunjang kesuburan. Melati sabar, bahkan dikala menghadapi perselingkuhannya. Akbar ingat bagaimana tiap malam Melati berusaha mengambil hatinya, tapi selalu diabaikan saat ia mulai gila dengan Nara.Akbar ingat dan sangat menyesali. Seburuk itu dia memperlakukan Melati. Rasanya beg
Saga diam beberapa saat. "Iya, boleh," jawab laki-laki itu akhirnya. Walaupun ia ragu dengan perasaan Akbar, tapi Saga percaya pada istrinya. Meski rasa tak nyaman itu tetap saja ada dalam benak.Sejenak Saga berbicara pada seorang staf wanita yang mengetuk pintu dan masuk ke ruangannya. "Ada apa, Mas?" tanya Melati saat mendengar suara perempuan di seberang sana."O, dia staf di sini. Ngasih tahu kalau aku harus ke ruangan Pakde Benowo sekarang.""Ada meeting, ya?""Ya," jawab Saga singkat. Ia tidak mungkin menceritakan kalau dirinya akan di sidang bos sekaligus pakdenya karena masalah dengan Gama kemarin sore. Apalagi hari ini Gama tidak masuk kantor. Melati pasti khawatir kalau tahu ia habis berkelahi dengan Gama. Terlebih masalah itu sekarang melibatkan kerabatnya yang lain."Sayang, nanti kutelepon lagi. Assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam."Saga bangkit dari duduknya. Apapun yang terjadi, ia harus siap menghadapi. Jika Gama tidak sampai masuk kantor hari ini, mungkin lukanya ke
Waktu yang Hilang- Berdebar Tini tidak jadi ke kamar Moana, ia kembali menemui gadis kecil yang sedang bermain di teras samping."Mbak Tini, mana buku mewarnainya?" tanya bocah kecil itu heran karena Tini kembali tanpa membawa apa-apa."Nanti ya, nanti Mbak ambilkan. Kamar Moa masih di bersihin sama Mbok Sarwi," jawab Tini sekenanya. Padahal kamar majikan kecil itu tidak ada yang berani menyentuhnya selain Tini. Moana memandangi Tini yang duduk mematung. Tidak biasanya Moana melihat Tini termenung. Setiap bersamanya, gadis itu selalu ceria. Mengajaknya bicara dan bercerita. Terkadang sampai Moana bilang, "Aku capek ngomong, Mbak Tini." Dan Tini akan tertawa sambil mengusap rambutnya.Gadis kecil itu kembali bermain menyusun puzzle. Tini yang biasanya turut mengarahkan kini hanya bengong sambil memandang Moana.Apa dia tadi salah dengar? Tidak mungkin salah dengar. Sampai sekarang degup jantungnya kocar-kacir tidak karuan. Tubuhnya juga masih terasa gemetar dan panas dingin. Setelah
"Tin." Suara Bu Rista dan ketukan di pintu kamar membuat Tini kaget bukan main. Jantungnya serasa hendak melompat keluar. Astaghfirullah."Ya, Bu." Tergesa Tini membuka pintu. "Kamu sudah siap?""I-iya, sudah ini.""Nanti bawa roti yang udah aku siapakan di meja makan ya. Kasihkan sama Melati.""Njih, Bu. Saya mau berangkat sekarang." Tini berbalik dan mengambil tas di atas kasur. "Kamu kelihatan gugup gitu. Ada apa?" tanya Bu Rista penasaran."Nggak ada apa-apa, Bu," jawab Tini sambil menuruni tangga. Separah itukah rasa gugupnya, sampai Bu Rista bisa membacanya."Kamu ngambil cuti berapa hari untuk nikahannya adikmu?""Dua hari, Bu. Sehari sebelum temu manten dan pas temu manten saja.""Sudah bilang sama Mas Akbar?""Belum. Nanti sore saya akan bilang. Saya pergi dulu, Bu." Pamit Tini setelah mengambil barang yang akan diberikan ke Melati."Tunggu dulu."Tini berhenti dan menunggu Bu Rista mengambil tas berisi sebuah kotak. "Kamu mampir dulu ke rumah Bu Lurah. Antarkan kue ini, ya
Waktu yang Hilang- Perpisahan Akhir Pekan "Sayang, buka pintunya!" Saga langsung bicara saat Melati menerima panggilannya. "I-iya. Sebentar, Mas," jawab Melati gugup sambil membuka pintu kamar dan menyalakan lampu ruang tamu. Kaget juga tengah malam Saga sampai di Malang. Jam berapa berangkat dari Jogja tadi. Padahal kemarin bilang kalau dia akan pulang Sabtu siang karena masih ada acara di kampus.Melati membuka pintu depan. Saga berdiri tegak dengan jaket hitam yang membalut tubuhnya, tersenyum pada sang istri. Laki-laki itu langsung merangkul Melati. Mengecup keningnya, setelah itu baru kembali mengunci pintu."Kaget, ya?" Saga merangkul Melati sambil melangkah masuk ke dalam."Iya. Katanya Mas pulang masih besok. Pantesan tadi aku chat nggak dibalas." "Tadi aku pulang dari kantor jam tiga. Masih mampir ke bulek dulu. Pulang ke rumah terus mandi, makan, langsung berangkat ke sini." Mereka berhadapan, Melati sampai mendongak supaya bisa memandang wajah yang dirindukannya. Padah
"Bagaimana dengan kuliahmu?" tanya Pak Norman."Minta doanya, Pa. Agar saya bisa wisuda setengah tahu lagi.""Tentu papa doakan. Pekerjaanmu juga lancar, 'kan?""Alhamdulillah, lancar," jawab Saga tidak berniat untuk membagi tahu tentang perselisihannya dengan Gama. Daripada nanti menambah beban pikiran papanya.Ayah dan anak berhenti ketika mereka sampai di kebun teh. Tak terasa joging sambil ngobrol, membawa mereka sampai di perkebunan. Jarak yang lumayan jauh.Aroma wangi daun teh begitu menenangkan di tambah pemandangan yang menyejukkan mata. Hijau berselimut kabut. Tampak di ujung timur sana, sekelompok perempuan tengah asyik memetik daun teh.Dua laki-laki itu sekarang hanya bisa memperhatikan. Menumpang dalam menikmati pesona hamparan kebun teh yang pernah memberikan kehidupan bagi Saga. Hamparan kebun yang dulunya Pak Norman sebagai penguasa. Namun mereka berdua tak pernah mempermasalahkan lagi kalau sekarang Akbar yang berkuasa di sana."Duduk dulu, Pa." Saga mengajak sang pa
Waktu yang Hilang- Bukan Pilihan Moana kegirangan bermain di kids zone sebuah pusat perbelanjaan. Sejenak dia lupa dengan rasa kehilangan dua hari berturut-turut. Asyik berbaur dengan anak-anak lain yang ia temui kali ini di pusat permainan.Akbar duduk memperhatikan tidak jauh dari sang anak. Melihat keceriaan Moana, hatinya merasa lega. Namun terbesit luka dari rasa sesal yang tidak pernah ada kesudahan.Moana adalah anugerah dari ketidaksempurnaannya. Mungkin dia yang akan menjadi satu-satunya zuriat yang hanya ia miliki sepanjang hidup. Buktinya Melati juga tidak hamil lagi meski tak lagi memakai kontrasepsi. Sedangkan dengan Saga, wanita itu langsung mengandung.Anaknya yang menjadi korban atas ketidaksetiaannya pada pernikahan. Bukan salah Melati jika tidak ingin bertahan, karena tidak semua sanggup memberikan kesempatan kedua. Akbar menarik napas dalam-dalam. Sikap yang membuat beberapa orang memperhatikan dengan heran.Kebanyakan yang menunggu putra-putrinya bermain adalah k