Besok adalah hari dimana aku akan memulai petualangan baru. Aku bersama Agus akan pergi ke Kota Malang. Sebenarnya aku juga masih tinggal di Malang hanya saja aku tinggal di Kabupaten Malang di mana apabila ingin ke kota harus menempuh perjalanan kurang lebih 3 sampai 4 jam menggunakan sepeda motor. Malam hari sebelum berangkat, aku datang ke rumah Agus untuk memastikan persiapan dia untuk besok. Dari kejauhan aku sudah melihat Agus duduk di teras rumahnya.
“Woiii… Gus gimana?” Teriakku dari kejauhan yang membuat Agus kaget.“Hah… gimana apanya?” Jawab Agus sambil memegang dadanya karena terkejut.“Kita kan besok berangkat ke kota Gus!” Jawabku sangat antusias.“Waduh.. Aku gak bisa ikut man, aku gak mungkin dapat izin dari bapakku. Tahu sendiri kan aku harus bantu rawat ternak sama sawahnya bapak.” Jawab Agus sambil gelisah.“Coba izin dulu lah Gus, masak belum dicoba udah gak bisa. Bapakmu pasti setuju kalau kita ke kota buat cari kerja, bilang aja nanti kita bakal pulang bawa banyak uang.” Rayuku ke Agus.“Waduh.. gimana ya man?” Jawab Agus sambil garuk-garuk kepala“Yaudah gus besok aku jemput jam 9 ya, kamu harus sudah siap lo ya.” Ucapku sambil beranjak pergi.Terlihat dari kejauhan Agus sangat gelisah dan bingung. Di tempatku memang sedikit sulit untuk anak muda merantau. Bukan karena kita tidak mandiri, tapi lebih karena beberapa orang tua yang ingin anaknya untuk melanjutkan pekerjaan keluarga. Seperti petani, peternak sampai pedagang. Kecuali kalau orang tua kita tidak memiliki sawah dan ternak atau orang tua kaya yang memiliki pegawai untuk merawat sawah dan ternak. Tapi bagi kita yang termasuk dalam keluarga sedang-sedang saja ya banyak tantangan untuk merantau apa lagi berfikir untuk kuliah.Keluarga Agus di kampung cukup terpandang karena memiliki beberapa petak sawah dan beberapa ekor hewan ternak, seperti kambing dan sapi. Sehingga sebelum lulus sekolah dulu Agus sudah disibukkan dengan mengurus ternak. Yang unik di desa kami hampir setiap anak cowok memiliki tabungan hewan ternak seperti kambing atau sapi, dengan konsep orang tua membelikan kambing atau sapi yang masih sangat kecil lalu yang merawat atau yang mencarikan makan adalah anak cowok tersebut. Setelah dewasa sang anak bebas menentukan mau digunakan untuk apa hewan ternak tersebut. Yang paling banyak adalah dijual lalu hasil penjualannya digunakan untuk menikah. Terlihat sangat sederhana dan mudah ya untuk kita hidup di kampung.Dalam perjalanan pulang, aku melewati rumah Sari, teman saat sekolah. Dulu Sari adalah primadona di sekolahku dan di kampung Agus tentunya. Wajahnya yang cantik, pintar dan tutur katanya yang lembut membuat banyak cowok yang suka, termasuk aku. Pernah aku mencoba mendekati Sari pada saat sekolah, yaitu pada saat aku akan kenaikan kelas 11. Cara termudah buat cowok bodoh sepertiku mendekati Sari yang pintar adalah dengan cara meminta belajar bareng. Saat itu sepulang sekolah aku bertemu dengan Sari. Saat aku melihat kondisi kanan-kiri sepi, aku mulai beraksi, bukan beraksi mencopet atau merampok tapi hanya akan kenalan saja. Mungkin kalian akan bertanya kenapa harus menunggu sepi??? Yang perlu kalian tahu di pertemanan cowok dan cewek itu sangat berbeda dalam memperlakukan tema. Saat temen cewek melihat temannya kenal dengan cowok, maka yang terjadi adalah teman-temannya si cewek akan berusaha untuk mendukung dan memberi semangat. Sedangkan kalau teman cowok melihat temannya berkenalan dengan cewek apa lagi ceweknya cantik, yang terjadi adalah hinaan dan hujatan sampai akhirnya si cowok kenal mental dan mundur. Bagiku ditolak oleh cewek bukan suatu masalah besar, tapi yang menjadi masalah besar adalah saat aku ditolak oleh cewek dan teman-temanku tahu, pasti aib itu akan dicertikan berulang-ulang kali saat nongkrong bareng dan aib itu tidak akan hilang dalam waktu 1 atau 2 tahun saja, bisa sampai kita berumah tangga nanti.Sambil mengendarai sepeda motorku dan Sari jalan kaki saat itu aku menghampiri dia.“Assalamualaikum.. Sari..” Sapaku sedikit ragu.“Wallaikumsalam.. iya..” Jawab Sari sambil menoleh."Sari kenalin aku Wagiman, aku disuruh Bu Sri untuk minta tolong kamu ajari matematika..” Ucapku dengan lancar. Karena kalimat itu sudah aku siapkan sebelumya. Oh.. iya Bu Sri adalah guru matematika di kelasku yang kerjaannya marah-marah terus ke aku karena beliau anggap aku murid yang bodoh. Setiap diterangkan pasti aku tidak paham. Aku juga heran kenapa tidak paham.“Hah.. Bu Sri yang nyuruh..???” Jawab Sari kebingungan.“Iya Sar, aku disuruh Bu Sri..” Jawabku meyakinkan. Meskipun pada dasarnya Bu Sri tidak pernah menyuruhku untuk minta tolong ke Sari.“Emmm.. ya… yaudah belajar di rumahku aja ya..” Jawab Sari Canggung.“Yaudah ayo aku bonceng Sar..” Ucapku sambil bermuka manis.Dengan penuh keraguan akhirnya Sari naik ke motorku. Sebenarnya kita udah sering ketemu karena kelas kita bersebelahan. Hanya saja kita tidak pernah berkomunikasi karena aku berfikir tidak memiliki bahan untuk ngobrol atau hanya sekedar kenal dan baru kali ini aku memiliki ide jenius itu.“Man.. rumahku di depan ini..” Ucap Sari memecah suara bisingnya knalpot racingku.“Oh.. iya..” Jawabku kaget.Sampainya di rumah Sari aku sangat terkejut, karena rumah besar yang dulu sering aku lewati ternyata milik orang tua Sari. Aku langsung dipersilahkan untuk masuk oleh Sari.“Tunggu sini man, aku ganti baju dulu..” Ucap Sari sambil berlalu pergi.Belum sempat menoleh Sari sudah pergi dari hadapanku. Di dalam ruang tamu Sari aku melihat kesana kemari dan pandanganku terhenti di sebuah foto keluarga. Dengan rasa penasaran aku mendekati foto itu. Aku merasa tidak asing dengan wajah bapak Sari.“Siapa ya bapak tua ini, kayaknya pernah ketemu..” Gumanku dengan mencoba mengingat.Belum sempat mendapat jawaban atas penasaranku tiba-tiba suara orang membuka pagar rumah membuatku terkejut. Dari jendela aku mencoba melihat siapa yang datang.“Astagfirullah..” Ucapku dengan terkejut.Aku melihat Pak Rois masuk ke rumah Sari, sempat aku berfikir untuk apa Pak Rois kesini tapi setelah aku ingat-ingat ternyata foto keluarga yang ada di ruang tamu Sari adalah Pak Rois dengan kata lain Sari adalah anak Pak Rois. Saya harap bukan seperti itu. Yang saya harapkan Pak Rois hanya numpang foto saja di keluarga Sari. “Waduh.. waah.. waduh… waahh..” Ucapan itu yang berulang keluar dari mulut manisku.Pak Rois adalah kesiswaan di sekolahku. Guru yang sangat galak dan tegas. Tugas beliau adalah menertibkan anak-anak yang bandel atau tidak patuh terhadap aturan sekolah. Kebetulan aku adalah salah satu siswa yang memberikan beliau pekerjaan di sekolah. Aku adalah anggota tetap yang sering disidang oleh Pak Rois. Sudah puluhan kali poniku dipotong tanpa model oleh Pak Rois, Aku juga pernah dipukul dengan penggaris kayu sampai patah. Yang paling parah aku pernah dikejar Pak Rois karena ketahuan kabur sampai akhirnya beliau jatuh, mungkin apabila badanku ini dirontgen semua sidik jari Pak Roislah yang memenuhi badanku. Sungguh kejam Pak Rois ini.Di sekolah meskipun kita tidak melakukan kesalahan apapun sebisa mungkin kita pasti akan menghindari Pak Rois. Bahkan hanya melihat beliau dari kejauhan saja kami sudah merasa terancam dan mencoba mencari tempat persembunyian. Kali ini aku sendiri yang malah datang ke rumah Pak Rois. Entahlah apa yang selanjutnya akan terjadi.“Assalamuaikum…” Suara Pak Rois yang menggelegar itu aku dengar.“Waa..wa..wa..” Saat itu aku lupa harus menjawab apa, seketika pelajaran agamaku hilang.“Loh.. Giman.. ada apa le..??” Tanya beliau ke aku.“Emmm.. emm.. emmm.. hehehe.. Bapak..” Jawabku seperti bayi yang baru belajar bicara.“Man.. Ada perlu apa?” Tanya Pak Rois lagi.“It… it.. tu.. ma.. ma… uu.. anu pak…” Mulutku sangat sulit untuk dibuka, mungkin syaraf yang ada di rahangku juga ikut panik saat itu. Karena sudah tahu bahwa di depan ada orang yang sering menampar pipiku dengan kalimat yang katanya sayang.“Saarrr… Sarriii..” Teriak Pak Rois.“Iya Pak..” Jawab Sari sambil mencium tangan Pak Rois.“Ini ada Wagiman, kamu yang ngajak kesini?” Tanya Pak Rois ke Sari.“Iya Pak.. Giman mau belajar bareng katanya..” Jawab Sari dengan lembut sambil ada beberapa kalimat yang tidak bisa aku dengar. Entah karena suara mereka yang terlalu pelan atau indra pendengaranku yang sudah tidak berfungsi lagi dalam keadaan panik seperti ini.Melihat obrolan Pak Rois dan Sari saat itu membuatku seperti menjadi tawanan perang. Dalam pikiranku cuma satu, bagaimana caranya agar aku bisa kabur dengan selamat.“Yaudah Man kamu lanjut belajar dulu sama Sari, Oh.. Iya sudah makan kamu man?” Ucap Pak Rois.“Iy.. iya.. Pak.. Su.. sudah pak. ” Jawabku singkat.Pak Rois berlalu meninggalkan aku dan Sari.“Ayo man bab mana yang kamu belum paham?” Tanya Sari sambil mulai membuka buku.“Hah.. bab apa Sar?” Tanyaku bingung.“Katanya kamu mau belajar matematika..” Ucap Sari.“Oh..iya..iya..” Jawabku dengan lancar, seolah-olah semua syaraf sudah kembali berfungsi pada semestinya.Hampir 30 menit kita belajar bareng. Hmmm.. bukan belajar bareng sebenarnya, yang lebih tepat adalah Sari yang mengajariku. Sari adalah orang yang sangat sabar menghadapi kebodohanku, tidak seperti bapaknya.“Sar Pak Rois bapakmu?” Tanyaku sedikit ragu.“Iya..” Jawab Sari singkat.“Sudah berapa lama..?” Tanyaku lagi.“Apanya?” Jawab Sari.“Oh.. Bukan, Kok aku gak tahu ya?” Tanyaku sok asik.“Iya buat apa tahu..?” Jawab Sari singkat.“Oh.. iya ya.” Ucapku sedikit bingung, dalam pikiranku buat apa aku tanya seperti itu sangat tidak penting untuk ditanyakan.“Bapak sering cerita tentang kamu loh tapi..” Tiba-tiba ucap Sari.“Hah.. iya kah..” Jawabku kaget.“Cerita apa?” Tanyaku antusias.“Ya kelakuanmu sama temen-temen di sekolah yang nakal” Jawab Sari.“Hehehe..” Aku tersenyum, merasa bahwa itu suatu yang hebat dan keren.“Aku ya kalau punya anak kayak Giman sudah aku usir dari rumah kalau gak sudah aku pukulin tiap hari. Masak ada anak kayak gitu, susah banget diatur, mau jadi apa dia kalau udah besar?” Ucap Sari menirukan ucapan bapaknya.“Heh.. glek,” aku hanya bisa menelan ludah mendengar ucapan Sari dan Sari masih menceritkan keburukanku yang diceritkan bapaknya.Mendengar cerita Sari aku mulai pesimis terhadap usahaku mendekati Sari.“Sar.. makan dulu..” Teriak Ibu Sari dari dalam rumah.“Iya bu..” Jawab Sari.“Man aku makan dulu ya..” Ucap Sari sambil pergi.“Iya Sar..” Jawabku singkat, dalam batin aku mikir kenapa ya aku tidak ditawari makan, apa aku tidak kelihatan ya.Dalam kondisi yang tenang, tiba-tiba Pak Rois datang menghampiriku di ruang tamu.“Pak..” Sapaku duluan.“Sini man…” Ucap Pak Rois sambil melambaikan tangan.Dengan reflek aku langsung berdiri dan menghampiri Pak Rois. Di sekolah aku sangat paham dengan kode lambaian tangan Pak Rois. Saat Pak Rois melambaikan tangan tugas kita hanya mendekat bukan malah menjauh. Karena saat kita menjauh akan semakin berat hukuman yang akan kita terima. “I.. iya.. pak..” Jawabku sambil berjalan.“Ayo duduk sini, kita makan bareng.” Ucap Pak Rois sambil menyiapkan tempat duduk.“Hah.. Tidak usah Pak, masih kenyang.” Jawabku menolak.“Maaann..” Ucap Pak Rois dengan singkat.Mendengar ucapan itu seluruh badan langsung mengiyakan. Karena pada saat di sekolah apabila Pak Rois ngomong dengan nada seperti itu artinya kita harus nurut. “Iyy.. iya pak.” Jawabku sambil mulai duduk.“Makan yang banyak Man biar pinter..” Celetuk Ibu Sari sambil mengambilkan nasi.Saat itu adalah suasana yang membuatku bingung antara senang dan takut, karena sepanjang kita makan Pak Rois menceritakan tentang sikapku di sekolah. Yang membuatku takut adalah semua ceritanya negative dan yang membuatku senang adalah Ibu Sari selalu membelaku. Aku merasa sudah diterima dalam keluarga Sari, batinku dalam hati yang tidak tahu diri ini.Hari menjelang maghrib, akhirnya aku pamit untuk pulang. Sepanjang jalan rasanya hati benar-benar senang melihat matahari terbenam, seolah-olah setuju agar malam segera berganti pagi. Biasanya sekolah menjadi kegiatan yang tidak ku harapkan. Setelah bisa kenal dengan Sari aku baru sadar kalau sekolah adalah satu-satunya harapan untukku meraih masa depan.Pagi ini aku berangkat sekolah dengan penuh harapan, rencanaku tetap sama yaitu pulang sekolah belajar bareng sama Sari. Sesederhana itu cita-citaku saat ini.Sudah hampir seminggu aku selalu belajar bersama Sari. Bila dilihat dari grafik tabel kamampuan harusnya grafikku sudah meningkat. Tapi pada kenyataanya sama saja kata guruku tidak ada perubahan apapun. Meski begitu, seminggu ini aku jauh lebih semangat menjalani sekolah. Setiap bertemu dengan Sari kita selalu mengirim kode-kode untuk nanti belajar bareng. Meskipun pendiam Sari adalah anak yang cerewet dengan apa yang tidak disukai, jadi saat aku belajar bareng ya apabila aku salah berkali-kali aku akan diomelin juga.Di hari ke 10 aku belajar dengan Sari, suasana saat itu sangat dingin Sari tidak sesemangat biasanya dan akupun hanya diam saja melihat Sari yang kurang antusias. Dalam keheningan tiba-tiba Sari bilang,“Man.. besok kamu belajar sendiri aja ya..” Ucap dia dengan raut wajah yang sedih.“Ohh.. iya Sar.” Jawabku singkat tanpa bertanya alasanya.Aku pulang bertanya-tanya adakah yang salah dalam perlakuanku, atau aku yang terlalu bodoh yang membuat Sari marah. Semenjak ucapan Sari itu aku tidak lagi ke rumahnya dan di sekolah pun kita juga kembali seperti asing. Setiap aku sapa dia hanya menunduk lalu pergi.Sekolah membuat aku kembali menjadi seperti orang asing, tidak ada harapan atau orang yang membuatku semangat. Sari kembali menjadi Sari yang sebelumnya. Dia kembali diam tanpa tegur sapa. Setiap aku mencoba dekati, Sari akan menghindar, mungkin seperti perlakuanku kepada Pak Rois.Saat aku duduk di bawah pohon sendiri, Wati tiba-tiba datang menghapiriku. Wati adalah teman dekat Sari.“Man aku mau ngomong!” Ucap Wati sambil menoleh kanan-kiri.“Iya ngomong aja wat..” Jawabku seadanya.“Bener kamu lagi deket sama Sari?” Tanya Wati dengan antusias.“Iya dulu tapi sekarang udah enggak lagi.” Jawabku sedikit acuh.“Ohh.. bener berati kata Bu Sri kemaren.” Ucap Wati.“Hah.. Bu Sri ngomong apa?” Tanyaku kaget.“Bu Sri bilang kalau kamu (Sari) jangan mau dideketi Wagiman nanti kamu ketularan nakal, Giman gak cocok sama kamu, dia cuma mau nyari contekan ke kamu Sar.” Ucap Wati menirukan ucapan Bu Sri.“Masak bilang gitu Wat?” Tanyaku sedikit tidak percaya.“Iya man Bu Sri bilang gitu tadi di kelas. Bu Sri juga bilang kalau Bu Sri tidak pernah nyuruh Wagiman belajar bareng sama Sari, itu cuma akal-akalan Wagiman aja” Ucap Wati semakin semangat cerita.“Sudah Sar jangan mau dideketin Wagiman, dia itu gak punya masa depan mending kamu sama Rian saja, dia pinter.” Imbuh Wati menirukan Bu Sri.“Terus Sari gimana?” Tanyaku dengan antusias.“Ya.. Cuma nundukin kepala aja malu, kan ditertawakan sama temen-temen satu kelas. Kasian aku sama Sari.” Jawab Wati.“Waddduhh.. gimana ya Wat..?” Ucapku kebingungan.“Yaudah yang penting kamu tahu alasannya Sari jauhin kamu apa, kalau bisa minta ma’af ke Sari karena udah bohong.” Jawab Wati sambil beranjak pergi.Akhirnya aku datang ke rumah Sari untuk minta Ma’af, dari kejauhan aku sudah melihat Pak Rois nyuci motornya. Itu yang membuatku maju mundur untuk ke rumah Sari. Setelah membulatkan tekat untuk minta ma’af, aku tetap maju ke rumah Sari.“Assalamuallaikum..” Teriakku dari kejauhan.“Wallaikumsallam.. masuk man.” Jawab Pak Rois.“Mau ketemu Sari atau Bapak?” Tanya Pak Rois.“Ketemu Sari Pak.. Hehehe..” Jawabku singkat.“Saarri ada giman saarr…” Teriak Pak Rois memanggil Sari.Beberapa kali memanggil tapi Sari tidak keluar, akhirnya Pak Rois masuk ke rumahnya. Selang beberapa waktu Pak Rois keluar.“Man.. Sari lagi belajar, mau fokus sama persiapan ujian masuk kuliah katanya, besok-besok aja ya kesini lagi.” Ungkap Pak Rois.“Oh yaudah Pak kalau gitu.” Aku pamit sambil mencium tangan Pak Rois.Sepanjang jalan pulang, seperti ada yang mengganjal. Aku berusaha berfikir apakah ini yang dinamakan patah sebelum tumbuh. Aku berfikir apakah Sari yang menganggapku istimewa sampai dia kecewa atau sebaliknya aku yang dia anggap tidak tahu diri.Semenjak saat itu aku mulai berubah. Sari sibuk dengan mimpi-mimpinya dan aku sibuk menghapus mimpi-mimpiku dengan Sari. Aku ingat Sari pernah bilang kalau dia setelah sekolah akan kuliah agar bisa belajar lebih banyak. Saat itu aku menganggapnya hanya sebatas cerita biasa, tapi setelah melihat kegigihannya belajar aku mulai termotivasi untuk sama seperti dia. Aku sudah terlalu sering dianggap bodoh dan nakal, bahkan guruku sendiri bicara seperti itu, aku sampai berfikir, “andai saja aku pintar mungkin Sari akan mau denganku.” Karena itulah aku memutuskan untuk kuliah agar guru-guruku dan Sari tahu kalau aku bisa menjadi orang pintar.Sabtu pagi dengan persiapan yang sudah lengkap, aku datang kerumah Agus. Tidak lupa aku berpamitan kepada orang tuaku.“Pak.. bu.. aku berangkat ya..” Ucapku sambil mencium tangan kedua orang tuaku.Mata ibuku terlihat berkaca-kaca, sedangkan ayahku biasa saja tapi yang menyebalkan adalah kedua adikku yang tidak peduli. Mereka lebih memilih asik bermain.“Iya man jaga diri di tempat orang, semoga sukses..” Jawab Bapakku.“Iya lee.. makan yang banyak, jangan tidur terlalu malam, kalau uangmu habis kabari..” Ucap Ibuku sedih.Aku berangkat menjemput Agus. Tampak dari kejauhan tidak terlihat Agus dan pintu rumahnya tertutup rapat.“Assalamuallaikum.. Guss.. Aguuss…” Teriakku di depan pintunya.“Wallaikumsallam Iya tunggu..” Terdengar suara Ibu Agus dari dalam.“Owalah giman… duduk man, Agus masih tidur, biar ibu bangunin dulu.” Ucap Ibu Agus sambil menuju kamar.
Aku mengajak Agus berkeliling kota Malang, mulai melihat tugu kota Malang, Alun-alun kota sampai tempat perbelanjaan. Dia terlihat takjub dengan keramain kota Malang karena dikampung kita kegiatan yang membuat ramai adalah hajatan tetangga atau pemilihan kepala desa, itupun tidak seperti di Kota yang hampir setiap waktu pasti ramai dengan aktivitas orang.“Man.. Kita mau kemana setelah ini?” Tanya Agus.“Kita ketemenku aja ya Gus..” Jawabku singkat.“Siapa Man? Kamu gak ada saudara di Malang?” Tanya Agus.“Ada Gus tapi jangan kesana, nanti kita tidak bisa bebas main.” Jawabku sambil memperhatikan jalan.“Oh.. iya.. ya..” Ucap Agus singkat.Rencananya aku akan ajak ketempat temanku yang aku kenal saat tes beberapa bulan yang lalu, namanya adalah devi kebetulan dia sangat beruntung bisa diterima dan berhasil masuk ke Universitas Negeri Malang atau biasa disingkat UM dengan jalur bidik misi. Aku s
Gemuruh kenalpot sepedah motor membangunkan tidurku di pagi hari, hati cukup jengkel kenapa ada orang yang menyalakan motor sekencang ini, aku mencoba membuka dan baru tersadar bahwa ternyata aku tidur tidak dikamarku yang dikampung, dimana jarak jalan yang biasa dilewati kendaraan bermotor hampir 100 meter lebih jadi suara kenalpot sekeras apapun tidak akan membangunkan aku, kecuali temanku sendiri, sedangkan disini tepat dijendela yang jaraknya hanya 3 meter sudah lalu-lalang motor berjalan.Aku bangun dan mencari Agus, karena saat aku periksa diseluruh ruangan kos tidak aku temukan panampakan Agus. Akhirnya aku pergi mandi, yang keren dari kos ku ini dia pakai shower jadi aku berasa hujan-hujanan apabila mandi, tidak seperti dikampung yang harus menimba air dulu untuk mandi. Setelah aku selesai mandi aku bersiap untuk keluar mencari sarapan, sepertinya tidak terlalu jauh karena kemaren aku melihat sepanjang jalan banyak warung berjejer jadi aku memutuskan tidak mengunci ka
Seminggu sudah aku bersama Agus di kota Malang menjadi pengganguran ditempat orang, aku belum mendapatkan pekerjaan dan Agus juga sama belum mendapatkan pekerjaan, tapi Agus masih beruntung dia mendapatkan Devi dan dia ke Malang sejatinya tidak untuk mencari pekerjaan. Hampir setiap hari Agus dan Devi keluar bareng, entah itu pergi jauh atau hanya sekedar mencari makan disekitar kos.Ternyata mencari pekerjaan dikota tidak semudah yang aku bayangkan, semua harus bener-bener butuh proses dan perjuangan lebih, tidak seperti dikampungku yang banyak banget pekerjaan, bahkan orang-orang yang sudah berumur masih bisa mendapat pekerjaan, namun memang hasilnya tidak sebanyak dikota karena memang biaya hidup didesa sangat murah.Mencari, mencari dan mencari, tiba-tiba aku mendapatkan informasi lowongan pekerjaan yang aku pikir sesuai denganku, yaitu lulusan SMA/SMK mau bekerja keras dan memiliki cita-cita yang tinggi, dilamaran tersebut tertulis nominal gajinya yaitu 8 sampai 10 ju
Sudah hampir 1 bulan aku di Kota Malang bersama Agus, aku merasa tidak ada perubahan yang berarti dalam hidupku. Bangun siang, makan, rebahan, keluyuran atau nongkrong sampai larut malam, kegiatan itu yang lebih sering aku lakukan dengan Agus dan beberapa teman-temanku satu kos. Aku sudah mengenal hampir seluruh penghuni kos ini yang mayoritas adalah mahasiswa dan hanya aku dan Agus yang pengangguran. Jujur sebagai anak muda aku sangat menikmati kegiatan ini, apa lagi Agus dia sangat senang sampai-sampai setiap disuruh pulang bapak ibunya dikampung pasti ada saja alasan dia agar tidak pulang.Seperti malam-malam sebelumnya , aku menghabiskan waktu diwarung kopi dengan Agus karena hampir setiap hari ngopi, sampai-sampai aku punya tempat nonkrong langganan disini. Disini kita bisa nongkrong 24 jam kalau mau, bahkan kata pegawai café banyak yang sampai ketiduran disini.Berbeda dengan dikampungku, warung kopi paling ramai dari pagi sampai sore atau maksimal
Pagiku terbangun karena suara Agus yang cukup keras, dia sedang ditelephone oleh orang tuanya karena disuruh pulang.“Agus belum bisa pulang bu,” ucap Agus ditelephone.“Aku keterima kerja di Malang bulan ini bu,” alasan Agus ke ibunya.Aku terbangun dan langsung beranjak ke kamar mandi dan tidak mendengarkan lagi apa yang Agus bicarakan, melakukan aktivitas yang sama dipagi hari, yaitu bangun, mandi, makan dan rebahan sampai tiba sore hari waktunya bekerja.“Kenapa Gus kok ibumu telephone pagi-pagi?” tanyaku sambil mengusap rambut setelah mandi.“Iya Man aku disuruh pulang,” jawab Agus dengan bingung.“Yaa pulang Gus, udah lebih dari 1 bulan kamu gak pulang, kamu juga izinya dulu cuma 3 hari,” jawabku dengan santai.“Haduh.. gimana ya man, udah betah di sini,” jawab Agus cengengesan.Agus ke Kota Malang hanya bermodal 3 pasang baju & celana karena niat dia yang
“Mannn.. bangun Maaaann, menurutmu ini bagus gak?” tanya Agus membangunkan tidurku.“Apa sih Gus masih pagi berisik banget,” jawabku dengan jengkel.“Pagi apa Man..!!! Udah sore ini!!!” balas Agus dengan nyolot.Aku melihat jam dinding dan ternyata memang sudah sekitar jam 3 sore, tidurku benar-benar pulas hari ini. Mungkin karena terlalu lelah, semalam warung bener-bener ramai sampai tidak sempat untuk duduk. Agus membangunkan aku dengan menujukan kotak kecil yang aku sendiri tidak begitu jelas apa itu.“Apa itu Gus?” tanyaku ke Agus.“Lihat Man, ini cicin buat Devi,” jawab Agus sambil menujukan cicin emas yang dia bawa.“Hahh.. Emas asli Gus?” tanyaku dengan ragu.“Iya dong Man tapi Cuma 2 gram,” jawab Agus dengan bangga.“Serius Gus mau ngasi itu?” tanyaku dengan tegas ke Agus.“Iya Man, doain aku diterima ya nanti,” jawab
Pagi hari ini aku bangun cukup pagi, sesuatu yang sederhana tapi sulit aku lakukan beberapa bulan ini. Bukan karena aku malas, tapi aku saja pulang kadang-kadang sudah hampir larut pagi. Aku melihat Agus masih tertidur pulas, aku tidak berani membangunkan dia untuk menanyakan gimana acara makan malam sama Devi apakah sesuai dengan rencana.Aku pergi keluar untuk mencari sarapan, kali ini aku lumayan jauh mencarinya sambil jalan-jalan mencari udara segar di pagi hari. Aku berhenti di sebuah warung pecel yang cukup rame di sekitar kampus UB, aku penasaran apa yang membuat warung ini rame.“Mannn…!!!” terdengar suara sapa seorang dari belakang.Aku menoleh dan mencoba mencari tahu siapa orang yang memanggilku, ternyata dia adalah Cindy.“Hayy.. Cin,” jawabku sembari tersenyum.“Jauh banget man cari sarapan?” tanya Cindy sembari memukul pundaku.“Iya Cin, sambil jalan-jalan sekalian main ketempat
“Ayo Gim balik,” ucap Vina memecah keheningan.“Oh iyaaa,” jawabku singkat.Suasana memang seperti berbeda saat aku dan Vina beranjak pulang, seolah udara semakin dingin dan cahaya lampu kota yang semakin redup. Mungkin karena perjalanan kali ini kami lalui tanpa ada canda dan tanpa ada tutur kata yang terucap, yang menemani perjalan pulang hanya keheningan dan suara angin malam yang tidak seindah biasanya.“Vin Maaf ya,” ucapku ketika sampai dikos Vina.“Udah gak apa-apa, santai aja. Oh iya aku masuk dulu ya Gim, thanks untuk hari ini,” jawab Vina sembari masuk membuka pagar kosnya.Hmmm.. sepertinya tidak ada yang sedang baik-baik saja dalam keadaan sekarang yang sepertinya serba salah, aku sedang berfikir bagaimana caranya supaya dapat memperbaiki hubunganku dengan Vina yang sepertinya bermasalah.Sepanjang jalan menuju pulang aku mencoba berfikir bagaimana cara memperbaiki hubungan, sampai ditengah p
Selang satu hari setelah aku dan Vina membuat kesepakatan untuk membantu Ezza tanpa sengaja aku melihat Vina sedang asik ngobrol dengan Andhini cewek incaran Ezza, dari jauh aku melihat mereka cukup akrab entah bagaimana cara Vina mendekati Andhini tapi yang terlihat didepan mataku seolah tidak ada rasa kaku dari obrolan mereka berdua.“Giiimmm…,” teriak Vina yang mengetahui kehadiranku.“Siniii Gim,” ucap Vina sembari mengayunkan tanganya.Aku hanya tersenyum dan menganggukkan kepala sembari berjalan mendekati Vina dan Andhini di lorong kampus.“Kenalin Gim ini temenku,” ucap Vina sembari menarik tanganku.“Ohh.. iy.. iya Vin,” jawabku dengan terkejut karena semudah itu Vina menyuruh aku untuk kenalan dengan Andhini.“Andhini kak,” ucap Andhini sembari menjulurkan tangan kearah aku.“Gim.. Gimman,” jawabku dengan gugup karena jujur ketika melihat And
Dua hari telah berlalu setelah semua yang aku perintahkan ke Ezza, dia datang lagi menghampiriku sembari menceritakan semua informasi yang dia dapat tentang cewek yang dia suka.Cewek malang yang di sukai oleh Ezza itu bernama Andhini Natasya Putri Purnomo dia adalah mahasiswi baru jurusan management bisnis dia berasal dari Kalimantan Utara tempatnya dari Nunukan, Adhini adalah anak pertama dari lima bersaudara, ayahnya adalah seorang penguasaha dan ibunya adalah ibu rumah tangga. Bahkan Ezza juga menceritakan tanggal lahir Andhini lengkap dengan tanggal lahir keluarganya beserta alamat keluarga Andhini tinggal sesuai dengan catatan yang dia bawa.“Wahhhh keren kamu Za bisa tahu sedetail itu,” ucapku memuji data observasi Ezza yang sangat lengkap.“Hehehehe, ini sih gampang Man,” jawab Ezza sembari memegang kerah bajunya.“Eh kamu tahu makanan kesukaan dia gak?” tanyaku dengan antusias.“Enggak,” jawab Ezza
Melihat dari jauh cewek incaran Ezza membuat aku merasa pesimis dan merasa Ezza adalah cowok yang tidak tahu diri karena selera cewek dia yang terlampau tinggi. Cewek incaran Ezza memiliki paras cantik, modis dan terlihat selalu ceria berbanding terbalik dengan Ezza yang cupu, pemalu dan lebih sering murung.“Man giamana bajuku bagus gak?” tiba-tiba Ezza datang di hadapanku dengan baju anehnya.“Hahhh.., Oh Bagus Za,” jawabku dengan singkat.“Gimana Man?” tanya Ezza lagi dengan antusias.“Gimana apanya?” jawabku pura-pura bodoh.“Apa tugas awalku untuk deketin dia?” tanya Ezza dengan percaya diri.Sial sekali, kenapa aku merasa tertekan dengan semangat Ezza untuk punya pacar. Membuat aku harus berfikir bagaimana solusianya supaya Ezza tidak kecewa ke dua kalinya.“Nanti dulu deh Za aku masih cari strategi,” jawabku memasang muka serius.“Oh gitu, oke deh Man kalau
“Gim kamu bisa temenin aku beli baju?”“Gim kamu mau gak nemenin aku cari kado?”“Gim malam ini nongkrong yuk?”“Gim ayo nanti makan malam bareng?”“Gim sibuk gak? Aku bosen,”Itu adalah beberapa contoh ucapan yang semakin sering aku dengar dari mulut Vina dan yang aneh adalah aku mulai menikmati moment itu dan sama sekali tidak merasa keberatan akan hal itu.Sore hari saat aku sedang duduk santai dikedai kopi depan kampus, Vina datang dengan mobilnya dan dia berhenti tepat didepan gerbang kampus. Setelah aku melihat Vina keluar dan ternyata dia keluar dari bangku penumpang, suara gaduh bisikan teman-teman yang ada disekitarku membuat aku kurang begitu fokus tapi sekilas aku lihat mobil Vina dikemudikan oleh seorang cewek, karena perawakanya yang putih dan berambut panjang.Untunglah yang memakai mobil Vina bukan cowok, sehingga membuat mentalku masih tetap terjaga untuk sedikit berharap d
Semenjak aku meminjam uang Vina hubungan kami semakin dekat, aku merasa harus terus bersikap baik dengan Vina supaya tidak di anggap orang yang tidak tahu balas budi. Meskipun sebelumnya aku juga baik dengan Vina, tapi setelah kebaikan Vina aku merasa harus lebih baik lagi.Beberapa hari ini aku semakin sering di ajak keluar oleh Vina entah hanya sekedar makan atau nongkrong sampai larut malam, aku tidak tahu alasan Vina yang semakin sering mengajak aku untuk keluar. Antara dia tahu aku tidak akan menolak ajakanya karena aku punya hutang atau memang tidak ada pilihan lain selain aku.“Gim nanti kamu kuliah sampai jam berapa?” tanya Vina ketika kami bertemu diparkiran kampus.“Hmmm.. cuma sampai jam enam sore aja Vin, kenapa?” jawabku sembari bertanya balik.“Ayo nanti sore kita nonton,” ajak Vina dengan antusias.“Haahh.. nanti?” tanyaku memastikan.“Iya nanti malam, bisa ya?” jawab Vina dengan
Hari demi hari mulai berlalu, aku masih belum mendapatkan tambahan uang satu juta untuk biaya semesteran kuliah aku. Kepala sudah mulai semakin tegang lagi karena waktu yang semakin terbatas, ada satu solusi yang sepertinya akan aku pakai. Tapi mungkin solusi ini cukup beresiko, aku berencana meminjam uang perusahaan untuk tambahan uang semesteran, mungkin ini sangat beresiko tapi bagaimana lagi aku sudah tidak punya solusi lagi untuk mencari dana tambahan.Ketika pimpinan datang aku mencoba mengawasi raut wajahnya, apakah sedang dalam kondisi senang atau dalam kondisi yang kurang baik. Setelah aku perhatikan seharian ini sepertinya pimpinan dalam kondisi kurang baik karena tidak ada senyum sama sekali sepanjang hari, sehingga aku memutuskan untuk mengurungkan niatku berbicara hari ini.Dikampus teman-temanku sibuk dan mengeluh masalah tugas dan pembelajaran sedangkan aku masih harus sibuk dengan bayar kuliah, tapi beruntungnya aku punya teman-teman yang sangat paham denga
Sore ini aku menunggu jam kuliah dengan Vina dikantin kampus, entah kenapa memang beberapa jadwal kami sering bersama.“Man kamu punya pacar?” tanya Vina tiba-tiba kepadaku.“Enggak, kenapa?” jawabku sembari bertanya balik.“Oh.. enggak apa-apa,” ucap Vina singkat.Iya aku dan Vina semakin hari memang semakin dekat, aku tidak tahu apakah ini proses pendekatan atau memang proses pertemanan kami yang seperti ini. Aku merasa memang Vina menaruh rasa denganku, salah satunya selain seringnya kami chat bersama sampai larut malam Vina juga tidak pernah nolak kalau aku ajak keluar, entah hanya nongkrong tidak jelas atau berhubungan dengan dunia model. Beberapa temanku sampai penasarana dengan hubungan aku dan Vina, temanku Ryan pernah bertanya tentang hubungan kami.“Kamu beneran gak ada hubungan apa-apa sama Vina?” tanya Ryan saat kami nongrkong berdua.“Hmmm enggak ada,” jawabku singkat.“
Aku mulai menjalani dunia baruku di dunia model, tapi kehidupanku yang lain masih sama tentang pekerjaan dan kuliah tidak pernah tergantikan. Yang sedikit berbeda adalah aku sekarang ke kampus dengan motor sport yang gagah berbeda dengan bulan lalu aku datang ke kampus dengan motor tuaku. Aku sangat bangga dengan motor yang baru aku beli, bukan hanya karena model yang bagus tapi juga motor ini aku beli dari jerih payahku. Ehhh.. tapi tunggu dulu, motor ini belum lunas, bahkan aku belum mengawali cicilan pertama, jadi mungkin motor ini belum sepenuhnya menjadi miliki. Jadi aku ganti alasanku bangga adalah karena motor ini keren dan cocok dengan apa yang aku mau, aku merasa hampir setiap perjalanan cewek-cewek melihatku dengan motor baru dengan rasa kagum. Entah itu kenyataan atau hanya aku saja yang terlalu percaya diri, tapi aku mulai menikmati semua itu. Heheheh.. Setiap hari aku cuci motorku sampai tidak ada noda tersisa, kotor sedikit langsung aku bersihkan bahkan hampir se