Eesha yang telah selesai bermain dengan Kiran segera pulang. Begitu sampai di rumahnya, Eesha segera berteriak memanggil Ibunya.
“Ibu, aku pulang. .” kata Eesha dengan melempar sepatu yang digunakannya. “Kakak mana?”
“Eesha sayang. . . jangan melemparkan sepatu yang kamu gunakan, letakkan dengan rapi di lemari sepatu di dekat pintu. . .”
“Maaf, Bu. . .” jawab Eesha dengan merapikan sepatunya yang baru saja dilemparkannya. “Kakak mana, Bu?” tanya Eesha untuk kedua kalinya.
“Kakakmu pulang malam karena ada pekerjaan di kota dan sepertinya Kakakmu akan sering pulang mulai hari ini.”
Eesha segera menekuk wajahnya dan menunduk kesal, “Padahal kakak bilang mau membantuku mengerjakan tugas. .“
“Kalau begitu. . . bagaimana jika Ibu yang membantumu mengerjakan tugas, putri kecilku?”
“Sepertinya aku tidak punya pilihan lain selain menerima bantuan Ibu. . .”
“Jawaban apa itu. . .?” tanya Eila heran, “apakah Eesha kecewa karena Ibu yang membantumu mengerjakan tugas?”
“Tidak, Bu. . .” jawab Eesha dengan cepat. “Hanya saja. . . kakak berjanji akan memberiku permen coklat, Padahal, aku sudah menantikan permen coklat itu seharian. Tapi, kakak pulang terlambat dan aku tidak akan sempat mencicipi permen coklat itu hari ini. Aku ingin membaginya dengan Kiran jika coklat pemberian kakak enak.”
Eila tersenyum mendengar jawaban polos dari putri kecilnya itu, “Sepertinya, putri kecil Ibu ini sangat senang bisa berteman dengan Kiran.”
Eesha tersenyum lebar mendengar Ibunya menyebut nama Kiran, “Tentu saja. . . Kiran bahkan. . .”
Eesha belum menyelesaikan kalimatnya ketika bel rumahnya berbunyi dan membuat Ibu Eesha segera berlari dan membuka pintu. Eesha mendengus sebal karena ibunya belum mendengar kalimat yang ingin diucapkannya.
“Ah, Bibi Rania. . . selamat sore. . .” sapa Eila ketika melihat tamu yang tiba – tiba berkunjung ke rumahnya.
Mendengar nama Rania (65), Eesha segera mendekat ke arah ibunya dan tersenyum menatap ke arah Rania.
“Selamat sore, Nenek Rania. . .” sapa Eesha.
“Selamat sore Eila, Eesha. . .” balas Rania. “Kebetulan, cucuku datang kemari dan membawa banyak makanan. Aku teringat Eesha ketika melihat banyak coklat, jadi aku datang kemari untuk memberi Eesha coklat sekaligus mengenalkan cucuku, Amartya padamu, Eila dan Eesha sayang.”
Rania memberikan tas kecil berisi penuh coklat ke arah Eesha. Dengan senyuman lebar, Eesha menerima tas kecil itu.
“Terima kasih banyak, Nenek Rania,” kata Eesha dengan tersenyuma senang. Eesha melihat anak laki – laki berdiri di belakang Nenek Rania dan menatapnya dengan tatapan sengit. “Apakah anak laki – laki ini adalah cucu Nenek?”
Rania tersenyum ke arah Eesha, “Ya, Eesha sayang. Ini adalah cucu Nenek namanya Amartya tapi Nenek biasa memanggilnya dengan Amar. Karena Nenek yang sudah tua ini sedikit kesulitan memanggil nama cucuku yang sedikit panjang.”
Rania tertawa kecil melirik ke arah cucunya, Amartya. Sementara itu, Amartya hanya bisa merengut mendengar ucapan Neneknya.
Tanpa diberi perintah Eesha segera mengulurkan tangannya untuk berkenalan dengan Amartya, “Salam kenal, aku Eesha. Kelas 2. Umur 7 tahun.”
Amartya menatap sinis tangan Eesha dan kemudian menatap mata Eesha. Tanpa membalas uluran tangan Eesha, Amartya merengek ke arah neneknya.
“Aku tidak mau tinggal di sini, Nek. Aku ingin pulang ke rumah.”
Rania merasa sedikit malu dengan kelakuan cucunya yang sedikit manja. “Maafkan cucuku, dia terbiasa dimanja oleh putraku dan menjadi sedikit nakal seperti ini.”
Eila tersenyum melihat kelakuan Amartya, “Tidak apa – apa, Bibi. Anak – anak memang tidak mudah untuk beradaptasi di tempat yang asing.”
“Ayo cepat berkenalan dengan Eesha, Amar. Kasihan tangan Eesha menggantung lama karena kamu tidak membalas salamannya. . .” kata Rania sedikit kesal ke arah cucunya, Amartya.
“Aku tidak mau, Nek. Aku mau pulang ke rumah. . .” Amartya terus merengek di depan Nenek, Eila dan Eesha.
Melihat tangannya yang tidak kunjung mendapat sambutan dari Amartya, Eesha melangkah maju dan menarik tangan Amartya dan memaksanya untuk membalas salamannya.
“Salam kenal, Amartya. . .” kata Eesha dengan senyum polosnya. “Ah. . . seperti yang Nenek bilang namamu memang sulit sekali untuk diucapkan. Bagaimana jika aku memberimu nama panggilan khusus?”
Eesha berpikir sejenak dan berusaha mencari nama yang pas untuk panggilan Amartya, namun tidak ada satu ide pun muncul di dalam kepalanya. Eesha mengalihkan pandangannya ke arah Nenek Amartya.
“Nek. . . apa arti nama dari Amartya?” tanya Eesha dengan wajah polosnya.
“Sang penguasa abadi, sayang. . .”
“Ehm. . . .” kata Eesha masih dengan berpikir, “terlalu sulit. Bagaimana jika aku memanggilmu dengan Rama yang merupakan kebalikan dari Amar?”
Mendengar ucapan Eesha, Amartya semakin kesal. “Aku ingin pulang, Nek. . .”
Amartya merajuk ke arah neneknya.
Melihat reaksi Amartya dan merasa tidak enak, Eila segera memberitahu putrinya, “Eesha. . . jangan mengganti nama orang tanpa ijin begitu.”
Nenek Amartya hanya bisa tersenyum mendengar ucapan Eesha, “Tidak apa – apa, Eila. Aku pun juga kesulitan menyebut nama cucuku. Jika dengan memberi nama panggilan, Amar bisa dekat dengan Eesha, itu bukan masalah besar.”
Nenek Amartya memberikan jawaban yang bijak kepada Eila yang merasa tidak enak.
“Tapi, Bi. . .”
“Tidak apa – apa, Eila. . .” Nenek Amartya kemudian mengalihkan pandangannya dan tersenyum ke arah Eesha, “Eesha sayang. . . Nenek harap kamu mau berteman dengan Amar.”
Eesha menganggukkan kepalanya, “Tentu saja, Nek. Jika nenek memberiku coklat yang banyak, aku pasti akan berteman dengan Rama. . .”
Dengan polos, Eesha tersenyum menatap ke arah Nenek Amartya dan Amartya.
“Eesha. . . kamu ini. . .” kata Eila yang merasa sedikit malu dengan jawaban putrinya. “Maafkan putri kecilku ini, Bi.”
“Tentu saja. . . Nenek akan memberimu coklat lagi. . .” jawab Nenek Amartya dengan tersenyum ke arah Eesha dan Eila.
Eesha melepaskan tangan Amartya dan bertanya, “Berapa umurmu, Rama?”
Amartya tidak menjawab pertanyaan Eesha dan mengabaikannya lagi untuk kesekian kalinya. Amartya kembali merajuk ke arah neneknya.
“Nenek. . . aku tidak mau berteman dengan gadis desa. Nanti aku tertular dengan mereka.”
“Hush. . .” kata Rania dengan cepat, “kamu tidak boleh begitu, Amar. Desa atau kota, tengah kota atau pinggiran kota, yang membedakan hanya tempat tinggalnya saja. Orang – orang yang tinggal di pinggiran kota juga manusia yang sama dengan orang – orang yang tinggal di tengah kota.”
Rania yang merasa sikap cucunya sangat buruk segera meminta maaf kepada Eesha mewakili cucunya, “Maafkan Amar ya Eesha sayang . . Amar begini karena terlalu dimanjakan oleh ayah dan ibunya. Amar baru berumur lima tahun. . .”
Eesha yang sama sekali tidak merasa sakit hati segera berbicara dengan senyuman, “Kalau begitu, rama lebih muda dariku. Mulai sekarang, aku bisa punya adik laki – laki yang tampan seperti Rama. . . meski tidak setampan Kiran.”
Eesha menatap Amartya dengan penuh ketertarikan sementara Amartya hanya bisa memandang sinis ke arah Eesha. Amartya merasa kesal kepada Eesha karena neneknya lebih menuruti ucapan Eesha dari pada ucapannya.
# # #
Menjelang sore tiba, Rhea sudah berada di kota dan saat ini sedang duduk menatap dirinya di cermin besar di sebuah salon di kota. Rhea menatap dirinya dan sedikit mengagumi kecantikan yang dimilikinya. Seminggu ini, pendapatannya sebagai penyanyi di café sedikit lebih banyak sehingga membuat dirinya berani datang ke salon dengan niat mempercantik dan sedikit memanjakan dirinya.
Pendapatannya yang meningkat, semua berkat adik kecilnya, Eesha yang memberikan ide untuk Rhea. Tanpa seijin adik kecilnya, Rhea mulai menyanyikan lagu yang selalu dinyanyikan adik kecilnya itu. Meski sedikit merasa bersalah pada Eesha, Rhea tidak ambil pusing karena uang yang didapatnya juga akan digunakan untuk Eesha juga.
“Selamat datang, ada yang bisa saya bantu, Nona?” tanya salah satu pegawai salon kepada Rhea.
“Aku ingin memotong rambuku sekitar sebahu . . bisa?” tanya Rhea dengan sedikit memainkan rambutnya.
Pegawai salon tersenyum kepada Rhea dengan ramah, “Tentu saja bisa. Mohon tunggu sebentar, saya akan menyiapkan peralatan yang dibutuhkan. . .”
Dengan penampilan yang baru, Rhea mulai bernyanyi di café tempanya biasa bernyanyi. Pengunjung yang sudah hafal dengan Rhea segera bertepuk tangan ketika Rhea mulai duduk di atas panggung kecil. Begitu Rhea mulai bernyanyi, semua pengunjung café langsung hening seketika dan mulai hanyut dalam nyanyian Rhea.
[Aku hanya bisa melihatmu dari jauh dan menghabiskan hari – hariku dalam ketakutan dan ketidakpastian.
Sendirian menghabiskan musim dingin di akhir tahun.
Hanya mendesah cepatnya waktu berlalu.
Jika akhirnya hancur, sayang sekali tak dapat menyelesaikan kata di dalam hati. ]
Semua pengunjung café hanyut dalam nyanyian Rhea dan hanya bisa terpana memandang Rhea yang duduk di panggung.
[Tidak berani berharap bisa bersamamu.
Hanya bisa menyembunyikan cintaku darimu.
Bahkan jika air mata jatuh menjadi hujan.
Bahkan jika kata – kata sedingin es.
Jika kekasih tidak bisa bersama, kita akan saling merindukan di dalam hati.]
Seorang pria dengan pakaian serba hitam mendengar nyanyian Rhea dan masuk ke dalam café di mana Rhea sedang bernyanyi. Pria asing itu memanggil salah satu pelayan café dan bertanya kepadanya.
“Maafkan saya, siapakah gadis cantik yang sedang bernyanyi di atas panggung itu?” tanya pria asing itu sembari menunjuk ke arah Rhea.
“Sepertinya Tuan baru pertama kali berkunjung ke tempat kami. . .” kata pelayan menebak pria asing di depannya.
Pria asing itu menganggukkan kepalanya dan tersenyum kecil, “Ya, aku baru pertama kali datang kemari. Lagu itu menarik perhatianku dan membuatku berjalan masuk ke dalam café ini.”
Pelayan café tersenyum senang mendengar pujian yang diucapkan oleh pelanggan barunya itu, “Penyanyi itu bernama Rhea, awalnya Nona Rhea hanya menyanyikan lagu sesuai dengan permintaan para pengunjung di café ini. Namun, sejak menyanyikan lagu yang sekarang sedang dinyanyikan, nama Nona Rhea mulai dikenal. Lagu itu sangat disukai oleh para pengunjung café sama seperti Tuan.”
“Apakah gadis itu yang menulis lagu itu?” tanya pria asing penasaran.
Pelayan café menggelengkan kepalanya sedikit ragu – ragu, “Kurasa bukan, Tuan. Nona Rhea mengatakan bahwa dia mendengar lagu itu di suatu tempat. . .”
“Terima kasih. . . “ jawab pria asing dengan tersenyum, “Lagu itu benar – benar lagu yang bagus dan menyentuh.”
“Sama – sama, Tuan. Jika ada sesuatu yang Tuan inginkan silakan panggil saya, Tuan.”
Pria asing itu tersenyum ke arah pelayan itu sebelum akhirnya pelayan itu pergi karena panggilan oleh pengunjung yang lain.
Pria itu mengalihkan pandangannya lagi ke arah Rhea yang hampir menyelesaikan nyanyiannya. Mata pria itu bertemu dengan mata Rhea yang kemudian dibalas dengan senyuman manis oleh Rhea.
[Lebih baik melihatmu dari jauh, tidak berani berharap bisa bersamamu.
Dengan hati – hati, kusembunyikan kasih sayang di dalam hati.
Bahkan jika air mata jatuh menjadi hujan.
Bahkan jika kata – katamu sedingin es.
Jika kekasih tidak bisa bersama, lebih baik merimdukanmu di dalam hati.]
Rhea menyelesaikan nyanyiannya dan disambut oleh tepuk tangan meriah oleh para pengunjung café. Teriakan pengunjung terdengar oleh pria asing itu.
“Nyanyian yang indah, Rhea. . .” teriak pengunjung yang duduk tidak jauh dari pria asing itu.
“Suaramu benar – benar merdu sekali, Nona Rhea. . .” teriak pengunjung yang lain yang duduk di depan dekat dengan panggung tempat Rhea bernyanyi.
“Nyanyikan lagi, Rhea. . .” teriak pengunjung yang lain yang duduk di sudut café.
Pria asing itu menatap tajam ke arah Rhea yang tersenyum senang mendengar pujian para pengujung yang ditujukan kepadanya.
“Beraninya kamu menyanyikan lagu itu di depan banyak orang,” pikir pria asing itu di dalam pikirannya dengan penuh amarah.
“Pelayan. . .” teriak pria asing itu dengan mengangkat tangan kirinya memanggil pelayan.
Pelayan yang tadi sempat berbincang dengannya datang menghampiri pria asing itu, “Ya, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?”
Pria itu mengeluarkan sebuah kertas kecil dan memberikannya kepada pelayan,
“Tolong berikan pesan ini kepada Nona yang duduk di panggung itu. . .”
Setelah mengucapkan itu, pria itu menyelipkan uang ke dalam saku pelayan itu.
Menyadari uang yang diselipkan ke dalam saku pakaiannya, pelayan itu langsung tersenyum senang dan segera menuruti permintaan pria asing itu tanpa perasaan curiga, “Baik, Tuan.”
Rhea tersenyum senang memandang coklat di dalam tas tangannnya sembari berdiri di pinggir jalanan kota yang sunyi. Angin malam yang dingin berhembus kencang membuat Rhea mengecangkan mantelnya dan memeluk tubuhnya sendiri untuk menghalangi tubuhnya terkena hembusan angin malam yang dingin. Untuk sesaat Rhea merasakan bulu kuduknya berdiri dan perasaan takut menjalar ke seluruh tubuhnya tanpa alasan.“Mungkin ini disebabkan angin malam yang dingin. . .” pikir RheaDari kejauhan, Rhea melihat seorang pria berjalan mendekat ke arahnya dengan perlahan. Senyum kecil di sudut bibirnya terlihat jelas oleh Rhea.Pria itu berjalan semakin dekat, membuat Rhea semakin jelas melihat pria asing itu. Gambaran yang diberikan pelayan café di tempat Rhea bekerja sesuai dengan ciri – ciri pria asing yang sedang berjalan mendekat ke arahnya.Rhea mendengus kesal ke arah pria asing yang kini sudah berdiri tepat di hadapannya.“Ada apa Tuan meminta be
Setelah itu, Eila kembali ke rumahnya bersama dengan Rania, Amartya, dan Ganendra. Eila kemudian segera berangkat bersama dengan dua polisi yang menunggunya sementara Rania menunggu Eesha yang masih asyik mandi dengan bernyanyi kencang.Begitu keluar dari kamar mandi, Eesha terkejut mendapati di rumahnya sudah ada Rania, Amartya dan Ganendra yang duduk di ruang keluarganya.“Nenek Rania. . .” kata Eesha terkejut menatap ke arah Rania, “kenapa Nenek ada di sini bersama dengan Rama?” Eesha kemudian menatap ke arah Ganendra dengan tatapan penasaran, “Siapa paman ini, Nek? Ibuku ke mana?”Rania tersenyum memandang ke arah Eesha, “Ibumu ada urusan mendadak dan harus berangkat ke kota pagi – pagi sekali. Jadi ibumu menitipkanmu bersama dengan Nenek hari ini. untuk hari ini, kamu tinggal di rumah nenek ya? Bersama dengan Amar dan Ganendra.”“Ibu pergi?” tanya Eesha tidak percaya.“Iya, sayang. Ibumu berpesan kalau kamu ingin libur
Sesuai dengan perintah Rania, Eesha berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki bersama dengan Ganendra yang menggendong Amartya di punggungnya.Sepanjang perjalanan menuju ke sekolah, Eesha terus menyanyikan sebuah lagu yang membuat telinga Amartya sakit ketika mendengarnya.Lebih baik melihatmu dari jauh, tidak berani berharap bisa bersamamu. Dengan hati – hati, kusembunyikan kasih sayang di hati. Bahkan jika air mata jatuh menjadi hujan. Bahkan jika kata – katamu sedingin es. Jika kekasih tidak bisa bersama, lebih baik merindukanmu di dalam hati. Amartya yang sudah tidak bisa menahan rasa sakit di telinganya, akhirnya membuka mulutnya.“Berhentilah bernyanyi. . .” teriak Amartya dengan kesal.“Apakah suaraku seburuk itu?” tanya Eesha menghentikan langkahnya dan menatap Amartya di punggung Ganendra.“Ya, bu
Jam sekolah berakhir, Kiran dan Eesha duduk menunggu di dekat gerbang sekolah.“Tadi pagi. . .” kata Kiran yang penasaran. “Kamu bersama dengan siapa, Eesha?”Sejak pagi, Kiran sudah menahan rasa penasarannya ketika melihat Eesha datang ke sekolah bersama dengan seorang Paman tampan dengan anak laki – laki di punggungnya. Kiran hendak bertanya pada Eesha namun seharian ini Eesha sibuk bersama dengan teman – teman perempuannya karena Eesha membawa banyak coklat. Layaknya gula yang dikelillingi oleh semut, tak ada celah sedikit pun untuk Kiran bertanya kepada Eesha.“Tadi pagi?” tanya Eesha mengingat kejadian di pagi hari. Tidak lama kemudian Eesha menyadari maksud dari pertanyaan yang diajukan Kiran kepadanya. “Ah, itu. . . cucu Nenek yang tinggal di dekat rumahku. Sepertinya nanti malam, aku harus menginap di ruman Nenek Rania, karena ibuku mendadak harus pergi ke kota dan mungkin tidak akan pulang.”“Ke kota? Kenapa?” Kiran semakin pe
Rajendra mengemudikan mobilnya mengantarkan Eila kembali ke rumahnya di pinggiran kota. Kondisi jalanan yang sedikit gelap membuat Rajendra harus benar – benar fokus untuk melihat agar keduanya bisa sampai dalam keadaan selamat.“Maafkan saya karena telah merepotkan, Bapak. . .” kata Eila memecah ketegangan Rajendra yang sejak tadi fokus melihat ke arah jalanan yang sedikit gelap.“Tidak apa – apa, ini bukan masalah,” jawab Rajendra dengan sedikit rileks. “Saya juga ingin memeriksa ke tempat di mana Ibu tinggal. Saya ingin bertemu dengan anak Ibu dan temannya itu. Saya harus menemukan dari mana lagu itu berasal. Mungkin dengan menemukan asal lagu itu, saya bisa menemukan jejak Hujan Merah yang selama ini sulit sekali ditemukan.”“Apakah mungkin lagu itu yang menjadi penyebab tewasnya putri saya?” tanya Eila ragu – ragu.“Saya masih menduga lagu itu ada hubungannya dengan pembunuh berantai Hujan Merah. Tapi itu masih hanya sebuah dugaan
Ishya, Ibu kiran tiba – tiba terbangun dari tidurnya ketika tidak sengaja tertidur di ruang tengah rumahnya. Untuk pertama kalinya, Ishya berpisah dengan Kiran, putra kesayangannya dan perasaan gelisah langsung menyerbu Ishya.Ishya memijat dahinya dan merasakah sesuatu yang buruk dalam pikirannya. Ishya bangkit dari duduknya dan segera mengambil mantel hangatnya. Dengan menerobos gelapnya malam, Ishya memberanikan diri membuka pintu rumahnya dan berjalan keluar rumah.Entah kenapa sesuatu yang buruk terlintas di kepalaku. Putraku, Kiran.Aku harus menemui Kiran dan memastikan keadaannya baik – baik saja. Kuharap ini hanya pikiranku saja. Kuharap kamu baik – baik saja, Kiran putraku.Tidak lama kemudian. . .Rania bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ke depan pintu rumahnya. Suara ketukan pintu di malam hari sempat membuat Rania merasa sedikit tidak enak. Terlebih lagi, cucunya Amartya yang masih belum pulang membuat perasaa
Mendengar jawaban yang diberikan oleh Kiran, Hujan Merah tersentak dan terkejut.“Dari mana kamu tahu nama itu, anak kecil?”Kiran menemukan celah.“Jika Paman ingin tahu dari mana aku mendengar nama itu? Maka turunkan dulu pistol Paman dan biarkan dua temanku menjauh dari sini.”Hujan Merah menyeringai ngeri ke arah Kiran dan memuji keberanian Kiran. “Kamu masih anak – aank tapi kamu cukup pintar dan berani. Kamu bahkan berani mengajakku untuk bernegosiasi di saat seperti ini. Kurasa kamu bukan anak biasa. Sepertinya, kamu benar – benar sudah tidak merasa takut lagi, anak kecil?”“Kuanggap itu pujian, Paman. Kuakui nama itu sangat penting bagiku. Aku harus menemukan pemilik nama itu karena suatu alasan tapi, nama itu tidak lebih penting dari keselamatan dua temanku. Jadi, Paman mau mendengarkan permintaanku?” tanya Kiran dengan senyuman kecil di bibirnya.Hujan Merah tertawa keras mendengar jawaban Kiran. “Baik
Dua puluh tahun kemudian. . .Setelah selesai berjalan – jalan melihat trailer dari film perdananya di papan billboard, Eesha kemudian memlih untuk duduk di café di pinggir jalanan kota dan menikmati gelas besar es krim strawberry dan teringat kenangan lamanya bersama dengan Kiran.“Kamu mau es krim, Kiran? Bibi di kantin dengan sengaja memberiku dua es krim karena membantunya membersihkan sampah di depan kantin.”“Bisa aku minta yang strawberry?” tanya Kiran.“Strawberry? Kenapa Strawberry? Biasanya anak laki – laki sangay suka dengan es krim rasa coklat.”“Aku lebih suka es krim dengan rasa strawberry. Apakah tidak boleh?”“Baiklah kalau begitu. Kiran yang rasa Strawberry dan aku akan makan yang rasa coklat.” Eesha tersenyum.“Kamu tidak keberatan aku meminta yang rasa strawberry?”&nbs
Eesha dan Rajendra yang mendengarkan ucapan Nanda berharap hati Ravindra dapat tersentuh dan menghentikan niatnya untuk membunuh Nanda. Namun ucapan Nanda sepertinya tidak menyentuh hati Ravindra seperti harapan Eesha dan Rajendra. “Kau berbohong padaku, Kiran!” Ravindra meraih pisau miliknya yang sempat terlempar dan langsung mengarahkannya ke leher Nanda. “Kau bohong!”“Aaaaaaaaaaa” teriak Eesha melihat pisau yang mengarah ke leher Kiran dan perlahan melukai leher Kiran. Dalam waktu singkat, cairan berwarna merah kemudian mengalir dari leher Kiran dan membuat Eesha semakin histeris ketakutan. “Ravindra, stop!”“Berhenti Ravindra!” Rajendra yang tadinya sudah menurunkan pistol miliknya kemudian mengarahkan pistol miliknya kembali ke arah Ravindra dan menarik pengaman pada pistol miliknya. Rajendra kini sudah bersiap menarik pelatuk pistolnya dan bersiap
Dengan tubuh yang masih dalam keadaan lemah karena obat bius dari Ravindra, Eesha mencoba bangkit dari kursi rodanya dan menjauh dari Nanda dan Ravindra – sesuai dengan perintah Rajendra. Dengan susah payah, Eesha akhirnya bisa berjalan menjauh. Sementara di sisi lain, Nanda dan Ravindra masih terus memukul satu sama lain dan berpindah-pindah tempat dengan sehingga membuat Rajendra yang ingin menjatuhkan Ravindra berulang kali merasa ragu karena takut adalah Nanda. “Paman, jangan menembak!” Eesha berteriak kepada Rajendra sembari berlari ke arah Rajendr
“Jadi semua yang kamu lakukan, semua pembunuhan itu karena Amartya?” tanya Rajendra tidak percaya. “Apa hubungan Amartya dengan pembunuhan-pembunuhan yang kamu lakukan? Kenapa Amartya, anak yang polos itu kamu jadikan alasan untuk pembunuhanmu itu?” Ravindra tersenyum sembari mendorong kursi roda di mana Eesha masih tidak sadarkan diri dan membawanya duduk di dekatnya. “Karena Tuanku itu terlalu polos, Tuanku hanya melihat Eesha seorang saja. Meski tahu Eesha hanya akan menunggu Kiran kembali, Tuanku masih setia untuk berada di sisi Eesha – sama seperti yang aku lakukan untuk ayah angkatku. Dan wanita-wanita yang jadi korbanku itu adalah wanita yang tidak tahu malu dan berusaha untuk membuat Tuanku berpaling. Aku benci dengan penganggu seperti mereka.”Rajendra menganga mendengar penjelasan di balik alasan pembunuhan yang dilakukan oleh Ravindra.“Kau benar-benar tidak bisa dipercaya. Alasa
"Di mana Eesha?" teriak Rajendra.“Paman benar-benar tidak sabaran sekali,” balas Ravindra. “Tidakkah Paman tidak melihat pertemuan mengharukan antara aku dan Kiran?”Rajendra terkejut mendengar ucapan Ravindra. Dia seperti orang yang berbeda. Ravindra yang selama ini saya kenal sebagai asisten Amartya adalah orang yang diam, penurut dan tidak banyak bicara. Tapi Ravindra yang sekarang berdiri di hadapanku terasa seperti orang yang b
“Sandera??” Rajendra yang terkejut mendengar penjelasan Nanda, nyaris saja membuat dirinya bersama dengan Nanda celaka. Tanpa sadar, Rajendra menginjak pedal rem dan membuat mobilnya berhenti dengan tiba-tiba.“Apa yang Paman lakukan?” teriak Nanda yang terkejut dan nyaris saja membenturkan kepalanya ke dashbor mobil milik Rajendra. Nanda langsung menolehkan kepalanya ke belakang untuk melihat bagian belakang mobil. Nanda langsung menghela napas lega, begitu menyadari jika di belakang mobil milik Rajendra tidak ada kendaraan lain. “Syukurlah di belakang jalanan sedang sepi, kalau tidak kita bi-““Ya, aku tahu. Tindakan tadi bisa menyebabkan kecelakaan beruntun karena tiba-tiba menginjak pedal rem dan membuat mobil berhenti tanpa aba-aba.” Rajendra mengusap keringat dingin di keningnya sembari menginjak pedal gas mobilnya lagi. Mobil melaju lagi dengan sedikit perlahan. “Maaf
Percakapan penting antara dirinya dan Nanda kemudian terhenti ketika Rajendra bersama dengan Nanda tiba di sebuah gudang di pinggiran kota. Gudang yang terbengkalai dan berkesan telah terabaikan selama beberapa tahun menjadi lokasi yang pas dan ideal bagi pembunuh yang terkenal dengan nama Hujan Merah.Bersama dengan Nanda, Rajendra kemudian merilis tempat yang ada di gudang itu. Rajendra bahkan memeriksa bagian luar gudang itu, untuk menemukan kemungkinan ada tempat lain yang tidak terlihat yang bisa menjadi tempat persembunyian hujan merah yang tersembunyi Eesha.
“Apa Paman tidak percaya padaku?” tanya Nanda yang tidak lain adalah Kiran.Rajendra menggelengkan kepalanya dengan ragu. “Jika kamu membicarakan hal ini kepada orang lain, mungkin orang lain tidak akan percaya pada ucapanmu, Nanda. Ah tidak, haruskah aku memanggilmu dengan nama Kiran sekarang?”“Untuk saat ini, tolong panggil dengan nama Nanda saja, Paman. Akan lebih baik jika beberapa orang tidak mengetahui identitasku yang sebenarnya.”“Kenapa?” tanya Rajendra tidak percaya untuk kedua kalinya. “Setelah dua puluh tahun lamanya menghilang, harusnya kamu kembali ke rumah Eila dan Eesha. Setelah dua puluh tahun lamanya terpisah, harusnya kamu kembali ke tempat di mana keluargamu menunggu. Kenapa kamu justru berada di sini dan menyembunyikan identitasmu dari orang-orang yang menunggu kepulanganmu selama dua puluh tahun lamanya?”Nanda menundukk
Setelah melakukan pencarian selama dua jam lamanya dan tidak menemukan hasil, Rajendra terpaksa mengambil keputusan untuk memberitahukan kabar buruk ini kepada keluarga Eesha: Ishya, Eila dan Amartya. Dalam perjalanan menuju ke rumah Ishya dan Eila, Rajendra kemudian melewati cafe di mana Nanda sedang bekerja. Rajendra yang tahu hubungan yang dimiliki Eesha dan Nanda, kemudian menghentikan mobilnya dan berniat untuk memberitahukan kabar buruk yang menimpa Eesha kepada Nanda lebih dulu.“Nanda. . .” Rajendra langsung menyapa Nanda ketika masuk ke cafe di mana Nanda bekerja.“Ah, Pak Rajendra.” Nanda membalas sapaan Rajendra. “Apa yang membawa Bapak datang kemari?”“Bisakah aku minta waktumu sebentar, Nanda?” Rajendra berbicara dengan nada suara yang sedikit bergetar.“Tentu. Tentu saja. Mari kemari.”Nanda kemudian mena
“Dia tidak ingin mengakui bahwa dirinya adalah Kiran. Kiran menyembunyikan identitasnya dan bertindak seolah tidak mengenaliku, Paman.”“Kenapa begitu? Kamu tidak bertanya pada Kiran kenapa dia melakukan hal itu? Selama dua puluh tahun ini, ke mana saja Kiran? Kenapa tidak pulang ke rumah dan menemui ibunya?”“Aku tidak bisa bertanya padanya, Paman. Aku tahu dengan baik sifat Kiran. Ketika dia tidak ingin bilang maka dia tidak akan bilang. Kiran adalah anak yang seperti itu, Paman. Aku menduga hal ini ada hubungannya dengan Hujan Merah yang muncul setelah dua puluh tahun lamanya menghilang.”“Katakan pada Paman, di mana Kiran sekarang! Biar Paman yang bertanya langsung pada Kiran. Paman adalah detektif di kepolisian, Paman akan menjamin nyawa Kiran, jika sesuatu yang buruk bisa saja menimpa dirinya. . .”Eesha menggelengkan kepalanya dengan sedikit ragu.