Jam sekolah berakhir, Kiran dan Eesha duduk menunggu di dekat gerbang sekolah.
“Tadi pagi. . .” kata Kiran yang penasaran. “Kamu bersama dengan siapa, Eesha?”
Sejak pagi, Kiran sudah menahan rasa penasarannya ketika melihat Eesha datang ke sekolah bersama dengan seorang Paman tampan dengan anak laki – laki di punggungnya. Kiran hendak bertanya pada Eesha namun seharian ini Eesha sibuk bersama dengan teman – teman perempuannya karena Eesha membawa banyak coklat. Layaknya gula yang dikelillingi oleh semut, tak ada celah sedikit pun untuk Kiran bertanya kepada Eesha.
“Tadi pagi?” tanya Eesha mengingat kejadian di pagi hari. Tidak lama kemudian Eesha menyadari maksud dari pertanyaan yang diajukan Kiran kepadanya. “Ah, itu. . . cucu Nenek yang tinggal di dekat rumahku. Sepertinya nanti malam, aku harus menginap di ruman Nenek Rania, karena ibuku mendadak harus pergi ke kota dan mungkin tidak akan pulang.”
“Ke kota? Kenapa?” Kiran semakin penasaran.
“Mungkin Kakak membuat masalah seperti sebelumnya. . . atau mungkin ada hal lain. Aku tidak tahu karena Ibu tidak mengatakan apapun padaku bahkan tidak sempat berpamitan denganku.”
“Lalu anak itu, siapa namanya? Aku belum pernah melihatnya di sekitar sini.”
Dengan berusaha mengeja, Eesha berusaha keras menyebut nama Amartya.
“Am. . . mar. . .rtya. .” Eesha berusaha keras menyebut nama Amartya namun akhirnya menyerah. “Namanya susah sekali disebutkan. Jadi. . . aku memanggilnya dengan nama Rama.”
Eesha tertawa kecil ketika menyelesaikan kalimatnya.
“Seperti biasa. . .” kata Kiran mencibir, “kamu seenaknya sendiri mengganti nama orang seperti yang kamu lakukan di kelas. Lalu siapa paman yang bersama dengan kalian?”
“Aku tidak tahu. . .” jawab Eesha dengan mengangkat kedua bahunya, “yang aku tahu, Paman selalu mengikuti Rama ke manapun Raman pergi. Kenapa Kiran bertanya?”
“Tidak apa – apa.”
“Kiran. . .” panggil Eesha dengan nada sedikit manja.
“Hem. . .”
“Nyanyikan lagu itu lagi. . .” kata Eesha dengan sedikit merayu.
Dengan terpaksa, Kiran mulai bernyanyi menuruti permintaan Eesha.
Lebih baik melihatmu dari jauh, tidak berani berharap bisa bersamamu.
Dengan hati – hati, kusembunyikan kasih sayang di dalam hati.
Bahkan jika air mata jatuh menjadi hujan.
Bahkan jika kata – katamu sedingin es.
Jika kekasih tidak bisa bersama, lebih baik merindukanmu di dalam hati.
Begitu Kiran menyelesaikan nyanyiannya, suara teriakan yang tidak asing bagi Eesha terdengar.
“Gadis tengil. . . .” teriak Amartya dengan nada ketusnya.
Eesha dan Kiran menoleh dan melihat ke arah datangnya Amartya dan Ganendra.
“Sudah kubilang. . . berhentilah bersikap buruk kalau begitu terus, kamu tidak akan mendapat teman nantinya. . .” jelas Eesha dengan sedikit kesal.
“Terserah padaku memanggilmu dengan sebutan apa. Kamu seenaknya saja mengganti namaku, maka aku pun juga bebas memanggilmu dengan sebutan yang aku inginkan.”
Melihat dua orang anak yang sedang adu mulut di depannya, Kiran hanya bisa menggelengkan kepalanya.
“Tidak heran dia memanggilmu dengan sebutan itu, Eesha. . .” kata Kiran dingin.
“Kirannnnn. . . .” Eesha merengek merasa Kiran tidak membela dirinya.
“Kenapa?” tanya Kiran dingin.
“Kenapa kamu membela anak ini?” tanya Eesha kesal dan tidak terima.
“Aku tidak membela anak ini. Aku hanya membenarkan alasannya memanggilmu dengan sebutan gadis tengil.”
“Lihat. . .” kata Amartya dengans senyum bangganya, “temanmu bahkan membelaku.”
Dengan cepat, Kiran memperbaiki pemahaman yang salah dari Amartya, “Aku tidak membelamu. Aku hanya membenarkan alasanmu saja. Tidak lebih.”
“Kakak. . .” panggil Amartya dengan mata berbinar, “suaramu benar – benar indah. Maukah kakak mengajariku bernyanyi?”
Eesha yang masih merasa kesal segera melarang Kiran.
“Jangan mau, Kiran.”
“Siapa juga yang mau. . .” kata Kiran menjawab Eesha. Kiran kemudian membalas permintaan Amartya padanya, “Aku tidak mau.”
Amartya yang merasa kagum pada Kiran dengan cepat berusaha menjadikan Kiran sebagai temannya, “Kakak, bagaimana jika menginap bersamaku di rumah nenekku?”
Mendengar permintaan Amartya yang tidak dikenalnya, Kiran segera mengalihkan pandangannya ke arah Eesha. Namun tidak seperti harapannya, Eesha menatapnya dengan penuh harap sama seperti tatapan Amartya padanya.
“Kenapa aku harus ikut menginap?”
“Akan lebih baik jika kamu ikut menginap, Kiran. Kamu bisa lihat sendiri, aku dan Rama benar – benar tidak akur. Kamu pasti bisa membayangkan akan bagaimana jadinya jika aku berlama – lama bersama dengan Rama. . .” jelas Eesha dengan gaya bicaranya yang menirukan kakaknya, Rhea yang berusaha merayu ibunya.
“Ayolah, Kak,” kata Amartya dengan merayu. “Aku belum punya teman sama sekali di sini. Jadi, biarkan aku menjadi temanmu, Kak.”
Kiran memandang Eesha dan Amartya yang memandangnya dengan penuh harap. Kiran yang merasa tidak tega melihat tatapan dua anak yang penuh harap ke arahnya akhirnya memilih menyerah dan menuruti permintaan dua anak di depannya.
“Baiklah. . .” jawab Kiran menyerah. “Aku mau, tapi ibuku? Aku tidak tahu harus membuat alasan apa di depan ibuku.”
“Biarkan saya yang meminta izin pada Ibumu. . .” kata Ganendra mengajukan diri, “bagaimana?”
Seperti yang Ganendra katakan, Ganendra dengan mudahnya mendapatkan izin dari Bunda Kiran. Berkat Ganendra, kini Kiran bisa berada di rumah Rania bersama dengan Eesha dan Amartya.
“Paman. . .” panggil Eesha penasaran, “bagaimana cara Paman meyakinkan Bunda Kiran?”
“Paman hanya mengatakan pada Bunda Kiran untuk menginap dan menjamin keselamatan Kiran saat di rumah bersama dengan kita.”
“Hanya begitu?” tanya Eesha tidak percaya. Jawaban yang diberikan Ganendra dirasa Eesha tidaklah meyakinkan.
“Kenapa kamu tidak percaya pada Ganendra?” kata Amartya menyela dengan nada ketus.
“Kenapa kamu langsung memanggil nama Pama padahal usia Paman lebih tua darimu?” tanya balik Eesha membalas Amartya.
“Apa kamu masih tidak sadar, Eesha?”
Kiran justru mengajukan pertanyaan lagi dan membuat bingung Eesha yang merasa sedikit kesal.
“Apa?” tanya Eesha bingung.
“Paman itu bekerja sebagai pengawal Amartya. . .” jelas Kiran.
Eesha melongo mendengar penjelasan Kiran dan tidak bisa mempercayai ucapan Kiran.
“Benarkah itu?”
“Tak kusangka, Kak Kiran orang yang cerdas sekali,” puji Amartya.
“Bukankah terlihat dengan jelas?” kata Kiran datar.
“Apanya yang terlihat dengan jelas?”
Eesha yang masih tidak mengerti bertanya sekali lagi.
“Apa kamu tidak memperhatikan sikap Paman Ganendra ketika bersama dengan Amartya sangat sopan? Amartya juga terkadang memanggil nama Paman secara langsung dan Paman itu tidak marah, itu artinya posisi Amartya jauh lebih tinggi dari Paman. Menurutmu apa yang membuat posisi Amartya lebih tinggi di usianya yang masih anak - anak? Satu – satunya jawaban yang sesuai hanyalah Paman bekerja untuk keluarga Amartya,” jelas Kiran. “Kamu pasti juga tahu Nenek Rania dikenal sebagai Nenek yang kaya meski terlihat sederhana.”
Eesha melongo untuk kedua kalinya setelah mendengar penjelasan Kiran. Dan untuk memastikan kebenaran dari penjelasan Kiran, Eesha bertanya kepada Ganendra.
“Benarkah itu, Paman?”
“Benar sekali. Saya bekerja untuk keluarga Amartya,” jawab Ganendra pada Eesha. Ganendra kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Kiran dan tersenyum. “Kamu anak yang cerdas. Di usiamu yang masih anak – anak, kamu bisa menyadari hal – hal kecil seperti ini.”
Ganendra memberikan pujian kecil ke arah Kiran.
“Kakak. . . benar – benar hebat,” puji Amartya dengan tersenyum senang. “Kalau begitu, maukah kakak menyanyikan lagu yang biasanya Kakak nyanyikan untuk gadis tengil itu?”
Amartya melirik ke arah Eesha dengan pandangan sinis.
“Bagaimana kamu tahu hal itu?” Kiran bertanya kepada Amartya dengan menatap ke arah Eesha dengan tatapan dingin.
“Gadis tengil itu mengatakan padaku bahwa suara Kak Kiran sangat indah. Dan tadi siang. . . aku tidak sengaja mendengar suara kakak yang indah itu. . .” jelas Amartya.
“Tunggu sebentar. . .”
Eesha menyela percakapan di antara Amartya dan Kiran dan membuat keduanya menatap heran ke arah Eesha secara bersamaan.
“Ada apa?” tanya Kiran dan Amartya bersama – sama.
“Tunggu sebentar. . .” Eesha kemudian menatap Amartya dengan tatapan tajam. “Kenapa kamu, Rama memanggil Kiran dengan sebutan Kakak sedangkan aku, kamu memanggilku dengan sebutan gadis tengil? Jelas – jelas, aku lebih tua darimu dan usiaku sama dengan usia Kiran.”
“Di mataku, kamu hanya terlihat sebagai gadis tengil yang selalu membuat masalah dan tidak pantas untuk dipanggil dengan panggilan Kakak. Sedangkan Kak Kiran, sudah cukup pantas untuk dipanggil dengan panggilan Kakak. Kak Kiran orang yang cerdas dan bersikap sopan. Dia bahkan memanggil namaku dengan baik. Tidak seperti dirimu.”
Eesha hanya bisa mendengus kesal mendengar penjelasan Amartya.
Kiran yang menangkap wajah kesal Eesha segera tersenyum kecil melihat temannya itu bisa merasa kesal.
“Aku akan menyanyikan lagu itu untukmu, Amartya, dengan satu syarat?”
“Apa itu?” tanya Amartya penasaran.
“Mulai sekarang panggil Eesha dengan sebutan Kakak juga sama seperti kamu memanggilku. Menghormati orang yang lebih tua itu tidak bisa pilih – pilih, bagaimana?”
Dengan cepat, Amartya menyutujui permintaan Kiran.
“Baiklah. . . asal kakak mau menyanyikan lagu itu untukku.”
Kiran tersenyum melihat senyuman di wajah Eesha dan kemudian bernyanyi di depan Eesha, Amartya dan Ganendra.
Sore berganti malam. Setelah selesai mengerjakan tugas bersama, Eesha, Kiran dan Amartya kini bersiap untuk tidur. Kiran tidur di tempat tidur yang sama dengan Amartya, sementara Eesha tidur di bawah dengan kasur tambahan yang disediakan oleh Nenek Amartya.
Kiran yang bersiap tidur melihat Eesha yang sejak tadi duduk di pinggiran jendela kamar Amartya.
“Apa yang sedang kamu lihat sejak tadi di jendela, Eesha?” tanya Kiran.
Eesha tersenyum menatap Kiran, “Kamar Amartya rupanya menghadap rumahku. Dari sini, aku bisa melihat rumahku dengan jelas.” Eesha menujuk ke arah rumahnya yang gelap gulita.
“Sudahlah. . . berhenti menatap rumahmu yang setiap hari kamu lihat dan segera pergi tidur. Ini sudah jam tidur untuk anak – anak,” kata Kiran mengingatkan.
“Iya. . . aku sudah mengantuk. . .” kata Amartya mengucek kedua matanya.
“Tunggu. . . Kiran. . .” kata Eesha dengan sedikit berbisik.
“Apa lagi?” tanya Kiran mengomel.
“Ke sini dan lihatlah. . .” kata Eesha sembari melambaikan tangannya memberi isyarat pada Kiran. “Mungkinkah aku salah lihat?”
Kiran bangkit dari tempat tidur dan mendekat ke arah Eesha yang duduk di pinggiran jendela, “Apa? Kenapa? Apa yang kamu lihat?”
“Lihatlah. . .” kata Eesha dengan menunjuk ke arah rumahnya, “Dari dalam rumahku ada sinar, apa aku salah lihat?”
“Benar. . .” kata Kiran mengiyakan dan heran di saat yang bersamaan.
Amartya yang berusaha tidur pun akhirnya ikut mendekat ke arah Eesha dan melihat ke arah yang ditunjuk oleh Eesha. “Apa mungkin ibumu sudah pulang, gadis tengil?”
Kiran yang merasa sesuatu yang janggal karena sinar yang dilihatnya berasal dari senter bukannya lampu yang dinyalakan.
“Jika memang Ibu Eesha benar sudah pulang, kenapa tidak menyalakan lampu rumah dan justru menyalakan senter seperti sedang mencari sesuatu?”
“Mungkin. . .” kata Eesha berusaha menjawab keraguan Kiran, “mungkin itu kakakku yang takut karena telah membuat Ibuku pergi mencarinya seharian. Aku akan pulang dan memarahi kakakku.”
“Kalau begitu ayo panggil Paman Ganendra. Kita pulang bersama – sama,” saran Kiran.
“Tidak perlu. . .” Eesha menghentikan usaha Kiran yang hendak memanggil Ganendra, “dengan melompati jendela ini, aku bisa segera pulang dan memarahi kakakku yang telah membuat ibuku khawatir.”
“Aku juga ingin ikut. . .” kata Amartya tidak mau kalah dan tertinggal.
“Tapi. . . sebaiknya kita izin lebih dulu pada Nenek dan Paman Ganendra. Bagaimana jika mereka masuk ke kamat dan tidak menemukan kita bertiga?” kata Kiran berusaha mengingatkan.
“Kalau begitu. . . Kiran dan Amartya tidak perlu iku. Aku saja yang pulang sendiri. Setelah memarahi kakakku, aku akan kembali ke sini,” jawab Eesha dengan wajah polosnya.
“Aku juga ingin ikut. . . aku tidak pernah berjalan – jalan di malam hari. . .” rengek Amartya. “Pasti seru sekali. . .”
Kiran mendesah melihat dua orang anak di depannya yang sangat sulit diatur. “Kalian berdua. . . sama – sama sulit sekali diatur. Kalau begitu, biarkan aku menuliskan pesan lebih dulu baru kita pergi. . . Jadi ketika Nenek Rania mencari, mereka akan tahu ke mana kita pergi.”
Mendengar saran Kiran, Amartya dan Eesha kemudian menganggukkan kepalanya bersama – sama menyetujui saran yang Kiran berikan.
Kiran kemudian menuliskan pesan dan setelah menyelesaikan pesannya, Kiran keluar dari kamar Amartya bersama - sama dengan Eesha dan Amartya.
Rajendra mengemudikan mobilnya mengantarkan Eila kembali ke rumahnya di pinggiran kota. Kondisi jalanan yang sedikit gelap membuat Rajendra harus benar – benar fokus untuk melihat agar keduanya bisa sampai dalam keadaan selamat.“Maafkan saya karena telah merepotkan, Bapak. . .” kata Eila memecah ketegangan Rajendra yang sejak tadi fokus melihat ke arah jalanan yang sedikit gelap.“Tidak apa – apa, ini bukan masalah,” jawab Rajendra dengan sedikit rileks. “Saya juga ingin memeriksa ke tempat di mana Ibu tinggal. Saya ingin bertemu dengan anak Ibu dan temannya itu. Saya harus menemukan dari mana lagu itu berasal. Mungkin dengan menemukan asal lagu itu, saya bisa menemukan jejak Hujan Merah yang selama ini sulit sekali ditemukan.”“Apakah mungkin lagu itu yang menjadi penyebab tewasnya putri saya?” tanya Eila ragu – ragu.“Saya masih menduga lagu itu ada hubungannya dengan pembunuh berantai Hujan Merah. Tapi itu masih hanya sebuah dugaan
Ishya, Ibu kiran tiba – tiba terbangun dari tidurnya ketika tidak sengaja tertidur di ruang tengah rumahnya. Untuk pertama kalinya, Ishya berpisah dengan Kiran, putra kesayangannya dan perasaan gelisah langsung menyerbu Ishya.Ishya memijat dahinya dan merasakah sesuatu yang buruk dalam pikirannya. Ishya bangkit dari duduknya dan segera mengambil mantel hangatnya. Dengan menerobos gelapnya malam, Ishya memberanikan diri membuka pintu rumahnya dan berjalan keluar rumah.Entah kenapa sesuatu yang buruk terlintas di kepalaku. Putraku, Kiran.Aku harus menemui Kiran dan memastikan keadaannya baik – baik saja. Kuharap ini hanya pikiranku saja. Kuharap kamu baik – baik saja, Kiran putraku.Tidak lama kemudian. . .Rania bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ke depan pintu rumahnya. Suara ketukan pintu di malam hari sempat membuat Rania merasa sedikit tidak enak. Terlebih lagi, cucunya Amartya yang masih belum pulang membuat perasaa
Mendengar jawaban yang diberikan oleh Kiran, Hujan Merah tersentak dan terkejut.“Dari mana kamu tahu nama itu, anak kecil?”Kiran menemukan celah.“Jika Paman ingin tahu dari mana aku mendengar nama itu? Maka turunkan dulu pistol Paman dan biarkan dua temanku menjauh dari sini.”Hujan Merah menyeringai ngeri ke arah Kiran dan memuji keberanian Kiran. “Kamu masih anak – aank tapi kamu cukup pintar dan berani. Kamu bahkan berani mengajakku untuk bernegosiasi di saat seperti ini. Kurasa kamu bukan anak biasa. Sepertinya, kamu benar – benar sudah tidak merasa takut lagi, anak kecil?”“Kuanggap itu pujian, Paman. Kuakui nama itu sangat penting bagiku. Aku harus menemukan pemilik nama itu karena suatu alasan tapi, nama itu tidak lebih penting dari keselamatan dua temanku. Jadi, Paman mau mendengarkan permintaanku?” tanya Kiran dengan senyuman kecil di bibirnya.Hujan Merah tertawa keras mendengar jawaban Kiran. “Baik
Dua puluh tahun kemudian. . .Setelah selesai berjalan – jalan melihat trailer dari film perdananya di papan billboard, Eesha kemudian memlih untuk duduk di café di pinggir jalanan kota dan menikmati gelas besar es krim strawberry dan teringat kenangan lamanya bersama dengan Kiran.“Kamu mau es krim, Kiran? Bibi di kantin dengan sengaja memberiku dua es krim karena membantunya membersihkan sampah di depan kantin.”“Bisa aku minta yang strawberry?” tanya Kiran.“Strawberry? Kenapa Strawberry? Biasanya anak laki – laki sangay suka dengan es krim rasa coklat.”“Aku lebih suka es krim dengan rasa strawberry. Apakah tidak boleh?”“Baiklah kalau begitu. Kiran yang rasa Strawberry dan aku akan makan yang rasa coklat.” Eesha tersenyum.“Kamu tidak keberatan aku meminta yang rasa strawberry?”&nbs
Tanpa Eesha sadari, hari sudah berganti malam. Usahanya untuk menemukan penyanyi café bernama Nanda tidak membuah hasil. Eesha yang sempat kembali ke café tidak menemukan sosok Nanda di café itu. Merasa lelah, Eesha memutuskan untuk pulang ke rumahnya.“Aku pulang. . .” kata Eesha begitu tiba di rumahnya.Mendengar suara Eesha yang tiba di rumah, Eila dan Ishya segera memberikan jawaban kepada putri mereka.“Kamu pulang, sayang. . .” kata Eila dan Ishya di saat yang sama.“Ya, Ibu. . .” jawab Eesha pada Eila. Kemudian dengan cepat Eesha juga menjawab Ishya, “Ya, Bunda.”Eesha yang baru masuk ke dalam rumahnya mendapati Amartya sedang duduk santai di sofa besar di ruang keluarganya dan bersikap seakan rumah Eesha adalah rumahnya sendiri. Di samping Amartya, duduk Ravindra yang merupakan asisten pribadi Amartya. Ravindra menatap Eesha dengan penuh hormat.“Dia datang lagi kemari?” Eesha melirik ke arah Amart
Selama seminggu setelah terakhir kali bertemu dengan Nanda, si penyanyi café, Eesha terus berusaha untuk menemukan pria itu. Selama seminggu, Eesha terus datang berkunjung je café di mana dirinya bertemu pertama kali dengan Nanda. Baik itu siang ataupun sore hari, Eesha akan menghabiskan beberapa jam waktunya yang berharga hanya untuk duduk sambil memakan es krim rasa strawberry menunggu kedatangan pria bernama Nanda. Namun bahkan setelah semua waktu dan usahanya selama seminggu, pria dengan nama Nanda itu tidak pernah terlihat di café atau di sekitar jalanan café, tempat Eesha terakhir kali bertemu dengan Nanda. Hari ini, Eesha berpakaian sedikit rapi. Setelah menghabiskan waktunya menunggu di café untuk bertemu dengan Nanda, Eesha bergegas menuju ke tempat pemutaran perdana film miliknya. Begitu Eesha tiba di gedung tempat pemutaran film, Eesha segera duduk di tempat duduknya sebagai penonton bukan sebagai anggota produksi atau lebih tepatnya penulis sc
Eesha membuka kedua matanya dan mendapati dua ibunya sedang menggenggam kedua tangannya. Begitu melihat putri mereka membuka kedua matanya, Ishya dan Eila bertanya di saat yang bersamaaan. “Sayang, kamu sudah bangun?” “Ibu, Bunda, aku ada di mana?” tanya Eesha masih berusaha memperjelas pandangannya. Seluruh tubuh Eesha serasa begitu lemas dan tenaganya seakan habis begitu saja. “Kami di rumah sakit, sayang. Kemarin kamu pingsan karena syok dan semalaman kamu hanya tertidur,” jelas Eila dengan wajah yang penuh dengan rasa khawatir. Ah, terakhir kali yang aku ingat adalah penjelasan dokter tentang keadaan Trika. Eesha dapat melihat jelas dua ibunya tidak tidur untuk menjaganya selama semalaman. Warna hitam di bawah kedua mata ibunya terlihat jelas sekali. “Ya, kurasa aku memang tidak sadarkan diri setelah mendengarkan penjelasan dokter kemarin,” jawab Eesha. Untuk sesaat
Eesha salah tingkah ketika Rajendra mendengar gerutuan kesalnya. “Belum lama ini, aku bertemu dengan seseorang yang menyanyikan lagu milik Kiran ketika lagu itu masih belum direlease secara penuh. Karena penasaran, aku mengikuti orang itu dan berakhir pada perkenalan kamu berdua. Pria itu bernama Nanda. Kupikir, aku bisa menemukan informasi tentang Kiran melalui dirinya.” “Di mana kamu mengenalnya, Eesha?” “Di café dekat aku terakhir kali bertemu dengan Paman. Tidak jauh dari jalanan itu ada café dengan panggung kecil di dalamnya dan Nanda menyanyikan lagu milik Kiran di sana saat itu. Selama seminggu kemarin aku berusaha menemukannya dan selalu datang ke café itu. Tapi sayang, aku tidak bertemu dengannya. Siapa yang sangka, aku akan bertemu dengan Nanda di pemutaran perdana filmku dan dialah yang memberikan pertolongan pertama pada Trika. Berkat Nanda, Trika bisa selamat.” “Apa kamu tidak melebih – lebihkan?” tanya Amartya dengan nada dingi
Eesha dan Rajendra yang mendengarkan ucapan Nanda berharap hati Ravindra dapat tersentuh dan menghentikan niatnya untuk membunuh Nanda. Namun ucapan Nanda sepertinya tidak menyentuh hati Ravindra seperti harapan Eesha dan Rajendra. “Kau berbohong padaku, Kiran!” Ravindra meraih pisau miliknya yang sempat terlempar dan langsung mengarahkannya ke leher Nanda. “Kau bohong!”“Aaaaaaaaaaa” teriak Eesha melihat pisau yang mengarah ke leher Kiran dan perlahan melukai leher Kiran. Dalam waktu singkat, cairan berwarna merah kemudian mengalir dari leher Kiran dan membuat Eesha semakin histeris ketakutan. “Ravindra, stop!”“Berhenti Ravindra!” Rajendra yang tadinya sudah menurunkan pistol miliknya kemudian mengarahkan pistol miliknya kembali ke arah Ravindra dan menarik pengaman pada pistol miliknya. Rajendra kini sudah bersiap menarik pelatuk pistolnya dan bersiap
Dengan tubuh yang masih dalam keadaan lemah karena obat bius dari Ravindra, Eesha mencoba bangkit dari kursi rodanya dan menjauh dari Nanda dan Ravindra – sesuai dengan perintah Rajendra. Dengan susah payah, Eesha akhirnya bisa berjalan menjauh. Sementara di sisi lain, Nanda dan Ravindra masih terus memukul satu sama lain dan berpindah-pindah tempat dengan sehingga membuat Rajendra yang ingin menjatuhkan Ravindra berulang kali merasa ragu karena takut adalah Nanda. “Paman, jangan menembak!” Eesha berteriak kepada Rajendra sembari berlari ke arah Rajendr
“Jadi semua yang kamu lakukan, semua pembunuhan itu karena Amartya?” tanya Rajendra tidak percaya. “Apa hubungan Amartya dengan pembunuhan-pembunuhan yang kamu lakukan? Kenapa Amartya, anak yang polos itu kamu jadikan alasan untuk pembunuhanmu itu?” Ravindra tersenyum sembari mendorong kursi roda di mana Eesha masih tidak sadarkan diri dan membawanya duduk di dekatnya. “Karena Tuanku itu terlalu polos, Tuanku hanya melihat Eesha seorang saja. Meski tahu Eesha hanya akan menunggu Kiran kembali, Tuanku masih setia untuk berada di sisi Eesha – sama seperti yang aku lakukan untuk ayah angkatku. Dan wanita-wanita yang jadi korbanku itu adalah wanita yang tidak tahu malu dan berusaha untuk membuat Tuanku berpaling. Aku benci dengan penganggu seperti mereka.”Rajendra menganga mendengar penjelasan di balik alasan pembunuhan yang dilakukan oleh Ravindra.“Kau benar-benar tidak bisa dipercaya. Alasa
"Di mana Eesha?" teriak Rajendra.“Paman benar-benar tidak sabaran sekali,” balas Ravindra. “Tidakkah Paman tidak melihat pertemuan mengharukan antara aku dan Kiran?”Rajendra terkejut mendengar ucapan Ravindra. Dia seperti orang yang berbeda. Ravindra yang selama ini saya kenal sebagai asisten Amartya adalah orang yang diam, penurut dan tidak banyak bicara. Tapi Ravindra yang sekarang berdiri di hadapanku terasa seperti orang yang b
“Sandera??” Rajendra yang terkejut mendengar penjelasan Nanda, nyaris saja membuat dirinya bersama dengan Nanda celaka. Tanpa sadar, Rajendra menginjak pedal rem dan membuat mobilnya berhenti dengan tiba-tiba.“Apa yang Paman lakukan?” teriak Nanda yang terkejut dan nyaris saja membenturkan kepalanya ke dashbor mobil milik Rajendra. Nanda langsung menolehkan kepalanya ke belakang untuk melihat bagian belakang mobil. Nanda langsung menghela napas lega, begitu menyadari jika di belakang mobil milik Rajendra tidak ada kendaraan lain. “Syukurlah di belakang jalanan sedang sepi, kalau tidak kita bi-““Ya, aku tahu. Tindakan tadi bisa menyebabkan kecelakaan beruntun karena tiba-tiba menginjak pedal rem dan membuat mobil berhenti tanpa aba-aba.” Rajendra mengusap keringat dingin di keningnya sembari menginjak pedal gas mobilnya lagi. Mobil melaju lagi dengan sedikit perlahan. “Maaf
Percakapan penting antara dirinya dan Nanda kemudian terhenti ketika Rajendra bersama dengan Nanda tiba di sebuah gudang di pinggiran kota. Gudang yang terbengkalai dan berkesan telah terabaikan selama beberapa tahun menjadi lokasi yang pas dan ideal bagi pembunuh yang terkenal dengan nama Hujan Merah.Bersama dengan Nanda, Rajendra kemudian merilis tempat yang ada di gudang itu. Rajendra bahkan memeriksa bagian luar gudang itu, untuk menemukan kemungkinan ada tempat lain yang tidak terlihat yang bisa menjadi tempat persembunyian hujan merah yang tersembunyi Eesha.
“Apa Paman tidak percaya padaku?” tanya Nanda yang tidak lain adalah Kiran.Rajendra menggelengkan kepalanya dengan ragu. “Jika kamu membicarakan hal ini kepada orang lain, mungkin orang lain tidak akan percaya pada ucapanmu, Nanda. Ah tidak, haruskah aku memanggilmu dengan nama Kiran sekarang?”“Untuk saat ini, tolong panggil dengan nama Nanda saja, Paman. Akan lebih baik jika beberapa orang tidak mengetahui identitasku yang sebenarnya.”“Kenapa?” tanya Rajendra tidak percaya untuk kedua kalinya. “Setelah dua puluh tahun lamanya menghilang, harusnya kamu kembali ke rumah Eila dan Eesha. Setelah dua puluh tahun lamanya terpisah, harusnya kamu kembali ke tempat di mana keluargamu menunggu. Kenapa kamu justru berada di sini dan menyembunyikan identitasmu dari orang-orang yang menunggu kepulanganmu selama dua puluh tahun lamanya?”Nanda menundukk
Setelah melakukan pencarian selama dua jam lamanya dan tidak menemukan hasil, Rajendra terpaksa mengambil keputusan untuk memberitahukan kabar buruk ini kepada keluarga Eesha: Ishya, Eila dan Amartya. Dalam perjalanan menuju ke rumah Ishya dan Eila, Rajendra kemudian melewati cafe di mana Nanda sedang bekerja. Rajendra yang tahu hubungan yang dimiliki Eesha dan Nanda, kemudian menghentikan mobilnya dan berniat untuk memberitahukan kabar buruk yang menimpa Eesha kepada Nanda lebih dulu.“Nanda. . .” Rajendra langsung menyapa Nanda ketika masuk ke cafe di mana Nanda bekerja.“Ah, Pak Rajendra.” Nanda membalas sapaan Rajendra. “Apa yang membawa Bapak datang kemari?”“Bisakah aku minta waktumu sebentar, Nanda?” Rajendra berbicara dengan nada suara yang sedikit bergetar.“Tentu. Tentu saja. Mari kemari.”Nanda kemudian mena
“Dia tidak ingin mengakui bahwa dirinya adalah Kiran. Kiran menyembunyikan identitasnya dan bertindak seolah tidak mengenaliku, Paman.”“Kenapa begitu? Kamu tidak bertanya pada Kiran kenapa dia melakukan hal itu? Selama dua puluh tahun ini, ke mana saja Kiran? Kenapa tidak pulang ke rumah dan menemui ibunya?”“Aku tidak bisa bertanya padanya, Paman. Aku tahu dengan baik sifat Kiran. Ketika dia tidak ingin bilang maka dia tidak akan bilang. Kiran adalah anak yang seperti itu, Paman. Aku menduga hal ini ada hubungannya dengan Hujan Merah yang muncul setelah dua puluh tahun lamanya menghilang.”“Katakan pada Paman, di mana Kiran sekarang! Biar Paman yang bertanya langsung pada Kiran. Paman adalah detektif di kepolisian, Paman akan menjamin nyawa Kiran, jika sesuatu yang buruk bisa saja menimpa dirinya. . .”Eesha menggelengkan kepalanya dengan sedikit ragu.