Sesuai dengan perintah Rania, Eesha berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki bersama dengan Ganendra yang menggendong Amartya di punggungnya.
Sepanjang perjalanan menuju ke sekolah, Eesha terus menyanyikan sebuah lagu yang membuat telinga Amartya sakit ketika mendengarnya.
Lebih baik melihatmu dari jauh, tidak berani berharap bisa bersamamu.
Dengan hati – hati, kusembunyikan kasih sayang di hati.
Bahkan jika air mata jatuh menjadi hujan.
Bahkan jika kata – katamu sedingin es.
Jika kekasih tidak bisa bersama, lebih baik merindukanmu di dalam hati.
Amartya yang sudah tidak bisa menahan rasa sakit di telinganya, akhirnya membuka mulutnya.
“Berhentilah bernyanyi. . .” teriak Amartya dengan kesal.
“Apakah suaraku seburuk itu?” tanya Eesha menghentikan langkahnya dan menatap Amartya di punggung Ganendra.
“Ya, buruk sekali.”
Eesha berpindah tempat dan kali ini memandang ke arah Ganendra, “Bagaimana menurut Paman?”
“Ehm. . tidak terlalu buruk,” jawab Ganendra dengan tersenyum. “Itu lagu yang indah menurutku, siapa yang menciptakan lagu itu?”
Eesha tersenyum mendengar komentar Ganendra dan memulai jalannya lagi. Sembari berjalan, Eesha menjawab pertanyaan Ganendra.
“Aku tidak tahu siapa yang menciptakan lagu ini, Tapi, Kiran selalu menyanyikan lagu ini ketika kami bersama.”
Ganendra tersenyum memandang gadis kecil yang polos sedang berjalan di depannya, “Kurasa lagu ini kurang cocok untuk dinyanyikan oleh anak – anak, tapi suara Eesha tidak buruk kok menyanyikan lagu ini. . .”
Eesha tersenyum senang dan berbalik melihat ke arah Ganendra. Sembari berjalan mundur, Eesha menatap Ganendra dengan wajah bahagia.
“Suara Kiran. . . benar – benar indah saat menyanyikan lagu ini, Paman. Tapi sayangnya, Kiran tidak mau menyanyikan lagu ini selain di depanku dan ibunya,” Eesha memberikan isyarat dengan jari telunjuknya dan menempelkannya di depan mulutnya. “Jadi, tolong Paman rahasiakan hal ini yah. . .”
“Kenapa begitu? Itu hanya sebuah lagu, tapi kenapa harus dirahasiakan?” tanya Amartya heran dan penasaran.
“Aku boleh mendengar Kiran bernyanyi hanya jika aku merahasiakan lagu ini. . .” jawab Eesha.
“Itu artinya kamu melanggar janji. . .” kata Amartya memandang tajam ke arah Eesha.
“Ah benar juga. . .” kata Eesha kemudian berbalik dan tidak lagi berjalan mundur, “ Tapi. . . jika Paman dan kamu, Rama merahasiakan hal ini maka Kiran tidak akan tahu. Aku juga bisa dikatakan tidak melanggar janji. . .”
Dengan tiba – tiba, Eesha menghentikan langkahnya dan membuat Ganendra yang berjalan di belakangnya ikut menghentikan langkahnya.
“Kirannnnnnnn. . . .” teriak Eesha sembari melambai – lambaikan tangannya.
“Itukah temanmu yang bernama Kiran?” tanya Ganendra.
Eesha tidak menjawab dan hanya memberikan isyarat dengan anggukkan kepalanya.
“Kukira dia perempuan, rupanya dia anak laki – laki. . .” kata Ganendra lagi.
“Andai saja, Paman bisa mendengar suara Kiran, Paman pasti memuji suaranya yang sangat indah,” kata Eesha kemudian berbalik memandang Ganendra. “Paman cukup mengantarku sampai di sini saja. . . di depan itu adalah sekolahku. Sampai ketemu nanti Paman, Rama. Kamu juga Rama, jangan terlalu galak kepada anak – anak lain, kalau tidak kamu tidak akan punya teman.”
“Siapa juga yang mau punya teman seperti dirimu. . .” kata Amartya dengan ketus.
Tanpa mempedulikan jawaban ketus dari Amartya, Eesha segera berlari ke arah Kiran dan berjalan bersama dengan Kiran menuju sekolahnya.
Ganendra dan Amartya melihat Eesha yang tersenyum senang hanya dengan berjalan di samping Kiran. Setelah melihat Eesha dan Kiran masuk ke dalam gerbang sekolahnya, Ganendra berbalik dan berjalan menuju ke rumah Rania.
“Bagaimana menurut Paman Ganendra?” tanya Amartya tiba – tiba.
Pertanyaan itu membuat Ganendra bingung, “Apa yang Tuan muda maksud?”
“Anak bernama Kiran itu?”
Ganendra merasakan sesuatu yang berbeda dari Tuan mudanya yang berada di punggungnya saat ini, “Kenapa Tuan muda bertanya? Saya rasa anak bernama Kiran itu anak yang tampan dan cocok bersama dengan Eesha.”
“Apakah aku kalah tampan dari anak bernama Kiran?” tanya Amartya dengan menyembunyikan wajahnya di balik punggung Ganendra.
Mendengar pertanyaan itu, Ganendra tersenyum kecil dan berusaha menyembunyikan senyuman kecilnya dari Tuan mudanya itu.
“Tuan muda tidak kalah tampan dari anak bernama Kiran itu.”
Sementara itu di kota. . .
“Jadi ini benar tempat gadis bernama Rhea itu bernyanyi tadi malam?” tanya Rajendra ketika tiba di lokasi café tempat Rhea bekerja.
“Ya, Pak. Saya sudah memastikannya,” jawab asisten Rajendra. Asisten Rajendra kemudian memanggil salah satu pelayan yang sedang membersihkan café, “Pelayan. . .”
Salah satu pelayan kemudian mendekat ke arah Rajendra dan asistennya, “Ya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?”
“Kami dari kepolisian, ada beberapa hal yang ingin kami tanyakan.” Rajendra kemudian mengambil foto Rhea dari dalam saku mantelnya dan menunjukkan foto itu ke pelayan di hadapannya. “Apakah gadis ini bekerja di sini sebagai penyanyi?”
“Ya, Pak. Nona Rhea memang bekerja di café ini sebagai penyanyi.”
“Berapa lama gadis ini bekerja sebagai penyanyi di café ini?” tanya Rajendra menyelidik.
“Mungkin hampir setahun. . .” jawab pelayan dengan tidak begitu yakin.
“Lalu, apakah semalam ada hal yang aneh sebelum Rhea pulang bekerja?” tanya Rajendra lagi.
“Apakah ada sesuatu yang terjadi dengan Nona Rhea?”
Pelayan itu berbalik bertanya kepada Rajendra dan kemudian dengan melambaikan tangannya, pelayan itu memanggil salah satu temannya yang juga membersihkan café bersamanya.
Pelayan satunya mendekat dan bertanya ke arah pelayan yang tadi dipanggil oleh asisten Rajendra, “Ada apa?”
“Bukankah semalam kamu masuk shift malam?” tanya pelayan yang memanggil.
Pelayan satunya menganggukkan kepalanya, “Ya, ada apa memangnya?”
Rajendra menunjukkan kartu identitasnya sebagai detektif resmi dari kepolisian di kota,
“Kami berdua adalah polisi yang sedang menyelidiki kasus. Bisakah saya bertanya? Apakah semalam ada sesuatu yang aneh yang terjadi kepada gadis bernama Rhea?”
“Selain bernyanyi seperti biasanya, tidak ada yang tidak biasa dari Nona Rhea. . .” jawab pelayan. Pelayan itu kemudian berpikir sejenak dan teringat akan sesuatu. Rajendra menangkap raut wajah pelayan itu yang sedang teringat akan sesuatu. “Ah, Nona Rhea memotong rambutnya kemarin.”
Rajendra sedikit kecewa mendengar ucapan pelayan yang tidak sesuai dengan harapannya.
“Apa gadis bernama Rhea ini adalah penyanyi yang cukup terkenal di sini?” tanya Rajendra lagi menyelidik.
Pelayan yang pertama dipanggil oleh asisten Rajendra memberikan jawabannya, “Sebelum ini, Nona Rhea hanyalah penyanyi biasa dan pengunjung café kami tidaklah banyak. Namun. . . seminggu ini, pengunjung tiba – tiba meningkat ketika Nona Rhea menyanyikan sebuah lagu baru.”
Pelayan café yang satunya lagi juga merasakan hal yang sama dan kemudian ikut memberikan komentarnya, “Itu benar, Pak. Lagu itu membuat pengunjung di café meningkat hanya dalam waktu singkat.” Pelayan café itu tiba – tiba menghentikan ucapannya dan mengingat sesuatu. “Ah. . . semalam. Ada pengunjung baru yang meminta saya untuk memberikan pesan kepada Nona Rhea.”
Insting Rajendra menangkap sesuatu yang dicarinya yang merupakan koneksi yang dibuat antara Hujan Merah dan Rhea, “Pesan? Pesan apa?”
“Pesan yang sama seperti beberapa pengunjung lainnya yang ingin berkenalan dengan Nona Rhea. Selama seminggu ini, banyak pengunjung pria yang ingin berkenalan dengan Nona Rhea sejak Nona Rhea menyanyikan lagu itu.”
“Bagaimana dengan ciri – ciri pria itu?” tanya Rajendra menyelidik. “Apakah ada yang mencurigakan dari pria itu?”
Pelayan café itu terdiam sejenak mengingat kenangannya semalam saat bertemu dengan pengunjung baru itu tadi malam, “Pria itu mengenakan pakaian serba hitam dan rapi, pria itu mengenakan setelan jas hitam yang rapi. Pria itu mengenakan topi hitam dan sarung tangan hitam. Tapi, hanya separuh bagian wajah bawahnya yang bisa saya lihat. Topi yang dikenakan oleh pria itu menutupi hampir separuh bagian atas wajahnya.” Pelayan café itu terdiam sesaat kemudian berbicara lagi, “Saya rasa. . . pria itu adalah pria yang tampan dengan kulit putih. Mungkin usianya sekitar 30 tahunan.”
Rajendra semakin penasaran dengan gambaran sasaran yang selama ini selalu dicarinya dan tidak pernah menemukan apapun baik bukti maupun ciri – ciri fisik dari Hujan Merah. Rajendra tidak menyangka jika pelayan polos ini bahkan berbicara dengan pria yang mungkin adalah pembunuh berantai yang bernama Hujan Merah.
“Tinggi badannya? Apa kamu mengingatnya? Bagaimana dengan suaranya??”
“Orang itu cukup tinggi, mungkin tingginya sekitar 180cm. Bentuk tubuhnya benar – benar idela, tidak kurus dan juga tidak gemuk. Balutan jas yang dikenakannya benar – benar memperlihatkan bahwa pria itu adalah pria dengan bentuk tubuh yang sempurna. Untuk suaranya, suaranya sedikit berat untuk pria berusia 30 tahunan.”
“Apa tidak ada lagi yang kamu ingat? Mungkin sesuatu yang tidak biasa?” tanya Rajendra penasaran. Rajendra kemudian mengalihkan pandangannya ke arah asistennya yang berdiri di sampingnya. “Kamu mencatatnya bukan?”
“Saya mencatatnya, Pak,” jawab Asisten Rajendra yang kemudian menghentikan kegiatan menulisnya.
“Ah, ada satu hal yang tidak biasa yang membuat saya merasa sedikit heran semalam.”
“Apa itu?” tanya Rajendra tidak sabar.
“Tangannya, di tangan pria itu. Ketika memberikan kertas pesan untuk Nona Rhea, sesuatu terlihat di pergelangan tangan pria itu. Pria itu menggunakan gelang dengan gantungan bunga Teratai merah.”
Rajendra mendengarkan dengan seksama ciri – ciri yang digambarkan oleh pelayan itu kepadanya dan merasa ada sesuatu yang belum ditemukan olehnya.
Mungkinkah pria yang digambarkan pelayan ini adalah tersangka yang kukejar selama ini yang disebut – sebut dengan nama Hujan Merah? Tapi. . . kenapa gadis bernama Rhea ini harus dibunuh? Apa alasan Hujan merah membunuh gadis kecil ini dan melanggar aturannya sendiri?
“Bisakah saya meminta tolong lagi?” tanya Rajendra. “Hanya untuk berjaga – jaga saja.”
“Silakan, Pak.”
“Apakah kalian mengingat lagu yang dinyanyikan oleh gadis bernama Rhea?”
Setelah selesai berkeliling mengumpulkan keterangan para saksi, Rajendra bergegas menuju rumah sakit di mana jasad Rhea diotopsi. Begitu sampai di depan ruang otopsi, Rajendra melihat Ibu Rhea, Eila yang sedang duduk menunggu dengan wajah kelelahan. Rajendra dapat melihat mata Eila yang sembab karena menangisi kematian putri tertuanya yang tragis.
Rajendra berjalan menghampiri Eila dan duduk di samping Eila.
“Maafkan saya, meninggalkan Ibu sendiri di sini. . .”
“Tidak apa – apa, Pak. . .” jawab Eila dengan suara yang sedikit serak.
“Panggil saja saya Rajendra, Bu. Akan lebih mudah jika Ibu memanggil saya dengan nama saya.”
“Baiklah. . .” jawab Eila dengan suara seraknya.
Dokter yang mengautopsi jasad Rhea keluar dari ruangannya. Eila dan Rajendra bangkit dari duduknya dan segera mendekat ke arah dokter.
“Bagaimana hasil autopsinya, Dok?” tanya Rajendra tidak sabar.
“Sama seperti tujuh korban sebelumnya. Tidak ada satu pun bukti yang tertinggal dari Hujan Merah,” jelas Dokter dengan sedikit kecewa. “Hanya saja. . .”
Kata itu membuat harapan Rajendra yang nyaris hilang kembali lagi. Dalam sekejap Rajendra berharap jika buruannya itu membuat kesalahan dan meninggalkan bukti kecil untuk mengejar buruannya.
“Hanya saja apa, Dok?” tanya Rajendra tidak sabar.
“Sesuatu terdapat di dalam mulut gadis itu. . .” jawab dokter yang kemudian mengeluarkan kantong plastik dari dalam saku jasnya dokternya.
Rajendra mengambil kantung plastik itu dan memandang heran bukti yang ditemukan di dalam mulut jasad Rhea.
“Kertas?”
“Ya, kertas,” jawab Dokter mengiyakan. “Lihatlah baik – baik. . . meski beberapa bagian rusak karena air liur, tapi ada tulisan yang masih bisa terlihat dengan jelas.”
Rajendra memperhatikan dengan seksama tulisan di kertas itu dan berusaha untuk membacanya.
“Apakah saya sudah bisa membawa putri saya pulang untuk dikuburkan, Dok?” tanya Eila dengan suara seraknya.
“Bisa, Bu. Terima kasih banyak atas kesediaan Ibu untuk menyetujui proses autopsi ini.”
“Jika dengan menyetujui proses autopsi bisa menangkap pembunuh yang melakukan hal itu kepada putriku, saya tidak keberatan, Dok.”
Rajendra yang masih berusaha membaca tulisan itu mulai mengingat sesuatu.
“Ini. . . rasanya aku pernah melihat kalimat ini. Di mana aku pernah melihat kalimat ini sebelumnya?” Rajendra berpikir keras dan tanpa sadar mengucapkan kalimat dalam bukti yang ditinggalkan oleh Hujan Merah. “Lebih baik melihatmu dari jauh, tidak berani berharap bisa bersama denganmu. Dengan hati – hati, kusembunyikan kasih sayang di dalam hati.”
Eila yang tidak sengaja mendengar ucapan Rajendra, mengingat potongan kalimat itu.
“Tunggu sebentar. . .” kata Eila.
“Ada apa, Bu?” tanya Rajendra bingung.
“Bisakah saya melihatnya, Pak? Rasanya saya tahu kalimat itu.”
Rajendra menyerahkan kantung plastic itu kepada Eila dan membiarkan Eila memperhatikannya selama beberapa detik.
“Ini. . . mirip dengan lagu yang selalu dinyanyikan oleh putri kecilku. Kalau saya tidak salah mengingat begini liriknya. . .” kata Eila yang kemudian menyanyikan lagu yang biasa dinyanyikan oleh Eesha, putri kecilnya.
Lebih baik melihatmu dari jauh, tidak berani berharap bisa bersama denganmu.
Dengan hati – hati, kusembunyikan kasih sayang di dalam hati.
Bahkan jika air mata jatuh menjadi hujan.
Bahkan jika kata – katamu sedingin es
Jika kekasih tidak bisa bersama, lebih baik merindukanmu di dalam hati.
“Saya rasa seperti itu lagu yang selalu Eesha, putri kecil saya nyanyikan.”
Mendengar nyanyian Eila, Rajendra tiba – tiba teringat akan sesuatu dan dengan cepat mengambil barang bukti yang dipegang oleh Eila.
“Jangan – jangan. . .” kata Rajendra yang kemudian menghentikan kalimatnya dan dengan buru – buru, Rajendra mengambil sebuah kertas dari dalam saku mantelnya. Rajendra menatap kertas yang diberikan oleh pelayan café tadi dan membandingkannya dengan bukti yang ditinggalkan oleh Hujan Merah. “Kata – katanya sama dengan lagu yang dinyanyikan oleh korban di hari kematiannya.”
“Tunggu sebentar. . .” kata Eila terkejut dan tidak percaya ketika mendengar ucapan Rajedra. “Putriku, Rhea menyanyikan lagu ini di tempat kerjanya?”
“Benar. . .” jawab Rajendra mengiyakan, “lagu ini membuat putri Ibu, Rhea mendapatkan banyak uang selama seminggu ini. Berkat lagu ini, café tempat Rhea bernyanyi ramai dengan pengunjung.”
“Tapi. . .” kata Eila masih tidak percaya, “kami berdua berjanji kepada Eesha untuk merahasiakan lagu ini.”
“Rahasia? Kenapa begitu?” tanya Rajendra penasaran. “Siapa pemilik lagu ini sebenarnya?”
“Lagu ini. . .” Eila mulai menjelaskan, “adalah lagu yang selalu dinyanyikan oleh teman putri kecil saya. Dan putri kecil saya, Eesha selalu berusaha untuk menyanyikan lagu ini ketika berada di rumah.” Eila terdiam sejenak dan merasakan sesuatu yang aneh. “Tapi, kenapa lirik lagu ini ditemukan di dalam mulut putri saya, Rhea?”
“Itu juga yang ingin saya tanyakan kepada pelaku dalam kasus ini, Hujan Merah.”
Rajendra merasa lirik lagu yang ditemukan di dalam mulut jasad Rhea memiliki arti khusus dan alasan tertentu.
Mungkinkah Hujan Merah membunuh gadis ini dan melanggar aturannya sendiri karena lagu ini?
Jam sekolah berakhir, Kiran dan Eesha duduk menunggu di dekat gerbang sekolah.“Tadi pagi. . .” kata Kiran yang penasaran. “Kamu bersama dengan siapa, Eesha?”Sejak pagi, Kiran sudah menahan rasa penasarannya ketika melihat Eesha datang ke sekolah bersama dengan seorang Paman tampan dengan anak laki – laki di punggungnya. Kiran hendak bertanya pada Eesha namun seharian ini Eesha sibuk bersama dengan teman – teman perempuannya karena Eesha membawa banyak coklat. Layaknya gula yang dikelillingi oleh semut, tak ada celah sedikit pun untuk Kiran bertanya kepada Eesha.“Tadi pagi?” tanya Eesha mengingat kejadian di pagi hari. Tidak lama kemudian Eesha menyadari maksud dari pertanyaan yang diajukan Kiran kepadanya. “Ah, itu. . . cucu Nenek yang tinggal di dekat rumahku. Sepertinya nanti malam, aku harus menginap di ruman Nenek Rania, karena ibuku mendadak harus pergi ke kota dan mungkin tidak akan pulang.”“Ke kota? Kenapa?” Kiran semakin pe
Rajendra mengemudikan mobilnya mengantarkan Eila kembali ke rumahnya di pinggiran kota. Kondisi jalanan yang sedikit gelap membuat Rajendra harus benar – benar fokus untuk melihat agar keduanya bisa sampai dalam keadaan selamat.“Maafkan saya karena telah merepotkan, Bapak. . .” kata Eila memecah ketegangan Rajendra yang sejak tadi fokus melihat ke arah jalanan yang sedikit gelap.“Tidak apa – apa, ini bukan masalah,” jawab Rajendra dengan sedikit rileks. “Saya juga ingin memeriksa ke tempat di mana Ibu tinggal. Saya ingin bertemu dengan anak Ibu dan temannya itu. Saya harus menemukan dari mana lagu itu berasal. Mungkin dengan menemukan asal lagu itu, saya bisa menemukan jejak Hujan Merah yang selama ini sulit sekali ditemukan.”“Apakah mungkin lagu itu yang menjadi penyebab tewasnya putri saya?” tanya Eila ragu – ragu.“Saya masih menduga lagu itu ada hubungannya dengan pembunuh berantai Hujan Merah. Tapi itu masih hanya sebuah dugaan
Ishya, Ibu kiran tiba – tiba terbangun dari tidurnya ketika tidak sengaja tertidur di ruang tengah rumahnya. Untuk pertama kalinya, Ishya berpisah dengan Kiran, putra kesayangannya dan perasaan gelisah langsung menyerbu Ishya.Ishya memijat dahinya dan merasakah sesuatu yang buruk dalam pikirannya. Ishya bangkit dari duduknya dan segera mengambil mantel hangatnya. Dengan menerobos gelapnya malam, Ishya memberanikan diri membuka pintu rumahnya dan berjalan keluar rumah.Entah kenapa sesuatu yang buruk terlintas di kepalaku. Putraku, Kiran.Aku harus menemui Kiran dan memastikan keadaannya baik – baik saja. Kuharap ini hanya pikiranku saja. Kuharap kamu baik – baik saja, Kiran putraku.Tidak lama kemudian. . .Rania bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ke depan pintu rumahnya. Suara ketukan pintu di malam hari sempat membuat Rania merasa sedikit tidak enak. Terlebih lagi, cucunya Amartya yang masih belum pulang membuat perasaa
Mendengar jawaban yang diberikan oleh Kiran, Hujan Merah tersentak dan terkejut.“Dari mana kamu tahu nama itu, anak kecil?”Kiran menemukan celah.“Jika Paman ingin tahu dari mana aku mendengar nama itu? Maka turunkan dulu pistol Paman dan biarkan dua temanku menjauh dari sini.”Hujan Merah menyeringai ngeri ke arah Kiran dan memuji keberanian Kiran. “Kamu masih anak – aank tapi kamu cukup pintar dan berani. Kamu bahkan berani mengajakku untuk bernegosiasi di saat seperti ini. Kurasa kamu bukan anak biasa. Sepertinya, kamu benar – benar sudah tidak merasa takut lagi, anak kecil?”“Kuanggap itu pujian, Paman. Kuakui nama itu sangat penting bagiku. Aku harus menemukan pemilik nama itu karena suatu alasan tapi, nama itu tidak lebih penting dari keselamatan dua temanku. Jadi, Paman mau mendengarkan permintaanku?” tanya Kiran dengan senyuman kecil di bibirnya.Hujan Merah tertawa keras mendengar jawaban Kiran. “Baik
Dua puluh tahun kemudian. . .Setelah selesai berjalan – jalan melihat trailer dari film perdananya di papan billboard, Eesha kemudian memlih untuk duduk di café di pinggir jalanan kota dan menikmati gelas besar es krim strawberry dan teringat kenangan lamanya bersama dengan Kiran.“Kamu mau es krim, Kiran? Bibi di kantin dengan sengaja memberiku dua es krim karena membantunya membersihkan sampah di depan kantin.”“Bisa aku minta yang strawberry?” tanya Kiran.“Strawberry? Kenapa Strawberry? Biasanya anak laki – laki sangay suka dengan es krim rasa coklat.”“Aku lebih suka es krim dengan rasa strawberry. Apakah tidak boleh?”“Baiklah kalau begitu. Kiran yang rasa Strawberry dan aku akan makan yang rasa coklat.” Eesha tersenyum.“Kamu tidak keberatan aku meminta yang rasa strawberry?”&nbs
Tanpa Eesha sadari, hari sudah berganti malam. Usahanya untuk menemukan penyanyi café bernama Nanda tidak membuah hasil. Eesha yang sempat kembali ke café tidak menemukan sosok Nanda di café itu. Merasa lelah, Eesha memutuskan untuk pulang ke rumahnya.“Aku pulang. . .” kata Eesha begitu tiba di rumahnya.Mendengar suara Eesha yang tiba di rumah, Eila dan Ishya segera memberikan jawaban kepada putri mereka.“Kamu pulang, sayang. . .” kata Eila dan Ishya di saat yang sama.“Ya, Ibu. . .” jawab Eesha pada Eila. Kemudian dengan cepat Eesha juga menjawab Ishya, “Ya, Bunda.”Eesha yang baru masuk ke dalam rumahnya mendapati Amartya sedang duduk santai di sofa besar di ruang keluarganya dan bersikap seakan rumah Eesha adalah rumahnya sendiri. Di samping Amartya, duduk Ravindra yang merupakan asisten pribadi Amartya. Ravindra menatap Eesha dengan penuh hormat.“Dia datang lagi kemari?” Eesha melirik ke arah Amart
Selama seminggu setelah terakhir kali bertemu dengan Nanda, si penyanyi café, Eesha terus berusaha untuk menemukan pria itu. Selama seminggu, Eesha terus datang berkunjung je café di mana dirinya bertemu pertama kali dengan Nanda. Baik itu siang ataupun sore hari, Eesha akan menghabiskan beberapa jam waktunya yang berharga hanya untuk duduk sambil memakan es krim rasa strawberry menunggu kedatangan pria bernama Nanda. Namun bahkan setelah semua waktu dan usahanya selama seminggu, pria dengan nama Nanda itu tidak pernah terlihat di café atau di sekitar jalanan café, tempat Eesha terakhir kali bertemu dengan Nanda. Hari ini, Eesha berpakaian sedikit rapi. Setelah menghabiskan waktunya menunggu di café untuk bertemu dengan Nanda, Eesha bergegas menuju ke tempat pemutaran perdana film miliknya. Begitu Eesha tiba di gedung tempat pemutaran film, Eesha segera duduk di tempat duduknya sebagai penonton bukan sebagai anggota produksi atau lebih tepatnya penulis sc
Eesha membuka kedua matanya dan mendapati dua ibunya sedang menggenggam kedua tangannya. Begitu melihat putri mereka membuka kedua matanya, Ishya dan Eila bertanya di saat yang bersamaaan. “Sayang, kamu sudah bangun?” “Ibu, Bunda, aku ada di mana?” tanya Eesha masih berusaha memperjelas pandangannya. Seluruh tubuh Eesha serasa begitu lemas dan tenaganya seakan habis begitu saja. “Kami di rumah sakit, sayang. Kemarin kamu pingsan karena syok dan semalaman kamu hanya tertidur,” jelas Eila dengan wajah yang penuh dengan rasa khawatir. Ah, terakhir kali yang aku ingat adalah penjelasan dokter tentang keadaan Trika. Eesha dapat melihat jelas dua ibunya tidak tidur untuk menjaganya selama semalaman. Warna hitam di bawah kedua mata ibunya terlihat jelas sekali. “Ya, kurasa aku memang tidak sadarkan diri setelah mendengarkan penjelasan dokter kemarin,” jawab Eesha. Untuk sesaat
Eesha dan Rajendra yang mendengarkan ucapan Nanda berharap hati Ravindra dapat tersentuh dan menghentikan niatnya untuk membunuh Nanda. Namun ucapan Nanda sepertinya tidak menyentuh hati Ravindra seperti harapan Eesha dan Rajendra. “Kau berbohong padaku, Kiran!” Ravindra meraih pisau miliknya yang sempat terlempar dan langsung mengarahkannya ke leher Nanda. “Kau bohong!”“Aaaaaaaaaaa” teriak Eesha melihat pisau yang mengarah ke leher Kiran dan perlahan melukai leher Kiran. Dalam waktu singkat, cairan berwarna merah kemudian mengalir dari leher Kiran dan membuat Eesha semakin histeris ketakutan. “Ravindra, stop!”“Berhenti Ravindra!” Rajendra yang tadinya sudah menurunkan pistol miliknya kemudian mengarahkan pistol miliknya kembali ke arah Ravindra dan menarik pengaman pada pistol miliknya. Rajendra kini sudah bersiap menarik pelatuk pistolnya dan bersiap
Dengan tubuh yang masih dalam keadaan lemah karena obat bius dari Ravindra, Eesha mencoba bangkit dari kursi rodanya dan menjauh dari Nanda dan Ravindra – sesuai dengan perintah Rajendra. Dengan susah payah, Eesha akhirnya bisa berjalan menjauh. Sementara di sisi lain, Nanda dan Ravindra masih terus memukul satu sama lain dan berpindah-pindah tempat dengan sehingga membuat Rajendra yang ingin menjatuhkan Ravindra berulang kali merasa ragu karena takut adalah Nanda. “Paman, jangan menembak!” Eesha berteriak kepada Rajendra sembari berlari ke arah Rajendr
“Jadi semua yang kamu lakukan, semua pembunuhan itu karena Amartya?” tanya Rajendra tidak percaya. “Apa hubungan Amartya dengan pembunuhan-pembunuhan yang kamu lakukan? Kenapa Amartya, anak yang polos itu kamu jadikan alasan untuk pembunuhanmu itu?” Ravindra tersenyum sembari mendorong kursi roda di mana Eesha masih tidak sadarkan diri dan membawanya duduk di dekatnya. “Karena Tuanku itu terlalu polos, Tuanku hanya melihat Eesha seorang saja. Meski tahu Eesha hanya akan menunggu Kiran kembali, Tuanku masih setia untuk berada di sisi Eesha – sama seperti yang aku lakukan untuk ayah angkatku. Dan wanita-wanita yang jadi korbanku itu adalah wanita yang tidak tahu malu dan berusaha untuk membuat Tuanku berpaling. Aku benci dengan penganggu seperti mereka.”Rajendra menganga mendengar penjelasan di balik alasan pembunuhan yang dilakukan oleh Ravindra.“Kau benar-benar tidak bisa dipercaya. Alasa
"Di mana Eesha?" teriak Rajendra.“Paman benar-benar tidak sabaran sekali,” balas Ravindra. “Tidakkah Paman tidak melihat pertemuan mengharukan antara aku dan Kiran?”Rajendra terkejut mendengar ucapan Ravindra. Dia seperti orang yang berbeda. Ravindra yang selama ini saya kenal sebagai asisten Amartya adalah orang yang diam, penurut dan tidak banyak bicara. Tapi Ravindra yang sekarang berdiri di hadapanku terasa seperti orang yang b
“Sandera??” Rajendra yang terkejut mendengar penjelasan Nanda, nyaris saja membuat dirinya bersama dengan Nanda celaka. Tanpa sadar, Rajendra menginjak pedal rem dan membuat mobilnya berhenti dengan tiba-tiba.“Apa yang Paman lakukan?” teriak Nanda yang terkejut dan nyaris saja membenturkan kepalanya ke dashbor mobil milik Rajendra. Nanda langsung menolehkan kepalanya ke belakang untuk melihat bagian belakang mobil. Nanda langsung menghela napas lega, begitu menyadari jika di belakang mobil milik Rajendra tidak ada kendaraan lain. “Syukurlah di belakang jalanan sedang sepi, kalau tidak kita bi-““Ya, aku tahu. Tindakan tadi bisa menyebabkan kecelakaan beruntun karena tiba-tiba menginjak pedal rem dan membuat mobil berhenti tanpa aba-aba.” Rajendra mengusap keringat dingin di keningnya sembari menginjak pedal gas mobilnya lagi. Mobil melaju lagi dengan sedikit perlahan. “Maaf
Percakapan penting antara dirinya dan Nanda kemudian terhenti ketika Rajendra bersama dengan Nanda tiba di sebuah gudang di pinggiran kota. Gudang yang terbengkalai dan berkesan telah terabaikan selama beberapa tahun menjadi lokasi yang pas dan ideal bagi pembunuh yang terkenal dengan nama Hujan Merah.Bersama dengan Nanda, Rajendra kemudian merilis tempat yang ada di gudang itu. Rajendra bahkan memeriksa bagian luar gudang itu, untuk menemukan kemungkinan ada tempat lain yang tidak terlihat yang bisa menjadi tempat persembunyian hujan merah yang tersembunyi Eesha.
“Apa Paman tidak percaya padaku?” tanya Nanda yang tidak lain adalah Kiran.Rajendra menggelengkan kepalanya dengan ragu. “Jika kamu membicarakan hal ini kepada orang lain, mungkin orang lain tidak akan percaya pada ucapanmu, Nanda. Ah tidak, haruskah aku memanggilmu dengan nama Kiran sekarang?”“Untuk saat ini, tolong panggil dengan nama Nanda saja, Paman. Akan lebih baik jika beberapa orang tidak mengetahui identitasku yang sebenarnya.”“Kenapa?” tanya Rajendra tidak percaya untuk kedua kalinya. “Setelah dua puluh tahun lamanya menghilang, harusnya kamu kembali ke rumah Eila dan Eesha. Setelah dua puluh tahun lamanya terpisah, harusnya kamu kembali ke tempat di mana keluargamu menunggu. Kenapa kamu justru berada di sini dan menyembunyikan identitasmu dari orang-orang yang menunggu kepulanganmu selama dua puluh tahun lamanya?”Nanda menundukk
Setelah melakukan pencarian selama dua jam lamanya dan tidak menemukan hasil, Rajendra terpaksa mengambil keputusan untuk memberitahukan kabar buruk ini kepada keluarga Eesha: Ishya, Eila dan Amartya. Dalam perjalanan menuju ke rumah Ishya dan Eila, Rajendra kemudian melewati cafe di mana Nanda sedang bekerja. Rajendra yang tahu hubungan yang dimiliki Eesha dan Nanda, kemudian menghentikan mobilnya dan berniat untuk memberitahukan kabar buruk yang menimpa Eesha kepada Nanda lebih dulu.“Nanda. . .” Rajendra langsung menyapa Nanda ketika masuk ke cafe di mana Nanda bekerja.“Ah, Pak Rajendra.” Nanda membalas sapaan Rajendra. “Apa yang membawa Bapak datang kemari?”“Bisakah aku minta waktumu sebentar, Nanda?” Rajendra berbicara dengan nada suara yang sedikit bergetar.“Tentu. Tentu saja. Mari kemari.”Nanda kemudian mena
“Dia tidak ingin mengakui bahwa dirinya adalah Kiran. Kiran menyembunyikan identitasnya dan bertindak seolah tidak mengenaliku, Paman.”“Kenapa begitu? Kamu tidak bertanya pada Kiran kenapa dia melakukan hal itu? Selama dua puluh tahun ini, ke mana saja Kiran? Kenapa tidak pulang ke rumah dan menemui ibunya?”“Aku tidak bisa bertanya padanya, Paman. Aku tahu dengan baik sifat Kiran. Ketika dia tidak ingin bilang maka dia tidak akan bilang. Kiran adalah anak yang seperti itu, Paman. Aku menduga hal ini ada hubungannya dengan Hujan Merah yang muncul setelah dua puluh tahun lamanya menghilang.”“Katakan pada Paman, di mana Kiran sekarang! Biar Paman yang bertanya langsung pada Kiran. Paman adalah detektif di kepolisian, Paman akan menjamin nyawa Kiran, jika sesuatu yang buruk bisa saja menimpa dirinya. . .”Eesha menggelengkan kepalanya dengan sedikit ragu.