Rajendra mengemudikan mobilnya mengantarkan Eila kembali ke rumahnya di pinggiran kota. Kondisi jalanan yang sedikit gelap membuat Rajendra harus benar – benar fokus untuk melihat agar keduanya bisa sampai dalam keadaan selamat.
“Maafkan saya karena telah merepotkan, Bapak. . .” kata Eila memecah ketegangan Rajendra yang sejak tadi fokus melihat ke arah jalanan yang sedikit gelap.
“Tidak apa – apa, ini bukan masalah,” jawab Rajendra dengan sedikit rileks. “Saya juga ingin memeriksa ke tempat di mana Ibu tinggal. Saya ingin bertemu dengan anak Ibu dan temannya itu. Saya harus menemukan dari mana lagu itu berasal. Mungkin dengan menemukan asal lagu itu, saya bisa menemukan jejak Hujan Merah yang selama ini sulit sekali ditemukan.”
“Apakah mungkin lagu itu yang menjadi penyebab tewasnya putri saya?” tanya Eila ragu – ragu.
“Saya masih menduga lagu itu ada hubungannya dengan pembunuh berantai Hujan Merah. Tapi itu masih hanya sebuah dugaan. Saya masih perlu menemukan bukti untuk memperkuat dugaan saya,” jelas Rajendra berusaha untuk tidak membuat Eila khawatir dan cemas. “Sebelum itu izinkan saya bertanya?”
“Silakan. . .”
“Kenapa lagu itu harus dirahasiakan oleh Ibu dan Putri Ibu? Sejak tadi, saya penasaran akan hal ini.”
Eila tersenyum mengingat percakapan putri kecilnya Eesha sebelum menjawab pertanyaan Rajendra.
“Oh, itu. . . putri kecilku, Eesha. Seperti yang saya katakan sebelumnya mendengar lagu itu dari teman sekelasnya yang bernama Kiran. Saya tidak tahu alasan kenapa Kiran meminta Eesha untuk merahasiakan lagu itu. Hanya saja, Eesha tidak akan mendengar lagu itu lagi dari Kiran jika Eesha memberitahu lagu itu kepada orang lain.” Eila tersenyum mengingat kenangannya bersama dengan Rhea dan Eesha belum lama ini ketika membahas lagu yang selalu dinyanyikan oleh Eesha. “Putri kecilku, Eesha berusaha menyanyikan lagu itu ketika di rumah dan membuat kamu mau tidak mau mendengarkannya selama kurang lebih sebulan ini. Sayangnya, suara Eesha seperti nada sumbang dan radio rusak sehingga berulang kali Eesha berusaha menyanyikan lagu itu, tetap saja terdengar buruk. Sedangkan Kiran yang selalu menyanyikan lagu itu punya suara yang merdu, menurut Eesha.”
“Bagaimana dengan keluarga Kiran?” tanya Rajendra yang sudah tidak bisa menahan rasa ingin tahunya.
“Kiran, anak yang cukup cerdas. Beberapa kali, saya mendapati Kiran menjadi juara kelas dan nilainya tidak pernah buruk. Kiran tinggal bersama ibunya yang berusia sekitar 30 tahunan, sedangkan Ayah Kiran meninggal beberapa tahun yang lalu karena penyakit. Hanya sebatas itu yang saya tahu. Dalam perkumpulan wali murid, Ibu Kiran adalah wanita yang dikenal tidak banyak bicara dan cukup sulit untuk didekati.”
Rajendra berpikir keras dalam pikirannya mengenai hubungan lagu yang diduganya sebagai penyebab tewasnya Rhea.
Bagaimana lagu yang dinyanyikan oleh anak – anak bisa menjadi alasan dibalik pembunuhan Hujan Merah terhadap Rhea? Apakah memang ada hubungannya lagu itu dengan Hujan Merah? Apakah dugaanku ini benar adanya atau justru semakin membuatku tersesat dalam pencarian Hujan Merah?
Percakapan di antara Rajendra dan Eila terhenti sejenak ketika Rajendra mulai asyik berbicara dengan pikirannya sendiri sementara matanya terus fokus melihat jalanan yang sedikit gelap. Tangannya sibuk memutar kemudi mobilnya dan untuk sesaat, Rajendra melupakan keberadaan Eila yang duduk di sampingnya.
Hari sudah cukup malam ketika akhirnya mobil Rajendra memasuki area pinggiran kota di mana Eila tinggal.
Eila kemudian membuyarkan pikiran Rajendra yang fokus menyetir dan sibuk berpikir tentang Hujan Merah.
“Saya turun di sini saja, Pak. . .” kata Eila tiba – tiba dengan menunjuk ke sebuah rumah yang cukup besar. “Putri kecil saya, tadi saya titipkan di rumah ini. Terima kasih banyak atas bantuan Bapak hari ini. Saya hanya bisa berharap pelaku pembunuhan putri saya bisa segera tertangkap.”
Rajendra menghentikan mobilnya di depan rumah besar itu.
“Saya juga berterima kasih atas waktu yang telah Ibu luangkan. Besok pagi, jasad putri Ibu akan diantarkan oleh pihak rumah sakit. Saya sudah berpesan kepada pihak rumah sakit. Ibu bisa menguburkan putri Ibu sesegera mungkin setelah jasadnya tiba besok. . .” jelas Rajendra.
“Terima kasih banyak. . .”
“Tapi. . .” kata Rajendra menyela Eila yang hendak turun dari mobil Rajendra, “sebelum itu, bisakah saya bertemu dengan putri kecil Ibu. Saya ingin menanyakan sesuatu padanya. Apakah Ibu tidak keberatan?”
“Saya tidak keberatan. Asalkan jangan katakan padanya soal kematian kakaknya. Biar saya yang menjelaskan sendiri soal kematian kakaknya. Eesha sangat menyayangi kakaknya. Terlebih lagi Rhea berjanji pulang dengan membawa coklat kesukaan Eesha.”
“Saya mengerti, Bu. . .” jawab Rajendra paham.
Eila dan Rajendra turun dari mobil.
Eila segera berjalan menuju ke depan pintu rumah Rania dengan Rajendra yang mengikuti tepat di belakangnya. Eila mengetuk pintu rumah Rania sembari memanggil – manggil Rania.
“Bibi. . .” panggil Eila dengan sedikit berteriak.
Pintu terbuka dan Rania muncul dari balik pintu dengan gaun tidurnya.
“Ah, Nak Eila. . .” kata Rania dengan tersenyum. “Rupanya kamu sudah kembali.”
“Maafkan saya karena telah merepotkan Bibi dan datang di malam hari. Di mana Eesha, Bi? Ada sesuatu yang ingin ditanyakan oleh pria ini kepada Eesha.”
“Siapa pria ini, Nak?” tanya Rania. “Eesha mungkin sudah tidur bersama dengan Kiran dan Amar.”
“Kiran? Kiran menginap di sini juga, Bi?” tanya Eila terkejut. Eila kemudian mengenalkan Rajendra yang berdiri di sampingnya kepada Rania. “Pria ini adalah detektif yang bekerja di kota. Namanya Rajendra.”
“Ganendra. . .” teriak Rania memanggil pengawal cucunya.
Ganendra segera berjalan mendekat ke arah Rania, “Ya, Nyonya.”
“Tolong bangunkan Eesha dan katakan padanya bahwa Ibunya sudah datang. . .” kata Rania memberi perintah. “Hati – hati saat memabngunkan anak – anak, takutnya mereka terkejut.”
“Baik, Nyonya.”
Ganendra segera berjalan menuju kamar Amartya.
Rania mengalihkan pandangannya dari Ganendra dan kembali menatap Rajendra dengan wajah penasaran.
“Ada apa detektif malam – malam datang kemari dan ingin bertanya kepada Eesha?” tanya Rania dengan tersenyum ramah.
“Apakah Kiran yang dimaksud adalah teman sekolah Eesha?” tanya Rajendra kepada Eila.
Eila menganggukkan kepalanya, “Ya, benar.”
“Apakah Ibu keberatan jika saya juga ingin bertanya kepada Kira? Hanya sebatas bertanya dari mana asal lagu itu saja. . .”
Rajendra mengabaikan Rania karena rasa penasarannya yang sudah tidak bisa ditahannya lagi.
“Kurasa. . . jika bertanya tentang hal itu saja, tidak akan ada masalah. Tapi. . . bagaimana jika Kiran tidak mau menjawab?” Eila merasa sedikit ragu – ragu.
“Mungkin nanti. . . saya bisa bertemu dengan ibunya juga,” jawab Rajendra kepada Eila. Rajendra yang sejak tadi mengabaikan Rania kini mengalihkan pandangannya ke arah Rania dan bertanya kepada Rania dengan sopan. “Apakah Ibu keberatan jika saya bertanya kepada anak – anak di sini?”
“Tentu saja tidak. . .” jawab Rania berusaha bersikap ramah. “Tapi, sebelumnya. . . bisa tolong jelaskan apa yang yerjadi hingga detektif kota datang kemari malam – malam dan ingin bertanya kepada Eesha dan Kiran?”
Rajendra hendak membuka mulutnya untuk menjelaskan namun suaranya terhenti ketika mendengar teriakan Ganendra.
“Nyonya. . .” teriak Ganendra dengan sedikit berlari ke arah Rania dengan membawa selembar kertas, “gawat, anak – anak tidak ada di kamarnya.”
“Apa maksudmu? Kenapa anak – anak tidak ada di kamarnya? Bagaimana dengan Amar?” tanya Rania dengan wajah terkejut dan tidak percaya.
“Tuan muda juga menghilang, Nyonya. Dan saya menemukan ini tertinggal di kamar Tuan Muda. . .” kata Ganendra menunjukkan selembar kertas yang tadi dibawanya.
Rania kemudian mengambil kertas dan membaca tulisan di dalam kertas yang ditinggalkan.
“Mereka ke rumah Eesha karena melihat kakaknya pulang. . .” kata Rania.
Mendengar ucapan Rania, dalam sekejap Eila terkejut dan bergidik takut di saat yang bersamaan.
“Apa maksudnya itu?” tanya Eila tidak percaya. Eila kemudian mengambil kertas yang dibaca oleh Eila dan membacanya sendiri untuk memastikan telinganya tidak salah mendengar. “Ini tidak mungkin. . . Rhea sudah meninggal. Tidak mungkin Eesha melihat kakaknya di rumah.”
Rania terkejut ketika mendengar ucapan Eila yang mengatakan bahwa putri pertamanya telah meninggal. “Apa maksudnya dengan meninggal?”
Di depan dua wanita yang saat ini sedang terkejut, Rajendra berusaha menenangkan dua wanita itu.
“Saya merasa sesuatu yang tidak beres sedang terjadi sekarang. Akan lebih baik, jika saya segera pergi ke rumah Ibu Eila dan memastikan apa yang sedang terjadi di sana.”
“Biarkan saya ikut, Pak. Saya adalah pengawal pribadi Tuan Muda, mungkin saya bisa membantu.” Ganendra mengajukan dirinya untuk ikut bersama dengan Rajendra.
“Baiklah kalau begitu. Untuk Ibu dan Bibi, akan lebih baik jika kalian berdua menunggu di sini. Kunci pintu rumah dan jangan biarkan siapapun masuk kecuali anak – anak atau kami berdua. Saya dan Ganendra akan memeriksa ke rumah Ibu Eila dan memastikan sesuatu yang buruk tidak akan terjadi pada anak – anak,” jelas Rajendra.
Rajendra dan Ganendra kemudian bergegas pergi ke rumah Eila dengan harapan tidak ada sesuatu yang buruk yang menimpa tiga anak yang merupakan kunci dari kasus yang sedang ditanganinya.
Kiranya siapa yang dilihat anak – anak itu? Kuharap anak – anak itu akan baik – baik saja karena sejak tadi firasatku mengatakan sesuatu yang buruk akan terjadi.
Sementara itu. . .
Setelah berjalan sejauh 500 meter, Eesha bersama dengan Kiran dan Amartya telah sampai di depan rumah Eesha. Tiga anak itu berdiri memandang rumah Eesha yan dalam keadaan gelap gulita.
“Gadis tengil. . .” Panggil Amartya dengan nada ketusnya, “kamu yakin yang pulang adalah kakakmu?”
Mendengar suara Amartya yang sedikit keras, Kiran segera memberikan isyarat dengan jarinya.
“Sssstttt. . . aku juga merasa ada sesuatu yang ganjil. Tidak mungkin kakakmu pulang tanpa menyalakan lampu. Bukankah lebih baik jika kita kembali ke rumah Amartya dan meminta Paman Ganendra untuk memeriksa?” kata Kiran dengan berbisik.
“Aku yakin sekali jika yang masuk ke dalam rumah adalah kakakku. . .” bisik Eesha dengan penuh percaya diri. “Dia biasa melakukan hal ini jika membuat ibuku marah.”
“Bagaimana jika mengintip dari jendela lebih dulu sebelum masuk ke dalam rumah? Aku merasa ada sesuatu yang ganjil.”
Eesha menganggukkan kepalanya setuju dengan saran Kiran. “Aku akan ikut apa kata Kiran.”
Kiran tersenyum melihat Eesha yang menuruti perintahnya.
“Bagus. . . ingat satu hal, Eesha. Jika nanti terjadi sesuatu kamu harus membawa Amartya pergi dari sini.” Kiran memberi peringatan kepada Eesha.
“Lalu, Kiran bagaimana?” tanya Eesha khawatir.
“Sebagai laki – laki, aku akan melindungimu dan Amartya.”
Eesha menganggukkan kepalanya menuruti perintah Kiran sementara Amartya tersenyum senang merasa kagum dengan Kiran.
“Kak Kiran memang yang terbaik. . .” puji Amartya dengan berbisik.
Eesha, Kiran dan Amartya pergi ke bagian samping rumah dan mencari celah di antara jendela rumah Eesha untuk mengintip ke dalam rumah. Eesha menemukan celah di antara tirai yang sedikit terbuka di ruang keluarga rumah Eesha. Kiran, Eesha dan Amartya berjinjit menunggu dan mengintip melalu celah tirai yang sedikit terbuka. Dari celah yang kecil itu, Kiran, Eesha dan Amartya melihat sosok pria yang sedang memandang foto keluarga Eesha.
“Dia bukan kakakku. . . siapa orang itu?” bisik Eesha.
Kiran dengan cepat berusaha menghentikan mulut Eesha yang berbicara dengan isyarat jarinya.
Sosok pria yang sedang berada di dalam rumah Eesha kemudian berbicara sembari memandang foto keluarga Eesha.
”Gadis yang tidak tahu sopan santun. Seharusnya kamu tidak menyanyikan lagu itu tanpa seijin pemiliknya. Lihatlah sekarang. . .kamu meninggalkan adik kecilmu dan ibumu begitu saja.”
Pria itu kemudian berjalan keliling lagi ke dalam rumah Eesha sebelum akhirnya mengumpat kesal. “Sial sekali. . . aku datang kemari dan tidak menemukan apapun.”
Kiran yang menangkap ucapan pria asing di rumah Eesha merasakan sesuatu yang tidak beres sedang terjadi. Kiran kemudian memberikan isyarat pada Eesha dan Amartya untuk berjalan perlahan kembali ke rumah Amartya.
Eesha dan Amartya menganggukkan kepalanya dan mengikuti perintah dari Kiran untuk berjaln menjauh dari rumah Eesha.
Ishya, Ibu kiran tiba – tiba terbangun dari tidurnya ketika tidak sengaja tertidur di ruang tengah rumahnya. Untuk pertama kalinya, Ishya berpisah dengan Kiran, putra kesayangannya dan perasaan gelisah langsung menyerbu Ishya.Ishya memijat dahinya dan merasakah sesuatu yang buruk dalam pikirannya. Ishya bangkit dari duduknya dan segera mengambil mantel hangatnya. Dengan menerobos gelapnya malam, Ishya memberanikan diri membuka pintu rumahnya dan berjalan keluar rumah.Entah kenapa sesuatu yang buruk terlintas di kepalaku. Putraku, Kiran.Aku harus menemui Kiran dan memastikan keadaannya baik – baik saja. Kuharap ini hanya pikiranku saja. Kuharap kamu baik – baik saja, Kiran putraku.Tidak lama kemudian. . .Rania bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ke depan pintu rumahnya. Suara ketukan pintu di malam hari sempat membuat Rania merasa sedikit tidak enak. Terlebih lagi, cucunya Amartya yang masih belum pulang membuat perasaa
Mendengar jawaban yang diberikan oleh Kiran, Hujan Merah tersentak dan terkejut.“Dari mana kamu tahu nama itu, anak kecil?”Kiran menemukan celah.“Jika Paman ingin tahu dari mana aku mendengar nama itu? Maka turunkan dulu pistol Paman dan biarkan dua temanku menjauh dari sini.”Hujan Merah menyeringai ngeri ke arah Kiran dan memuji keberanian Kiran. “Kamu masih anak – aank tapi kamu cukup pintar dan berani. Kamu bahkan berani mengajakku untuk bernegosiasi di saat seperti ini. Kurasa kamu bukan anak biasa. Sepertinya, kamu benar – benar sudah tidak merasa takut lagi, anak kecil?”“Kuanggap itu pujian, Paman. Kuakui nama itu sangat penting bagiku. Aku harus menemukan pemilik nama itu karena suatu alasan tapi, nama itu tidak lebih penting dari keselamatan dua temanku. Jadi, Paman mau mendengarkan permintaanku?” tanya Kiran dengan senyuman kecil di bibirnya.Hujan Merah tertawa keras mendengar jawaban Kiran. “Baik
Dua puluh tahun kemudian. . .Setelah selesai berjalan – jalan melihat trailer dari film perdananya di papan billboard, Eesha kemudian memlih untuk duduk di café di pinggir jalanan kota dan menikmati gelas besar es krim strawberry dan teringat kenangan lamanya bersama dengan Kiran.“Kamu mau es krim, Kiran? Bibi di kantin dengan sengaja memberiku dua es krim karena membantunya membersihkan sampah di depan kantin.”“Bisa aku minta yang strawberry?” tanya Kiran.“Strawberry? Kenapa Strawberry? Biasanya anak laki – laki sangay suka dengan es krim rasa coklat.”“Aku lebih suka es krim dengan rasa strawberry. Apakah tidak boleh?”“Baiklah kalau begitu. Kiran yang rasa Strawberry dan aku akan makan yang rasa coklat.” Eesha tersenyum.“Kamu tidak keberatan aku meminta yang rasa strawberry?”&nbs
Tanpa Eesha sadari, hari sudah berganti malam. Usahanya untuk menemukan penyanyi café bernama Nanda tidak membuah hasil. Eesha yang sempat kembali ke café tidak menemukan sosok Nanda di café itu. Merasa lelah, Eesha memutuskan untuk pulang ke rumahnya.“Aku pulang. . .” kata Eesha begitu tiba di rumahnya.Mendengar suara Eesha yang tiba di rumah, Eila dan Ishya segera memberikan jawaban kepada putri mereka.“Kamu pulang, sayang. . .” kata Eila dan Ishya di saat yang sama.“Ya, Ibu. . .” jawab Eesha pada Eila. Kemudian dengan cepat Eesha juga menjawab Ishya, “Ya, Bunda.”Eesha yang baru masuk ke dalam rumahnya mendapati Amartya sedang duduk santai di sofa besar di ruang keluarganya dan bersikap seakan rumah Eesha adalah rumahnya sendiri. Di samping Amartya, duduk Ravindra yang merupakan asisten pribadi Amartya. Ravindra menatap Eesha dengan penuh hormat.“Dia datang lagi kemari?” Eesha melirik ke arah Amart
Selama seminggu setelah terakhir kali bertemu dengan Nanda, si penyanyi café, Eesha terus berusaha untuk menemukan pria itu. Selama seminggu, Eesha terus datang berkunjung je café di mana dirinya bertemu pertama kali dengan Nanda. Baik itu siang ataupun sore hari, Eesha akan menghabiskan beberapa jam waktunya yang berharga hanya untuk duduk sambil memakan es krim rasa strawberry menunggu kedatangan pria bernama Nanda. Namun bahkan setelah semua waktu dan usahanya selama seminggu, pria dengan nama Nanda itu tidak pernah terlihat di café atau di sekitar jalanan café, tempat Eesha terakhir kali bertemu dengan Nanda. Hari ini, Eesha berpakaian sedikit rapi. Setelah menghabiskan waktunya menunggu di café untuk bertemu dengan Nanda, Eesha bergegas menuju ke tempat pemutaran perdana film miliknya. Begitu Eesha tiba di gedung tempat pemutaran film, Eesha segera duduk di tempat duduknya sebagai penonton bukan sebagai anggota produksi atau lebih tepatnya penulis sc
Eesha membuka kedua matanya dan mendapati dua ibunya sedang menggenggam kedua tangannya. Begitu melihat putri mereka membuka kedua matanya, Ishya dan Eila bertanya di saat yang bersamaaan. “Sayang, kamu sudah bangun?” “Ibu, Bunda, aku ada di mana?” tanya Eesha masih berusaha memperjelas pandangannya. Seluruh tubuh Eesha serasa begitu lemas dan tenaganya seakan habis begitu saja. “Kami di rumah sakit, sayang. Kemarin kamu pingsan karena syok dan semalaman kamu hanya tertidur,” jelas Eila dengan wajah yang penuh dengan rasa khawatir. Ah, terakhir kali yang aku ingat adalah penjelasan dokter tentang keadaan Trika. Eesha dapat melihat jelas dua ibunya tidak tidur untuk menjaganya selama semalaman. Warna hitam di bawah kedua mata ibunya terlihat jelas sekali. “Ya, kurasa aku memang tidak sadarkan diri setelah mendengarkan penjelasan dokter kemarin,” jawab Eesha. Untuk sesaat
Eesha salah tingkah ketika Rajendra mendengar gerutuan kesalnya. “Belum lama ini, aku bertemu dengan seseorang yang menyanyikan lagu milik Kiran ketika lagu itu masih belum direlease secara penuh. Karena penasaran, aku mengikuti orang itu dan berakhir pada perkenalan kamu berdua. Pria itu bernama Nanda. Kupikir, aku bisa menemukan informasi tentang Kiran melalui dirinya.” “Di mana kamu mengenalnya, Eesha?” “Di café dekat aku terakhir kali bertemu dengan Paman. Tidak jauh dari jalanan itu ada café dengan panggung kecil di dalamnya dan Nanda menyanyikan lagu milik Kiran di sana saat itu. Selama seminggu kemarin aku berusaha menemukannya dan selalu datang ke café itu. Tapi sayang, aku tidak bertemu dengannya. Siapa yang sangka, aku akan bertemu dengan Nanda di pemutaran perdana filmku dan dialah yang memberikan pertolongan pertama pada Trika. Berkat Nanda, Trika bisa selamat.” “Apa kamu tidak melebih – lebihkan?” tanya Amartya dengan nada dingi
Eesha diam – diam keluar dari rumahnya untuk mencari keberadaan pria bernama Nanda. Eesha kembali berkunjung ke café di mana dirinya pertama kali bertemu dengan Nanda.Begitu sampai di kafe, Eesha memesan satu gelas besar strawberry sundae untuk mendingin kepalanya. Selagi menunggu pesanannnya datang, Eesha menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri berusaha menemukan sosok Nanda.Lima menit lamanya, Eesha menunggu. Lima menit lamanya pula, Eesha mencari – cari sosok Nanda.“Ini pesanan, Nona. Satu gelas besar strawberry sundae.”Eesha menoleh ke arah pelayan yang membawa pesanannya dan terkejut ketika melihat sosok yang dicarinya sejak tadi datang begitu saja ke hadapannya. “Kamu. . .”Tanpa Eesha sangka, Nanda muncul begitu saja di depannya dengan membawa satu gelas besar strawberry sundae pesanannya.Nanda tersenyum menatap wajah Eesha yang terkejut ketika melih
Eesha dan Rajendra yang mendengarkan ucapan Nanda berharap hati Ravindra dapat tersentuh dan menghentikan niatnya untuk membunuh Nanda. Namun ucapan Nanda sepertinya tidak menyentuh hati Ravindra seperti harapan Eesha dan Rajendra. “Kau berbohong padaku, Kiran!” Ravindra meraih pisau miliknya yang sempat terlempar dan langsung mengarahkannya ke leher Nanda. “Kau bohong!”“Aaaaaaaaaaa” teriak Eesha melihat pisau yang mengarah ke leher Kiran dan perlahan melukai leher Kiran. Dalam waktu singkat, cairan berwarna merah kemudian mengalir dari leher Kiran dan membuat Eesha semakin histeris ketakutan. “Ravindra, stop!”“Berhenti Ravindra!” Rajendra yang tadinya sudah menurunkan pistol miliknya kemudian mengarahkan pistol miliknya kembali ke arah Ravindra dan menarik pengaman pada pistol miliknya. Rajendra kini sudah bersiap menarik pelatuk pistolnya dan bersiap
Dengan tubuh yang masih dalam keadaan lemah karena obat bius dari Ravindra, Eesha mencoba bangkit dari kursi rodanya dan menjauh dari Nanda dan Ravindra – sesuai dengan perintah Rajendra. Dengan susah payah, Eesha akhirnya bisa berjalan menjauh. Sementara di sisi lain, Nanda dan Ravindra masih terus memukul satu sama lain dan berpindah-pindah tempat dengan sehingga membuat Rajendra yang ingin menjatuhkan Ravindra berulang kali merasa ragu karena takut adalah Nanda. “Paman, jangan menembak!” Eesha berteriak kepada Rajendra sembari berlari ke arah Rajendr
“Jadi semua yang kamu lakukan, semua pembunuhan itu karena Amartya?” tanya Rajendra tidak percaya. “Apa hubungan Amartya dengan pembunuhan-pembunuhan yang kamu lakukan? Kenapa Amartya, anak yang polos itu kamu jadikan alasan untuk pembunuhanmu itu?” Ravindra tersenyum sembari mendorong kursi roda di mana Eesha masih tidak sadarkan diri dan membawanya duduk di dekatnya. “Karena Tuanku itu terlalu polos, Tuanku hanya melihat Eesha seorang saja. Meski tahu Eesha hanya akan menunggu Kiran kembali, Tuanku masih setia untuk berada di sisi Eesha – sama seperti yang aku lakukan untuk ayah angkatku. Dan wanita-wanita yang jadi korbanku itu adalah wanita yang tidak tahu malu dan berusaha untuk membuat Tuanku berpaling. Aku benci dengan penganggu seperti mereka.”Rajendra menganga mendengar penjelasan di balik alasan pembunuhan yang dilakukan oleh Ravindra.“Kau benar-benar tidak bisa dipercaya. Alasa
"Di mana Eesha?" teriak Rajendra.“Paman benar-benar tidak sabaran sekali,” balas Ravindra. “Tidakkah Paman tidak melihat pertemuan mengharukan antara aku dan Kiran?”Rajendra terkejut mendengar ucapan Ravindra. Dia seperti orang yang berbeda. Ravindra yang selama ini saya kenal sebagai asisten Amartya adalah orang yang diam, penurut dan tidak banyak bicara. Tapi Ravindra yang sekarang berdiri di hadapanku terasa seperti orang yang b
“Sandera??” Rajendra yang terkejut mendengar penjelasan Nanda, nyaris saja membuat dirinya bersama dengan Nanda celaka. Tanpa sadar, Rajendra menginjak pedal rem dan membuat mobilnya berhenti dengan tiba-tiba.“Apa yang Paman lakukan?” teriak Nanda yang terkejut dan nyaris saja membenturkan kepalanya ke dashbor mobil milik Rajendra. Nanda langsung menolehkan kepalanya ke belakang untuk melihat bagian belakang mobil. Nanda langsung menghela napas lega, begitu menyadari jika di belakang mobil milik Rajendra tidak ada kendaraan lain. “Syukurlah di belakang jalanan sedang sepi, kalau tidak kita bi-““Ya, aku tahu. Tindakan tadi bisa menyebabkan kecelakaan beruntun karena tiba-tiba menginjak pedal rem dan membuat mobil berhenti tanpa aba-aba.” Rajendra mengusap keringat dingin di keningnya sembari menginjak pedal gas mobilnya lagi. Mobil melaju lagi dengan sedikit perlahan. “Maaf
Percakapan penting antara dirinya dan Nanda kemudian terhenti ketika Rajendra bersama dengan Nanda tiba di sebuah gudang di pinggiran kota. Gudang yang terbengkalai dan berkesan telah terabaikan selama beberapa tahun menjadi lokasi yang pas dan ideal bagi pembunuh yang terkenal dengan nama Hujan Merah.Bersama dengan Nanda, Rajendra kemudian merilis tempat yang ada di gudang itu. Rajendra bahkan memeriksa bagian luar gudang itu, untuk menemukan kemungkinan ada tempat lain yang tidak terlihat yang bisa menjadi tempat persembunyian hujan merah yang tersembunyi Eesha.
“Apa Paman tidak percaya padaku?” tanya Nanda yang tidak lain adalah Kiran.Rajendra menggelengkan kepalanya dengan ragu. “Jika kamu membicarakan hal ini kepada orang lain, mungkin orang lain tidak akan percaya pada ucapanmu, Nanda. Ah tidak, haruskah aku memanggilmu dengan nama Kiran sekarang?”“Untuk saat ini, tolong panggil dengan nama Nanda saja, Paman. Akan lebih baik jika beberapa orang tidak mengetahui identitasku yang sebenarnya.”“Kenapa?” tanya Rajendra tidak percaya untuk kedua kalinya. “Setelah dua puluh tahun lamanya menghilang, harusnya kamu kembali ke rumah Eila dan Eesha. Setelah dua puluh tahun lamanya terpisah, harusnya kamu kembali ke tempat di mana keluargamu menunggu. Kenapa kamu justru berada di sini dan menyembunyikan identitasmu dari orang-orang yang menunggu kepulanganmu selama dua puluh tahun lamanya?”Nanda menundukk
Setelah melakukan pencarian selama dua jam lamanya dan tidak menemukan hasil, Rajendra terpaksa mengambil keputusan untuk memberitahukan kabar buruk ini kepada keluarga Eesha: Ishya, Eila dan Amartya. Dalam perjalanan menuju ke rumah Ishya dan Eila, Rajendra kemudian melewati cafe di mana Nanda sedang bekerja. Rajendra yang tahu hubungan yang dimiliki Eesha dan Nanda, kemudian menghentikan mobilnya dan berniat untuk memberitahukan kabar buruk yang menimpa Eesha kepada Nanda lebih dulu.“Nanda. . .” Rajendra langsung menyapa Nanda ketika masuk ke cafe di mana Nanda bekerja.“Ah, Pak Rajendra.” Nanda membalas sapaan Rajendra. “Apa yang membawa Bapak datang kemari?”“Bisakah aku minta waktumu sebentar, Nanda?” Rajendra berbicara dengan nada suara yang sedikit bergetar.“Tentu. Tentu saja. Mari kemari.”Nanda kemudian mena
“Dia tidak ingin mengakui bahwa dirinya adalah Kiran. Kiran menyembunyikan identitasnya dan bertindak seolah tidak mengenaliku, Paman.”“Kenapa begitu? Kamu tidak bertanya pada Kiran kenapa dia melakukan hal itu? Selama dua puluh tahun ini, ke mana saja Kiran? Kenapa tidak pulang ke rumah dan menemui ibunya?”“Aku tidak bisa bertanya padanya, Paman. Aku tahu dengan baik sifat Kiran. Ketika dia tidak ingin bilang maka dia tidak akan bilang. Kiran adalah anak yang seperti itu, Paman. Aku menduga hal ini ada hubungannya dengan Hujan Merah yang muncul setelah dua puluh tahun lamanya menghilang.”“Katakan pada Paman, di mana Kiran sekarang! Biar Paman yang bertanya langsung pada Kiran. Paman adalah detektif di kepolisian, Paman akan menjamin nyawa Kiran, jika sesuatu yang buruk bisa saja menimpa dirinya. . .”Eesha menggelengkan kepalanya dengan sedikit ragu.