Oktober 2020
Eesha sedang berdiri di tengah kerumunan pengunjung mall yang tidak begitu padat dan memandang ke arah papan billboard yang ada di dalam mall yang sedang memutar sebuah video trailer film yang akan ditayangkan minggu depan. Trailer film itu memutar potongan – potongan bagian dalam film dan lagu latar yang akan menjadi andalan dalam film itu.
Dengan bibirnya dan dengan lirih, Eesha ikut menyanyikan lagu latar dalam video trailer dengan durasi satu menit dua puluh detik itu.
[Lebih baik melihatmu dari jauh, tidak berani berharap bisa bersamamu
Dengan hati – hati, kusembunyikan kasih sayang ini di dalam hati
Bahkan jika air mata jatuh menjadi hujan
Bahkan jika kata – katamu sedingin es
Jika kekasih tidak bisa bersama, lebih baik merindukanmu di dalam hati]
Eesha menghentikan gerakan bibirnya ketika ponselnya bergetar. Masih dengan menatap billboard, Eesha meraih ponsel dari dalam saku mantelnya dan menerima panggilan masuk itu.
Eesha tersenyum ketika melihat nama sahabatnya, Trika muncul di layar ponselnya sebagai orang yang menghubunginya.
“Halo. . . Trika.”
“Kamu sudah melihatnya?”
Eesha tersenyum ketika mendengar suara sahabatnya yang terdengar begitu senang, “Ya, aku sedang melihatnya sekarang.” Eesha menatap lagi ke arah billboard dengan senyuman puas.
“Bagaimana menurutmu, Eesha? Trailer film yang kita tulis berdua benar – benar bagus bukan?”
“Lagu yang indah seperti biasanya. . .” jawab Eesha masih dengan tersenyum dan mengagumi lagu yang masih didengarnya. “Kuharap aku bisa menemukan Kiran dengan cara ini.” Eesha menatap penuh harap ke arah billboard. Tatapan penuh harapan sekaligus tatapan yang nyaris putus asa.
“Kuharap begitu,” jawab Trika merasakan perasaan yang sedang dirasakan oleh Eesha. “Film akan ditayangkan seminggu lagi, kuharap pemutaran film nantinya berjalan lancar. Kamu yakin tidak akan datang sebagai penulis scenario dan tetap bersembunyi sebagai ghost writer?”
“Ya, aku ingin tetap seperti ini. Tapi. . . kurasa aku akan datang ke acara itu sebagai penonton dan bukan sebagai penulis. Aku akan melihatmu dari bangku penonton dan dengan cara itu pula aku bisa melihat dan memeriksa jika Kiran nantinya muncul di acara itu.”
“Baiklah kalau begitu. . . aku akan menyiapkan tiket untukmu. . . Eesha.”
“Terima kasih banyak, Trika. Aku selalu merepotkanmu.”
Eesha menutup panggilannnya dan pandangannya masih tidak bisa lepas dari billboard yang memutar ulang video trailer dengan lagu latarnya.
Eesha menatap dalam sembari menyanyikan lagu latar itu lagi, sementara di dalam hatinya berbicara.
Maafkan aku, Kiran. Aku terpaksa merealese lagu itu dengan namamu dan membuat semua orang mendengarnya. Hanya itu satu – satunya cara agar aku bisa menemukanmu. Cara agar kamu mendatangiku.
Eesha menghela napas panjang sembari mengingat semua kenangan pahit masa lalunya.
Dua puluh tahun lamanya, aku menunggumu, Kiran. Aku nyaris putus asa menunggumu. Perlahan semua kenangan tentang dirimu tergerus waktu dan tertumpuk oleh kenangan – kenangan baru. Semua jalan telah kutempuh untuk bisa menemukanmu dan mengingat semua tentang dirimu. Hanya ini jalan terakhir yang tersisa agar aku bisa menemukanmu dan kamu mendatangiku.
Lagu ini, lagu yang dulu selalu kamu nyayikan untukku, kuharap kamu bisa mendengarnya dan menuntunmu untuk kembali padaku.
# # #
OKTOBER 2000
Dua puluh tahun yang lalu.
Di pagi hari yang damai, di pinggiran kota yang jauh dari keramaian, Ibu Eesha yang bernama Eila (45) sedang sibuk berperang dengan peralatan masak di dapurnya yang sederhana. Eila sibuk menggoreng beberapa ikan untuk sarapan dan di sela waktunya menunggu ikannya matang, Eila sibik bermain dengan pisaunya memotong beberapa sayuran untuk membuat sup.
Eila melirik jam dan kemudian berteriak memanggil putri kecilnya, “Eesha. . . ayo bangun. Kamu harus berangkat ke sekolah. . .”
Teriakan Eila tidak terdengar oleh putri kecilnya Eesha karena suara radio yang selalu diputar oleh Eila untuk menemaninya berperang di pagi hari dengan peralatan masaknya.
Pagi ini, penyiar radio menyempatkan menyairkan berita dan peringatan penting yang tidak didengar oleh Eila yang sibuk bermain dengan alat masaknya.
[Diharapkan kepada setiap wanita yang memiliki ciri – ciri rambut hitam dengan panjang di atas bahu, mata hitam, bibir merah dan berusia sekitar 30 tahunan untuk berhati – hati. Wanita dengan ciri – ciri ini diyakini menjadi korban pembunuhan oleh pembunuh berantai yang dikenal dengan nama Hujan Merah.
Telah ditemukan setidaknya tujuh korban kekejaman Hujan Merah hingga hari ini. polisi masih terus mengusut dan menyelidiki kasus ini. Polisi berusaha keras untuk mengungkap identitas pelaku pembunuhan dengan nama Hujan Merah. Namun, karena sedikitnya petunjuk yang ditemukan, hingga hari pihak polisi mengalami kesulitan dalam mengungkap identitas Hujan Merah.
Saya himbau kepada wanita yang memiliki ciri – ciri yang saya sebutkan sebelumnya untuk berhati – hati. Hindari jalanan sepi. Hindari pulang malam dan jika memang terpaksa untuk pulang malam, harap meminta seseorang untuk menemani.
Terima kasih.]
Eila berteriak lagi dan kali ini memanggil putri pertamanya, Rhea.
“Rhea. . . bangunkan adikmu itu. Dia harus berangkat ke sekolah.”
Mendengar namanya dipanggil oleh Ibunya, Rhea (19) hanya bisa menggerutu kesal karena mengganggu tidurnya yang tenang di pagi hari. Dengan rambut berantakan, Rhea bangkit dari tempat tidurnya dan berjalan keluar dari kamarnya.
“Bu. . . ini hari Minggu. Apa Ibu sudah melupakan hari dengan cepatnya hingga menyuruh Eesha berangkat ke sekolah di hari libur?”
Sejenak Eila menghentikan tangannya yang sibuk bermain dengan pisau dapur miliknya dan tersenyum melihat putrinya dengan wajah tidak percaya dan sedikit salah tingkah.
“Ah, benarkah?? Ibu tidak melihat kalender. Ibu pikir sekarang masih hari Sabtu dan tidak menyadari bahwa hari ini adalah hari Minggu.”
Dengan cepat, Eila berbalik dan melanjutkan pekerjaan paginya.
Mendengar keributan yang dibuat oleh Ibu dan kakaknya, Eesha (7) keluar dari kamarnya dengan berpakaian rapi layaknya anak yang akan berangkat ke sekolah. Bedanya Eesha hanya tidak mengenakan seragam sekolahnya.
Eila terkejut melihat putri kecilnya yang sudah berpakaian rapi dan merasa bersalah karena telah membuat kesalahan.
“Ah. . . Eesha, maafkan Ibu. Ibu lupa jika hari ini adalah hari Minggu. Karena Ibu, kamu sudah berpakaian rapi begini,” kata Eila merasa bersalah. Eila seketika merasa heran ketika melihat putri kecilnya tidak mengenakan seragam sekolah. “Tapi tunggu. . . kamu tidak mengenakan seragam sekolah? Kamu mau ke mana, Eesha?”
“Kenapa aku harus mengenakan seragam sekolah di hari Minggu?” tanya Eesha dengan wajah polosnya, “setelah sarapan, aku akan pergi bermain dengan Kiran, Bu.”
“Kiran?? Sejak kapan kamu menjadi dekat dengan Kiran?” tanya Eila heran.
“Sejak Eesha tahu Kiran sebenarnya adalah orang yang menyenangkan apalagi ketika Kiran sedang bernyanyi, suaranya benar – benar indah, Bu. Lagu yang selalu Kiran nyanyikan adalah lagu terbaik yang pernah Eesha dengar.”
“Ah. . .” kata Rhea yang ikut mendengarkan penjelasan Eesha, “lagu itu, bisa kamu nyanyikan lagu itu, adikku tersayang?” Rhea merayu adiknya, Eesha untuk bernyanyi untuknya.
“Kenapa, Kak? Apakah suaraku bagus saat menyanyikan lagu milik Kiran?”
Dengan tersenyum untuk menutupi kebohongannya, Rhea menjawab, “Ya, suara Eesha bagus sekali.”
Begitu mendapat pujian, Eesha seketika menyanyikan lagu yang selalu didengarnya ketika bermain bersama dengan Kiran.
Melihat putri kecilnya menyanyi dengan percaya diri, Eila kemudian memberikan tepuk tangan untuk memuji keberanian putri kecilnya.
“Putri kecil Ibu rupanya punya bakat menyanyi. . .” kata Eila sembari tersenyum senang. Begitu Eesha selesai menyanyikan lagunya, Eila menyadari sesuatu yang penting. “Tapi, Rhea. . . tidakkah lagu itu terkesan sedikit menyedihkan? Dan lagi, lagu itu Ibu rasa tidak cocok untuk dinyanyikan oleh anak seumuran Eesha. Bagaimana menurutmu, Rhea?”
Rhea mengangkat kedua bahunya menanggapi pertanyaan yang diajukan oleh Ibunya, “Kurasa memang begitu, Bu. Tapi. . . lagu itu benar – benar lagu yang indah, Bu. Seakan sebagai surat cinta yang menyampaikan isi hati penulisnya kepada seseorang.”
Mendengar Ibu dan kakaknya yang sedang membahas lagu yang dinyanyikannya, Eesha kemudian ikut berbicara.
“Ibu, Kakak. . .” panggil Eesha. Seketika Eila dan Rhea mengalihkan pandangannya ke arah Eesha. “Tolong rahasiakan lagu ini. Kiran bilang lagu ini adalah pemberian seseorang untuk ibunya di masa lalu. Ibu Kiran hanya menyanyikan lagu ini untuk Kiran sebagai lagu pengantar tidur.”
“Kenapa harus merahasiakannya, putri kecilku?”
Dengan polos, Eesha menjawab pertanyaan ibunya, “Kiran bilang, jika aku memberitahukan lagu ini pada orang lain maka aku tidak akan mendengar Kiran menyanyikan lagu itu untukku lagi. Suara Kiran benar – benar indah saat menyanyikan lagu ini. Jadi, jangan bilang siapa – siapa tentang lagu ini, yah Kak? Ibu?”
Eila menganggukkan kepalanya, “Ibu mengerti, sayang.”
Eila kemudian meletakkan sarapan yang telah dimasakanya di meja makan dan mulai sarapan bersama dengan kedua putrinya.
Rhea menatap adik kecilnya dan tersenyum sembari berkata dalam hatinya.
Lagu seindah itu. . . kenapa pula harus merahasiakannya? Dengan menyanyikan lagu itu, aku bisa mendapatkan banyak uang dari pekerjaan sampinganku sebagai penyanyi café. Maafkan kakakmu ini, adik kecilku.
Lagi pula, tidak ada gunanya lagu itu jika hanya disimpan sendiri.
# # #
Setelah selesai sarapan, Eesha segera pergi ke kebun dekat sekolahnya. Senyuman langsung tersenyum lebar ketika melihat Kiran sedang duduk bermain dengan kelinci kecil miliknya.
“Kiraaaannnnnn. . .”
Eesha berlari dan berteriak memanggil nama Kiran.
“Berhentilah berteriak memanggil namaku. Aku sudah melihat kedatanganmu. . .” jawab Kiran dingin.
Eesha berusaha tersenyum dengan napas – napas yang terputus – putus, “Kamu membawa kelici kecilmu lagi?”
“Ini. . .” Kiran mengulurkan botol minum yang dibawanya kepada Eesha sembari mengomel, “minumlah. Siapa yang menyuruhmu berlari dari rumah hingga kemari?’
Eesha langsung mengambil botol yang ditawarkan oleh Kiran dan segera meminumnya. Setelah meminumnya beberapa teguk, Eesha langsung menjawab pertanyaan Kiran.
“Terima kasih, Kiran. . .” jawab Eesha tersenyum manis dan mengembalikan botol minum milik Kiran. “Kamu memang teman terbaik. Aku berlari kemari karena keinginanku sendiri. Aku takut kamu terlalu lama menungguku di sini.”
“Kenapa kamu selalu mengajakku bermain?”
“Aku suka mendengarmu menyanyikan lagu yang selalu kamu nyanyikan itu, “ jawab Eesha sembari bermain – main dengan kelinci kecil milik Kiran. “Suaramu merdu sekali tidak seperti suaraku.”
“Kamu tahu arti dari lagu yang selalu aku nyanyikan?” tanya Kiran.
Eesha menggelengkan kepalanya, “Tidak. Aku tidak tahu arti dari lagu yang kamu nyanyikan. Aku hanya suka mendengarmu menyanyikannya. Aku mencoba menyanyikannya berulang kali tapi tidak seindah ketika kamu yang menyanyikannya. Itu sebabnya, aku selalu mengajakmu bermain agar aku bisa mendengarmu ketika kamu menyanyikan lagu itu.”
Senyuman kecil terukir di wajah Kiran ketika mendengar jawaban yang diberikan oleh Eesha.
Eesha yang merasa heran dengan pertanyaan Kiran berbalik bertanya pada Kiran, “Kenapa kamu bertanya, Kiran?”
Kiran mengalihkan wajahnya dan mengalihkan percakapan. “Ayo kita beri makan Eesha dulu.”
Eesha semakin bingung dengan ucapan Kiran, “Tapi. . . aku sudah sarapan, Kiran. Aku tadi makan banyak sekali karena ibuku memasak makanan kesukaanku. Jadi, aku tidak sanggup jika harus makan lagi.”
Eesha menjawab dengan wajah polos sembari mengelus perutnya yang kekenyangan.
“Bukan kamu, tapi kelinci ini. . .” jawab Kiran sembari melirik kelinci kecil miliknya.
“Kelinci kecil ini namanya Eesha?”
Eesha memandang bingung ke arah Kiran.
Kiran menganggukkan kepalanya, “Ya. . . kamu tidak suka?”
“Kenapa menamai kelinci ini sama dengan namaku?” tanya Eesha penasaran.
“Karena dia makan banyak sama denganmu. Lihatlah pipinya sama dengan pipi milikmu. Bukankah pipinya sama seperti bakpao yang dijual bibi di kantin sekolah?”
Kiran menjawab dengan sebuah senyuman kecil di sudut bibirnya.
Eesha bertanya lagi tidak percaya, “Benarkah kelinci ini terlihat sama denganku?”
Kiran menganggukkan kepalanya lagi untuk kedua kalinya, “Ya.”
Mendengar jawaban Kiran, seketika Eesha tersenyum lebar.
“Aku tidak menyangka jika pipiku sama menggemaskannya dengan pipi kelinci ini. . .”
Kiran mengerutkan alisnya mendengar ucapan Eesha, “Aku tidak bilang jika pipimu sama menggemaskannya dengan pipi kelinciku.”
“Aku yang bilang pipi kelinci ini sangat menggemaskan. Karena Kiran bilang pipiku sama dengan pipi kelinci ini, itu artinya pipiku sama menggemaskannya dengan pipi kelinci kecil ini,” jelas Eesha dengan bangga.
Kiran menghela napas panjang mendengar penjelasan Eesha, “Sudah . . ayo kita beri makan Eesha lebih dulu.”
SORE HARI. . .
Setelah seharian bermain dengan Eesha, Kiran pulang ke rumahnya di mana Bnndanya sudah menunggunya dengan sedikit cemas.
“Bunda, aku pulang. . .” kata Kiran setelah meletakkan kelinci kecilnya di kendang di depan rumahnya.
“Kamu dari mana, sayang?” kata Ibu Kiran, Ishya dengan sedikit cemas. “Beberapa kali kamu selalu pulang hingga sore. . .”
“Bermain dengan Eesha, Bun. . .”
“Eesha? Teman baru?” tanya Ishya. “Kenapa Bunda tidak pernah tahu nama ini sebelumnya?”
“Tidak, bukan teman baru, Bunda. Hanya saja, aku baru mengenalnya setelah naik kelas, Bunda. Sebulan ini, dia terus menempel denganku hanya karena suka mendengarku bernyanyi,” jawab Kiran dengan santai.
Senyuman terlihat sekilas tersungging di bibir Kiran.
“Kamu bernyanyi? Mungkinkah lagu yang selalu Bunda nyanyikan ketika kamu mau tidur?” tanya Ishya.
Kiran menganggukkan kepalanya masih dengan tersenyum tipis, “Ya, Bun. Eesha suka sekali mendengarku menyanyikan lagu itu. Lagu itu. . . siapa sebenarnya yang membuat lagu itu, Bunda?”
“Teman lama Bunda, bukankah sebelumnya Bunda pernah mengatakan hal ini padamu.”
“Ya, hanya saja Bunda tidak pernah mengatakan nama pembuat lagu itu. Apa Ayah mengenalnya, Bun?” tanya Kiran penasaran.
“Tidak. . . ayahmu tidak mengenalnya. Bunda mengenalnya jauh sebelum mengenal ayahmu, Kiran,” jawab Ishya. “Kenapa tiba – tiba kamu menanyakan hal ini, Kiran?”
“Kiran hanya penasaran saja, Bunda. Jika pembuat lagu itu adalah teman Bunda, kenapa dia tidak datang di hari kematian Ayah?”
“Bunda membuat kesalahan besar padanya dan mungkin karena kesalahan Bunda, teman Bunda itu belum memaafkan Bunda. . .” jelas Ishya.
“Apa kesalahan yang Bunda buat padanya? Biar Kiran yang mewakili Bunda untuk meminta maaf padanya.”
Kiran mengucapkan kalimat itu dengan wajah polosnya.
Ishya (30), bunda Kiran menatap putranya dengan tatapan sedih, “Jika bisa bertemu dengannya lagi, Bunda ingin sekali meminta maaf atas kesalahan yang Bunda buat padanya di masa lalu dan juga mengucapkan terima kasih untuk lagu yang dia buat khusus untuk Bunda.”
Ishya memeluk putranya, Kiran dengan erat.
“Sayangnya. . . setelah Bunda menikah dengan ayahmu, teman Bunda itu menghilang entah ke mana dan tidak ada yang tahu tentang keberadaannya hingga saat ini.”
Kiran merasakan perasaan sedih Bunda melalui kata – kata Ishya, Kiran membalas pelukan Bundanya dan memeluk Bundanya dengan erat.
“Nanti jika Kiran yang bertemu dengannya, Kiran akan mewakili Bunda untuk meminta maaf padanya. Siapa nama pemilik lagu itu, Bunda?” tanya Kiran penasaran.
“Varron Arvind.”
“Akan kuingat nama itu, Bunda.”
Eesha yang telah selesai bermain dengan Kiran segera pulang. Begitu sampai di rumahnya, Eesha segera berteriak memanggil Ibunya. “Ibu, aku pulang. .” kata Eesha dengan melempar sepatu yang digunakannya. “Kakak mana?” “Eesha sayang. . . jangan melemparkan sepatu yang kamu gunakan, letakkan dengan rapi di lemari sepatu di dekat pintu. . .” “Maaf, Bu. . .” jawab Eesha dengan merapikan sepatunya yang baru saja dilemparkannya. “Kakak mana, Bu?” tanya Eesha untuk kedua kalinya. “Kakakmu pulang malam karena ada pekerjaan di kota dan sepertinya Kakakmu akan sering pulang mulai hari ini.” Eesha segera menekuk wajahnya dan menunduk kesal, “Padahal kakak bilang mau membantuku mengerjakan tugas. .“ “Kalau begitu. . . bagaimana jika Ibu yang membantumu mengerjakan tugas, putri kecilku?” “Sepertinya aku tidak punya pilihan lain selain menerima bantuan Ibu. . .” “Jawaban apa itu. . .?” tanya E
Rhea tersenyum senang memandang coklat di dalam tas tangannnya sembari berdiri di pinggir jalanan kota yang sunyi. Angin malam yang dingin berhembus kencang membuat Rhea mengecangkan mantelnya dan memeluk tubuhnya sendiri untuk menghalangi tubuhnya terkena hembusan angin malam yang dingin. Untuk sesaat Rhea merasakan bulu kuduknya berdiri dan perasaan takut menjalar ke seluruh tubuhnya tanpa alasan.“Mungkin ini disebabkan angin malam yang dingin. . .” pikir RheaDari kejauhan, Rhea melihat seorang pria berjalan mendekat ke arahnya dengan perlahan. Senyum kecil di sudut bibirnya terlihat jelas oleh Rhea.Pria itu berjalan semakin dekat, membuat Rhea semakin jelas melihat pria asing itu. Gambaran yang diberikan pelayan café di tempat Rhea bekerja sesuai dengan ciri – ciri pria asing yang sedang berjalan mendekat ke arahnya.Rhea mendengus kesal ke arah pria asing yang kini sudah berdiri tepat di hadapannya.“Ada apa Tuan meminta be
Setelah itu, Eila kembali ke rumahnya bersama dengan Rania, Amartya, dan Ganendra. Eila kemudian segera berangkat bersama dengan dua polisi yang menunggunya sementara Rania menunggu Eesha yang masih asyik mandi dengan bernyanyi kencang.Begitu keluar dari kamar mandi, Eesha terkejut mendapati di rumahnya sudah ada Rania, Amartya dan Ganendra yang duduk di ruang keluarganya.“Nenek Rania. . .” kata Eesha terkejut menatap ke arah Rania, “kenapa Nenek ada di sini bersama dengan Rama?” Eesha kemudian menatap ke arah Ganendra dengan tatapan penasaran, “Siapa paman ini, Nek? Ibuku ke mana?”Rania tersenyum memandang ke arah Eesha, “Ibumu ada urusan mendadak dan harus berangkat ke kota pagi – pagi sekali. Jadi ibumu menitipkanmu bersama dengan Nenek hari ini. untuk hari ini, kamu tinggal di rumah nenek ya? Bersama dengan Amar dan Ganendra.”“Ibu pergi?” tanya Eesha tidak percaya.“Iya, sayang. Ibumu berpesan kalau kamu ingin libur
Sesuai dengan perintah Rania, Eesha berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki bersama dengan Ganendra yang menggendong Amartya di punggungnya.Sepanjang perjalanan menuju ke sekolah, Eesha terus menyanyikan sebuah lagu yang membuat telinga Amartya sakit ketika mendengarnya.Lebih baik melihatmu dari jauh, tidak berani berharap bisa bersamamu. Dengan hati – hati, kusembunyikan kasih sayang di hati. Bahkan jika air mata jatuh menjadi hujan. Bahkan jika kata – katamu sedingin es. Jika kekasih tidak bisa bersama, lebih baik merindukanmu di dalam hati. Amartya yang sudah tidak bisa menahan rasa sakit di telinganya, akhirnya membuka mulutnya.“Berhentilah bernyanyi. . .” teriak Amartya dengan kesal.“Apakah suaraku seburuk itu?” tanya Eesha menghentikan langkahnya dan menatap Amartya di punggung Ganendra.“Ya, bu
Jam sekolah berakhir, Kiran dan Eesha duduk menunggu di dekat gerbang sekolah.“Tadi pagi. . .” kata Kiran yang penasaran. “Kamu bersama dengan siapa, Eesha?”Sejak pagi, Kiran sudah menahan rasa penasarannya ketika melihat Eesha datang ke sekolah bersama dengan seorang Paman tampan dengan anak laki – laki di punggungnya. Kiran hendak bertanya pada Eesha namun seharian ini Eesha sibuk bersama dengan teman – teman perempuannya karena Eesha membawa banyak coklat. Layaknya gula yang dikelillingi oleh semut, tak ada celah sedikit pun untuk Kiran bertanya kepada Eesha.“Tadi pagi?” tanya Eesha mengingat kejadian di pagi hari. Tidak lama kemudian Eesha menyadari maksud dari pertanyaan yang diajukan Kiran kepadanya. “Ah, itu. . . cucu Nenek yang tinggal di dekat rumahku. Sepertinya nanti malam, aku harus menginap di ruman Nenek Rania, karena ibuku mendadak harus pergi ke kota dan mungkin tidak akan pulang.”“Ke kota? Kenapa?” Kiran semakin pe
Rajendra mengemudikan mobilnya mengantarkan Eila kembali ke rumahnya di pinggiran kota. Kondisi jalanan yang sedikit gelap membuat Rajendra harus benar – benar fokus untuk melihat agar keduanya bisa sampai dalam keadaan selamat.“Maafkan saya karena telah merepotkan, Bapak. . .” kata Eila memecah ketegangan Rajendra yang sejak tadi fokus melihat ke arah jalanan yang sedikit gelap.“Tidak apa – apa, ini bukan masalah,” jawab Rajendra dengan sedikit rileks. “Saya juga ingin memeriksa ke tempat di mana Ibu tinggal. Saya ingin bertemu dengan anak Ibu dan temannya itu. Saya harus menemukan dari mana lagu itu berasal. Mungkin dengan menemukan asal lagu itu, saya bisa menemukan jejak Hujan Merah yang selama ini sulit sekali ditemukan.”“Apakah mungkin lagu itu yang menjadi penyebab tewasnya putri saya?” tanya Eila ragu – ragu.“Saya masih menduga lagu itu ada hubungannya dengan pembunuh berantai Hujan Merah. Tapi itu masih hanya sebuah dugaan
Ishya, Ibu kiran tiba – tiba terbangun dari tidurnya ketika tidak sengaja tertidur di ruang tengah rumahnya. Untuk pertama kalinya, Ishya berpisah dengan Kiran, putra kesayangannya dan perasaan gelisah langsung menyerbu Ishya.Ishya memijat dahinya dan merasakah sesuatu yang buruk dalam pikirannya. Ishya bangkit dari duduknya dan segera mengambil mantel hangatnya. Dengan menerobos gelapnya malam, Ishya memberanikan diri membuka pintu rumahnya dan berjalan keluar rumah.Entah kenapa sesuatu yang buruk terlintas di kepalaku. Putraku, Kiran.Aku harus menemui Kiran dan memastikan keadaannya baik – baik saja. Kuharap ini hanya pikiranku saja. Kuharap kamu baik – baik saja, Kiran putraku.Tidak lama kemudian. . .Rania bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ke depan pintu rumahnya. Suara ketukan pintu di malam hari sempat membuat Rania merasa sedikit tidak enak. Terlebih lagi, cucunya Amartya yang masih belum pulang membuat perasaa
Mendengar jawaban yang diberikan oleh Kiran, Hujan Merah tersentak dan terkejut.“Dari mana kamu tahu nama itu, anak kecil?”Kiran menemukan celah.“Jika Paman ingin tahu dari mana aku mendengar nama itu? Maka turunkan dulu pistol Paman dan biarkan dua temanku menjauh dari sini.”Hujan Merah menyeringai ngeri ke arah Kiran dan memuji keberanian Kiran. “Kamu masih anak – aank tapi kamu cukup pintar dan berani. Kamu bahkan berani mengajakku untuk bernegosiasi di saat seperti ini. Kurasa kamu bukan anak biasa. Sepertinya, kamu benar – benar sudah tidak merasa takut lagi, anak kecil?”“Kuanggap itu pujian, Paman. Kuakui nama itu sangat penting bagiku. Aku harus menemukan pemilik nama itu karena suatu alasan tapi, nama itu tidak lebih penting dari keselamatan dua temanku. Jadi, Paman mau mendengarkan permintaanku?” tanya Kiran dengan senyuman kecil di bibirnya.Hujan Merah tertawa keras mendengar jawaban Kiran. “Baik
Eesha dan Rajendra yang mendengarkan ucapan Nanda berharap hati Ravindra dapat tersentuh dan menghentikan niatnya untuk membunuh Nanda. Namun ucapan Nanda sepertinya tidak menyentuh hati Ravindra seperti harapan Eesha dan Rajendra. “Kau berbohong padaku, Kiran!” Ravindra meraih pisau miliknya yang sempat terlempar dan langsung mengarahkannya ke leher Nanda. “Kau bohong!”“Aaaaaaaaaaa” teriak Eesha melihat pisau yang mengarah ke leher Kiran dan perlahan melukai leher Kiran. Dalam waktu singkat, cairan berwarna merah kemudian mengalir dari leher Kiran dan membuat Eesha semakin histeris ketakutan. “Ravindra, stop!”“Berhenti Ravindra!” Rajendra yang tadinya sudah menurunkan pistol miliknya kemudian mengarahkan pistol miliknya kembali ke arah Ravindra dan menarik pengaman pada pistol miliknya. Rajendra kini sudah bersiap menarik pelatuk pistolnya dan bersiap
Dengan tubuh yang masih dalam keadaan lemah karena obat bius dari Ravindra, Eesha mencoba bangkit dari kursi rodanya dan menjauh dari Nanda dan Ravindra – sesuai dengan perintah Rajendra. Dengan susah payah, Eesha akhirnya bisa berjalan menjauh. Sementara di sisi lain, Nanda dan Ravindra masih terus memukul satu sama lain dan berpindah-pindah tempat dengan sehingga membuat Rajendra yang ingin menjatuhkan Ravindra berulang kali merasa ragu karena takut adalah Nanda. “Paman, jangan menembak!” Eesha berteriak kepada Rajendra sembari berlari ke arah Rajendr
“Jadi semua yang kamu lakukan, semua pembunuhan itu karena Amartya?” tanya Rajendra tidak percaya. “Apa hubungan Amartya dengan pembunuhan-pembunuhan yang kamu lakukan? Kenapa Amartya, anak yang polos itu kamu jadikan alasan untuk pembunuhanmu itu?” Ravindra tersenyum sembari mendorong kursi roda di mana Eesha masih tidak sadarkan diri dan membawanya duduk di dekatnya. “Karena Tuanku itu terlalu polos, Tuanku hanya melihat Eesha seorang saja. Meski tahu Eesha hanya akan menunggu Kiran kembali, Tuanku masih setia untuk berada di sisi Eesha – sama seperti yang aku lakukan untuk ayah angkatku. Dan wanita-wanita yang jadi korbanku itu adalah wanita yang tidak tahu malu dan berusaha untuk membuat Tuanku berpaling. Aku benci dengan penganggu seperti mereka.”Rajendra menganga mendengar penjelasan di balik alasan pembunuhan yang dilakukan oleh Ravindra.“Kau benar-benar tidak bisa dipercaya. Alasa
"Di mana Eesha?" teriak Rajendra.“Paman benar-benar tidak sabaran sekali,” balas Ravindra. “Tidakkah Paman tidak melihat pertemuan mengharukan antara aku dan Kiran?”Rajendra terkejut mendengar ucapan Ravindra. Dia seperti orang yang berbeda. Ravindra yang selama ini saya kenal sebagai asisten Amartya adalah orang yang diam, penurut dan tidak banyak bicara. Tapi Ravindra yang sekarang berdiri di hadapanku terasa seperti orang yang b
“Sandera??” Rajendra yang terkejut mendengar penjelasan Nanda, nyaris saja membuat dirinya bersama dengan Nanda celaka. Tanpa sadar, Rajendra menginjak pedal rem dan membuat mobilnya berhenti dengan tiba-tiba.“Apa yang Paman lakukan?” teriak Nanda yang terkejut dan nyaris saja membenturkan kepalanya ke dashbor mobil milik Rajendra. Nanda langsung menolehkan kepalanya ke belakang untuk melihat bagian belakang mobil. Nanda langsung menghela napas lega, begitu menyadari jika di belakang mobil milik Rajendra tidak ada kendaraan lain. “Syukurlah di belakang jalanan sedang sepi, kalau tidak kita bi-““Ya, aku tahu. Tindakan tadi bisa menyebabkan kecelakaan beruntun karena tiba-tiba menginjak pedal rem dan membuat mobil berhenti tanpa aba-aba.” Rajendra mengusap keringat dingin di keningnya sembari menginjak pedal gas mobilnya lagi. Mobil melaju lagi dengan sedikit perlahan. “Maaf
Percakapan penting antara dirinya dan Nanda kemudian terhenti ketika Rajendra bersama dengan Nanda tiba di sebuah gudang di pinggiran kota. Gudang yang terbengkalai dan berkesan telah terabaikan selama beberapa tahun menjadi lokasi yang pas dan ideal bagi pembunuh yang terkenal dengan nama Hujan Merah.Bersama dengan Nanda, Rajendra kemudian merilis tempat yang ada di gudang itu. Rajendra bahkan memeriksa bagian luar gudang itu, untuk menemukan kemungkinan ada tempat lain yang tidak terlihat yang bisa menjadi tempat persembunyian hujan merah yang tersembunyi Eesha.
“Apa Paman tidak percaya padaku?” tanya Nanda yang tidak lain adalah Kiran.Rajendra menggelengkan kepalanya dengan ragu. “Jika kamu membicarakan hal ini kepada orang lain, mungkin orang lain tidak akan percaya pada ucapanmu, Nanda. Ah tidak, haruskah aku memanggilmu dengan nama Kiran sekarang?”“Untuk saat ini, tolong panggil dengan nama Nanda saja, Paman. Akan lebih baik jika beberapa orang tidak mengetahui identitasku yang sebenarnya.”“Kenapa?” tanya Rajendra tidak percaya untuk kedua kalinya. “Setelah dua puluh tahun lamanya menghilang, harusnya kamu kembali ke rumah Eila dan Eesha. Setelah dua puluh tahun lamanya terpisah, harusnya kamu kembali ke tempat di mana keluargamu menunggu. Kenapa kamu justru berada di sini dan menyembunyikan identitasmu dari orang-orang yang menunggu kepulanganmu selama dua puluh tahun lamanya?”Nanda menundukk
Setelah melakukan pencarian selama dua jam lamanya dan tidak menemukan hasil, Rajendra terpaksa mengambil keputusan untuk memberitahukan kabar buruk ini kepada keluarga Eesha: Ishya, Eila dan Amartya. Dalam perjalanan menuju ke rumah Ishya dan Eila, Rajendra kemudian melewati cafe di mana Nanda sedang bekerja. Rajendra yang tahu hubungan yang dimiliki Eesha dan Nanda, kemudian menghentikan mobilnya dan berniat untuk memberitahukan kabar buruk yang menimpa Eesha kepada Nanda lebih dulu.“Nanda. . .” Rajendra langsung menyapa Nanda ketika masuk ke cafe di mana Nanda bekerja.“Ah, Pak Rajendra.” Nanda membalas sapaan Rajendra. “Apa yang membawa Bapak datang kemari?”“Bisakah aku minta waktumu sebentar, Nanda?” Rajendra berbicara dengan nada suara yang sedikit bergetar.“Tentu. Tentu saja. Mari kemari.”Nanda kemudian mena
“Dia tidak ingin mengakui bahwa dirinya adalah Kiran. Kiran menyembunyikan identitasnya dan bertindak seolah tidak mengenaliku, Paman.”“Kenapa begitu? Kamu tidak bertanya pada Kiran kenapa dia melakukan hal itu? Selama dua puluh tahun ini, ke mana saja Kiran? Kenapa tidak pulang ke rumah dan menemui ibunya?”“Aku tidak bisa bertanya padanya, Paman. Aku tahu dengan baik sifat Kiran. Ketika dia tidak ingin bilang maka dia tidak akan bilang. Kiran adalah anak yang seperti itu, Paman. Aku menduga hal ini ada hubungannya dengan Hujan Merah yang muncul setelah dua puluh tahun lamanya menghilang.”“Katakan pada Paman, di mana Kiran sekarang! Biar Paman yang bertanya langsung pada Kiran. Paman adalah detektif di kepolisian, Paman akan menjamin nyawa Kiran, jika sesuatu yang buruk bisa saja menimpa dirinya. . .”Eesha menggelengkan kepalanya dengan sedikit ragu.