Rhea tersenyum senang memandang coklat di dalam tas tangannnya sembari berdiri di pinggir jalanan kota yang sunyi. Angin malam yang dingin berhembus kencang membuat Rhea mengecangkan mantelnya dan memeluk tubuhnya sendiri untuk menghalangi tubuhnya terkena hembusan angin malam yang dingin. Untuk sesaat Rhea merasakan bulu kuduknya berdiri dan perasaan takut menjalar ke seluruh tubuhnya tanpa alasan.
“Mungkin ini disebabkan angin malam yang dingin. . .” pikir Rhea
Dari kejauhan, Rhea melihat seorang pria berjalan mendekat ke arahnya dengan perlahan. Senyum kecil di sudut bibirnya terlihat jelas oleh Rhea. Pria itu berjalan semakin dekat, membuat Rhea semakin jelas melihat pria asing itu. Gambaran yang diberikan pelayan café di tempat Rhea bekerja sesuai dengan ciri – ciri pria asing yang sedang berjalan mendekat ke arahnya.
Rhea mendengus kesal ke arah pria asing yang kini sudah berdiri tepat di hadapannya.
“Ada apa Tuan meminta bertemu di sini?” tanya Rhea dengan sedikit gugup ketika merasakan aura berbeda dari pria yang berdiri tepat di depannya. “Kalau saja. . . . Tuan tidak mengatakan akan memberiku uang, aku pasti sudah menolak permintaan Tuan untuk bertemu denganku di tempat seperti ini.”
Rhea mengedarkan pandangannya ke sekeliling tempatnya berada. Hanya satu lampu jalan yang di tempatnya berdiri menunggu dan satu – satuanya alat penerang yang membuat Rhea melihat pria asing yang berdiri di depannya.
Pria itu tersenyum ke arah Rhea dan dalam sekejap Rhea merasakan perasaan takut yang sempat dirasakannya sesaat tadi.
“Lagu itu. . .” kata pria itu membuka mulutnya untuk berbicara, “dari mana kamu mendengarnya?”
“Mana uang yang Tuan janjikan?” tanya Rhea dengan mengulurkan tangannya dan meminta bayaran yang dijanjikan oleh pria asing di depannya itu. “Aku mendengar lagu itu dari seseorang di dekat tempat tinggalku. Ada apa memangnya dengan lagu itu? Bukankah itu hanya sebuah lagu? Meski kuakui lagu itu punya lirik yang indah dan menyakitkan di saat yang bersamaan.”
Senyuman pria asing itu tiba – tiba menghilang. Angin malam yang berhembus semakin terasa dingin, membuat Rhea semakin merasa kedinginan di saat yang bersamaan.
“Apakah kamu menyanyikan lagu itu atas ijin dari pemiliknya?”
“Aku mendengarnya dari anak kecil. . .” jawab Rhea dengan mendengus kesal karena tubuhnya yang merasa kedinginan, “kenapa pula aku harus meminta ijin pada anak itu hanya untuk menyanyikan lagu itu?”
Rhea memeluk dirinya lebih erat lagi dan berharap bisa segera pulang. Rhea membayangkan tempat tidurnya yang hangat dan suara ibu dan adiknya yang selalu berisik ketika Rhea pulang terlambat.
“Mana uangnya Tuan?” tanya Rhea dengan mengulurkan telapak tangannya mendekat ke arah wajah pria asing di depannya. “Aku sudah terlambat untuk pulang, orang – orang di rumah pasti sedang mengkhawatirkan aku sekarang. . .”
“Jadi. . .” kata pria itu sembari mengambil beberapa lembar uang dari dalam saku mantelnya yang tebal, “kamu menyanyikan lagu itu tanpa seijin pemiliknya? Kamu benar – benar gadis yang tidak punya tata krama dan etika. . .”
Pria itu meletakkan uang di telapak tangan Rhea dan tersenyum dingin memandang ke arah Rhea.
Senyuman itu membuat Rhea bergidik dan memandang ngeri ke arah pria asing itu. Rhea segera menerima uang itu dan hendak berbalik meninggalkan pria asing itu. Sebuah tangan yang besar bersama dengan sapu tangan putih dengan cepat menutupi separuh wajah Rhea. Bau asing yang tak pernah dicium oleh Rhea membuat pandangan Rhea semakin lama semakin memudar.
Dalam batas antara sadar dan tidak sadar, Rhea merasakan sesuatu yang buruk akan terjadi pada dirinya. Dalam benaknya, Rhea mengingat kembali ketika Ibu dan adiknya, Eesha yang selalu mengomel ketika dirinya pulang terlambat. Di saat – saat terakhir sebelum kesadarannya yang benar – benar hilang, Rhea berharap bisa segera pulang ke rumah kecilnya bersama dengan Ibu dan adiknya.
“Kali ini. . . sepertinya aku tidak bisa menepati janjiku padamu, Eesha. Sama seperti janji yang sebelumnya kulanggar, kali ini pun aku tidak bisa menepatinya. . .” kata Rhea di dalam pikirannya.
Pandangan Rhea kemudian berubah gelap dan Rhea tidak dapat merasakan apapun lagi.
Melihat buruannya telah jatuh ke dalam obat bius, Hujan merah tersenyum senang menangkap tubuh buruannya yang telah kehilangan keseimbangan dan kesadarannya. Hujan merah membawa tubuh buruannya dan mulai melancarkan aksinya sama seperti sebelumnya.
“Gadis nakal dan tidak punya aturan seperti dirimu, sepertinya harus mendapat pelajaran. . .” kata hujan merah tersenyum bahagia melihat buruannya yang sudah tidak berdaya dan hanya bisa menunggu kematiannya.
“Lain kali. . . saat kamu akan menyanyikan lagu milik orang lain sebaiknya kamu meminta ijin dari pemiliknya. . .” kata Hujan merah dengan lirih melihat ke arah buruannya sebelum mengiris nadi pada pergelangan tangan Rhea.
# # #
Keesokan harinya. . .
Eesha keluar dari kamarnya dan melihat ibunya tertidur di sofa di ruang tengah.
“Ibu??”
Eesha mendekat ke arah ibunya sembari memanggil – manggil ibunya dengan lembut.
“Hhmmm. . .”
Eila berusaha membuka kedua matanya yang terasa sedikit panas karena terlambat tidur semalam.
“Kenapa Ibu tidur di sini? Kakak masih belum pulang?” tanya Eesha dengan polos.
Eila tersentak mendengar pertanyaan putri kecilnya itu, “Rhea??” Eila menolehkan kepalanya – ke kanan dan ke kiri melihat sekeliling dirinya berada. Kemudian menatap putri kecilnya dengan tatapan bingung, “Ini sudah pagi?”
“Sudah, Bu. . .” kata Eesha sembari menunjuk ke jendela ruang tengah yang sedikit terbuka. Berkas sinar matahari pagi terlihat menembus celah tirai yang sedikit terbuka. “Lihat. . .”
“Kakakmu ini. . .” keluh Eila, “tidak biasanya menginap tanpa bilang lebih dulu. Ibu semalaman menunggu dan tidak ada kabar sama sekali dari kakakmu. Rhea bahkan tidak menelepon ke rumah.”
Suara ketukan pintu membuat Eila dan Eesha tersentak.
“Jam berapa sekarang, Eesha sayang?”
Eesha melihat ke arah jam dinding yang tepasang di antara ruang makan dan ruang keluarga, “Masih jam setengah 6 pagi, Bu. Kenapa?”
“Mungkin Kakakmu yang mengetuk pintu dan baru pulang, Eesha mandi dulu setelah itu Ibu akan membuatkanmu sarapan. Karena kakakmu, jangan sampai kamu datang terlambat ke sekolah.”
Eesha menganggukkan kepalanya dan menjawab, “Ya.”.
Eesha segera berjalan ke kamar mandi dan segera membersihkan dirinya seperti yang diperintahkan oleh Ibunya.
Suara ketukan pintu terdengar untuk kedua kalinya membuat Eila bangkit dari duduknya dan segera bergegas menuju pintu rumahnya.
“Ya, tunggu sebentar. . .” teriak Eila.
Begitu Eila membuka pintu yang didapatinya bukanlah sosok putrinya Rhea, melainkan sosok pria muda yang berusia sekitar 20 tahunan dengan wajah tegas dan tampan.
“Mohon maaf. . .” kata pria muda itu ketika Eila membuka pintu dan terkejsut melihat wajah asing yang belum pernah dilihatnya, “pagi – pagi kami datang dan mengganggu ketenangan Ibu.”
Eila menatap bingung pria muda yang berbicara padanya, “Ya, tidak apa – apa.” Eila melihat seorang pria lagi dengan mengenakan seragam petugas kepolisian di samping pria muda yang berbicara dengannya. “Tapi. . . ada apa petugas kepolisian datang kemari pagi – pagi sekali?”
“Saya bersama dengan rekan saya datang kemari karena ingin menanyakan sesuatu,” jelas pria muda itu yang kemudian mengambil sesuatu dari dalam saku mantelnya. “Apakah gadis bernama Rhea tinggal di sini?” tanya pria muda itu sembari menunjukkan foto Rhea.
Eila terkejut mendapati dua petugas kepolisian yang datang ke rumahnya mencari Rhea, “Ya. . . Rhea adalah putri pertama saya. Kenapa dua petugas ini mencari putri saya? Apakah putri saya berbuat kesalahan? Atau mungkin terjadi sesuatu dengan putri saya?”
Eila merasa gugup dan cemas memandang dua petugas kepolisian di depannya.
“Sebelum saya menjelaskan situasi yang sebenarnya, izinkan saya bertanya lebih dulu kepada Ibu. Kemarin malam, Rhea putri Ibu berada di mana?”
“Kemarin sore, Rhea berpamitan pergi ke kota untuk pekerjaannya sebagai penyanyi café. Biasanya Rhea pulang jam sepuluh malam atau paling larut jam 11 malam. Tapi, semalam dia tidak pulang dan tidak memberi kabar apapun kepada saya. Biasanya, Rhea akan menelepon ke rumah jika dia terpaksa harus menginap di rumah temannya di kota,” jelas Eila. Eila menarik napas berusaha menyembunyikan rasa khawatirnya, “Sebenarnya ada apa dengan putriku, Pak?”
“Saya mohon kepada Ibu untuk tenang. Kami berdua datang kemari karena menemukan seorang gadis yang tewas di kota. Kami menduga bahwa gadis itu adalah putri Ibu dari dompet yang tertinggal di TKP.”
Bak disambar petir, Eila terkejut dan langsung terduduk lemas di hadapan dua pria muda petugas kepolisian.
Petugas muda itu segera membantu Eila bangkit dan menahan tubuhnya yang lemas dengan tangannya, “Saya mohon tolong kuatkan diri Ibu.”
Eila mengatur napasnya dan berusaha menguatkan dirinya, “Di mana putriku sekarang? Saya harus memastikannya lebih dulu. Bisa saja, gadis itu adalah gadis lain dan bukannya putriku, Rhea.”
Petugas muda itu kemudian menunjukkan dompet milik Rhea yang disimpan di dalam palstik sebagai barang bukti, “Kami menemukan ini di samping tubuh korban. Alamat yang tertulus di dalam dompet mengantarkan kami berdua kemari.”
Eila menatap tidak percaya ketika mengenali dompet yang selalu digunakan oleh putri pertamanya, Rhea.
“Bisakah Bapak membawa saya untuk melihat jasad gadis itu?” tanya Eila dengan tubuh gemetar. “Saya ingin memastikannya sendiri dengan kedua mata saya.”
“Tentu saja, Bu. Kami datang kemari untuk mengajak Ibu untuk mengkonfirmasi jasad yang kami temukan.”
“Tolong beri saya waktu tiga puluh menit. Saya masih punya putri lagi yang masih kecil. Tidak mungkin saya membawanya bersama saya melihat keadaan jasad yang kemungkinan adalah kakaknya,” kata Eila memohon.
“Tentu saja, Bu. Kami berdua akan menunggu. Ibu tidak perlu terburu – buru.”
Eila mempersilakan dua petugas kepolisian itu untuk menunggu di dalam rumahnya, sementara dirinya segera berlari ke rumah Rania untuk meminta bantuan.
Dengan napas tersengal, Eila mengetuk pintu rumah Bibi Rania. “Bibi. . . Bibi Rania.”
Tanpa menunggu lama, pintu rumah Bibi Rania terbuka dan Rania muncul di hadapan Eila.
“Ada apa, Eila?” tanya Rania merasa heran ketika melihat wajah Eila yang gelisah dan cemas.
“Bibi. . . bisakah aku menitipkan Eesha di sini?” tanya Eila gugup dengan nada sedikit memohon.
Rania tersenyum kemudian berkata, “Tentu saja bisa. Apa ada sesuatu yang terjadi?”
“Aku tidak bisa menjelaskannya sekarang, Bibi. Sesuatu yang buruk mungkin terjadi pada putriku, Rhea. Aku harus pergi ke kota setelah ini dan tidak mungkin bagiku untuk membawa Eesha bersamaku. Sepulang dari kota nanti, aku akan menceritakannya kepada Bibi,” jelas Eila dengan cepat, “aku mohon tolong jaga Eesha untukku hari ini. kalau perlu Eesha bisa libur sekolah agar tidak terlalu merepotkan Bibi.”
“Baiklah, Nak. Aku akan menjaga Eesha untukmu.”
Setelah itu, Eila kembali ke rumahnya bersama dengan Rania, Amartya, dan Ganendra. Eila kemudian segera berangkat bersama dengan dua polisi yang menunggunya sementara Rania menunggu Eesha yang masih asyik mandi dengan bernyanyi kencang.Begitu keluar dari kamar mandi, Eesha terkejut mendapati di rumahnya sudah ada Rania, Amartya dan Ganendra yang duduk di ruang keluarganya.“Nenek Rania. . .” kata Eesha terkejut menatap ke arah Rania, “kenapa Nenek ada di sini bersama dengan Rama?” Eesha kemudian menatap ke arah Ganendra dengan tatapan penasaran, “Siapa paman ini, Nek? Ibuku ke mana?”Rania tersenyum memandang ke arah Eesha, “Ibumu ada urusan mendadak dan harus berangkat ke kota pagi – pagi sekali. Jadi ibumu menitipkanmu bersama dengan Nenek hari ini. untuk hari ini, kamu tinggal di rumah nenek ya? Bersama dengan Amar dan Ganendra.”“Ibu pergi?” tanya Eesha tidak percaya.“Iya, sayang. Ibumu berpesan kalau kamu ingin libur
Sesuai dengan perintah Rania, Eesha berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki bersama dengan Ganendra yang menggendong Amartya di punggungnya.Sepanjang perjalanan menuju ke sekolah, Eesha terus menyanyikan sebuah lagu yang membuat telinga Amartya sakit ketika mendengarnya.Lebih baik melihatmu dari jauh, tidak berani berharap bisa bersamamu. Dengan hati – hati, kusembunyikan kasih sayang di hati. Bahkan jika air mata jatuh menjadi hujan. Bahkan jika kata – katamu sedingin es. Jika kekasih tidak bisa bersama, lebih baik merindukanmu di dalam hati. Amartya yang sudah tidak bisa menahan rasa sakit di telinganya, akhirnya membuka mulutnya.“Berhentilah bernyanyi. . .” teriak Amartya dengan kesal.“Apakah suaraku seburuk itu?” tanya Eesha menghentikan langkahnya dan menatap Amartya di punggung Ganendra.“Ya, bu
Jam sekolah berakhir, Kiran dan Eesha duduk menunggu di dekat gerbang sekolah.“Tadi pagi. . .” kata Kiran yang penasaran. “Kamu bersama dengan siapa, Eesha?”Sejak pagi, Kiran sudah menahan rasa penasarannya ketika melihat Eesha datang ke sekolah bersama dengan seorang Paman tampan dengan anak laki – laki di punggungnya. Kiran hendak bertanya pada Eesha namun seharian ini Eesha sibuk bersama dengan teman – teman perempuannya karena Eesha membawa banyak coklat. Layaknya gula yang dikelillingi oleh semut, tak ada celah sedikit pun untuk Kiran bertanya kepada Eesha.“Tadi pagi?” tanya Eesha mengingat kejadian di pagi hari. Tidak lama kemudian Eesha menyadari maksud dari pertanyaan yang diajukan Kiran kepadanya. “Ah, itu. . . cucu Nenek yang tinggal di dekat rumahku. Sepertinya nanti malam, aku harus menginap di ruman Nenek Rania, karena ibuku mendadak harus pergi ke kota dan mungkin tidak akan pulang.”“Ke kota? Kenapa?” Kiran semakin pe
Rajendra mengemudikan mobilnya mengantarkan Eila kembali ke rumahnya di pinggiran kota. Kondisi jalanan yang sedikit gelap membuat Rajendra harus benar – benar fokus untuk melihat agar keduanya bisa sampai dalam keadaan selamat.“Maafkan saya karena telah merepotkan, Bapak. . .” kata Eila memecah ketegangan Rajendra yang sejak tadi fokus melihat ke arah jalanan yang sedikit gelap.“Tidak apa – apa, ini bukan masalah,” jawab Rajendra dengan sedikit rileks. “Saya juga ingin memeriksa ke tempat di mana Ibu tinggal. Saya ingin bertemu dengan anak Ibu dan temannya itu. Saya harus menemukan dari mana lagu itu berasal. Mungkin dengan menemukan asal lagu itu, saya bisa menemukan jejak Hujan Merah yang selama ini sulit sekali ditemukan.”“Apakah mungkin lagu itu yang menjadi penyebab tewasnya putri saya?” tanya Eila ragu – ragu.“Saya masih menduga lagu itu ada hubungannya dengan pembunuh berantai Hujan Merah. Tapi itu masih hanya sebuah dugaan
Ishya, Ibu kiran tiba – tiba terbangun dari tidurnya ketika tidak sengaja tertidur di ruang tengah rumahnya. Untuk pertama kalinya, Ishya berpisah dengan Kiran, putra kesayangannya dan perasaan gelisah langsung menyerbu Ishya.Ishya memijat dahinya dan merasakah sesuatu yang buruk dalam pikirannya. Ishya bangkit dari duduknya dan segera mengambil mantel hangatnya. Dengan menerobos gelapnya malam, Ishya memberanikan diri membuka pintu rumahnya dan berjalan keluar rumah.Entah kenapa sesuatu yang buruk terlintas di kepalaku. Putraku, Kiran.Aku harus menemui Kiran dan memastikan keadaannya baik – baik saja. Kuharap ini hanya pikiranku saja. Kuharap kamu baik – baik saja, Kiran putraku.Tidak lama kemudian. . .Rania bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ke depan pintu rumahnya. Suara ketukan pintu di malam hari sempat membuat Rania merasa sedikit tidak enak. Terlebih lagi, cucunya Amartya yang masih belum pulang membuat perasaa
Mendengar jawaban yang diberikan oleh Kiran, Hujan Merah tersentak dan terkejut.“Dari mana kamu tahu nama itu, anak kecil?”Kiran menemukan celah.“Jika Paman ingin tahu dari mana aku mendengar nama itu? Maka turunkan dulu pistol Paman dan biarkan dua temanku menjauh dari sini.”Hujan Merah menyeringai ngeri ke arah Kiran dan memuji keberanian Kiran. “Kamu masih anak – aank tapi kamu cukup pintar dan berani. Kamu bahkan berani mengajakku untuk bernegosiasi di saat seperti ini. Kurasa kamu bukan anak biasa. Sepertinya, kamu benar – benar sudah tidak merasa takut lagi, anak kecil?”“Kuanggap itu pujian, Paman. Kuakui nama itu sangat penting bagiku. Aku harus menemukan pemilik nama itu karena suatu alasan tapi, nama itu tidak lebih penting dari keselamatan dua temanku. Jadi, Paman mau mendengarkan permintaanku?” tanya Kiran dengan senyuman kecil di bibirnya.Hujan Merah tertawa keras mendengar jawaban Kiran. “Baik
Dua puluh tahun kemudian. . .Setelah selesai berjalan – jalan melihat trailer dari film perdananya di papan billboard, Eesha kemudian memlih untuk duduk di café di pinggir jalanan kota dan menikmati gelas besar es krim strawberry dan teringat kenangan lamanya bersama dengan Kiran.“Kamu mau es krim, Kiran? Bibi di kantin dengan sengaja memberiku dua es krim karena membantunya membersihkan sampah di depan kantin.”“Bisa aku minta yang strawberry?” tanya Kiran.“Strawberry? Kenapa Strawberry? Biasanya anak laki – laki sangay suka dengan es krim rasa coklat.”“Aku lebih suka es krim dengan rasa strawberry. Apakah tidak boleh?”“Baiklah kalau begitu. Kiran yang rasa Strawberry dan aku akan makan yang rasa coklat.” Eesha tersenyum.“Kamu tidak keberatan aku meminta yang rasa strawberry?”&nbs
Tanpa Eesha sadari, hari sudah berganti malam. Usahanya untuk menemukan penyanyi café bernama Nanda tidak membuah hasil. Eesha yang sempat kembali ke café tidak menemukan sosok Nanda di café itu. Merasa lelah, Eesha memutuskan untuk pulang ke rumahnya.“Aku pulang. . .” kata Eesha begitu tiba di rumahnya.Mendengar suara Eesha yang tiba di rumah, Eila dan Ishya segera memberikan jawaban kepada putri mereka.“Kamu pulang, sayang. . .” kata Eila dan Ishya di saat yang sama.“Ya, Ibu. . .” jawab Eesha pada Eila. Kemudian dengan cepat Eesha juga menjawab Ishya, “Ya, Bunda.”Eesha yang baru masuk ke dalam rumahnya mendapati Amartya sedang duduk santai di sofa besar di ruang keluarganya dan bersikap seakan rumah Eesha adalah rumahnya sendiri. Di samping Amartya, duduk Ravindra yang merupakan asisten pribadi Amartya. Ravindra menatap Eesha dengan penuh hormat.“Dia datang lagi kemari?” Eesha melirik ke arah Amart
Eesha dan Rajendra yang mendengarkan ucapan Nanda berharap hati Ravindra dapat tersentuh dan menghentikan niatnya untuk membunuh Nanda. Namun ucapan Nanda sepertinya tidak menyentuh hati Ravindra seperti harapan Eesha dan Rajendra. “Kau berbohong padaku, Kiran!” Ravindra meraih pisau miliknya yang sempat terlempar dan langsung mengarahkannya ke leher Nanda. “Kau bohong!”“Aaaaaaaaaaa” teriak Eesha melihat pisau yang mengarah ke leher Kiran dan perlahan melukai leher Kiran. Dalam waktu singkat, cairan berwarna merah kemudian mengalir dari leher Kiran dan membuat Eesha semakin histeris ketakutan. “Ravindra, stop!”“Berhenti Ravindra!” Rajendra yang tadinya sudah menurunkan pistol miliknya kemudian mengarahkan pistol miliknya kembali ke arah Ravindra dan menarik pengaman pada pistol miliknya. Rajendra kini sudah bersiap menarik pelatuk pistolnya dan bersiap
Dengan tubuh yang masih dalam keadaan lemah karena obat bius dari Ravindra, Eesha mencoba bangkit dari kursi rodanya dan menjauh dari Nanda dan Ravindra – sesuai dengan perintah Rajendra. Dengan susah payah, Eesha akhirnya bisa berjalan menjauh. Sementara di sisi lain, Nanda dan Ravindra masih terus memukul satu sama lain dan berpindah-pindah tempat dengan sehingga membuat Rajendra yang ingin menjatuhkan Ravindra berulang kali merasa ragu karena takut adalah Nanda. “Paman, jangan menembak!” Eesha berteriak kepada Rajendra sembari berlari ke arah Rajendr
“Jadi semua yang kamu lakukan, semua pembunuhan itu karena Amartya?” tanya Rajendra tidak percaya. “Apa hubungan Amartya dengan pembunuhan-pembunuhan yang kamu lakukan? Kenapa Amartya, anak yang polos itu kamu jadikan alasan untuk pembunuhanmu itu?” Ravindra tersenyum sembari mendorong kursi roda di mana Eesha masih tidak sadarkan diri dan membawanya duduk di dekatnya. “Karena Tuanku itu terlalu polos, Tuanku hanya melihat Eesha seorang saja. Meski tahu Eesha hanya akan menunggu Kiran kembali, Tuanku masih setia untuk berada di sisi Eesha – sama seperti yang aku lakukan untuk ayah angkatku. Dan wanita-wanita yang jadi korbanku itu adalah wanita yang tidak tahu malu dan berusaha untuk membuat Tuanku berpaling. Aku benci dengan penganggu seperti mereka.”Rajendra menganga mendengar penjelasan di balik alasan pembunuhan yang dilakukan oleh Ravindra.“Kau benar-benar tidak bisa dipercaya. Alasa
"Di mana Eesha?" teriak Rajendra.“Paman benar-benar tidak sabaran sekali,” balas Ravindra. “Tidakkah Paman tidak melihat pertemuan mengharukan antara aku dan Kiran?”Rajendra terkejut mendengar ucapan Ravindra. Dia seperti orang yang berbeda. Ravindra yang selama ini saya kenal sebagai asisten Amartya adalah orang yang diam, penurut dan tidak banyak bicara. Tapi Ravindra yang sekarang berdiri di hadapanku terasa seperti orang yang b
“Sandera??” Rajendra yang terkejut mendengar penjelasan Nanda, nyaris saja membuat dirinya bersama dengan Nanda celaka. Tanpa sadar, Rajendra menginjak pedal rem dan membuat mobilnya berhenti dengan tiba-tiba.“Apa yang Paman lakukan?” teriak Nanda yang terkejut dan nyaris saja membenturkan kepalanya ke dashbor mobil milik Rajendra. Nanda langsung menolehkan kepalanya ke belakang untuk melihat bagian belakang mobil. Nanda langsung menghela napas lega, begitu menyadari jika di belakang mobil milik Rajendra tidak ada kendaraan lain. “Syukurlah di belakang jalanan sedang sepi, kalau tidak kita bi-““Ya, aku tahu. Tindakan tadi bisa menyebabkan kecelakaan beruntun karena tiba-tiba menginjak pedal rem dan membuat mobil berhenti tanpa aba-aba.” Rajendra mengusap keringat dingin di keningnya sembari menginjak pedal gas mobilnya lagi. Mobil melaju lagi dengan sedikit perlahan. “Maaf
Percakapan penting antara dirinya dan Nanda kemudian terhenti ketika Rajendra bersama dengan Nanda tiba di sebuah gudang di pinggiran kota. Gudang yang terbengkalai dan berkesan telah terabaikan selama beberapa tahun menjadi lokasi yang pas dan ideal bagi pembunuh yang terkenal dengan nama Hujan Merah.Bersama dengan Nanda, Rajendra kemudian merilis tempat yang ada di gudang itu. Rajendra bahkan memeriksa bagian luar gudang itu, untuk menemukan kemungkinan ada tempat lain yang tidak terlihat yang bisa menjadi tempat persembunyian hujan merah yang tersembunyi Eesha.
“Apa Paman tidak percaya padaku?” tanya Nanda yang tidak lain adalah Kiran.Rajendra menggelengkan kepalanya dengan ragu. “Jika kamu membicarakan hal ini kepada orang lain, mungkin orang lain tidak akan percaya pada ucapanmu, Nanda. Ah tidak, haruskah aku memanggilmu dengan nama Kiran sekarang?”“Untuk saat ini, tolong panggil dengan nama Nanda saja, Paman. Akan lebih baik jika beberapa orang tidak mengetahui identitasku yang sebenarnya.”“Kenapa?” tanya Rajendra tidak percaya untuk kedua kalinya. “Setelah dua puluh tahun lamanya menghilang, harusnya kamu kembali ke rumah Eila dan Eesha. Setelah dua puluh tahun lamanya terpisah, harusnya kamu kembali ke tempat di mana keluargamu menunggu. Kenapa kamu justru berada di sini dan menyembunyikan identitasmu dari orang-orang yang menunggu kepulanganmu selama dua puluh tahun lamanya?”Nanda menundukk
Setelah melakukan pencarian selama dua jam lamanya dan tidak menemukan hasil, Rajendra terpaksa mengambil keputusan untuk memberitahukan kabar buruk ini kepada keluarga Eesha: Ishya, Eila dan Amartya. Dalam perjalanan menuju ke rumah Ishya dan Eila, Rajendra kemudian melewati cafe di mana Nanda sedang bekerja. Rajendra yang tahu hubungan yang dimiliki Eesha dan Nanda, kemudian menghentikan mobilnya dan berniat untuk memberitahukan kabar buruk yang menimpa Eesha kepada Nanda lebih dulu.“Nanda. . .” Rajendra langsung menyapa Nanda ketika masuk ke cafe di mana Nanda bekerja.“Ah, Pak Rajendra.” Nanda membalas sapaan Rajendra. “Apa yang membawa Bapak datang kemari?”“Bisakah aku minta waktumu sebentar, Nanda?” Rajendra berbicara dengan nada suara yang sedikit bergetar.“Tentu. Tentu saja. Mari kemari.”Nanda kemudian mena
“Dia tidak ingin mengakui bahwa dirinya adalah Kiran. Kiran menyembunyikan identitasnya dan bertindak seolah tidak mengenaliku, Paman.”“Kenapa begitu? Kamu tidak bertanya pada Kiran kenapa dia melakukan hal itu? Selama dua puluh tahun ini, ke mana saja Kiran? Kenapa tidak pulang ke rumah dan menemui ibunya?”“Aku tidak bisa bertanya padanya, Paman. Aku tahu dengan baik sifat Kiran. Ketika dia tidak ingin bilang maka dia tidak akan bilang. Kiran adalah anak yang seperti itu, Paman. Aku menduga hal ini ada hubungannya dengan Hujan Merah yang muncul setelah dua puluh tahun lamanya menghilang.”“Katakan pada Paman, di mana Kiran sekarang! Biar Paman yang bertanya langsung pada Kiran. Paman adalah detektif di kepolisian, Paman akan menjamin nyawa Kiran, jika sesuatu yang buruk bisa saja menimpa dirinya. . .”Eesha menggelengkan kepalanya dengan sedikit ragu.