“Duh, ada apa ini ramai-ramai ke sini?” Mamah Atik menegur ibu dan anak-anaknya.“Aku mau ketemu sama Danu, ada yang mau aku bicarakan,” jawab Mbak Asih.“Ada apa Mbak, bilang saja di sini,” jawab Mas Danu.“Em ... itu Dan, aku mau mengajukan gugatan cerai bisa minta tolong anterin?” Aku mencium bau-bau tidak beres ini.“Danu sibuk, banyak kerjaan ngapain nemenin kamu segala. Tinggal datang ke pengadilan agama. Beres,” sahut Mamah Atik.“Benar, aku sibuk di toko. Lagi pula aku ini bukan orang sekolahan Mbak jadi enggak ngerti masalah itu,” timpal Mas Danu.“Tolong Dan, sekali ini saja,” ucap Mbak Asih memelas.“Eh, maksa! Danu itu bukan pengangguran yang bisa santai ke sana ke mari. Aneh!” pekik Mamah Atik. Mbak Asih melengos tidak suka.“Aku minta tolong sama adikku sendiri kok situ yang sewot?” protes Mbak Asih.“Owalah ini kuping apa wajan. Nangkring di sini! Danu sudah bilang enggak mau kok kamu maksa!” Mamah Atik menjewer kuping Mbak Asih sampai Mbak Asih mengeluh sakit.“Sekali
🌸🌸🌸🌸Pagi hari di rumah ibu mertuaku sudah terjadi drama. Tangisan saling bersahutan terdengar sampai teras samping rumah.“Coba kamu lihat dulu sana, Dan. Barangkali Ibumu sakit atau innalilahi waInnailaihiroji’uun kok, nangis sampai kedengaran sini,” titah Mamah Atik.“Sssttt .... kalau ngomong hati-hati! Itu pasti mereka sedang bertengkar,” tegur ibuku. Mamah Atik hanya cekikikan saja.“Kesel dari tadi nangis enggak berhenti-henti. Seperti ada kematian saja,” ujarnya lagi.Aku dan Mas Danu gegas ke rumah ibu. Ternyata ada mertua Mbak Lili, Mas Eko, dan Mbak Desi. Ibu, Mbak Lili, dan mertuanya yang menangis. Mas Eko diam saja seperti ayam sayur yang mau disembelih. Sedang Mbak Desi duduk santai.“Ibu ... ada apa kok, tangisannya kuat sekali sampai terdengar ke rumahku?” tanyaku pada ibu. Bukannya menjawab malah ibu semakin histeris menangisnya.“Huaaaa ... Danu, Ibu sedih, Dan. Hanya!”“Iya, Ibu sedih kenapa?” tanyaku. Aku sebenarnya tidak tega kalau melihat orang tua menangis.
“Benar itu Bu, apa yang diucapkan Mas Eko. Ibu harus kasih kesempatan pada Mas Eko. Ibu harus percaya dan yakin pada Mas Eko. Kalau Ibu mendukung Mbak Liki sama saja Ibu jadi jin dasim bagi rumah tangga anak Ibu sendiri,” ujar Mas Danu lagi.“Itulah Nak Danu, Ibu juga sudah berkali-kali bilang pada Lili dan ibumu, tapi mereka sepertinya sudah sangat benci dan jijik pada Eko. Ibu ini sudah tua ingin hidup damai. Ibu juga sangat sayang sama Lili. Dia menantu perempuan Ibu satu-satunya tidak ada yang lain,” ungkap ibu Mas Eko.“Ibu selalu bilang begitu, tapi nyatanya Ibu juga senang kan, ada Desi si pelakor itu!” teriak Mbak Lili.“Tidak! Ibu pun tidak suka. Dia selalu datang dengan alasan anak. Ibu sudah terang-terangan mengusir dia, tapi tetap saja dia datang. Ibu hanya tidak tega dengan anak-anak yang dibawanya,” jawab ibu Mas Eko. Aku lihat kejujuran di mata beliau.“Kalau kamu mau hubungan anak kita baik-baik saja, buang pelakor edan itu!” maki ibuHerannya Mbak Desi sangat santai.
“A—aku setuju.” Mbak Lili akhirnya bersuara.“Heh, apa-apaan! Aku tidak setuju! Gimana nasib anak kami!” Mbak Desi mulai emosi dia seketika berdiri berkacak pinggang matanya melotot ke arah Mbak Lili.“Kamu perempuan selingkuhan Eko? Ya Allah hampir saja aku lupa kalau di situ ada orang, aku kira tadi hantu yang di situ,” sahut Mamah Atik. Mbak Desi kesal. Dia kemudian duduk lagi.“Kamu tidak ada hak melarang Eko, dia bukan suamimu lagi. Masalah anak kan, ikut denganmu. Eko bisa kirim uang setiap bulan.” Mamah Atik kini duduk di sebelahku.“Aku sudah bilang berkali-kali begitu, Mah. Tapi, sepertinya Mbak Desi ini memang tidak mau jauh-jauh dari Mas Eko,” sahut Mas Danu.“Sudah gini saja. Lili kan, sudah mau. Kamu Eko hari ini juga siap-siap pergi dari sini. Ajak Lili honey moon. Setelah itu kalian pindah. Tidak usah pedulikan perempuan ini. Ada ibumu yang pastinya tidak akan lepas tanggung jawab,” tutur Mamah Atik.Hening, hanya suara Isak tangis Mbak Desi saja yang terdengar. Mas Eko
“Lelaki buaya darat! Busyet aku tertipu lagi .....” 🎶“Kau hancurkan hatiku dengan cintamuuuuu tak sadarkah kau telah menyakitiku ....” 🎶“Dengarlah matahariku suara pintu hatiku na na na ....🎶“Kutersisih tak terpakai lagi dari pelukanmu dan kasih sayangmu ....” 🎶🎶Aku pusing mendengar Mbak Asih nyanyi tidak jelas.“Asih, sudah cukuplah kamu nyanyi-nyani tidak jelas begitu. Sini bantu Ibu masak rendang,” ucap ibu. Aku sedang mengantarkan sayur gulai nangka ke rumah ibu.Mbak Asih di kamar sedang karaoke. Suaranya melengking kuat sekali. Bikin kuping sakit.“Ibu ini pusing, Ta. Asih itu susah diatur,” keluh ibu.“Sabar Bu, Mbak Asih sedang di posisi terpuruk maklumi saja,” jawabku sekenanya. Jujur aku pun bingung mau komentar apa takut salah lagi.“Tahu ah, Ta. Ibu pusing,” ucap ibu lagi.Kembali ibu termenung sendiri di kursi malasnya. TV memang menyala, tapi ibu melamun. Makanya aku sering bawa ibu ke rumah. Lebih baik beliau ribut dengan Mamah Atik dari pada di rumah bengong b
“Mau ya, Nak, sama anak Ibu. Meskipun janda, tapi Cantik, seksi, dan belum punya anak,” ucap ibu lagi, beliau mempromosikan Mbak Asih.“Maaf Bulek, saya sudah punya calon, ini kami ke sini mau ngundang Mbak Ita, lusa pernikahan kami di rumah calon istri. Di kecamatan Margoyoso,” jawab anak Bulek Minah. Dia terlihat sekali sangat risih.“Oh, ya sudah kalau gitu. Bilang dong, kalau sudah punya calon,” ucap ibu sewot. Beliau kan pergi ke dapur.“Emang dasar sinting kamu itu, Yem!” umpat Mamah Atik kesal. Ibu hanya menjulurkan lidahnya saja.Bulek Minah matur padaku mengudang kami sekeluarga untuk datang.“Insya Allah Bulek, kalau tidak ada halangan kami datang. Selamat ya, Mas, akhirnya ketemu juga dengan jodohnya,” kataku.“Terima kasih Mbak, Ita,” jawabnya.Setelah kami asyik ngobrol ngalor ngidul Bulek Minah pamit undur diri katanya masih ada dua orang lagi yang mau diundang.“Huh, kesempatan mentang-mentang ada tamu jadi enggak mau bantuin di dapur!” sindir ibu mertuaku.“Iya, dong.
“Ada apa Dik, sepertinya kamu gelisah sekali?” tanya Mas Danu. Dia memang selalu paham yang aku rasakan.Jujur aku memang resah. Takut sesuatu terjadi setelah ini padahal lima hari lagi orang tua kami akan berangkat umroh.Kutunjukkan ponselku pada Mas Danu. Sudah kuduga dia pun kaget.“Sudah santai saja, Sayang. Kalau mereka macam-macam Mas maju.”Kulihat lagi status Mbak Ning. Dia foto di taman rumahku.Pagar di rumah memang belum jadi masih masa pengerjaan. Sekarang hari Ahad jadi tukang yang kerja juga libur.[Nunggu pembokat lama banget pulangnya. Sabar biar selalu cantik.]Astaghfirullahaladhiim ... berani sekali dia bilang aku pembantu di rumahku sendiri.Setelah aku lihat status WA-nya langsung dihapus. Mungkin Mbak Ning mengira kalau kalau nomorku sudah dihapusnya.Nah, kan, nomorku langsung diblok. Ckckck ... aku heran kenapa mereka jadi seperti ini.Bu RT meneleponku lagi, tapi sengaja tidak aku jawab. Aku masih mau menikmati pesta ini. Aku bahkan jadi berubah pikiran untu
Bugk!Mamah Atik menendang kaki suaminya Mbak Ning.“Kalian mau apa ke sini?” Bapak langsung to the point menanyakan maksud tujuan mereka.“Em ... anu kami mau itu, Pak?” jawab Wira takut-takut.“Kamu itu si songong pasti ada niat terselubung ke sini. Dina, kamu itu enggak punya malu, ya? Sudah diusir masih juga datang ke sini!” Mamah Atik menoyor kepala Dina. Ah, biarkan saja itu kan, sepupu Mamah Atik.“Koper berjejer begini, sudah seperti mau pindahan saja!” sahut ibu mertuaku. Beliau menendang koper kakak-kakakku.“Anu ... kami me—mang mau pindahan,” jawab Wira. Yang lain tentu saja malu. Mereka semua menunduk tidak berniat melihat wajah bapak.“Pindah ke mana?” tanya ibu mertuaku.“Ke sini?” papar Mamah Atik. Wira mengangguk mantap. Ck, dasar tidak tahu malu!“Apa? Heh, tidak bisa! Ini rumah anakku bukan hotel apalagi tempat pengungsian. Kalian pulang!” Usir mertuaku.“Enak aja main usir, ini juga rumah adikku Ita! Dasar orang tua sok kuasa!” sahut Mbak Nur.“Apa kalian ini tida