Esti"Esti, ada Bu Endah." Aku meletakkan kembali setrika yang baru saja mau aku sambungkan kabelnya di colokan listrik. "Ya, Pak." Aku bergegas keluar dari kamar. Bu Endah adalah tetanggaku di kampung. Ia akan terlihat tiga bulan sekali saat libur bekerja dari majikannya di Jakarta. Bu Endah memang spesialisasi ART di kota, sedangkan aku yang tamatan SMP dan baru lulus kursus menjahit ini, hanya bisa diam di rumah sambil menerima permak baju dari tetangga, walau tidak banyak. "Eh, Bu Endah." Aku menyalaminya. Lalu mempersilakan wanita setengah baya itu duduk di kursi tamu."Lagi di rumah, Bu?" tanyaku berbasa-basi."Iya, saya ada perlu sama kamu, Es. Kamu mau gak kerja di Jakarta? Di rumah majikan saya.""Loh, emangnya Bu Endah mau ke mana? Kenapa berhenti?""Suami saya kan sakit jantung. Bolak-balik ke rumah sakit, gak ada yang anter. Anak-anak pada kerja. Jadinya saya yang berhenti, tapi majikan saya gak ijinin saya berhenti kalau saya gak cariin pengganti saya. Kamu mau gak, Est
"Silakan, Pak. Ini tehnya." Aku bergegas ke kamar mandi. Masih terlalu syok untuk kabar yang baru saja disampaikan bude. Lalu aku harus bagaimana? Tidak mungkin kerja belum satu hari udah kasbon lima puluh juta. Apa aku ....? Buru-buru aku menggelengkan kepala. Tidak benar jika aku harus menjadi seperti Restu. Pesan bapak kemarin, aku harus bisa menjaga diri. Aku tidak boleh salah langkah. Coba saja, siapa tahu kamu beruntung, Esti. Bapak kamu butuh uang banyak untuk operasi besok.Kata hati ini semakin membuatku bingung. Aku menyalakan keran air. Membiarkan air membasuh kepala dan seluruh tubuh ini yang masih memakai baju lengkap. Otakku terasa panas memikirkan dari mana aku bisa mendapatkan uang lima puluh juta.Aku mulai menggigil. Aku matikan kram shower, lalu bergegas memakai handuk. Handuk seperti jubah yang sering aku lihat di drama Korea. Hanya saja yang aku pakai sekarang tidak terlalu tebal bahannya.Aku juga memakai handuk kecil di kepala. Aku merasa lebih tenang dan rile
Satu kali, dua kali, tiga kali, hingga akhirnya aku tidak lagi bisa menghitung berapa kali sudah Pak Galih menikmati manisnya tubuh ini. Terkadang ada rasa bangga, saat tatapannya mengunci kedua mataku. Awalnya tatapan itu biasa saja. Hanya ada nafsu semata, tetapi setelah dua Minggu berlalu dan kami rutin melakukannya, tatapan itu berubah teduh dan penuh rindu. Aku bisa merasakan detak jantung Pak Galih saat ia memelukku sejenak, sebelum ia pergi. Di ruang tamu, di kamarku, di dapur, di ruang tengah, bahkan pernah di kamarnya, saat Bu Kikan bekerja atau lembur sampai jam sebelas malam baru pulang. Ia selalu mengonsumsi obat kuat yang ia beli dari teman kantornya. Ia bilang, Bu Kikan tidak mau kalau lama. Mungkin karena Bu Kikan capek kerja. Kadang Pak Galih hanya memuaskan Bu Kikan saja, sedangkan aku mampu memuaskannya hingga satu sampai dua jam. Obat itu pun akhirnya aku simpan di lemariku agar memudahkan Pak Galih saat ingin meminumnya."Hari ini Kikan pulang malam lagi," bisik
PoV KikanSetelah semua pergi, aku menelepon bibik agar tidak langsung pulang. Aku ingin sendiri. Benar-benar butuh waktu sendiri untuk meluapkan kesedihan yang sampai saat ini menyesakkan dada. Ternyata rasanya begitu sakit hingga aku menangis tanpa suara. Rumahku sepi. Semua kenangan di rumah ini terukir manis sejak aku menikah, sampai akhirnya Esti masuk ke dalam rumahku. Aku masuk ke dalam kamar wanita itu. Masih banyak pakaian wanita itu di sana. Baju kaus, celana bahan longgar, rok panjang, juga pakaian dalam. Aku tersenyum miris saat baru menyadari ada kurang lebih setengah lusin pakaian dalam bagus dan mahal yang ia sembunyikan di dalam lemari paling dalam. Aku kembali membongkar lemari itu sampai aku menemukan tujuh lingerie dan baju tidur bahan satin yang super seksi.Aku menutup mulut karena mendadak mual. Membayangkan Esti memakainya di depan suamiku sungguh membuatku ingin muntah. Aku kembali menurunkan semua isi lemari wanita itu. Ada sebuah buku dan juga kotak. Aku m
"Bu, HP-nya gak aktif ya? Ini Pak Bos telepon." Rubi menyerahkan ponselnya padaku. Ya, sudah dua jam sejak aku mengirimkan pesan pada Mas Galih, aku belum menyalakan ponselku lagi. "Ada apa?""Gak tahu, coba aja Ibu tanya." Aku memegang benda pipih terbaru Rubi dengan hati-hati."Ponsel mahal. Aku takut megangnya," kataku pada Rubi. Gadis itu tertawa."Punya suami, Bu. Saya tukeran sama dia. Dia pakai HP jompo, saya pakai HP mahal." Aku tersenyum. "Pintar, jadi istri memang harus pintar." Aku menaruh ponsel di telingaku. "Halo, Pak Bos, ada apa?""Kata Rubi, kamu mau pindah?" aku menoleh ke arah Rubi yang tengah duduk di seberang kiriku. Gadis itu menyeringai begitu lebar saat menyadari dirinya yang menjadi pembicaraan kami."Dia bilang apa aja? Bapak percaya?""Dia bukan cuma bilang, dia kasih lihat koper besar kamu tiga biji." Aku terbahak. Setelah sebulan aku tidak lepas tertawa, kini karena ulah bos dan teman-teman kantor, aku bisa olah raga pipi lagi."Ya, saya mau pindah. Se
Setelah membaca kalimat demi kalimat berisikan hujatan pada Esti dan Mas Galih, aku pun kembali mematikan ponsel. Hari ini aku ingin tidur nyenyak karena cutiku panjang. Tidak ingin memikirkan apapun, termasuk Mas Galih dan pelakor itu.Aku terbangun saat adzan subuh, tetapi karena aku sedang nifas, maka aku melanjutkan tidur lagi. Tidak ingin makan, apalagi mandi. Aku tidur dan bangun kembali pada jam sepuluh siang. Seluruh badan ini rasanya sakit dan benar-benar tidak nyaman. Harusnya memang aku masih dirawat inap lebih lama karena tekanan darah yang rendah, tetapi aku memaksa untuk pulang.Ingin buka ponsel, tapi aku gak mau malah diteror Mas Galih dan pelakornya. Biarlah beberapa hari ini aku tanpa gadget. Fokus istirahat dan memenangkan diri. Siang hari aku memesan makanan, meskipun tidak selera, tetapi aku memaksa makan. Jangan sampai sakit karena aku tidak mau merepotkan orang lain.Sambil menikmati makan siang, aku kembali membuka buku diary Esti. Aku seperti sedang membaca no
Perkelahian pun tidak terelakkan. Mas Galih melayangkan pukulan di wajah Pak Batara. Aku dan Pak Yasin berusaha melerai dengan memegangi keduanya, tetapi tenagaku tidak cukup kuat dibandingkan dengan dua lelaki yang tengah berkelahi ini. Pak Batara pun tidak tinggal diam. Ia membalas dengan memberikan tendangan di area sensitif Galih. Aku hanya bisa mendelik. Apalagi pekikan Mas Galih begitu menggelegar hingga mengundang warga datang.Mas Galih jatuh sambil memegangi miliknya. Aku lihat ada air mata yang keluar dari sudut matanya. Tidak bisa aku bayangkan betapa sakitnya itu. Mungkin saja pecah miliknya. Semoga tidak berfungsi lagi. Sekretaris RT dan beberapa bapak-bapak datang ke rumahku untuk menyelesaikan masalah. Namun, kondisi Mas Galih yang terus mengaduh kesakitan membuat ia terpaksa di larikan ke rumah sakit. Tinggal aku, Pak Yasin, Pak Batara, dan dua orang aparat lingkungan."Ini rumah saya yang saya kontrakin pada karyawan saya ini. Saya ke sini juga tidak sendiri. Ada sop
PoV 3"Kenapa baru sebentar udah pulang?" tanya Galih saat melihat istri dan pembantu mereka baru saja turun dari taksi online. Wajah Esti murung, tidak langsung menjawab pertanyaan suaminya. "Sayang, kenapa?" tanya Galih lagi. Suaranya lembut mendayu-dayu. Pria itu berjalan sedikit mengangkang karena bagian tengahnya masih sakit. Ia menyusul istrinya yang masuk ke dalam kamar."Pulang-pulang ngemall malah manyun. Kalau gitu, besok gak usah ke mall aja!" Pria itu akhirnya menyerah membujuk karena sang Istri tak kunjung menjawab. Esti meletakkan bayinya di dalam box bayi. "Tahu gak tadi ketemu siapa?" tanya wanita itu balik."Nggak tahu, kan kamu yang pergi sama bibik.""Kikan.""Apa? Kikan?!" "Ish, kaget ya, dengar nama mantan." Esti misuh-misuh sambil mengganti bajunya. "Iya, kaget, dong! Tumben bisa ketemu di sana. Kamu janjian sama dia mau ngerumpiin aku?" Esti yang tadinya manyun, akhirnya terbahak. "Dia ngeledek punya kamu gak bisa bangun. Lagian kamu, Mas, kenapa gak dilapo