"Bu, HP-nya gak aktif ya? Ini Pak Bos telepon." Rubi menyerahkan ponselnya padaku. Ya, sudah dua jam sejak aku mengirimkan pesan pada Mas Galih, aku belum menyalakan ponselku lagi. "Ada apa?""Gak tahu, coba aja Ibu tanya." Aku memegang benda pipih terbaru Rubi dengan hati-hati."Ponsel mahal. Aku takut megangnya," kataku pada Rubi. Gadis itu tertawa."Punya suami, Bu. Saya tukeran sama dia. Dia pakai HP jompo, saya pakai HP mahal." Aku tersenyum. "Pintar, jadi istri memang harus pintar." Aku menaruh ponsel di telingaku. "Halo, Pak Bos, ada apa?""Kata Rubi, kamu mau pindah?" aku menoleh ke arah Rubi yang tengah duduk di seberang kiriku. Gadis itu menyeringai begitu lebar saat menyadari dirinya yang menjadi pembicaraan kami."Dia bilang apa aja? Bapak percaya?""Dia bukan cuma bilang, dia kasih lihat koper besar kamu tiga biji." Aku terbahak. Setelah sebulan aku tidak lepas tertawa, kini karena ulah bos dan teman-teman kantor, aku bisa olah raga pipi lagi."Ya, saya mau pindah. Se
Setelah membaca kalimat demi kalimat berisikan hujatan pada Esti dan Mas Galih, aku pun kembali mematikan ponsel. Hari ini aku ingin tidur nyenyak karena cutiku panjang. Tidak ingin memikirkan apapun, termasuk Mas Galih dan pelakor itu.Aku terbangun saat adzan subuh, tetapi karena aku sedang nifas, maka aku melanjutkan tidur lagi. Tidak ingin makan, apalagi mandi. Aku tidur dan bangun kembali pada jam sepuluh siang. Seluruh badan ini rasanya sakit dan benar-benar tidak nyaman. Harusnya memang aku masih dirawat inap lebih lama karena tekanan darah yang rendah, tetapi aku memaksa untuk pulang.Ingin buka ponsel, tapi aku gak mau malah diteror Mas Galih dan pelakornya. Biarlah beberapa hari ini aku tanpa gadget. Fokus istirahat dan memenangkan diri. Siang hari aku memesan makanan, meskipun tidak selera, tetapi aku memaksa makan. Jangan sampai sakit karena aku tidak mau merepotkan orang lain.Sambil menikmati makan siang, aku kembali membuka buku diary Esti. Aku seperti sedang membaca no
Perkelahian pun tidak terelakkan. Mas Galih melayangkan pukulan di wajah Pak Batara. Aku dan Pak Yasin berusaha melerai dengan memegangi keduanya, tetapi tenagaku tidak cukup kuat dibandingkan dengan dua lelaki yang tengah berkelahi ini. Pak Batara pun tidak tinggal diam. Ia membalas dengan memberikan tendangan di area sensitif Galih. Aku hanya bisa mendelik. Apalagi pekikan Mas Galih begitu menggelegar hingga mengundang warga datang.Mas Galih jatuh sambil memegangi miliknya. Aku lihat ada air mata yang keluar dari sudut matanya. Tidak bisa aku bayangkan betapa sakitnya itu. Mungkin saja pecah miliknya. Semoga tidak berfungsi lagi. Sekretaris RT dan beberapa bapak-bapak datang ke rumahku untuk menyelesaikan masalah. Namun, kondisi Mas Galih yang terus mengaduh kesakitan membuat ia terpaksa di larikan ke rumah sakit. Tinggal aku, Pak Yasin, Pak Batara, dan dua orang aparat lingkungan."Ini rumah saya yang saya kontrakin pada karyawan saya ini. Saya ke sini juga tidak sendiri. Ada sop
PoV 3"Kenapa baru sebentar udah pulang?" tanya Galih saat melihat istri dan pembantu mereka baru saja turun dari taksi online. Wajah Esti murung, tidak langsung menjawab pertanyaan suaminya. "Sayang, kenapa?" tanya Galih lagi. Suaranya lembut mendayu-dayu. Pria itu berjalan sedikit mengangkang karena bagian tengahnya masih sakit. Ia menyusul istrinya yang masuk ke dalam kamar."Pulang-pulang ngemall malah manyun. Kalau gitu, besok gak usah ke mall aja!" Pria itu akhirnya menyerah membujuk karena sang Istri tak kunjung menjawab. Esti meletakkan bayinya di dalam box bayi. "Tahu gak tadi ketemu siapa?" tanya wanita itu balik."Nggak tahu, kan kamu yang pergi sama bibik.""Kikan.""Apa? Kikan?!" "Ish, kaget ya, dengar nama mantan." Esti misuh-misuh sambil mengganti bajunya. "Iya, kaget, dong! Tumben bisa ketemu di sana. Kamu janjian sama dia mau ngerumpiin aku?" Esti yang tadinya manyun, akhirnya terbahak. "Dia ngeledek punya kamu gak bisa bangun. Lagian kamu, Mas, kenapa gak dilapo
Kikan sudah berada di pengadilan agama untuk melaksanakan sidang pertama dengan agenda mediasi. Ia sampai dua puluh menit lebih awal. Duduk persis di depan rumah sidang yang tertera di jadwalnya. Ada banyak orang yang ia perhatikan, hilir-mudik. Semakin siang semakin ramai."Semua ini orang mau sidang ya, Bu?" tanya Kikan pada ibu yang duduk di sebelahnya."Iya, Mbak, gak ada yang ke sini mau ngambil sembako he he he .... ramenya emang luar biasa. Rata-rata wanita sih, yang gugat." Kikan tersenyum canggung."Ibu sidang juga?""Iya, saya sidang, saya gugat suami berondong saya yang nikahin saya cuma untuk dapat uang aja. Rugi dong saya. Cuma modal enak doang di ranjang, yang lain juga bisa. Dari pada stres sama suami berondong, mending saya cerai saja. Saya biar bisa cari yang lain." Kikan tersenyum sambil mengangguk. Ia memandangi dengan seksama rambut putih yang muncul lebih banyak dari rambut hitam si Ibu. Beliau aja laku, masa dirinya tidak? Pasti ia bisa lebih bahagia nantinya da
"Mas, badan Alika panas banget." Esti menggendong bayi berusia lima puluh hari itu dengan panik, sedangkan tangan kanannya mengguncang tubuh Galih yang tidur pulas.Pria itu terbangun, menggosok matanya sebelum akhirnya melihat anak dan istrinya terbangun."Mas, Alika panas dan gak mau asi," kata Esti lagi. Galih bangun duduk, lalu meraih Alika dari gendongan ibunya. "Iya, ini badannya panas. Kita bawa ke dokter aja.""Ini jam dua malam, Mas. Nanti malah makin sakit kalau kita naik motor bawa Alika. Pakai taksi online saja.""Susah taksi jam segini, Es. Naik motor aja, bungkus anaknya dengan beberapa helai flanel. Ayo, cepat!" Galuh mengambil kunci motor. Lalu Esti membungkus Alika dengan dua helai kain flanel dan dipakaikan sweeter bayi. Keduanya pergi ke rumah sakit terdekat dengan selamat. Alika langsung masuk ke dalam IGD untuk mendapatkan penanganan karena panasnya mencapai empat puluh. Bayi itu memekik menangis keras hingga wajahnya merah. Esti menangis karena takut, sedangkan
"Selamat untuk jabatan barunya Bu Kikan. Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga." Rubi, Mia, Muslim, Lukman, dan beberapa staf lainnya berkumpul di ruangan Kikan. Ya, Kikan mendapatkan ruangan khusus setelah mendapatkan rekomendasi naik jabatan menjadi manager. Di sana juga hadir Batara yang tentu saja salah satu orang yang membawa Kikan berhasil mendapatkan posisi seperti sekarang. Kikan terus saja meneteskan air mata karena begitu terharu. Setelah semua cinta yang ia miliki diambil oleh pembantunya, termasuk janin yang sempat ia kandung. Kini, semua kedukaan itu digantikan oleh Tuhan. Ia mendapatkan banyak cinta dari teman-teman lingkungan kerja.Saudara dari pihak mama dan papanya juga memberikan support penuh setelah mengetahui Kikan menjadi korban pelakor. "Terima kasih kalian sudah terus bersama saya di masa sulit dan senang saya. Terima kasih atas kepercayaan ini. Terima kasih Pak Batara. Kalian benar-benar tim yang aku sayang. Mari bersulang!" Seruan Kikan sambil mengangk
"Bagaimana?" tanya Batara. "Lancar, Pak. Tinggal sidang putusan. Galih gak datang karena anaknya masih sakit. Baguslah, jadinya perceraian ini bisa cepat selesai," jawab Kikan santai. Wajahnya semringah karena beban yang menimpa dadanya saat ini, perlahan mulai terangkat. "Kamu gak ada niatan melihat anaknya?" Kikan menggelengkan kepala. "Tidak minat dan saya gak peduli. Saya udah gak mau bahas Galih ataupun Esti, Pak. Saya benar-benar ingin melupakan lelaki itu dan istrinya." "Maafkan saya jika masih sering menyinggung Galih." "Gak papa, Pak. Hari ini kita meeting jam berapa?""Jam dua siang. Nanti langsung saja ke ruang rapat ya. Semangat." Kikan mengangguk. Lalu Batara pun keluar dari ruangan Kikan. Wanita itu tersenyum memandangi sekeliling ruangan yang tidak pernah ada dalam mimpinya. Sekarang fokusnya menata hidup dan menjadi sukses, sehingga ia bisa puas melihat wajah iri dari Galih dan Esti. Kikan membuka akun media sosialnya. Sudah lama ia tidak berselancar di sana. Seb