"Bagaimana?" tanya Batara. "Lancar, Pak. Tinggal sidang putusan. Galih gak datang karena anaknya masih sakit. Baguslah, jadinya perceraian ini bisa cepat selesai," jawab Kikan santai. Wajahnya semringah karena beban yang menimpa dadanya saat ini, perlahan mulai terangkat. "Kamu gak ada niatan melihat anaknya?" Kikan menggelengkan kepala. "Tidak minat dan saya gak peduli. Saya udah gak mau bahas Galih ataupun Esti, Pak. Saya benar-benar ingin melupakan lelaki itu dan istrinya." "Maafkan saya jika masih sering menyinggung Galih." "Gak papa, Pak. Hari ini kita meeting jam berapa?""Jam dua siang. Nanti langsung saja ke ruang rapat ya. Semangat." Kikan mengangguk. Lalu Batara pun keluar dari ruangan Kikan. Wanita itu tersenyum memandangi sekeliling ruangan yang tidak pernah ada dalam mimpinya. Sekarang fokusnya menata hidup dan menjadi sukses, sehingga ia bisa puas melihat wajah iri dari Galih dan Esti. Kikan membuka akun media sosialnya. Sudah lama ia tidak berselancar di sana. Seb
GalihHari ini adalah hari ketiga meninggalnya almarhum Alika, tetapi aku belum bisa melunasi biaya perawatan serta berbagai tindakan yang sempat diterima putri kecilku. KTP milikku dan Esti ditahan, begitu juga motor, barang satu-satunya yang aku punya. Tidak ada yang tersisa dari semua uang yang aku dapatkan dari menjual mobil. Semua masalah datang silih berganti tanpa jeda waktu untuk bisa mengambil napas dalam. "Mas, kamu gak keluar cari kerjaan? Kamu udah nganggur begitu lama," tanya Esti yang menghampiriku di teras rumah kontrakan."Setiap hari juga aku keluar, Es. Tapi yang ada aku malah nambah pengeluaran karena ongkos dan makan di jalan," jawabku tak semangat. Sudah tiga batang rokok aku habiskan sampai jam sepuluh pagi ini. Dahulu, aku pria yang anti rokok karena bagiku rokok yang untuk pria yang tidak punya kerjaan. Ternyata terbukti, saat aku tidak punya kerjaan apapun, aku merokok."Coba hubungi teman-teman Mas. Siapatahu mereka ada kerjaan untuk Mas. Apapun itu gak pap
BataraKikan Saya gak bisa masak, tapi lagi pengen masak. Setelah matang, saya gak bisa menghabiskannya semua. Apa Bapak mau?Aku tersenyum membaca pesan Kikan."Papa." Putri kecilku Maura bangun dari tidur dan langsung duduk sambil menggosok kedua matanya. Rambut ikalnya berantakan mengembang bak singa. Aku yang sedang merapikan kemeja, langsung menghampiri Maura. "Halo, Sayang, baca doa bangun tidur dulu.""Alhamdulillah." Batara tersenyum, kemudian memberikan kecupan di pipi gembul putrinya. "Papa mau kelja?" aku mengangguk."Gak usah kelja." "Katanya mau lihat ikan di aquarium besar. Jadinya Papa harus kerja. Maura di sini saja sama nenek. Kakak Ibrahim juga di rumah. Nanti kalau Papa libur, kita lihat ikan di aquarium besar ya?" gadia kecilku itu mengangguk. Lalu ia turun dari kasur dan langsung keluar dari kamar. "Ra," suara mama memanggil namaku. "Ya, Ma, masuk aja." Mama berjalan masuk, lalu duduk di pinggir ranjang. "Lusa adik kamu lahiran. Mama mau ke sana. Di rumah g
Masakan kamu enak, Kikan. Saya serius, bukan karena bisa makan siang gratis he he SendSetelah aku mengirimkan pesan pada Kikan, aku pun melanjutkan makan siangku. Ada sayur asem, ikan asin, tahu , dan tempe goreng. Bahkan ada urap sayur. Kikan memasak banyak, padahal di rumah hanya dia sendiri. Pantas saja ia tidak bisa menghabiskannya. Semua rasanya enak dan cocok di lidahku. Kapan kamu masak lagi. Bawakan saya ya. Please! Ini tuh enak banget.SendAku duduk dengan kaki diluruskan. Kaitan celana kerja aku lepas karena perutku sepertinya sebentar lagi akan meletus. Terlalu sesak. Seperti makan siang di rumah. Masakan yang dimasak oleh pasangan kita. Aku tersenyum, mengingat almarhumah istriku yang juga jago memasak. Kamila, alfatihah.Aku langsung melafazkan Al-fatihah begitu mengingat almarhumah istri yang sangat aku cintai. Ia sudah bahagia di sana karena meninggalnya ibu pada saat melahirkan termasuk syahid bukan? Aku yakin sekali Kamila saat ini sedang tertawa dan gembira di
"Salah, maksud Baim, Tante jadi pacar Baim aja, mau gak? Kalau sama Papa udah terlalu tua." Kikan tidak tahan hingga akhirnya ia tertawa terbahak-bahak sampai aku melihat ada air mata di sudut matanya. "Kalah cepat pasti yang tua. Kenapa selalu begitu, yang tua gerakannya lambat. Beda sama anak SD!" Kali ini mama yang menambahkan. Aku diserang dua wanita dan satu lelaki yang sangat pintar, sedangkan Kikan masih terus tertawa sambil memangku Maura."Kamu sama anak-anak dulu ya, aku mau mandi." "Iya, Pak." Aku masuk ke dalam kamar, sedangkan Kikan sudah diserbu oleh dua anakku dan ibuku. Semoga saja ia tidak kapok untuk datang ke rumah dan semoga ia tidak pingsan begitu pulang dari sini. Aku tersenyum mendengar suara tawa Kikan dan juga mama. Ada juga pekik Maura. Sepertinya Baim kembali membuat lelucon, sehingga Kikan terbahak. Aku bergegas mandi. Tidak perlu berlama-lama, karena cukup dua menit saja aku mandi. Baju kaus belel dan juga celana bahan rayon motif kotak-kotak adalah pil
Galih"Mas, kenapa pulangnya malam sekali? Langsung kerja ya?" tanya Esti yang menyambut kepulanganku dengan wajah semringah. Aku hanya tersenyum tipis. Jika aku jujur, maka ia akan sedih, tetapi jika aku bohong, maka tidak baik juga."Ya, tapi bukan diterima langsung kerja. Aku masih training satu Minggu. Jika lolos maka aku dapat pekerjaan ini, jika tidak, maka ya belum rejeki. Ada banyak pelamar tadi. Masih muda semua. Hanya aku yang kayaknya tua." Esti merangkul lenganku untuk masuk ke dalam rumah."Oh, gak papa. Tapi dikasih uang transport selama seminggu kan, Mas?""Entahlah, Mas cuma disuruh datang besok dan seterusnya sampai tujuh hari. Semoga saja setelah itu, diterima. Kamu masak apa, Es?" aku tersenyum padanya sambil membuka tudung saji. Ada sayur semangkuk sayur sup dan juga ikan goreng. "Wah, hari ini makan enak." Aku terpana dengan hidangan di atas meja. Setelah hidup susah beberapa bulan ini, barulah aku merasakan bahwa makanan seperti yang ada di meja saat ini adalah
Aku tahu Kikan masih di rumahnya yang lama. Pagi-pagi sekali, masih jam lima pagi, aku sudah berangkat dengan ojek online. Waktu masih terlalu pagi, sehingga jalanan cukup lengang di hari kamis seperti ini. Kenapa aku datang pagi sekali? Karena mengejar Kikan belum berangkat kerja."Assalamualaikum." Aku menyerukan namanya. Pagar rumah tidak dikunci, mungkin ia sempat keluar untuk membeli sarapan."Assalamualaikum!" Seruku lagi. Sosoknya aku lihat dari balik jendela tengah membuka pintu. Jantung ini tiba-tiba berdebar, bukan karena ada perasaan lain, tetapi karena takut. Takut Kikan menutup kembali pintu rumahnya."Wa'alaykumussalam, siapa, eh...." wajahnya begitu terkejut."Kikan, aku ada perlu, apa aku boleh masuk?" tanpa menunggu Kikan, aku langsung saja mendorong pagar yang tidak dikunci itu. Ada satu hal yang menarik buatku yaitu saat ini Kikan tengah memakai apron. Jelas ia tengah sibuk di dapur. "Mau apa?" tanyanya dingin bahkan tanpa senyuman sama sekali."Aku ada perlu, apa
"Belum sah cerai, belum boleh ada yang melamar!" Ucap Wak Yusuf padaku. Sore ini aku berkunjung ke rumahnya karena beliau sedang sakit dan bercerita sedikit tentang Batara. "Bukan melamar, Wak. Dia hanya mengutarakan keinginannya. Kalau melamar pasti dia berkunjung ke rumah Wak Yusuf. Kikan hanya cerita saja." Aku menelan ludah. Itulah kenapa aku jarang berkunjung ke rumah kakak dari mama, karena orangnya begitu keras dan tidak Family man. Orangnya benar-benar kolot, sampai tidak ada satu orang pun anaknya yang mau tinggal bersamanya. "Sama saja. Setelah kamu cerai, tunggu lagi tiga bulan, barulah menikah. Wanita yang menalak suaminya, gak baik kalau langsung menikah dengan lelaki lain. Apa kata orang? Kamu bukan janda susah'kan? Apalagi harus menikah dengan duda yang ada anak. Kamu memang janda, tapi kamu tanpa anak. Bukan karena kamu mandul, tetapi karena memang belum dikasih saja waktunya. Saran Wak, kamu jangan dengan Batara. Pilih lelaki lain. Duda, tapi tanpa anak. Mengurus an