"Belum sah cerai, belum boleh ada yang melamar!" Ucap Wak Yusuf padaku. Sore ini aku berkunjung ke rumahnya karena beliau sedang sakit dan bercerita sedikit tentang Batara. "Bukan melamar, Wak. Dia hanya mengutarakan keinginannya. Kalau melamar pasti dia berkunjung ke rumah Wak Yusuf. Kikan hanya cerita saja." Aku menelan ludah. Itulah kenapa aku jarang berkunjung ke rumah kakak dari mama, karena orangnya begitu keras dan tidak Family man. Orangnya benar-benar kolot, sampai tidak ada satu orang pun anaknya yang mau tinggal bersamanya. "Sama saja. Setelah kamu cerai, tunggu lagi tiga bulan, barulah menikah. Wanita yang menalak suaminya, gak baik kalau langsung menikah dengan lelaki lain. Apa kata orang? Kamu bukan janda susah'kan? Apalagi harus menikah dengan duda yang ada anak. Kamu memang janda, tapi kamu tanpa anak. Bukan karena kamu mandul, tetapi karena memang belum dikasih saja waktunya. Saran Wak, kamu jangan dengan Batara. Pilih lelaki lain. Duda, tapi tanpa anak. Mengurus an
DewasaPoV EstiAku memandangi wajah suamiku yang saat ini tengah tertidur pulas. Ia masih berusaha memberikan nafkah batin untukku, tetapi tidak bisa. Obat yang aku berikan padanya juga tidak berefek yang ada katanya terasa panas. Bagian pinggang juga ikutan panas. Padahal aku sedang ingin sekali diberikan hakku.Terakhir kami melakukannya adalah saat ia tiba di Lampung pertama kali dan langsung menyerangku hingga aku mengalami kontraksi. Hal itu pula yang membuat bayiku lahir lebih dahulu. Namun, ternyata itu tidak baik bagi buah hati kami, sehingga usianya pun tidak lama. "Kamu gak tidur?" aku tersentak saat Mas Galih tiba-tiba bangun dan menatapku dengan mata menyipit."Mana bisa tidur kalau nafsu masih di kepala," jawabku sambil menyeringai. I menarik tanganku, lalu mengecupnya."Maafkan aku ya, Sayang. Nanti aku akan berobat lagi. Sekarang aku gak bisa apa-apa. Gak ada uang juga untuk berobat." Aku mengangguk paham."Besok kamu jadi ke rumah sakit, Mas?" tanyaku. Ia mengangguk
Aku mencintai suamiku, tetapi ujian hidup kami amatlah berat. Benar kata bapak, akan banyak ujian lainnya untukku karena aku sudah mengambil kebahagiaan orang lain. Aku mengambil Mas Galih dari Bu Kikan. Bukan aku yang memulai, tetapi Mas Galih'kan? Kenapa hanya aku yang disalahkan? Apa karena wanita itu tempatnya salah? Kami sama-sama jahat terhadap Bu Kikan. Aku sudah terlanjur jatuh, terperosok dalam jurang, tentu saja aku tidak mau Mas Galih cuci tangan begitu saja. Ditambah tiga Minggu setelah aku rutin menjadi teman ranjangnya, aku hamil. Entah kehamilan itu setelah aku nikah siri atau belum yang jelas, aku tidak mau ditinggal begitu saja oleh Mas Galih. Aku yang awalnya setengah hati, begitu tahu aku hamil, aku mulai berani untuk menggodanya. Melakukan semua yang ia minta, bahkan aku sampai belajar dari video bagaimana cara memuaskan Mas Galih. Suamiku tidak mendapatkan hal itu dari Bu Kikan dan ia hanya dapatkan dariku.Kini, kami berdua harus membayar mahal atas perbuatan ka
PoV 3"Jadi bagaimana Bu Kikan, kapan surat cerainya turun?" tanya Batara pada Kikan saat pria itu mengantar Kikan pulang ke rumah. "Setiap hari terus nanya itu, apa gak bosan, Mas?" tanya Kikan balik. Wajahnya BT karena ia sedang benar-benar lelah. Ia tahu maksud Batara bercanda, tetapi saat ini hatinya memang lagi lelah. Panggilan 'Mas' ia sematkan sejak keduanya memutuskan untuk kenal lebih dekat, sebelum mereka maju ke jenjang yang lebih serius. "Maaf kalau kamu tersinggung. Aku gak akan tanya hal itu lagi." Batara pun bungkam sampai mobil berhenti di depan rumah Kikan."Istirahat ya," pesan pria itu."Iya, ini saya mau langsung tidur. Makasih ya, Mas." Kikan pun langsung turun begitu saja tanpa mencium punggung tangan Batara seperti kemarin-kemarin. Mood wanita itu benar-benar tidak baik sehingga atmosfer yang terasa bagaikan di planet. Batara pun kembali menekan pedal gas untuk pulang ke rumahnya. Jarak yang ia tempuh sebenarnya cukup jauh. Dari Kebayoran, ia harus mengantar
Kring! Kring"H-halo, B-bude.""Halo, Esti, kamu di mana? Sini pulang lihat bapak kamu. Bapak kamu ditangkap.""Ya Allah, k-kapan, Bude?""Ini barusan dibawa polisi. Mana jantung bapak kamu lagi kambuh, tadi sempat pingsan. Cepat pulang! Jangan lupa bawa uang, Esti. Kasihan bapak kamu kalau masuk penjara dalam keadaan lagi sakit.""Bude, ini udah malam. S-saya besok saja pulang kampungnya." "Ya sudah, hati-hati di jalan." Dengan jari gemetar, Esti mengirimkan pesan pada Felix. Hanya itu satu-satunya pilihannya saat ini. Bapaknya sakit, malah dibawa ke penjara. Ditambah suami pun sedang mendekam di penjara juga. Esti benar-benar kebingungan harus melakukan apa.Mas, kirimkan saya alamat apartemennya.SendEsti masih berdiri di dekat rumah Esti. Ia menunggu balasan pesan dari Felix. Meskipun tidak yakin, tetapi ini bagian dari usaha.08116500xxxApartemen Margo Depok kamar delapan kosong empat. Ketuk pintu empat ketukan.Esti pun memesan ojek online. Malam semakin larut, tetapi niatnya
Esti balik ke kampung dan langsung menemui Pak Haji Muhadi. Ia membayarkan utang bapaknya sebesar lima juta dua ratus ribu rupiah. Tanpa pulang dulu ke rumahnya, Esti pun langsung pergi ke kantor polisi. Hanya saja, tidak bisa langsung mengeluarkan bapaknya begitu saja karena tetap ada biaya administrasi yang harus ia bayarkan. Dua juta rupiah uang yang harus ia keluarkan untuk membawa bapaknya pulang ke rumah. "Kamu masih di sini sampai kapan, Nduk?" tanya Pak Sasono pada putrinya. "Saya langsung balik ke Jakarta, Pak. Mau jenguk mas Galih," jawab Esti keluar dari kamar mandi. Pak Sasono memperhatikan Esti dengan seksama."Leher kamu kenapa?" tunjuk Pak Sasono. Esti mengikuti arah pandang bapaknya. Ia bercermin dan baru sadar ada banyak tanda merah yang ditinggali Felix. "Ini digigit serangga, Pak. Di rumah lagi banyak banget nyamuk." Esti duduk di depan bapaknya, lalu menyesap teh yang disediakan pria setengah baya itu."Bapak jangan bikin urusan bisnis apa lagi yang gak jelas,
"Anda sudah dijemput Pak Galih. Tuduhan Anda ditarik pihak rumah sakit. Anda bebas," ucapan sipir penjara membuat Galih tertegun. Ia masih duduk dengan kedua lutut yang ditekuk. "Saya sedang tidak ingin bercanda, Pak," balas Galih."Jadi kamu mau dipenjara saja? Istri kamu sudah di depan." Galih sontak berdiri. Sipir membukakan pintu sel. Galih pun keluar, tetapi masih dalam keadaan ragu. "Laporan saya dicabut rumah sakit, Pak?" tanya Galih lagi memastikan. Sipir itu mengangguk."Lurus aja jalan dari sini. Terus nanti tanda tangan di petugas depan untuk ambil tas kamu. Kamu ke sini bawa tas'kan?" Galih mengangguk."Oke, selamat menghirup udara bebas." Sipir itu menyalami Galih. Pria itu melangkah penuh semangat menuju penjaga pintu depan. Ia membereskan administrasi yang dibutuhkan penjaga sebelum ia keluar dari tahanan."Jadikan pelajaran ya, Pak. Jangan utang kalau gak bisa bayar." Galih mengangguk sambil tersenyum. Dengan menggendong tas ransel di pundak kanannya, Galih berjalan
"Kamu dari mana? Kenapa pulang larut?""Oh, i-itu, Mas, bapak ada di sini, di r-rumah temennya. Bapak minta ketemu. Jadinya s-saya ke sana. Gak jauh, Mas. Di Pasar Minggu itu. Ini, Mas bisa telpon bapak kalau Mas gak percaya!" Esti mengeluarkan ponselnya dari dalam tas dengan tangan gemetar. Namun, Galih tidak akan melihatnya karena lampu ruang tamu masih dalam keadaan padam."Sudah, sudah, aku percaya. Lain kali kalau mau pergi, bilang dulu. Apalagi sampai malam gini! Udah sana masuk!" Esti menghela napas. Ia langsung masuk ke kamar untuk mengganti baju. Pakaian yang tadi ia kenakan dan pakaian dalam yang tertinggal, semua ia masukkan ke dalam ember cucian. Ia ingin sekali mandi karena tubuhnya lengket, tetapi jika ia mandi dan rambutnya basah, maka suaminya akan makin curiga. "Sini! Aku rindu!" Galih menarik istrinya ke dalam pelukannya. "Kamu minta wangi baru? Tapi aromanya parfum lelaki.""Iya ini tadi bapak yang peluk, katanya kangen. Bapak tumben pake parfum, katanya dikasih