Aku tahu Kikan masih di rumahnya yang lama. Pagi-pagi sekali, masih jam lima pagi, aku sudah berangkat dengan ojek online. Waktu masih terlalu pagi, sehingga jalanan cukup lengang di hari kamis seperti ini. Kenapa aku datang pagi sekali? Karena mengejar Kikan belum berangkat kerja."Assalamualaikum." Aku menyerukan namanya. Pagar rumah tidak dikunci, mungkin ia sempat keluar untuk membeli sarapan."Assalamualaikum!" Seruku lagi. Sosoknya aku lihat dari balik jendela tengah membuka pintu. Jantung ini tiba-tiba berdebar, bukan karena ada perasaan lain, tetapi karena takut. Takut Kikan menutup kembali pintu rumahnya."Wa'alaykumussalam, siapa, eh...." wajahnya begitu terkejut."Kikan, aku ada perlu, apa aku boleh masuk?" tanpa menunggu Kikan, aku langsung saja mendorong pagar yang tidak dikunci itu. Ada satu hal yang menarik buatku yaitu saat ini Kikan tengah memakai apron. Jelas ia tengah sibuk di dapur. "Mau apa?" tanyanya dingin bahkan tanpa senyuman sama sekali."Aku ada perlu, apa
"Belum sah cerai, belum boleh ada yang melamar!" Ucap Wak Yusuf padaku. Sore ini aku berkunjung ke rumahnya karena beliau sedang sakit dan bercerita sedikit tentang Batara. "Bukan melamar, Wak. Dia hanya mengutarakan keinginannya. Kalau melamar pasti dia berkunjung ke rumah Wak Yusuf. Kikan hanya cerita saja." Aku menelan ludah. Itulah kenapa aku jarang berkunjung ke rumah kakak dari mama, karena orangnya begitu keras dan tidak Family man. Orangnya benar-benar kolot, sampai tidak ada satu orang pun anaknya yang mau tinggal bersamanya. "Sama saja. Setelah kamu cerai, tunggu lagi tiga bulan, barulah menikah. Wanita yang menalak suaminya, gak baik kalau langsung menikah dengan lelaki lain. Apa kata orang? Kamu bukan janda susah'kan? Apalagi harus menikah dengan duda yang ada anak. Kamu memang janda, tapi kamu tanpa anak. Bukan karena kamu mandul, tetapi karena memang belum dikasih saja waktunya. Saran Wak, kamu jangan dengan Batara. Pilih lelaki lain. Duda, tapi tanpa anak. Mengurus an
DewasaPoV EstiAku memandangi wajah suamiku yang saat ini tengah tertidur pulas. Ia masih berusaha memberikan nafkah batin untukku, tetapi tidak bisa. Obat yang aku berikan padanya juga tidak berefek yang ada katanya terasa panas. Bagian pinggang juga ikutan panas. Padahal aku sedang ingin sekali diberikan hakku.Terakhir kami melakukannya adalah saat ia tiba di Lampung pertama kali dan langsung menyerangku hingga aku mengalami kontraksi. Hal itu pula yang membuat bayiku lahir lebih dahulu. Namun, ternyata itu tidak baik bagi buah hati kami, sehingga usianya pun tidak lama. "Kamu gak tidur?" aku tersentak saat Mas Galih tiba-tiba bangun dan menatapku dengan mata menyipit."Mana bisa tidur kalau nafsu masih di kepala," jawabku sambil menyeringai. I menarik tanganku, lalu mengecupnya."Maafkan aku ya, Sayang. Nanti aku akan berobat lagi. Sekarang aku gak bisa apa-apa. Gak ada uang juga untuk berobat." Aku mengangguk paham."Besok kamu jadi ke rumah sakit, Mas?" tanyaku. Ia mengangguk
Aku mencintai suamiku, tetapi ujian hidup kami amatlah berat. Benar kata bapak, akan banyak ujian lainnya untukku karena aku sudah mengambil kebahagiaan orang lain. Aku mengambil Mas Galih dari Bu Kikan. Bukan aku yang memulai, tetapi Mas Galih'kan? Kenapa hanya aku yang disalahkan? Apa karena wanita itu tempatnya salah? Kami sama-sama jahat terhadap Bu Kikan. Aku sudah terlanjur jatuh, terperosok dalam jurang, tentu saja aku tidak mau Mas Galih cuci tangan begitu saja. Ditambah tiga Minggu setelah aku rutin menjadi teman ranjangnya, aku hamil. Entah kehamilan itu setelah aku nikah siri atau belum yang jelas, aku tidak mau ditinggal begitu saja oleh Mas Galih. Aku yang awalnya setengah hati, begitu tahu aku hamil, aku mulai berani untuk menggodanya. Melakukan semua yang ia minta, bahkan aku sampai belajar dari video bagaimana cara memuaskan Mas Galih. Suamiku tidak mendapatkan hal itu dari Bu Kikan dan ia hanya dapatkan dariku.Kini, kami berdua harus membayar mahal atas perbuatan ka
PoV 3"Jadi bagaimana Bu Kikan, kapan surat cerainya turun?" tanya Batara pada Kikan saat pria itu mengantar Kikan pulang ke rumah. "Setiap hari terus nanya itu, apa gak bosan, Mas?" tanya Kikan balik. Wajahnya BT karena ia sedang benar-benar lelah. Ia tahu maksud Batara bercanda, tetapi saat ini hatinya memang lagi lelah. Panggilan 'Mas' ia sematkan sejak keduanya memutuskan untuk kenal lebih dekat, sebelum mereka maju ke jenjang yang lebih serius. "Maaf kalau kamu tersinggung. Aku gak akan tanya hal itu lagi." Batara pun bungkam sampai mobil berhenti di depan rumah Kikan."Istirahat ya," pesan pria itu."Iya, ini saya mau langsung tidur. Makasih ya, Mas." Kikan pun langsung turun begitu saja tanpa mencium punggung tangan Batara seperti kemarin-kemarin. Mood wanita itu benar-benar tidak baik sehingga atmosfer yang terasa bagaikan di planet. Batara pun kembali menekan pedal gas untuk pulang ke rumahnya. Jarak yang ia tempuh sebenarnya cukup jauh. Dari Kebayoran, ia harus mengantar
Kring! Kring"H-halo, B-bude.""Halo, Esti, kamu di mana? Sini pulang lihat bapak kamu. Bapak kamu ditangkap.""Ya Allah, k-kapan, Bude?""Ini barusan dibawa polisi. Mana jantung bapak kamu lagi kambuh, tadi sempat pingsan. Cepat pulang! Jangan lupa bawa uang, Esti. Kasihan bapak kamu kalau masuk penjara dalam keadaan lagi sakit.""Bude, ini udah malam. S-saya besok saja pulang kampungnya." "Ya sudah, hati-hati di jalan." Dengan jari gemetar, Esti mengirimkan pesan pada Felix. Hanya itu satu-satunya pilihannya saat ini. Bapaknya sakit, malah dibawa ke penjara. Ditambah suami pun sedang mendekam di penjara juga. Esti benar-benar kebingungan harus melakukan apa.Mas, kirimkan saya alamat apartemennya.SendEsti masih berdiri di dekat rumah Esti. Ia menunggu balasan pesan dari Felix. Meskipun tidak yakin, tetapi ini bagian dari usaha.08116500xxxApartemen Margo Depok kamar delapan kosong empat. Ketuk pintu empat ketukan.Esti pun memesan ojek online. Malam semakin larut, tetapi niatnya
Esti balik ke kampung dan langsung menemui Pak Haji Muhadi. Ia membayarkan utang bapaknya sebesar lima juta dua ratus ribu rupiah. Tanpa pulang dulu ke rumahnya, Esti pun langsung pergi ke kantor polisi. Hanya saja, tidak bisa langsung mengeluarkan bapaknya begitu saja karena tetap ada biaya administrasi yang harus ia bayarkan. Dua juta rupiah uang yang harus ia keluarkan untuk membawa bapaknya pulang ke rumah. "Kamu masih di sini sampai kapan, Nduk?" tanya Pak Sasono pada putrinya. "Saya langsung balik ke Jakarta, Pak. Mau jenguk mas Galih," jawab Esti keluar dari kamar mandi. Pak Sasono memperhatikan Esti dengan seksama."Leher kamu kenapa?" tunjuk Pak Sasono. Esti mengikuti arah pandang bapaknya. Ia bercermin dan baru sadar ada banyak tanda merah yang ditinggali Felix. "Ini digigit serangga, Pak. Di rumah lagi banyak banget nyamuk." Esti duduk di depan bapaknya, lalu menyesap teh yang disediakan pria setengah baya itu."Bapak jangan bikin urusan bisnis apa lagi yang gak jelas,
"Anda sudah dijemput Pak Galih. Tuduhan Anda ditarik pihak rumah sakit. Anda bebas," ucapan sipir penjara membuat Galih tertegun. Ia masih duduk dengan kedua lutut yang ditekuk. "Saya sedang tidak ingin bercanda, Pak," balas Galih."Jadi kamu mau dipenjara saja? Istri kamu sudah di depan." Galih sontak berdiri. Sipir membukakan pintu sel. Galih pun keluar, tetapi masih dalam keadaan ragu. "Laporan saya dicabut rumah sakit, Pak?" tanya Galih lagi memastikan. Sipir itu mengangguk."Lurus aja jalan dari sini. Terus nanti tanda tangan di petugas depan untuk ambil tas kamu. Kamu ke sini bawa tas'kan?" Galih mengangguk."Oke, selamat menghirup udara bebas." Sipir itu menyalami Galih. Pria itu melangkah penuh semangat menuju penjaga pintu depan. Ia membereskan administrasi yang dibutuhkan penjaga sebelum ia keluar dari tahanan."Jadikan pelajaran ya, Pak. Jangan utang kalau gak bisa bayar." Galih mengangguk sambil tersenyum. Dengan menggendong tas ransel di pundak kanannya, Galih berjalan
Part 34.Pagi hari sebelum berangkat bekerja Brian menyempatkan diri untuk berbicara dengan Baim. Di meja makan kini hanya tinggal mereka berdua sementara yang lain sudah sibuk dengan kegiatan masing-masing. "Mas?" Brian menyapa. Baim menoleh, seraya menaikkan alisnya menatap Brian. "Kenapa?" Pria itu menyahut, kemudian menyendok sarapan miliknya. "Aku harus tahu di mana Alma sekaran. Mama minta aku cari dia." Brian mengatakan alasan dari pertanyaannya. Baim menatap sekilas, memperhatikan sang adik dengan seksama. "Jadi kamu nyari cuman karena Mama nyuruh kamu?""Ya nggak gitu, aku kan tetap harus tahu karena Alma itu juga istri a—" "Mantan istri kamu." Baim mencoba mengingatkan. "Aku cuman mau Mas kasih tahu dia di mana sekarang?" Brian menekankan, karena ia tak mau lagi berbasa-basi. Yang ditanya menggelengkan kepalanya, kemudian berjalan ke dapur untuk meletakkan piring makan dan mencuci. "Lagian kamu ngapain nyari dia? Lagian rasanya, Alma juga lebih bahagia tanpa kamu." Sa
Pasti anak yang dikandung Alma adalah anak Brian. Gak mungkin anak orang lain. Siap! Aku benar-benar dibohongi! Felisa pulang dengan keadaan hati yang panas. Disaat ia baru berbaikan dengan suaminya, meskipun belum seperti dulu, tapi ia berusaha sabar. Pikiran Felisa sama sekali tidak bisa tenang. Terkejut juga, ternyata hubungan Alma dan Brian bukan seperti apa yang ada dalam pikirannya. Hubungan mereka berdua sudah lebih jauh dari itu, apalagi ada benih Brian dalam kandungan Alma."Lo kenapa sih Fel? Habis balik dari toilet kok kayaknya nggak tenang banget?" Bella bertanya pada Felisa. "Nggak apa-apa sih, Kita balik aja yuk. Gue bener-bener lagi bad mood nih."Keduanya kemudian memutuskan untuk kembali pulang. Rencana untuk bersenang-senang dan berbelanja sirna sudah. Felisa melangkahkan kakinya masuk ke dalam apartemen. Hari sudah cukup sore dan sepertinya Brian juga sudah tiba. "Udah pulang kamu?" Brian bertanya ketika mendengar suara pintu yang terbuka. "Iya," jawab Felisa ke
"Mana istri kamu itu?" tanya Kikan kesal pada Brian yang baru saja kembali dari kantor polisi. Felisa benar-benar menguji dirinya. Malam tadi ternyata Felisa ditangkap dan ditahan oleh kepolisian setelah berpesta dengan beberapa temannya di klub. Dan Brian yang bertanggung jawab untuk itu. Setelah menyelesaikan urusannya di kantor kepolisian, Brian meminta Felisa untuk kembali ke apartemen. Sementara itu harus kembali ke rumah. "Dia ada di apartemen Ma." Brian menjawab malas. Kikan kesal, tidak habis pikir dengan kelakuan Felisa seperti itu. "Ada-ada aja, nggak ada yang benar dari istri kamu itu. udah pakaian nggak sopan, tingkah lakunya juga kayak gitu. Kamu itu suka dia dari mananya sih?"Brian sudah cukup kesal dan lelah dengan kelakuan Felisa hari ini. Dia juga rasanya sangat malas untuk menanggapi perkataan sang mama. "Udah ya ma, aku mau ke kamar."Brian kemudian melangkahkan kakinya ke kamar. Pria itu duduk di tempat tidur memikirkan apa yang seharusnya dilakukan setelah ini
“Aku ke bawah duluan. Kamu nyusul aja kalau udah selesai,” kata Brian dari luar pintu toilet.Di dalam kamar mandi Felisa sedang membersihkan dirinya. Selesai mandi, ia berjalan keluar menggunakan pakaian daster midi super seksi, menunjukkan lekuk tubuh dan juga potongan yang pendek.Saat Felisa melangkahkan kakinya menuju meja makan membuat Baim, Maura, dan Batara— ayah mertuanya menatap dengan tatapan tak enak. Untung saja saat ini Kikan sedang berada di luar entah bagaimana reaksinya ketika melihat pakaian Felisa.“Maaf terlambat, aku habis mandi.” Felisa mengatakan dengan tak enak. Semua yang berada di sana mencoba mengalihkan pandangannya dari Felisa. Baim awalnya biasa saja, tapi akhirnya dia memutuskan melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar. Lalu disusul oleh Batara, yang melangkahkan kakinya meninggalkan ruang makan. Keduanya merasa tak nyaman sebagai laki-laki. “Makanya, kamu tuh kalau di sini pakai bajunya yang lebih sopan gitu loh.” Itu adalah suara Maura. Maura kemudi
Setelah kemarin mengucapkan talak, Brian merasa lega. Setidaknya hubungannya dengan Felisa kini tidak perlu ditutupi lagi. Pagi ini bahkan bersiap untuk ke pengadilan, akan mengajukan gugatan cerai kepada Alma.Sarapan pagi di meja makan terasa sunyi. Semua diam tak ada yang berbicara dengan Brian. Mereka semua kesal dengan kelakuan Brian, sementara Brian memilih tak peduli dan makan sarapan paginya seperti biasa. "Kalau kalian semua mau musuhin aku nggak apa-apa. Aku anggap ini sebagai pembayaran dosa Aku karena sudah bersikap seenaknya." Brian bertutur. Baim dan Maura sama-sama berdecak dan menggelengkan kepalanya. Benar-benar tak menyangka kalau Brian berani berkata seperti itu."Kamu tuh bener-bener nggak ada rasa bersalahnya ya?" Maura bertanya kesal kepada sang adik. Saat itu ia mendapatkan senggolan dari Baim meminta Maura untuk diam saja"Jangan lupa habis makan semua cuci piring sendiri, ingat lagi nggak ada bibi." Itu suara Baim yang memberitahu kepada yang lain.Saat ini
Setelah bertemu dengan Pak Rahmat membuat Brian sedikit kesal karena dia dipukuli oleh pria itu. Meskipun ada perasaan lagi karena telah menolak dalam perjalanan beliau memutuskan untuk mampir ke sebuah klinik, mengobati luka-luka yang ia dapatkan lagi bolgem mentah dari Pak Rahmat"Emangnya habis berantem sama siapa Pak?" tanya dokter yang menangani Brian. Brian tentu saja akan malu jika dia mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. bahwa mukanya babak belur karena dihajar oleh ayah mertuanya . "enggak, ini saya tadi jatuh, kepleset di tangga."Sang dokter hanya tersenyum saja melihat apa yang dikatakan oleh Brian. tentu saja dia sudah mengetahui, kalau Brian itu biji dipukuli dan bukan terjatuh.Bryan sedikit menjerit ketika sudut bibirnya yang robek diobati oleh dokter. Agak sedikit malu sebenarnya, tapi mau bagaimana lagi luka itu benar-benar sakit saat sedang dibersihkan oleh dokter."Aduh, hati-hati dok, itu tadi kena meja waktu saya jatuh."Sang dokter menganggukan kepalanya "sa
"Permisi," sapa Felisa di luar rumah.Cukup lama wanita itu berdiri, sampai akhirnya Kikan berjalan keluar untuk membukakan pintu. Kikan jelas terkejut ketika melihat Siapa yang datang.Sementara Felisa berusaha tersenyum manis, kemudian mencium tangan sang ibu mertua. "Apa kabar Mama? Gimana sehat?" Dia bertanya berusaha berbasa-basi dan menunjukkan sikap manisnya, agar semakin mudah diterima oleh keluarga Brian. "Ngapain kamu ke sini?" Kikan bertanya sambil menatap Felisa dari atas sampai bawah.Dari dulu sampai sekarang kelakuan Felisa masih sama saja. Menggunakan pakaian ketat dan seksi seperti itu, menunjukkan lekuk tubuh sangat tidak disukai oleh Kikan. Menurutnya itu tidak sopan. Sangat tidak menyangka sekali ternyata Brian menyukai model Felisa yang seperti gadis murahan menurut Kikan."Saya ke sini mau ngobrol sama tante, eh mama." Felisa merevisi ucapannya sendiri. Bukankah mereka sudah menjadi menantu dan mertua? Seharusnya ia bisa memanggil Kikan dengan sebutan Mama kan?
Hari-hari yang dilalui Brian kini terasa berbeda dia benar-benar merasa kesepian setelah Alma meninggalkannya. Lebih parahnya lagi, sang istri bahkan tidak bisa dihubungi sampai saat ini. Meskipun Ia melakukan kegiatan seperti biasa, ada ruang di relung hatinya yang terasa kosong dan hampa."Bengong aja lo?" Kemal bertanya pada Brian yang sejak tadi hanya terdiam sambil menatap ke jendela.Brian hanya menaikkan kedua bahu, kemudian merebahkan kepalanya di atas meja kerja. Rasa hampa yang dirasakan bahkan sampai ke kantor. Menyebabkan beberapa pekerjaan jadi ia kerjakan dengan lambat.Kemal berdecak, tentu saja hal ini bisa menjadi bahan untuknya menggoda Brian. "Mana nih semangat pengantin barunya? Baru begitu aja udah loyo. Biasanya lo ngeledekin gue sama Diana." Kemal katakan itu sambil melirik ke arah Diana yang menganggukkan kepalanya setuju."Ah, kalian berdua berisik. Gue lagi males, bukan masalah pengantin baru atau enggak. Gue cuman lagi bad mood aja." Brian beralasan, bisa m
Flash backPagi-pagi sekali Alma sudah terbangun. Hatinya sudah mantap dan Ia memutuskan untuk kembali ke rumah sang ayah di Bandung. Setelah terbangun, segera mandi dan merapikan pakaian. Hari masih benar-benar pagi, bahkan matahari belum nampak ke peraduannya. Alma sudah terbangun dan menyibukkan dirinya di dapur untuk membuat sarapan pagi bagi keluarga Brian. "Kok tumben kamu masak pagi-pagi banget Alma?" Itu adalah suara sang ibu mertua. Kikan baru saja bangun, dia lalu membuatkan teh hangat untuk sang suami. "Loh Alma?" Sang ayah mertua tidak kalah kagetnya melihat sama hantu sudah begitu sibuk dan rapi pagi ini. "Alma boleh bicara sebentar Ma, Pa?"Orang tua Brian saling tatap kemudian menganggukkan kepalanya. Alma lalu meminta keduanya untuk duduk di kursi makan karena ia berniat untuk menyampaikan keinginannya."Sebelumnya Alma minta maaf, sama Papa sama Mama, tapi sekarang Alma butuh waktu, mau menenangkan diri dulu. Alma mau izin untuk pulang ke rumah bapak." Mendengar i