Esti balik ke kampung dan langsung menemui Pak Haji Muhadi. Ia membayarkan utang bapaknya sebesar lima juta dua ratus ribu rupiah. Tanpa pulang dulu ke rumahnya, Esti pun langsung pergi ke kantor polisi. Hanya saja, tidak bisa langsung mengeluarkan bapaknya begitu saja karena tetap ada biaya administrasi yang harus ia bayarkan. Dua juta rupiah uang yang harus ia keluarkan untuk membawa bapaknya pulang ke rumah. "Kamu masih di sini sampai kapan, Nduk?" tanya Pak Sasono pada putrinya. "Saya langsung balik ke Jakarta, Pak. Mau jenguk mas Galih," jawab Esti keluar dari kamar mandi. Pak Sasono memperhatikan Esti dengan seksama."Leher kamu kenapa?" tunjuk Pak Sasono. Esti mengikuti arah pandang bapaknya. Ia bercermin dan baru sadar ada banyak tanda merah yang ditinggali Felix. "Ini digigit serangga, Pak. Di rumah lagi banyak banget nyamuk." Esti duduk di depan bapaknya, lalu menyesap teh yang disediakan pria setengah baya itu."Bapak jangan bikin urusan bisnis apa lagi yang gak jelas,
"Anda sudah dijemput Pak Galih. Tuduhan Anda ditarik pihak rumah sakit. Anda bebas," ucapan sipir penjara membuat Galih tertegun. Ia masih duduk dengan kedua lutut yang ditekuk. "Saya sedang tidak ingin bercanda, Pak," balas Galih."Jadi kamu mau dipenjara saja? Istri kamu sudah di depan." Galih sontak berdiri. Sipir membukakan pintu sel. Galih pun keluar, tetapi masih dalam keadaan ragu. "Laporan saya dicabut rumah sakit, Pak?" tanya Galih lagi memastikan. Sipir itu mengangguk."Lurus aja jalan dari sini. Terus nanti tanda tangan di petugas depan untuk ambil tas kamu. Kamu ke sini bawa tas'kan?" Galih mengangguk."Oke, selamat menghirup udara bebas." Sipir itu menyalami Galih. Pria itu melangkah penuh semangat menuju penjaga pintu depan. Ia membereskan administrasi yang dibutuhkan penjaga sebelum ia keluar dari tahanan."Jadikan pelajaran ya, Pak. Jangan utang kalau gak bisa bayar." Galih mengangguk sambil tersenyum. Dengan menggendong tas ransel di pundak kanannya, Galih berjalan
"Kamu dari mana? Kenapa pulang larut?""Oh, i-itu, Mas, bapak ada di sini, di r-rumah temennya. Bapak minta ketemu. Jadinya s-saya ke sana. Gak jauh, Mas. Di Pasar Minggu itu. Ini, Mas bisa telpon bapak kalau Mas gak percaya!" Esti mengeluarkan ponselnya dari dalam tas dengan tangan gemetar. Namun, Galih tidak akan melihatnya karena lampu ruang tamu masih dalam keadaan padam."Sudah, sudah, aku percaya. Lain kali kalau mau pergi, bilang dulu. Apalagi sampai malam gini! Udah sana masuk!" Esti menghela napas. Ia langsung masuk ke kamar untuk mengganti baju. Pakaian yang tadi ia kenakan dan pakaian dalam yang tertinggal, semua ia masukkan ke dalam ember cucian. Ia ingin sekali mandi karena tubuhnya lengket, tetapi jika ia mandi dan rambutnya basah, maka suaminya akan makin curiga. "Sini! Aku rindu!" Galih menarik istrinya ke dalam pelukannya. "Kamu minta wangi baru? Tapi aromanya parfum lelaki.""Iya ini tadi bapak yang peluk, katanya kangen. Bapak tumben pake parfum, katanya dikasih
POV KikanFlashback Aku baru saja selesai mandi dan melepas lelah dengan bersantai di atas ranjang dengan membuka akun sosial media. Sebuah foto baru saja di-share oleh bajingan tengik bernama Galih dengan caption. Cinta Sejatiku.Muak, mual, dan rasanya aku ingin muntah. Hati ini begitu sakit melihat kebahagiaan yang dirasakan oleh pelakor itu dan juga suamiku. Ya, tentu masih suamiku karena kami baru satu kali sidang. Bisa-bisa perempuan dengan wajah pas-pasan bisa membuat Mas Galih tergila-gila dan berpaling dariku. Apa kurangnya aku sebagai istri? Walah aku super sibuk di kantor, tetapi aku berusaha terus memperhatikannya. Kini cerita kamu benar-benar usai dan yang sakit hati di sini hanya aku saja. Tentulah aku tidak mau dan tidak terima. Aku harus menuntut balas. Tidak cukup Galih hanya memiliki utang di rumah sakit. Ia harus mendapatkan yang lebih pedih dari yang aku rasakan saat ini. "Halo, Bu Endah.""Halo, Non, ya Allah, apa kabar, Non?""Saya sehat, Bu. Bu Endah apa kab
"Alhamdulillah, akhirnya Ibu sadar juga." Samar-samar aku mendengar suara Meli, tetapi aku tidak begitu yakin. Sebelah tanganku terasa berat dan juga sedikit nyeri. Aku memaksakan membuka mata dan benar-benar jelas bahwa saat ini aku sedang berada di dalam ruangan yang bercat putih. Entah di rumah sakit atau klinik yang jelas saat ini tanganku sedang diinfus."Meli, aku di mana?" tanyaku pelan, cenderung berbisik. Tenggorokan ini rasanya sakit dan kering, sehingga untuk mengeluarkan suara saja aku harus berusaha keras."Ibu di rumah sakit, Bu. Ibu gak sadarkan diri lama banget. Ini sudah jam sembilan malam. Ibu dibawa ke sini tadi sore sama Pak Batara.""Oh, iya, Batara. Di mana Pak Batara?""Sudah pulang, Bu. Setelah Ibu dibawa ke sini dan mendapatkan perawatan, beliau pamit pulang karena ada banyak urusan beliau menjelang hari pernikahan. Begitu katanya, Bu." Ah, iya, aku baru ingat sekarang. Aku mengira sedang bermimpi mendapatkan undangan darinya, ternyata memang kenyataannya sepe
Esti"Mau sampai kapan kamu menangis begitu, Esti? Kamu gak ada makan. Muntah terus, dan sekarang malah gak bisa bangun. Nasib kamu gak akan balik lagi. Galih pun gak akan balik lagi sama kamu. Apa yang kamu tanam, itu juga yang pasti kamu dapatkan. Sudah, ini makan dulu, Bapak udah belikan bubur. Kata bude kamu, seharian ini kamu gak ada makan." Aku masih berbaring dengan tubuh amat lemah. Semua tenagaku terkuras karena sejak aku ditalak suamiku, aku tidak bisa makan apapun. Jangankan untuk menyapu rumah, ke kamar mandi saja aku harus dipapah oleh bapak atau bude."Esti, ini makan!" "Enneg, Pak.""Ya tapi kamu harus makan. Biar anak kamu bisa tumbuh sehat.""Ini bukan anak Esti, Pak. Ini anak lelaki itu," jawabku dengan hati begitu sedih dan kecewa luar biasa. Sebuah kesalahan fatal yang membuatku ingin rasanya kembali lagi ke masa itu dan menolak tawaran menggiurkan soal uang. "Bukan anak kamu bagaimana? Lah, wong, kamu juga enak' toh? Bapak udah keburu sakit kepala jika ingat per
"Apa kamu begitu hebatnya sebagai manusia hingga dengan tenang mau nambah dosa lagi. Ngambil suami orang aja udah dosa, bercint4 dengan suami orang diam-diam juga udah dosa. Terus kamu selingkuh lagi sama kawan dekat suami kamu, terus hamil. Ya Allah, Bapak gak tahu kamu harus bagaimana, Es. Coba kamu solat taubat, siapa tahu diterima Tuhan. Udah, jangan bicara ab0r5i! Bapak mau istirahat dulu, sebentar lagi magrib!"Aku kembali sendirian di kamar. Mencerna kalimat demi kalimat yang barusan bapakku lontarkan. Aku sudah terlalu hina dengan apa yang sudah aku perbuat. Namun, semua itu aku lakukan karena ingin menyelesaikan masalah bapak dan mas Galih. Aku bukan istri dan anak yang egois. Aku juga tidak menyangka bahwa Felix dengan tega menipuku mentah-mentah dengan tidak menganggap aku apapun. Termasuk ia menghilang setelah tahu bahwa aku hamil. Lelah dengan semua ujian hidup, aku pun akhirnya tertidur. Keesokan paginya, seperti biasa, aku kembali muntah-muntah sampai tidak bisa berjal
PoV 3"Sayang, maaf aku gak bisa jemput kamu. Masih ada meeting sama vendor. Gak enak kalau aku tinggal karena vendor dari Singapura. Kamu balik sendiri gak papa? Naik taksi aja.""Oke, gak papa. Aku tunggu kamu di rumah ya. Jangan lembur, aku udah kangen." Wanita itu memutuskan panggilan, lalu tangannya memberhentikan taksi yang kebetulan sedang menuju ke arahnya. "Ke mana tujuannya, Bu?""Depok, Mas. Apartemen Margo.""Oh, baik, Bu." Mobil pun melaju dengan kecepatan sedang menuju tujuan. Wanita itu bernama Rosi. Seorang wanita yang berprofesi sebagai model majalah dewasa dan juga bintang iklan. Ia adalah istri dari Felix yang sudah dua bulan bekerja di Thailand untuk melakukan kontrak kerja pembuatan iklan dan juga pemeran figuran di sebuah film pendek produksi Thailand. Wanita itu sangat rindu pada suaminya. Ia selalu merengek minta suaminya mengunjunginya di Thailand, tetapi alasan suaminya selalu sibuk dan tidak bisa cuti karena baru pergantian bos dan juga jajaran direksi. Ia