"Alhamdulillah, akhirnya Ibu sadar juga." Samar-samar aku mendengar suara Meli, tetapi aku tidak begitu yakin. Sebelah tanganku terasa berat dan juga sedikit nyeri. Aku memaksakan membuka mata dan benar-benar jelas bahwa saat ini aku sedang berada di dalam ruangan yang bercat putih. Entah di rumah sakit atau klinik yang jelas saat ini tanganku sedang diinfus."Meli, aku di mana?" tanyaku pelan, cenderung berbisik. Tenggorokan ini rasanya sakit dan kering, sehingga untuk mengeluarkan suara saja aku harus berusaha keras."Ibu di rumah sakit, Bu. Ibu gak sadarkan diri lama banget. Ini sudah jam sembilan malam. Ibu dibawa ke sini tadi sore sama Pak Batara.""Oh, iya, Batara. Di mana Pak Batara?""Sudah pulang, Bu. Setelah Ibu dibawa ke sini dan mendapatkan perawatan, beliau pamit pulang karena ada banyak urusan beliau menjelang hari pernikahan. Begitu katanya, Bu." Ah, iya, aku baru ingat sekarang. Aku mengira sedang bermimpi mendapatkan undangan darinya, ternyata memang kenyataannya sepe
Esti"Mau sampai kapan kamu menangis begitu, Esti? Kamu gak ada makan. Muntah terus, dan sekarang malah gak bisa bangun. Nasib kamu gak akan balik lagi. Galih pun gak akan balik lagi sama kamu. Apa yang kamu tanam, itu juga yang pasti kamu dapatkan. Sudah, ini makan dulu, Bapak udah belikan bubur. Kata bude kamu, seharian ini kamu gak ada makan." Aku masih berbaring dengan tubuh amat lemah. Semua tenagaku terkuras karena sejak aku ditalak suamiku, aku tidak bisa makan apapun. Jangankan untuk menyapu rumah, ke kamar mandi saja aku harus dipapah oleh bapak atau bude."Esti, ini makan!" "Enneg, Pak.""Ya tapi kamu harus makan. Biar anak kamu bisa tumbuh sehat.""Ini bukan anak Esti, Pak. Ini anak lelaki itu," jawabku dengan hati begitu sedih dan kecewa luar biasa. Sebuah kesalahan fatal yang membuatku ingin rasanya kembali lagi ke masa itu dan menolak tawaran menggiurkan soal uang. "Bukan anak kamu bagaimana? Lah, wong, kamu juga enak' toh? Bapak udah keburu sakit kepala jika ingat per
"Apa kamu begitu hebatnya sebagai manusia hingga dengan tenang mau nambah dosa lagi. Ngambil suami orang aja udah dosa, bercint4 dengan suami orang diam-diam juga udah dosa. Terus kamu selingkuh lagi sama kawan dekat suami kamu, terus hamil. Ya Allah, Bapak gak tahu kamu harus bagaimana, Es. Coba kamu solat taubat, siapa tahu diterima Tuhan. Udah, jangan bicara ab0r5i! Bapak mau istirahat dulu, sebentar lagi magrib!"Aku kembali sendirian di kamar. Mencerna kalimat demi kalimat yang barusan bapakku lontarkan. Aku sudah terlalu hina dengan apa yang sudah aku perbuat. Namun, semua itu aku lakukan karena ingin menyelesaikan masalah bapak dan mas Galih. Aku bukan istri dan anak yang egois. Aku juga tidak menyangka bahwa Felix dengan tega menipuku mentah-mentah dengan tidak menganggap aku apapun. Termasuk ia menghilang setelah tahu bahwa aku hamil. Lelah dengan semua ujian hidup, aku pun akhirnya tertidur. Keesokan paginya, seperti biasa, aku kembali muntah-muntah sampai tidak bisa berjal
PoV 3"Sayang, maaf aku gak bisa jemput kamu. Masih ada meeting sama vendor. Gak enak kalau aku tinggal karena vendor dari Singapura. Kamu balik sendiri gak papa? Naik taksi aja.""Oke, gak papa. Aku tunggu kamu di rumah ya. Jangan lembur, aku udah kangen." Wanita itu memutuskan panggilan, lalu tangannya memberhentikan taksi yang kebetulan sedang menuju ke arahnya. "Ke mana tujuannya, Bu?""Depok, Mas. Apartemen Margo.""Oh, baik, Bu." Mobil pun melaju dengan kecepatan sedang menuju tujuan. Wanita itu bernama Rosi. Seorang wanita yang berprofesi sebagai model majalah dewasa dan juga bintang iklan. Ia adalah istri dari Felix yang sudah dua bulan bekerja di Thailand untuk melakukan kontrak kerja pembuatan iklan dan juga pemeran figuran di sebuah film pendek produksi Thailand. Wanita itu sangat rindu pada suaminya. Ia selalu merengek minta suaminya mengunjunginya di Thailand, tetapi alasan suaminya selalu sibuk dan tidak bisa cuti karena baru pergantian bos dan juga jajaran direksi. Ia
"Sayang, beneran kamu harus percaya ucapanku. I-itu awalnya aku dimintain tolong sama Kikan. Kamu masih ingat Kikan'kan?" Rosi masih berusaha menahan tangannya agar tidak melayangkan tamparan lagi di pipi suaminya."Minta tolong itu satu kali, Mas, bukan berkali-kali seperti ini. Kamu pakai obat kuat banyak sekali sampai sisa dua! Kamu gila, Mas! Kamu itu suami aku, bukan lelaki bajingan apalagi pelacur kumisan. Aku kecewa, Mas! Aku kalah sama pembantu berkulit hitam. Menjiejiekkan kamu!""Aku cuma nolongin Kikan, Sayang karena dia kasihan ingin balas dendam.""Terus kenapa kamu mau nolongin? Kamu bukan bujangan, Mas! Kamu punya istri. Istri kamu di luar kerja cari uang buat kamu juga. Kenapa kamu malah begini, Mas? Sudahlah, aku gak mau lagi sama kamu. Kita berpisah saja. Aku akan urus gugatan cerai!" Felix begitu terkejut. Ia berusaha menahan lengan sang Istri yang hendak menarik koper keluar dari kamar."Sayang, aku minta maaf. Aku janji gak akan ulangi lagi. Aku udah putus, maksud
"Kamu penyebabnya Kikan, kamu yang harus tanggung jawab! " Rosi masuk kembali ke dalam mobilnya setelah puas memaki bahkan menampar, serta menarik kasar rambut Kikan. Jika saja tidak dilerai Batara, sudah pasti wanita luka patah digebuki oleh Rosi. "Maaf, Pak, Bu, semua sudah aman ya. Mohon maaf sudah membuat gaduh." Batara meminta maaf pada para tetangga yang berkumpul di depan rumah Kikan. Ia meminta para warga untuk bubar karena masalah sudah selesai. Kikan masih menangis dan masih berusaha berdiri dengan kedua kakinya yang lemah."Ayo, kita ke dokter ya. Kamu terluka itu. Bibir kamu dan kepala kamu juga benjol.""Tidak usah, Pak, saya gak papa." Belum lagi lima detik terlewati, Kikan malah jatuh pingsan. Batara langsung melarikan wanita itu ke rumah sakit terdekat. Dokter IGD memeriksa keadaan Kikan yang ternyata memiliki tekanan darah sangat rendah dan Batara masih berada di sana untuk menemani Kikan.Ponsel pria itu berdering. Nama istrinya muncul di layar ponsel."Halo, assal
"Ada apa ini Rosi? Kenapa kamu menurunkan semua pakaian kamu?" tanya ibu dari Felix yang tengah kebingungan melihat menantunya yang sedang tidak baik-baik saja. Rosi tidak menjawab, wanita itu terus mengosongkan lemarinya. Ada banyak barang, sehingga ia tidak bisa cepat. Koleksi tas, jam tangan, parfum, belum lagi topi, gesper, perhiasan, dan pernak-pernik lainnya. Bu Siska menoleh ke arah pintu rumah yang terbuka lebar, untuk memastikan keberadaan Felix, putranya. "Rosi, kamu kenapa? Bertengkar dengan Felix?" tanya mama mertuanya."Jika suami istri yang melakukan LDR itu, ujiannya memang lebih besar. Kamu harus sabar. Felix mungkin sedang khilaf. Apa kalian bertengkar?" tanya wanita itu lagi."Tanya sama anak lelaki Mama itu. Selagi saya kerja, dia tidur dengan pembantu temannya. Pembantu, Ma! Saya istrinya cantik dan seorang model, tapi dia malah bercinta dan begitu menikmati bercinta dengan pembantu temannya.""Hah, a-apa? I-itu mungkin kekhilafan Felix sekali saja, Nak. Namanya l
"Kamu ngapain melamun aja di kamar? Cari kerja sama, Galih! Kamu di rumah ini yang sarjana, tapi kamu yang paling males!" Wanita itu terus mengomel pada sang Putra yang sejak balik ke rumahnya hanya bisa diam; mengurung diri di kamar. Tatapan pria itu kosong dan juga tersiksa. Wanita yang ia cintai malah menyakitinya begitu dalam. Meskipun alasannya untuk menyelamatkannya dari penjara, tetap saja salah. "Galih, kamu mau sampai kapan terpuruk begini? Gak akan balik lagi keadaan. Yang benar itu, kamu cukur rambut, janggut, mandi bersih-bersih, terus melamar kerja sana. Jadi apa saja yang penting halal. Mama cuma ngandelin pensiun papa kamu aja paling bisa untuk makan saja. Jeri pun jadi cari uang sendiri sambil kuliah sejak kamu gak support dia lagi. Ayo, bangkit! Gak usah mikirin Esti, apalagi Kikan. Dua wanita itu anggap saja masa lalu kamu." Seandainya bisa semudah mamanya bicara, pasti ia mau, tetapi ia sudah terlanjur cinta begitu dalam pada Esti, bahkan sampai ia menghancurkan r