PoV 3"Kenapa baru sebentar udah pulang?" tanya Galih saat melihat istri dan pembantu mereka baru saja turun dari taksi online. Wajah Esti murung, tidak langsung menjawab pertanyaan suaminya. "Sayang, kenapa?" tanya Galih lagi. Suaranya lembut mendayu-dayu. Pria itu berjalan sedikit mengangkang karena bagian tengahnya masih sakit. Ia menyusul istrinya yang masuk ke dalam kamar."Pulang-pulang ngemall malah manyun. Kalau gitu, besok gak usah ke mall aja!" Pria itu akhirnya menyerah membujuk karena sang Istri tak kunjung menjawab. Esti meletakkan bayinya di dalam box bayi. "Tahu gak tadi ketemu siapa?" tanya wanita itu balik."Nggak tahu, kan kamu yang pergi sama bibik.""Kikan.""Apa? Kikan?!" "Ish, kaget ya, dengar nama mantan." Esti misuh-misuh sambil mengganti bajunya. "Iya, kaget, dong! Tumben bisa ketemu di sana. Kamu janjian sama dia mau ngerumpiin aku?" Esti yang tadinya manyun, akhirnya terbahak. "Dia ngeledek punya kamu gak bisa bangun. Lagian kamu, Mas, kenapa gak dilapo
Kikan sudah berada di pengadilan agama untuk melaksanakan sidang pertama dengan agenda mediasi. Ia sampai dua puluh menit lebih awal. Duduk persis di depan rumah sidang yang tertera di jadwalnya. Ada banyak orang yang ia perhatikan, hilir-mudik. Semakin siang semakin ramai."Semua ini orang mau sidang ya, Bu?" tanya Kikan pada ibu yang duduk di sebelahnya."Iya, Mbak, gak ada yang ke sini mau ngambil sembako he he he .... ramenya emang luar biasa. Rata-rata wanita sih, yang gugat." Kikan tersenyum canggung."Ibu sidang juga?""Iya, saya sidang, saya gugat suami berondong saya yang nikahin saya cuma untuk dapat uang aja. Rugi dong saya. Cuma modal enak doang di ranjang, yang lain juga bisa. Dari pada stres sama suami berondong, mending saya cerai saja. Saya biar bisa cari yang lain." Kikan tersenyum sambil mengangguk. Ia memandangi dengan seksama rambut putih yang muncul lebih banyak dari rambut hitam si Ibu. Beliau aja laku, masa dirinya tidak? Pasti ia bisa lebih bahagia nantinya da
"Mas, badan Alika panas banget." Esti menggendong bayi berusia lima puluh hari itu dengan panik, sedangkan tangan kanannya mengguncang tubuh Galih yang tidur pulas.Pria itu terbangun, menggosok matanya sebelum akhirnya melihat anak dan istrinya terbangun."Mas, Alika panas dan gak mau asi," kata Esti lagi. Galih bangun duduk, lalu meraih Alika dari gendongan ibunya. "Iya, ini badannya panas. Kita bawa ke dokter aja.""Ini jam dua malam, Mas. Nanti malah makin sakit kalau kita naik motor bawa Alika. Pakai taksi online saja.""Susah taksi jam segini, Es. Naik motor aja, bungkus anaknya dengan beberapa helai flanel. Ayo, cepat!" Galuh mengambil kunci motor. Lalu Esti membungkus Alika dengan dua helai kain flanel dan dipakaikan sweeter bayi. Keduanya pergi ke rumah sakit terdekat dengan selamat. Alika langsung masuk ke dalam IGD untuk mendapatkan penanganan karena panasnya mencapai empat puluh. Bayi itu memekik menangis keras hingga wajahnya merah. Esti menangis karena takut, sedangkan
"Selamat untuk jabatan barunya Bu Kikan. Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga." Rubi, Mia, Muslim, Lukman, dan beberapa staf lainnya berkumpul di ruangan Kikan. Ya, Kikan mendapatkan ruangan khusus setelah mendapatkan rekomendasi naik jabatan menjadi manager. Di sana juga hadir Batara yang tentu saja salah satu orang yang membawa Kikan berhasil mendapatkan posisi seperti sekarang. Kikan terus saja meneteskan air mata karena begitu terharu. Setelah semua cinta yang ia miliki diambil oleh pembantunya, termasuk janin yang sempat ia kandung. Kini, semua kedukaan itu digantikan oleh Tuhan. Ia mendapatkan banyak cinta dari teman-teman lingkungan kerja.Saudara dari pihak mama dan papanya juga memberikan support penuh setelah mengetahui Kikan menjadi korban pelakor. "Terima kasih kalian sudah terus bersama saya di masa sulit dan senang saya. Terima kasih atas kepercayaan ini. Terima kasih Pak Batara. Kalian benar-benar tim yang aku sayang. Mari bersulang!" Seruan Kikan sambil mengangk
"Bagaimana?" tanya Batara. "Lancar, Pak. Tinggal sidang putusan. Galih gak datang karena anaknya masih sakit. Baguslah, jadinya perceraian ini bisa cepat selesai," jawab Kikan santai. Wajahnya semringah karena beban yang menimpa dadanya saat ini, perlahan mulai terangkat. "Kamu gak ada niatan melihat anaknya?" Kikan menggelengkan kepala. "Tidak minat dan saya gak peduli. Saya udah gak mau bahas Galih ataupun Esti, Pak. Saya benar-benar ingin melupakan lelaki itu dan istrinya." "Maafkan saya jika masih sering menyinggung Galih." "Gak papa, Pak. Hari ini kita meeting jam berapa?""Jam dua siang. Nanti langsung saja ke ruang rapat ya. Semangat." Kikan mengangguk. Lalu Batara pun keluar dari ruangan Kikan. Wanita itu tersenyum memandangi sekeliling ruangan yang tidak pernah ada dalam mimpinya. Sekarang fokusnya menata hidup dan menjadi sukses, sehingga ia bisa puas melihat wajah iri dari Galih dan Esti. Kikan membuka akun media sosialnya. Sudah lama ia tidak berselancar di sana. Seb
GalihHari ini adalah hari ketiga meninggalnya almarhum Alika, tetapi aku belum bisa melunasi biaya perawatan serta berbagai tindakan yang sempat diterima putri kecilku. KTP milikku dan Esti ditahan, begitu juga motor, barang satu-satunya yang aku punya. Tidak ada yang tersisa dari semua uang yang aku dapatkan dari menjual mobil. Semua masalah datang silih berganti tanpa jeda waktu untuk bisa mengambil napas dalam. "Mas, kamu gak keluar cari kerjaan? Kamu udah nganggur begitu lama," tanya Esti yang menghampiriku di teras rumah kontrakan."Setiap hari juga aku keluar, Es. Tapi yang ada aku malah nambah pengeluaran karena ongkos dan makan di jalan," jawabku tak semangat. Sudah tiga batang rokok aku habiskan sampai jam sepuluh pagi ini. Dahulu, aku pria yang anti rokok karena bagiku rokok yang untuk pria yang tidak punya kerjaan. Ternyata terbukti, saat aku tidak punya kerjaan apapun, aku merokok."Coba hubungi teman-teman Mas. Siapatahu mereka ada kerjaan untuk Mas. Apapun itu gak pap
BataraKikan Saya gak bisa masak, tapi lagi pengen masak. Setelah matang, saya gak bisa menghabiskannya semua. Apa Bapak mau?Aku tersenyum membaca pesan Kikan."Papa." Putri kecilku Maura bangun dari tidur dan langsung duduk sambil menggosok kedua matanya. Rambut ikalnya berantakan mengembang bak singa. Aku yang sedang merapikan kemeja, langsung menghampiri Maura. "Halo, Sayang, baca doa bangun tidur dulu.""Alhamdulillah." Batara tersenyum, kemudian memberikan kecupan di pipi gembul putrinya. "Papa mau kelja?" aku mengangguk."Gak usah kelja." "Katanya mau lihat ikan di aquarium besar. Jadinya Papa harus kerja. Maura di sini saja sama nenek. Kakak Ibrahim juga di rumah. Nanti kalau Papa libur, kita lihat ikan di aquarium besar ya?" gadia kecilku itu mengangguk. Lalu ia turun dari kasur dan langsung keluar dari kamar. "Ra," suara mama memanggil namaku. "Ya, Ma, masuk aja." Mama berjalan masuk, lalu duduk di pinggir ranjang. "Lusa adik kamu lahiran. Mama mau ke sana. Di rumah g
Masakan kamu enak, Kikan. Saya serius, bukan karena bisa makan siang gratis he he SendSetelah aku mengirimkan pesan pada Kikan, aku pun melanjutkan makan siangku. Ada sayur asem, ikan asin, tahu , dan tempe goreng. Bahkan ada urap sayur. Kikan memasak banyak, padahal di rumah hanya dia sendiri. Pantas saja ia tidak bisa menghabiskannya. Semua rasanya enak dan cocok di lidahku. Kapan kamu masak lagi. Bawakan saya ya. Please! Ini tuh enak banget.SendAku duduk dengan kaki diluruskan. Kaitan celana kerja aku lepas karena perutku sepertinya sebentar lagi akan meletus. Terlalu sesak. Seperti makan siang di rumah. Masakan yang dimasak oleh pasangan kita. Aku tersenyum, mengingat almarhumah istriku yang juga jago memasak. Kamila, alfatihah.Aku langsung melafazkan Al-fatihah begitu mengingat almarhumah istri yang sangat aku cintai. Ia sudah bahagia di sana karena meninggalnya ibu pada saat melahirkan termasuk syahid bukan? Aku yakin sekali Kamila saat ini sedang tertawa dan gembira di