Bayangan cowok tadi terus mengusik pikiran Vio. Seberusaha apa pun ia mengeluarkan bayangan itu dari otaknya, tetap saja bayangan itu terus berseliweran. Menari-nari tanpa permisi di dalam pikirannya.
Mata elang, hidung mancung, rahang tegas dan bibir tipis, kombinasi yang sempurna. Tak heran jika cowok itu terlihat tampan dan mempesona. Sayangnya dia berwajah dingin dan menyeramkan.
Bodoh!
Rutuk Vio, apa yang salah dengan otaknya? Kenapa bisa-bisanya ia terkesima dengan cowok aneh itu. Vio menepis semua pemikirannya tentang cowok bernama Levin, seniornya kelas XII.
Sepanjang pelajaran berlangsung, Vio tidak bisa fokus karena Reva terus mendumel. Mengomentari apa pun yang diucapkan guru pelajaran. Hingga bel pulang berbunyi.
"Lo mau ikut?" ajak Reva yang sudah selesai mengemasi barang-barangnya, ya karena dia memang hanya mengeluarkan satu buku saja.
"Ke mana?" tanya Vio tanpa mengalihkan pandangannya dari papan tulis. Vio masih menyelesaikan catatannya.
"Basecamp."
Basecamp?
Itu artinya Vio akan bertemu lagi dengan Levin. Oh, tidak terimakasih. Vio tidak akan bertindak bodoh untuk kedua kalinya.
"Gak deh. Gue belum selesai nyatet."
"Gue tungguin." Reva bersikeras mengajak Vio.
"Tapi————"
"Ayolah, lo bakal punya banyak teman di sana. Gue punya banyak koneksi, termasuk para senior." Vio menoleh, mengernyitkan dahinya.
"Koneksi?" beo Vio.
Reva mengangguk. "Yups, rentan pertemanan gue luas. Lo gak bakal nyesel ikut gue, lo bakal rasain sensasi yang berbeda. Hidup lo gak bakal monoton deh."
Pertemanan?
Bahkan seumur hidup Vio tidak punya teman, ia terlalu apatis dan menutup diri dari pergaulan. Vio tidak suka berhubungan dengan siapa pun, baginya itu hanya akan menimbulkan masalah.
Dan mungkin ini untuk pertama kalinya, Vio memiliki teman. Tapi apa iya Vio harus menerima ajakan Reva? Belum sempat Vio memberi jawaban, suara seseorang sudah lebih dulu menginterupsinya.
"Viona." Vio refleks menoleh saat mendengar namanya di panggil.
Vio menghela napasnya ketika melihat Keyla berdiri di depan pintu kelas, melambaikan tangannya dan tersenyum lebar pada Vio.
"Kamu kenal dia?" Pertanyaan Reva mengalihkan perhatian Vio. "Bukannya dia anak kelas sebelah?
"Em." Vio membereskan buku-bukunya, memasukkannya ke tas.
"Siapa? Temen? Saudara? Atau ...."
Vio memutar bola matanya, jengah dengan sikap Reva yang berlebihan. Dia terlalu kepo.
"Gue pulang dulu, mungkin lain kali gue bisa ikut. Bye." Vio bangkit dan berjalan menuju pintu.
"Mama udah nunggu di depan," ucap Keyla saat Vio keluar dari kelas.
Vio tak menggubrisnya, ia berjalan lebih dulu. Namun Keyla berusaha mensejajarkan langkahnya. Keduanya berjalan beriringan sampai depan.
Sementara Reva menghampiri teman-temannya yang tengah berkumpul di parkiran.
"Itu bukannya temen lo?" tanya Bagas saat Reva datang.
Reva berbalik, matanya tertuju pada sosok Viona yang sedang masuk ke mobil Mercedes-Benz berwarna hitam.
"Iya." Reva duduk di dekat Sam, merebut botol air milik Sam.
"Kyaaasss!!" geram Sam. "Kebiasaan!" gerutunya.
Reva terkekeh tanpa merasa bersalah. "Gue haus. Kering bibir gue ngoceh mulu tadi di kelas."
Sam memutar bola matanya, malas menanggapi. Ia kembali sibuk memainkan ponselnya.
"Mereka sodaraan?" tanya Arga.
Reva menoleh. "Siapa?"
"Temen lo sama Keyla. Dia bukannya anak kelas X IPA 1. Bukannya dia pindahan dari Bandung, jadi gak mungkin dong mereka temenan," jelas Arga.
"Mungkin?" Reva tampak tidak peduli.
"Tapi kalo mereka temenan boleh juga tuh lo deketin, bukannya lo ngincer Keyla?" celetuk Bella.
"Tapi cakepan dia si dari pada Keyla," balas Arga. "Gimana dong?"
"Kalo gitu lo pacarin dua-duanya," timpal Bagas, lalu mereka tergelak. Entah apa yang lucu.
"Cabut yok," seru Levin. Ia turun dari kap mobil.
"Kuy," sahut Agata dan yang lainnya.
Mereka pun masuk ke mobil masing-masing, sebagian mengendarai motor sport.
———————
Vio duduk bersender ke jendela, matanya menatap keluar mobil. Sementara pikirannya berkelana ke mana-mana. Masih teringat jelas di pikiranya, bagaimana Levin menatapnya dari parkiran. Entah kenapa Vio tidak suka ditatap cowok itu.
Tatapannya seolah menelanjangi Vio. Aura cowok itu begitu mencekam. Tapi kenapa cowok itu menatapnya seperti itu? Apa Vio berbuat salah? Bahkan mereka tidak saling mengenal dan baru bertemu tadi.
"Viona."
Viona tersentak ketika mendengar mama tirinya memanggil.
"Ya?" Vio menoleh ke depan.
"Kamu ngelamun? Mama dari tadi ngajak kamu ngobrol loh," ucap Keyla yang duduk di bangku depan.
"Ah, maaf," gumam Vio.
"Gak papa kok. Kamu pasti capek, hari pertama sekolah. Apa sekolah kamu menyenangkan?"
"Iya."
"Baguslah, kalau kamu capek kamu boleh tidur. Nanti mama bangungnin pas sampai."
Vio mengangguk, ia memilih memejamkan mata dan sepanjang perjalanan hanya terdengar suara Keyla yang bercerita kegiatannya di sekolah.
Seandainya mama masih hidup, mungkin Vio akan melakukan hal yang sama. Menceritakan semua kegiatannya, berbagi banyak hal dengan sang mama.
Vio benci keadaanya saat ini. Ia merasa sendirian, kesepian dan hampa. Meski mama tirinya begitu baik, Vio tak bisa menghapus rasa bencinya pada wanita itu. Karena dia penyebab kematian mamanya.
Vio terbangun tengah malam, suara petir terdengar menyambar saling bersahutan. Kilatannya menembus masuk kaca jendela. Tubuh Vio gemetar, ia memeluk lututnya, bersembunyi dibalik selimut.
"Mama," cicit Vio. "Vio takut."
Diluar sedang hujan deras, guntur makin terdengar lantang menggelegar dan tiba-tiba terjadi pemadaman listrik.
"Mama," lirih Vio. Berharap sang mana akan datang. Walau pun itu jelas mustahil.
Vio berusaha menyugesti dirinya agar tetap kuat, menepis rasa takut yang terus merongrong. Lalu terdengar teriakan kencang, diikuti suara tangis histeris. Suaranya berasal dari kamar Keyla.
Tak berselang lama terdengar suara langkah kaki, Vio berjalan ke arah pintu mengintip keluar. Terlihat mama tirinya dan sang papa berjalan tergesa-gesa menuju kamar Keyla.
"Ayo Pa, Keyla pasti ketakutan," ucap Lina terdengar panik.
"Iya Ma." Dimas mengikuti langkah istrinya, buru-buru ke kamar Keyla saat suara tangisan Keyla semakin terdengar kencang.
Vio terduduk lemas di balik pintu, tanpa sadar air matanya jatuh membasahi pipi. Rasa iri menelusup ke dalam hati.
"Vio juga takut pa," lirihnya.
Vio terbangun ketika alarm berbunyi nyaring memenuhi ruang kamarnya. Mata Vio perlahan terbuka, Vio mengedarkan pandangannya. Ia masih dalam posisi duduk bersandar di pintu.Vio bangun karena alarm terus berbunyi, Vio segera mematikannya. Vio melirik sekilas jam weker yang sudah menunjukkan pukul enam kurang lima belas menit. Ia segera masuk ke kamar mandi, membersihkan diri.Tak butuh waktu lama untuk Vio mandi dan mengenakan seragamnya. Kini ia sudah berdiri di depan cermin, memandangi pantulan diri. Vio terdiam memperhatikan wajahnya, lebih tepatnya mata Vio yang sembab karena semalaman menangis.Untuk menyamarkan itu Vio memakaichusiondan bedak, megoleskan sedikitliptintpada bibirnya yang tampak pucat. Vio tampak cantik dengan rambut panjan
Vio menghela napas untuk yang kesekian kali. Melihat antrian yang begitu panjang, membuat kesal Vio semakin memuncak. Gara-gara minumannya diambil Levin, mau gak mau Vio harus membeli di kantin dan mengantri panjang di kasir.Kaki Vio sudah pegal kelamaan berdiri, hingga akhirnya tiba giliran Vio. Baru saja Vio meletakkan botol airnya, tiba-tiba seseorang menyerobot antrian."Kyaaa!!" teriak Vio, hilang sudah kesabarannya.Cowok itu menoleh, menatap Vio dengan datar."Lo harusnya ngantri, bukan nyerobot gitu aja," gerutu Vio.Cowok itu mendengus, mengabaikan Vio dan kembali berbalik. Vio melotot, emosinya semakin menggebu-gebu. Apa-apaan coba? Dirinya sudah ngantri lama tiba-tiba dis
Bel pulang sekolah berbunyi, gerombolan Lando sudah bertengger di parkiran. Lando sendiri duduk di atas kap mobilnya, menyesap rokok yang ada ditangan."Muka lo kenapa?" tanya Fano yang baru tiba."Biasa," jawab Lando, kembali menyebulkan asap rokok ke udara."Lo gak tahu Fan? Dia abis di pukulin tadi ...." Temannya seketika mengatupkan bibirnya, karena Lando melototinya."Lo berantem lagi? Sama siapa?" tuntut Fano, meminta penjelasan.Lando mendengus, membuang puntung rokok ke tanah lalu menginjaknya. "Gak penting," ucap Lando."Seterah." Fano tak lagi menggubris Lando, ia memilih merokok dari pada menanyai Lando yang keras kepala.
Viona bersumpah pada dirinya sendiri, untuk tidak lagi datang ke rumah Reva. Vio benar-benar menyesal, sekarang dirinya justru terjebak di dalam rumah Reva tanpa bisa pulang karena di luar hujan deras.Vio benar-benar mengutuk hari ini. Hari yang begitu sial, hari di mana ia kehilangan ciuman pertamanya dan lebih sialnya lagi, Levin yang merenggutnya.Arrggg! Vio mengerang frustasi. Merutuki diri sendiri.Apa tidak ada cowok lain? Kenapa harus Levin?Ponsel Vio tiba-tiba berbunyi, mengalihkan perhatiannya. Vio segera menjauh dari teman-temannya, mencari tempat sepi untuk menjawab telepon."Halo," ucap Vio ketika sambungan telepon diangkat.
Lando mendengus, ketika melihat Levin menggendong seorang cewek. Cewek yang sama dengan cewek kemarin. Lando semakin penasaran apa hubungan Levin dengan cewek itu? Kalau benar cewek itu spesial untuk Levin, itu akan jadi kesempatan bagus bagi Lando menjatuhkan Levin.Lando tersenyum miring, ia kembali berjalan menuju kelasnya. Bel masuk berbunyi dan kebetulan kelas Lando jam kosong. Ia duduk di bangku paling belakang, menyesap rokok dan menyebulkannya ke udara."Lo udah dapet apa yang gue minta?" Suara Lando menginterupsi teman-temannya yang sedang mabar, seketika mereka menoleh. Lando melemparkan tatapannya ke salah satu temannya."Ah, sudah?" ucap Erik yang paham dengan ucapan Lando barusan. "Namanya Viona," kata Erik mulai memberitahu, matanya kembali fokus ke layar ponsel dan jemar
Vio berusaha mengontrol tubuhnya, ia menyeret kakinya melangkah mengikuti Reva masuk ke dalam. Vio mengabaikan Levin yang tengah menatapnya dengan ekspresi tak terbaca.Cowok aneh!Vio heran, kenapa Levin terus memandanginya? Perasaan gak ada yang aneh sama penampilannya. Vio hanya memakai kaus oblong dan celana jeans selutut, ia pikir penampilannya biasa aja.Lalu kenapa Levin menatapnya seperti itu?"Vi, sini dah. Gue kenalin lo sama yang lain." Reva menarik lengan Vio, menyentak Vio dari pikirannya. Reva membawanya ke ruang tengah. "Gaesss, kenalin temen gue. Namanya Viona."Vio menarik kedua sudut bibirnya, mengulas senyum terpaksa. Vio menatap satu-persatu teman-teman Reva, mere
Jika kamu tak mendapatkan kebahagian, maka ciptakanlah sendiri kebahagianmu.-Levin-"Kalo lo merasa gak dapet kebahagian, kenapa gak lo ciptain sendiri?""Hidup itu sulit gak perlu ditambah rumit. Asal lo bahagia, kenapa lo harus peduli dengan apa kata orang. Mereka saja belum tentu peduli sama lo.""Lakukan apa pun yang membuat lo bahagia."Ucapan Levin terus terngiang di pikiran Vio, membangkitkan tekadnya yang telah lama mati suri. Vio memandang Levin yang tengah berjoged bersama badut mampang, tingkah lucunya membuat Vio tanpa sadar ikut tertawa.Jik
Bagaimana bisa gue gak peduli kalau lo orang pertama yang menarik perhatian gue.-Levin-Motor Levin berhenti di depan bangunan tua, dari luar tampak gelap tapi terlihat ada cahaya di dalamnya. Levin turun, ia berjalan tanpa ragu mendobrak pintu hingga menimbulkan bunyi nyaring. Orang-orang di dalamnya terperanjat, mereka menoleh ke arah kedatangan Levin."Cari mati tuh anak," gumam salah seorang."Siapa?" tanya teman di sebelahnya."Temannya Sam.""Wow, coba lihat siapa yang datang? Kita kedatangan tamu tak diundang gaesss!" seru salah seorang yang Levin yakini pentolan dari geng itu. Geng ga
Meski sempat mengalami penurunan kesehatan selama beberapa hari lepas kepergian Keyla dan mama tirinya ke Australia, kesehatan Viona berangsur pulih berkat dukungan dari Levin yang selalu ada di sampingnya dan juga om Anton yang selalu mengupayakan berbagai opsi untuk penyembuhan. Teman-teman Levin juga selalu mengunjungi Viona, mereka sering menghibur Viona agar tidak larut dalam kesedihan.Awalnya Dokter menolak usul dari om Anton untuk segera melakukan operasi transplantasi sumsum tulang belakang dengan alasan kesehatan Viona yang belum stabil. Namun, setelah beberapa hari pemantauan dan kesehatan Viona mulai membaik. Dokter akhirnya setuju untuk segera melakukan operasi tersebut.Kini sebulan pasca operasi sumsum tulang belakang dijalani Viona. Proses pemulihan Viona juga berjalan lancar. Sekarang keadaannya jauh lebih baik, m
Reva menatap nanar alat cukur rambut di tangannya. Rasanya begitu berat ketika ia harus memakai alat tersebut. Padahal selama ini ia biasa memakai alat itu untuk mencukur rambut Sam dan teman-teman cowok di tongkrongannya yang nggak mau modal buat kebarbershopdan memilih gratisan memakai jasanya.Viona yang menyadari keterdiaman Reva, sontak menoleh ke belakang. Di mana gadis itu berdiri di belakang kursi rodanya. "Rev, kenapa?" tanyanya.Reva tersadar, dengan cepat mengubah ekspresinya. Ia tidak mau kalau sampai Viona melihat raut wajahnya yang sedih. "Eh, nggak papa kok." Reva menyengir, berharap Viona tidak curiga.Namun, bukan Viona namanya kalau langsung percaya begitu saja. Viona menatap lekat wajah Reva, menyalami pandangan gadis itu, seolah mencari kebenara
Sudah berbulan-bulan Dimas memandangi Viona yang sedang terlelap dari balik kaca yang ada di pintu ruang rawat Viona. Tak sekalipun ia berani menunjukkan batang hidungnya di depan putri kandungnya itu. Meski keinginan untuk melihat lebih dekat terus menggebu dalam dada, tapi perasaan bersalah menahannya sampai depan pintu.Dimas menyeka air matanya, hal yang sering terjadi setiap kali ia memandangi Viona yang meringis menahan sakit bahkan dalam keadaan tak sadar. Seperti yang saat ini ia saksikan, Viona terus merintih dalam tidurnya. Ingin sekali Dimas masuk ke dalam, membelai lembut kepala putrinya, menenangkan atau kalau perlu mengambil alih rasa sakit itu. Walau ia tahu, keadaannya sudah berubah dan tak ada yang bisa ia benahi lagi. Meskipun rasa penyesalan terus merongrong, tapi semua sudah terlambat, keegoisannya membuat semua yang ia lakukan saat ini pun sia-sia.
Setelah seharian mencari ke sana-sini tanpa ada kejelasan, akhirnya Lina menemukan titik terang ketika ia mendapatkan telepon dari Viona yang mengatakan kalau Keyla ada di sana. Berkali-kali Lina mengucap rasa syukur, kekalutan dalam pikiran dan benak yang berkecamuk berangsur melega seiring dengan laju mobil Dimas menuju ke rumah sakit———tempat Viona dirawat saat ini.Awalnya Lina memutuskan untuk pergi dari rumah, bahkan ia sudah mengemasi beberapa pakaiannya dan pakaian Viona untuk beberapa waktu ke depan. Ia ingin menenangkan diri sekaligus memberikan efek jera pada suaminya yang egois dan keras kepala, berharap dengan kepergiannya sesaat akan membuat Dimas paham dan mau berubah.Namun, serangkaian rencana yang sudah ia rancang dengan matang harus berakhir berantakan ketika ia menerima panggilan dari wali kelas Key
Semilir angin bertiup lambat, udara yang begitu sejuk saat menjelang sore. Hilir mudik petugas medis menjadi pemandangan yang biasa di koridor rumah sakit. Namun, mata Anton tak sedikitpun teralihkan, fokusnya masih tertuju pada Viona yang tengah duduk di taman ditemani oleh Levin. Senyumnya mengembang melihat keponakannya dapat tersenyum lagi, padahal beberapa hari yang lalu tampak sangat terpuruk. Anton bersyukur karena usahanya meyakinkan pak Tama tidak sia-sia, apalagi fakta kalau mereka merupakan relasi bisnis mempermudah semua usahanya untuk membawa Levin."Jadi, apa langkah selanjutnya Dok? Sepertinya keadaan Viona sudah mulai stabil, apa kita bisa langsung melangkah ke step selanjutnya? Bukankah lebih cepat jauh lebih baik untuk kesembuhan Viona?" Anton menolehkan kepalanya pada Dokter Bima yang berdiri di sampingnya, Dokter spesialis Hematolog yang menangani kasus Viona beberapa
Viona terbangun saat merasakan usapan lembut di pipinya, membuat kelopak matanya perlahan terbuka. Samar terlihat wajah seseorang yang selalu mengisi pikirannya akhir-akhir ini, seseorang yang selalu ia tunggu kehadirannya. Namun, ia sadar kalau orang itu tidak mungkin datang dan yang ia lihat hanyalah bayangan semu.Viona menghela napas panjang, begitu kecewa. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain. "Kamu di mana Vin, aku merindukanmu," gumam Viona seraya memejamkan matanya kembali, berharap mimpi buruk ini segera usai."Aku di sini." Suara yang sangat familiar itu menyentak Viona, matanya seketika terbuka lebar dan menatap seseorang di sampingnya yang kini terlihat lebih jelas dari sebelumnya."Levin," lirih Viona, setengah tak percaya kalau yang dilihatnya memang Levin, bukan se
Viona terbangun ketika mendengar suara dari samping, matanya perlahan terbuka bersamaan dengan harum maskulin yang menyeruak ke indera penciumannya. Samar-samar ia melihat sesosok cowok berdiri membelakangi dirinya, seakan yakin kalau itu Levin, Viona lantas memanggilnya."Levin." Suara Viona yang terdengar pelan berhasil menarik atensi cowok itu. Namun, ia harus menelan kekecewaan ketika netranya menangkap dengan jelas wajah cowok itu saat membalikkan badan dan ternyata cowok itu bukan Levin, melainkan orang lain."Hai," sapa cowok itu, menyunggingkan senyumnya seramah mungkin. "Gimana keadaan lo——""Ngapain lo ke sini?" sergah Vio, memotong ucapan cowok itu. Ekspresinya terlihat tidak menyukai kehadiran cowok itu."Ngapa
Dimas bergegas pulang lebih cepat ketika Laras—istrinya——memberitahukan kalau Viona demam. Putri kesayangannya yang baru berusia satu tahun itu mengalami demam tinggi sejak siang.Sesampainya di rumah, Dimas segera berlarian masuk menuju kamar Viona. Namun, ketika ia sampai di depan kamar, suara dari dalam menghentikan langkahnya."Stop Anton! Hentikan omongkosongmu! Dia bukan anakmu! Harus aku bilang berapa kali, dia bukan anakmu!"Dimas terkesiap kala mendengar teriakan Laras dari dalam kamar. Apalagi istrinya itu menyebut nama Anton, adik angkatnya. Dimas masih terdiam di depan pintu yang tertutup rapat, menahan rasa penasaran yang menggebu-gebutentang apa yang sedang terjadi di dalam sa
Dimas duduk termenung, memandangi Viona yang terbujur lemas tak berdaya di atas ranjang rumah sakit dengan selang infus menancap di tangannya. Sudah satu jam berlalu ia duduk tanpa melakukan aktivitas apa pun selain menatap wajah pucat Viona, seraya mengusap tangan putrinya itu yang terdapat memar."Putri Anda terkenaLeukemia limfositik kronisatau yang biasa disebut kanker darah."Ucapan Dokter yang memeriksa Viona kembali berputar-putar di kepala Dimas, seperti kaset rusak yang berhasil menghancurkan tembok kokoh dalam hatinya. Sekeras apa pun ia menahan diri untuk tidak menangis, nyatanya pertahanannya runtuh. Air mata yang ditahan di pelupuk mata seketika keluar bagaikan air bah."Maafkan papa, Viona." Dimas terisak, menutup wajahnya yang tak kuasa menu